AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Senin, 14 Desember 2015

KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Bab Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Semua Perbuatan dan Ucapan, Baik yang Jelas ataupun Samar-samar

Bismillaahir rahmaanir rahiim..
Assalamu'alaykum wa rahmatullaah wa barakaatuh.


"Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah."


"Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiy ya ba'da."


"Segala puji hanya milik Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya, kita memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya."


"Aku bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah dengan haq (benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla saja, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan tidak ada Nabi setelahnya"


Qola Ta'ala fii Kitabul Karim: "Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaaha haqqo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimun."


Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).


Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujaha wa batstsa minhuma rijaalan katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa."


Dan AllahTa'ala berfirman: "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).


Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaulan sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasullahuu waqod faaza fauzan 'adzhiima."


Dan Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal-amal kalian dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).


Amma ba'du, "Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar."


Amma ba'du: "Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka."


"Pembahasan KITAB RIYADHUSH SHALIHIN"


1. Bab Ikhlas dan Menghadirkan Niat Dalam Semua Perbuatan dan Ucapan, Baik yang Jelas ataupun Samar-samar.


Ikhlas ialah bertujuan hanya semata-mata karena Allah 'Aza wa Jalla, yakni seorang hamba dalam melakukan ketaatan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah tanpa tujuan lain.


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)."
(QS. Al-Bayyinah: 5)


Maksudnya, ahli kitab dan lainnya tidak diperintahkan melainkan untuk menyembah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat.
(Hunafa) ialah orang-orang yang cenderung kepada agama Islam serta menjauhi agama-agama lainnya. "Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)," maksudnya agama Islam.


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu."
(QS. Al-Hajj:37)


Maksudnya, daging-daging serta darah-darah hadiah dan kurban tidak sampai kepada Allah. Akan tetapi yang sampai kepada-Nya ialah niat dan keikhlasan kalian.


Ibnu Abbas berkata, "Dahulu orang-orang jahiliyah melumuri Baitullaah dengan darah unta, lantas kaum muslimin hendak melakukan hal ini, maka turunlah ayat tersebut."


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Katakanlah, 'Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu tampakkan, Allah pasti mengetahuinya'."
(QS. Ali Imran: 29)


Maksudnya, Dia-lah Zat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang tersembunyi di dalam hati dan sesuatu yang terkandung di dalamnya meliputi ikhlas dan riya'.


Berikut ini adalah hadits-hadits dalam Kitab Riyadhush Shalihin yang terkait dengan ke-Ikhlasan:


1/1.
Dari Amirul Mukminin Abu Hafs, Umar bin Al-Khattab bin Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin Ka'ab bin Luai bin Ghalib Al-Qurasyi Al-'Adawi radhiyallahu 'anhu berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya semua amal perbuatan itu disertai dengan niat-niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang itu (tergantung) pada yang telah ia niatkan. Maka, barang siapa yang hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itupun menuju kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya demi harta dunia yang hendak diperolehnya ataupun untuk seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnyapun menuju kepada niat yang dimaksud dalam hijrahnya itu'."
Hadits ini disepakati keshahihannya.
[Shahih: Al-Bukhari (2529, 3898, 5070, 6689, 6953); Muslim (1907)].


(HR. Dua imam ahli hadits yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fi Al-Bukhari, dan Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi -semoga Allah merahmati keduanya- dalam kedua kitab shahih masing-masing yang kedua kitab ini adalah kitab paling shahih).


Hadits ini merupakan hadits agung, mulia, dan banyak faedahnya.


Abdur Rahman bin Mahdi radhiyallahu 'anhu berkata, "Selayaknya bagi setiap penyusun kitab memulai tulisannya dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan niat."


Imam Syafi'i rahimahullah berkata, "Hadits ini mencakup 70 bab ilmu."


Al-Bukhari rahimahullah berkata, "Bab hadits yang menjelaskan bahwa perbuatan tergantung pada niat dan keikhlasan dan bagi setiap orang tergantung apa yang telah ia niatkan, maka termasuk dalam bab ini ialah; iman, wudhu, shalat, zakat, haji, puasa, dan beberapa hukum lainnya."


Kosakata asing:


Kata 'innama' berfungsi sebagai hashr. Maksudnya, amal perbuatan tidak akan diterima tanpa disertai dengan niat.
Ibnu Abdis Salam berkata, "Kalimat pertama (innamal a'malu binniyyati) untuk menjelaskan (syarat) amal perbuatan yang diterima. Kalimat kedua (wa Innama lukulli imriin ma nawa) untuk menjelaskan konsekuensi dari niat."
Niat adalah tujuan. Tempatnya di dalam hati.


"Fa mankanat hijratuhu ilallah wa rasulihi fa hijratuhu ilallahi wa rasulihi."
Maksudnya, orang yang hijrahnya diniatkan dan tujukan karena Allah dan Rasul-Nya, maka secara hukum dan secara syar'i hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya.


Ibnu Daqiq Al-Id berkata, "Ulama meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah dengan tidak menginginkan keutamaan hijrah. Justru ia berhijrah bertujuan agar dapat menikahi seorang perempuan yang bernama Ummu Qais. Oleh karena itu, di dalam hadits ini terdapat penyebutan perempuan secara khusus bukan hal-hal yang diniatkan lainnya."


Penjelasan hadits:


Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, "Barang siapa yang dalam hijrahnya ia berniat meninggalkan negeri kafir sekaligus menikahi seorang perempuan, maka niat ini tidaklah buruk dan juga tidak dibenarkan. Akan tetapi, niat ini kurang utama jika dibandingkan dengan orang yang hijrahnya memang murni (karena Allah)."
Wallahu a'lam.


2/2.
Dari Ummul Mukminin, Ummi Abdillah, 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ada sepasukan tentara yang hendak memerangi Ka'bah. Ketika mereka berada di suatu padang pasir dari tanah lapang, lalu dibenamkanlah orang pertama sampai yang terakhir dari mereka semuanya." 'Aisyah berkata, "Wahai Rasulullah! bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara mereka ada pedagang di pasar dan adapula orang yang tidak termasuk golongan mereka?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan dari masing-masing kuburnya sesuai niatnya masing-masing."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari (2118); Muslim (2884)].


Penjelasan hadits:


Di dalam hadits ini terdapat peringatan untuk tidak berteman dan duduk-duduk bersama dengan orang-orang zalim. Karena azab akan menimpa mereka serta orang-orang yang bersama mereka. Meskipun ketika dihisab nanti akan diperlakukan sesuai dengan niat baik dan buruk (mereka masing-masing). Di dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar secara marfu' disebutkan, "Apabila Allah telah menurunkan azab kepada suatu kaum, maka azab tersebut akan mengenai semua orang yang berada di dalamnya, kemudian mereka akan dibangkitkan sesuai niat mereka."


3/3.
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada hijrah setelah pembebasan Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Oleh karena itu, apabila kalian semua diminta untuk berangkat (berjihad), maka berangkatlah."
(Muttafaqun 'alaih).


Penjelasan hadits:


Maknanya, tiada hijrah lagi dari Mekkah, sebab saat itu Mekkah telah menjadi daerah Islam.
Al-Khaththabi dan lainnya berkata, "Pada masa awal Islam, hijrah merupakan kewajiban atas orang yang telah masuk Islam lantaran minimnya umat Islam di Madinah dan kebutuhan umat Islam untuk berkumpul. Ketika Allah telah membebaskan kota Mekkah, orang-orang berbondong-berbondong masuk Islam, maka kewajiban hijrah ke Madinah menjadi gugur. Sedangkan yang masih ada adalah kewajiban jihad dan niat bagi orang yang akan melakukannya atau diserang musuh."


Al-Mawardi berkata, "Apabila seseorang mampu menampakkan agama Islam di suatu negeri kafir, maka menetap di tempat tersebut lebih utama dari pada meninggalkannya, karena diharapkan orang lain dapat masuk Islam (karenanya)."


Al-Hafizh berkata, "Hikmah diwajibkan hijrah bagi orang yang masuk Islam ialah agar selamat dari gangguan orang-orang kafir, karena orang-orang kafir menyiksa orang yang masuk Islam agar mereka keluar dari agamanya."


4/4.
Dari Abu Abdillah, Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallahu 'anhuma berkata, "Kami beserta Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu peperangan, kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang ketika kalian menempuh suatu perjalanan dan menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tersebut (dianggap) bersama kalian. Mereka terhalang sakit'."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Melainkan mereka yang tertinggal itu bersekutu dengan kalian dalam memperoleh pahala."
[HR. Muslim].
[Shahih: Muslim (1911)].


Imam Bukhari meriwayatkan:


Dari Anas radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Kami kembali dari perang Tabuk bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, 'Sesungguhnya ada beberapa kaum yang kita tinggalkan di Madinah. Kita tidak melintasi lereng ataupun lembah, melainkan mereka itu (dianggap) bersama-sama dengan kita. Mereka terhalang oleh suatu uzur'."
[Sahih: Al-Bukhari (4433)].


Penjelasan hadits:


Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang niatnya benar dan bertekad hendak melakukan kebaikan, tetapi ia tidak melakukannya karena ada uzur, maka ia mendapatkan pahala semisal pahala orang yang melakukan amalan tersebut.


5/5.
Dari Abu Yazid, Ma'an bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu 'anhuma. Ia, ayahnya, dan kakeknya termasuk golongan shahabat. Ia berkata, "Ayahku, Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang digunakan untuk bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seseorang di dalam masjid. Lantas saya datang dan mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku dengan membawa dinar-dinar tadi. Lalu ayahku berkata, 'Demi Allah, bukan engkau yang kuhendaki.' Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, 'Bagimu apa yang engkau niatkan wahai Yazid! Sedangkan bagimu apa yang engkau ambil, wahai Ma'n!'."
[HR. Bukhari]
[Shahih: Al-Bukhari (1422); Ad-Darimi (1638)].


Penjelasan hadits:


Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang berniat sedekah kepada orang yang membutuhkan, maka ia akan mendapatkan pahalanya meskipun yang mengambil sedekah tersebut ialah orang yang wajib dinafkahinya atau bukan orang yang berhak menerima sedekah sebagaimana dalam kisah seseorang yang bersedekah kepada tiga orang.


6/6.
Dari Abu Ishaq, Sa'ad bin Abi Waqqash, Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai Al-Qurasyi Az-Zuhri radhiyallahu 'anhu -beliau adalah salah satu dari sepuluh orang radhiyallahu 'anhuma yang diberi kesaksian akan masuk surga-, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam datang kepadaku untuk menjengukku pada tahun Haji Wada' karena sakit berat yang menimpa diriku, lalu saya berkata, 'Ya Rasulullah! Sesungguhnya sakit yang ada pada diriku telah mencapai keadaan yang engkau ketahui, sedangkan saya seorang yang berharta dan tidak ada yang mewarisi hartaku melainkan seorang puteriku saja. Oleh karena itu, apakah boleh jika saya menyedekahkan dua pertiga hartaku?' Beliau menjawab, 'Jangan.' Saya berkata lagi, 'Jika separuhnya, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Jangan juga.' Saya melanjutkan, 'Sepertiga, bagaimana wahai Rasulullah?'
Beliau lalu bersabda, 'Ya, baiklah. Sebenarnya sepertiga itu sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya harta, maka itu adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta pada orang lain. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan mendapatkan pahalanya sekalipun makanan yang engkau berikan ke dalam mulut istrimu'."


Abu Ishaq melanjutkan riwayatnya, "Saya berkata lagi, 'Apakah saya ditinggalkan (di Mekkah) setelah kepulangan shahabat-shahabatku itu?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya engkau tidak akan tertinggal. Kemudian apabila engkau melakukan suatu amal kebaikan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan derajat dan kedudukanmu akan bertambah. Barangkali sekalipun engkau ditinggalkan, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat mengambil kemanfaatan darimu dan ada kaum lainnya yang mendapat mudarat lantaran dirimu. Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk shahabat-shahabatku dalam hijrah mereka itu, dan janganlah Engkau balikkan mereka pada tumit-tumit mereka (murtad). Akan tetapi, yang miskin lagi rugi itu ialah Sa'ad bin Khaulah'."
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Mekkah.
[Muttafaqun 'alaih]
[Shahih: Al-Bukhari (1295); Muslim (1628)].


Penjelasan dan intisari hadits:


1. Disyari'atkan menjenguk orang sakit.

2. Kewajiban infak terhadap orang yang menjadi tanggungannya untuk dinafkahi. Motivasi untuk berbuat ikhlas dalam melakukan hal tersebut.

3. Orang yang meninggalkan sedikit harta, maka sebaiknya ia tidak melakukan wasiat dan menyisakan hartanya untuk para ahli warisnya. Sedangkan orang yang meninggalkan harta yang banyak, maka ia boleh melakukan wasiat sepertiga hartanya atau kurang dari itu.


Wallahu a'lam.


7/7.
Dari Abu Hurairah, Abdur Rahman bin Shakhr radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh-tubuh kalian dan tidak pula kepada bentuk rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian."
[HR. Muslim]
[Shahih: Muslim (2564); Ibnu Majah (4143)].


Penjelasan hadits:


Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memperhatikan akan kondisi hati dan sifat-sifatnya, meluruskan tujuan hati, dan membersihkannya dari setiap sifat tercela, karena perbuatan hati itulah yang meluruskan amal perbuatan yang bersifat syar'i. Kesempurnaan hal ini dengan melakukan muraqabah kepada Allah 'Aza wa Jalla (merasa selalu diawasi oleh Allah).


8/8.
Dari Abu Musa, Abdullah bin Qais Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin menunjukkan keberanian, ada lagi yang berperang karena kesombongan, dan ada pula yang berperang karena riya'. Manakah diantara semua itu yang termasuk berperang fisabilillah? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Barangsiapa yang berperang dengan tujuan agar kalimat Allah menjadi luhur, maka itulah perang fisabilillah'."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari (123, 281); Muslim (1904)].


Penjelasan hadits:


Ibnu Abbas berkata, "Yang dimaksud kalimat Allah ialah La Ilaha Illallah."


Intisari hadits:


1. Setiap amalan akan dihitung kebaikan jika diniatkan untuk kebaikan.

2. Celaan terhadap sikap rakus kepada dunia dan berperang demi kepentingan pribadi, bukan didasari ketaatan.

3. Keutamaan jihad akan diberikan kepada para mujahid yang meniatkan berperang untuk membela agama Allah.


Ibnu Abu Jamrah menjelaskan, "Apabila motivasi utama ialah bermaksud meninggikan kalimat Allah, maka niatan lebih dari itu tidak ada masalah."


Al-Hafizh berkata, "Perang dapat terjadi dikarenakan lima faktor, yaitu mencari harta rampasan, memperlihatkan keberanian, riya', sombong, dan marah. Masing-masing dari semua itu ada yang tercela dan ada yang terpuji. Oleh karena itu, tidak dapat dijawab dengan menetapkan atau meniadakan."


9/9.
Dari Abu Bakrah, Nufai' bin Haris As-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Apabila dua orang muslim berhadap-hadapan dengan membawa pedangnya masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh akan masuk neraka." Saya bertanya, "Ini yang membunuh (sudah jelas), tetapi bagaimanakah dengan orang yang terbunuh?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Karena sesungguhnya orang yang terbunuh itu juga ingin sekali membunuh kawannya."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari (31, 6875, 7083); Muslim (2888)].


Penjelasan hadits:


Kandungan hadits ini ialah adanya siksa bagi orang yang berazam dan mempersiapkan diri untuk melakukan kemaksiatan.


10/10.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu  berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Shalatnya seorang lelaki dengan berjama'ah itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya dengan terpaut dua puluh sekian tingkat derajatnya. Hal ini karena apabila seseorang berwudhu dan melakukannya dengan baik, kemudian mendatangi masjid, tidak ada yang mendorongnya ke masjid melainkan untuk shalat dan tidak ada keinginan lain kecuali shalat, maka setiap kali ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali dinaikkan baginya satu derajat dan dilebur darinya satu kesalahan sampai ia masuk ke dalam masjid.
Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala sebagaimana dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia bertahan di dalam masjid, dan para malaikat mendo'akan salah seorang di antara kalian agar mendapatkan rahmat selama ia masih berada di tempat shalat. Para malaikat itu berdo'a, "Ya Allah, kasihanilah orang ini! Ya Allah, ampunilah dia! Ya Allah, terimalah taubatnya!" Hal ini berlangsung selama orang tersebut tidak berbuat buruk dan selama ia belum berhadats'."
[Muttafaqun 'alaih].
Lafal ini milik Imam Muslim.
[Shahih: Al-Bukhari (647); Muslim (272, 649)].


Kosakata asing:


'Yanhazuhu' artinya, mengeluarkannya dan menggerakkannya.
'Laa yuriidu illash sholata', maksudnya (menginginkan untuk) shalat berjama'ah. Di dalam kalimat ini terdapat isyarat agar memperhatikan keikhlasan.


Penjelasan hadits:


Hadits ini isyarat untuk (melakukan) sebab-sebab yang dapat mengangkat derajat, yaitu pada sabda Nabi, "Hal ini ketika ia berwudhu, melakukan wudhu dengan baik, kemudian ia berangkat ke masjid. Ia tidak keluar dari rumahnya melainkan untuk shalat. Maka, ia tidak melangkahkan kaki satu langkah melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu keburukan."


Hadits ini juga menunjukkan anjuran berkumpul dan tolong menolong dalam melakukan ketaatan, bersikap ramah terhadap para tetangga, berlepas diri dari sifat kemunafikan, dan buruk sangka.


Hadits ini menunjukkan bahwa para malaikat mendo'akan dan memintakan ampun untuknya dan untuk yang lainnya juga.


11/11.
Dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah 'Aza wa Jalla mencatat semua kebaikan dan keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut; barang siapa yang berkehendak mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka Allah yang Maha Suci dan Maha Tinggi mencatatnya sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, dan barang siapa berkehendak mengerjakan kebaikan kemudian jadi melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan di sisi-Nya hingga berlipat menjadi tujuh ratus kali lipat bahkan lebih, menjadi sangat banyak sekali.
Selanjutnya barang siapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian tidak jadi melakukannya, maka Allah 'Aza wa Jalla mencatatnya sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, dan barang siapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian jadi melakukannya, maka Allah 'Aza wa Jalla mencatatnya sebagai satu keburukan saja di sisi-Nya."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari (6491); Muslim (131)].


Penjelasan hadits:


Ini merupakan hadits yang mulia dan agung. Melalui hadits ini Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan kadar keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah 'Aza wa Jalla kepada para makhluk-Nya, yaitu melipatgandagakan kebajikan dan meminimalkan keburukan. Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya, setelah sabda Nabi, "Jika seseorang hendak melakukan keburukan, lalu ia melakukannya, maka Allah mencatatnya satu keburukan." Beliau menambahkan:


"Atau Allah akan menghapusnya. Tidak akan binasa atas Allah melainkan orang yang binasa."


Ibnu Mas'ud berkomentar, "Celakalah bagi orang yang hitungan satunya (keburukannya) dapat mengalahkan hitungan sepuluhnya (kebaikannya)."


Ulama mengatakan, "Sesungguhnya keburukan terkadang dapat menjadi besar disebabkan kemuliaan waktu dan tempat. Terkadang keburukan dilipatgandakan lantaran kemuliaan pelakunya dan sangat kuat pengetahuannya." Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla, "Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabya akan dilipatgandakan dua kali lipat, dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. Dan barang siapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan kebaikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua kali lipat dan Kami sediakan rizki yang mulia baginya."
(QS. Al-Ahzab: 30-31).


12/12.
Dari Abu Abdur Rahman, Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Ada tiga orang dari golongan umat sebelum kalian sedang bepergian hingga mereka terpaksa menginap di sebuah gua, kemudian mereka masuk ke dalamnya. Tiba-tiba sebongkah batu besar jatuh dari gunung lalu menutup mulut gua itu. Mereka berkata, 'Tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari batu besar ini melainkan jika kita berdo'a kepada Allah 'Aza wa Jalla dengan perantaraan amal salih kita.'
Lalu salah seorang dari mereka berdo'a, 'Ya Allah, saya mempunyai dua orang tua yang sudah tua renta dan lanjut usia. Saya tidak  pernah memberi minum kepada siapapun sebelum keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu hari, saya terlalu jauh mencari kayu bakar, sehingga mereka berdua sudah tidur sebelum saya pulang. Selanjutnya saya pun memerahkan susu sebagai minuman untuk keduanya, dan saya mendapati mereka berdua telah tidur. Saya enggan membangunkan mereka dan saya enggan memberikan minuman itu kepada orang lain sebelum mereka berdua, baik pada keluarga atau hamba sahaya.
Saya tetap berdiam. Sementara gelas minuman masih di tangan saya. Saya menunggu mereka bangun sampai fajar menyingsing dan anak-anak menangis di dekat tumit saya karena lapar. Setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman mereka. Ya Allah, jika saya mengerjakan yang demikian itu dengan niat benar-benar mengharapkan ridha-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami hadapi dari batu besar yang menutup ini.'
Maka batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka masih belum bisa keluar dari gua.
Yang lain berdo'a, 'Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang sepupu perempuan. Ia merupakan orang yang paling kucintai -di dalam sebuah riwayat lain disebutkan. 'Saya mencintainya sebagaimana orang-orang lelaki sangat mencintai perempuan'- kemudian saya merayunya, tetapi ia menolak keinginanku. Hingga ia mengalami paceklik ia mendatangiku, lalu saya memberikan seratus dua puluh dinar padanya dengan syarat ia mau berduaan denganku di tempat sepi. Ia pun mau melakukannya. Sehingga, setelah saya dapat menguasai dirinya -dalam sebuah riwayat lain disebutkan, 'Setelah saya dapat duduk di antara kedua kakinya- ia berkata, 'Takutlah kepada Allah dan janganlah engkau merenggut kesucianku melainkan dengan haknya.' Lantas saya berpaling darinya, padahal ia adalah perempuan yang paling kucintai, dan saya biarkan emas yang telah saya berikan untuknya. Ya Allah, jikalau saya melakukan hal ini dengan niat untuk mengharapkan ridha-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami hadapi ini.'
Lantas batu besar itu kemudian terbuka lagi, namun mereka masih juga belum bisa keluar dari gua.
Orang yang ketiga berdo'a, 'Ya Allah, saya mengupah beberapa buruh dan semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia meninggalkan upahnya dan pergi. Upahnya itu saya kembangkan sehingga nilainya bertambah banyak. Pada suatu waktu ia mendatangi saya, kemudian ia berkata, 'Hai hamba Allah, tolong berikan upahku yang dulu itu.' Saya berkata, 'Semua yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa unta, sapi, kambing, dan hamba sahaya.' Ia berkata, 'Hai hamba Allah, janganlah engkau bercanda denganku.' Saya menjawab, 'Saya tidak bercanda.' Kemudian orang itu pun mengambil segala yang dimilikinya. Semuanya digiring dan tidak seekor pun ia tinggalkan. Ya Allah, jika apa yang saya lakukan ini dengan niat mengharapkan ridha-Mu, maka lapangkanlah kami dari kesukaran yang sedang kami hadapi ini.'
Batu besar itu lalu membuka lagi dan mereka pun dapat keluar dari gua itu'."
[HR. Al-Bukhari dan Muslim].
[Shahih: Al-Bukhari (2215, 2272, 2333, 3465, 5974); Muslim (2743)].


Penjelasan dan intisari hadits:


1. Keutamaan ikhlas dalam beramal dan ikhlas dapat memudahkan pelakunya saat menghadapi kesulitan.

2. Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua serta melayani keduanya, dan lebih mendahulukan keduanya dari pada anak dan keluarganya sekaligus rela menanggung beban lantaran kedua orang tua.

3. Menjaga dan menahan diri dari perbuatan yang haram semaksimal mungkin.

4. Keutamaan menepati janji dan menjaga amanat serta bersikap toleran dalam bertransaksi.


Wallahu Ta'ala a'lam.
Wassalamu'alaykum wa rahmatullah wa barakatuh.


Sumber:

Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN' - Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takrij: Syaikh Nasiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.

Penerbit: Ummul Qura - Jkt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar