Assalamu'alaykum wa
Rahmatullah wa Barakaatuh..
Bismillaah..
Segala puji hanya milik Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan
kepada-Nya, kita memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari
kejelekan-kejelekan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa
yang diberi hidayah oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang
dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla
maka tidak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya.
Aku bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah dengan haq
(benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla
saja, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah
hamba-Nya dan Rasul-Nya.
"Yaa ayyuhalladziina aaamanut taqullah haqqo tuqootihi wala
tamutunna illa wa antum muslimun."
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam
keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).
"Yaa ayyuhannasut taqu robbakumulladzii kholaqokum min nafsin wa
hidah wa kholaqo minha dzaujaha wa batstsa minhuma rijaalan katsiiron wa nisaa
a wattaqullahalladzii tasaa alunnabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaykum
roqiiba."
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah
menciptakan kalian dari diri yang satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya
dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).
"Yaa ayyuhalladziina aaamanut taqullaha wa qulu qaulan sadida
yushlih lakum a'maalakum wa yaghfirlakum dzunubakum wa mayyuti 'illaha wa
rasulahu faqod faaza fauzan 'adzhiima."
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan
katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi
kalian amal-amal kalian dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).
Amma ba'du: Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah
Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan
sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan,
dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan
setiap kesesatan ada di neraka.
Wa ba'du: sesungguhnya, salah satu ujian terbesar umat Islam
dewasa ini adalah permasalahan "Bid'ah"
(sesuatu yang diada-adakan dalam urusan agama), bahkan hal ini telah menyebar
ke berbagai negara Islam. Jarang sekali kita jumpai suatu tempat yang disitu
terlepas dari masalah bid'ah dan sangat sedikit manusia yang selamat darinya.
Perkara bid'ah merupakan masalah yang besar, sangat berbahaya, dan bisa
menjerumuskannya kepada kekufuran. Pelaku bid'ah telah mencabut hukum Allah [Al
Bid'atu Asbabuha wa Mudlooruha; oleh Mahmud Syaltut, hal. 45], karena itu dia
tidak mau berusaha untuk bertaubat (tidak diberi pertolongan untuk bertaubat).
Telah berkata Abdullah bin Abbas: "Sesungguhnya diantara
perkara-perkara yang paling dibenci di sisi Allah adalah bid'ah."
[Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/316)].
Berkata Sufyan Ats Tsauri [Dikeluarkan oleh Al Lalika'l
(1/133) dan Abu Na'im dalam Al Hilyah (7/26) dan Baghowi dalam Syarhussunnah
(1/216)]: "Bid'ah itu lebih disukai oleh iblis daripada kemaksiatan, pelaku
maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku bid'ah
tidak ada keinginan untuk bertaubat dari kebid'ahannya"
[Karena pelaku bid'ah mengira perbuatannya baik, dan dengan
perbuatan bid'ah itu dia bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang
Maha Mulia dan Maha Tinggi. Oleh karena itu pelaku bid'ah tidak pernah berfikir
untuk bertaubat kepada Allah dari perbuatannya bahkan dengan kebid'ahannya
tersebut ia mengharapkan pahala. Sebagaimana firman Allah Ta'ala: 'Maka apakah orang yang dijadikan (syaithon) menganggap baik
pekerjaannya yang buruk meyakini pekerjaannya itu baik, (sama dengan orang yang
tidak ditipu oleh syaithon)?’ (QS. Faathir: 8)].
Berbeda dengan orang yang berbuat maksiat, ia merasa sedikit
amalannya dan jelek perbuatannya, sehingga jika datang nasihat padanya segera
ia akan bertaubat. Akan tetapi keduanya, pelaku bid'ah dan maksiat, apabila mau
bertaubat, sesungguhnya Allah 'Aza wa
Jalla Maha Mengampuni dosa dan menerima taubat hamba-Nya dan memaafkan
kejelekan-kejelekannya. Kita mohon kepada Allah 'Aza wa Jalla keselamatan, 'afiyah, taufiq dan hidayah-Nya.
Sesungguhnya, Dalil-dalil
Menjelaskan Bahwasanya Semua Bid'ah Adalah Sayyiah (Tercela), Tidak Ada Hasan
(Baik) Sedikitpun Padanya.
Dalil ke 1:
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agama
bagimu."
[QS. Al Maidah: 3].
Telah berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah:
"Barangsiapa mengada-adakan di dalam Islam suatu kebid'ahan yang
dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad
Shallallahu 'alaihi wasalllam mengkhianati risalah, karena Allah Ta'ala telah
berfirman (yang artinya): "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu
menjadi agama bagimu." Maka sesungguhnya yang tidak menjadi agama pada
hari itu, tidak menjadi agama pula pada hari ini."
[Al I'tishom, Imam Asy Syatibi 1/64].
Berkata Asy Syaukani rahimahullah:
"Maka,
sungguh apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama-Nya
sebelum mewafatkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, bagaimana
dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah Ta'ala menyempurnakan
agama-Nya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan
agama menurut keyakinan mereka, berarti belum sempurna agama ini kecuali dengan
pendapat mereka, ini berarti mereka telah menolak Al-Qur'an. Dan jika apa yang
mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya
menyibukkan diri dengan sesutu yang bukan dari urusan agama?”
Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak
mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya
selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini (QS. Al Maidah: 3) sebagai
hujjah yang pertama kali memukul wajah ra'yi
(orang yang mengandalkan akalnya) dan menusuk hidung-hidung mereka dan
mematahkan hujjah mereka.
[Al Qoutul Mufid fi Adillati Al Ijtihad wa At Taqlid;
hal.38; Dimni Ar Rosaail As Salafiyyah; terbitan Darul Kutub].
Dalil ke 2:
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhuma -semoga Allah Ta'ala meridhoi keduanya-, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khutbahnya: ‘Amma ba'du,
sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat’."
[HR. Muslim no. 867].
Dalil ke 3:
Dari Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu'anhu,
ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi nasihat kepada
kami yang membuat hati kami bergetar dan berlinangan air mata (karena terharu).
Seseorang dari kami berkata: 'Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat
perpisahan, maka berilah kami wasiat.' Maka beliau bersabda: 'Aku wasiatkan
kepada kamu sekalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan
senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang
budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) diantara kalian niscaya dia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang diberi petunjuk (yang
datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah
perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama). Karena
sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat."
[Dikeluarkan oleh Ahmad (4/126); Abu Dawud (4607); Tirmidzi
(2676) beliau mengatakan Hasan Shahih; Ibnu Majah (44); Ad Darimi (1/44-45);
berkata Al-Bazzar, "Hadits ini Tsabit Shohih"; demikian pula
perkataan Ibnu Abdil Baar (sebagaimana Al Bazzar) dalam kitab Jaami'ul Bayan Al
Ilmi hal. 549].
Telah berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
"Sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Kullu bid'atin dholalah' (semua
bid'ah adalah sesat) merupakan kata (qoidah) yang menyeluruh, dan tidak ada
pengecualian sedikitpun (dengan mengatakan, 'Ada Bid'ah Hasanah') dan merupakan
dasar yang agung dari dasar-dasar agama."
[Jaami'ul Bayan Al Ilmi hal. 549].
Telah berkata Ibnu Hajar rahimahullah:
“Sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: 'Kullu bid'atin dholalah' (semua bid'ah
adalah sesat) qoidah syar'iyyah yang menyeluruh baik lafadz maupun maknanya.”
[Fathul Baary 13/254].
Berkata Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah: "Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam: 'Kullu bid'atin' (semua bid'ah) maknanya menyeluruh, umum, mencakup
dan didukung dengan kata yang kuat, mencakup dan umum pula yaitu lafadz 'Kullu'
(semua)” [Al Ibda fi Kamali asy Syar'i wa Khothiri Al Ibtida'-Ibnu
Utsaimin; hal. 13]. Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai 'bid'ah
hasanah', jawabannya adalah dengan kata tersebut diatas, sehingga tidak ada
pintu masuk bagi ahlul Bid'ah untuk menjadikan bid'ah mereka sebagai 'Bid'ah Hasanah'. Dan ditangan kami ada
pedang yang sangat tajam dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam yakni: 'Kullu bid'atin dholalah'. Pedang
yang sangat tajam ini dibuat diatas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di
atas sesuatu yang goyah. Dan bentuk (kalimat yang digunakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) ini sangat
jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan
mengatakan adanya 'Bid'ah Hasanah', sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Kullu bid'atin dholalah'
(Semua bid'ah adalah sesat).
Dalil ke 4:
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha,
ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
'Barangsiapa yang mengada-adakan (Sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kami
ini, apa-apa yang tidak ada darinya (tidak kami perintahkan) maka ia
tertolak'."
[Shahih Bukhari (2697); Shahih Muslim (1718)].
Berkata As-Syaukani rahimahullah:
"Hadits
ini termasuk qoidah-qoidah agama, karena termuat didalamnya banyak hukum yang
tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqih
yang berpendapat bahwa bid'ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan
penolakan mereka secara khusus tentang sebagian didalamnya, sementara tidak ada
pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil Aqli maupun Naqli (Dari
Al-Qur'an maupun Al-Hadits).”
[Nailul Author (2/69)].
Dalam riwayat Muslim: "Barangsiapa yang melakukan suatu
amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka dia tertolak."
Hadits ini merupakan neraca bagi amal lahiriyah. Bahwasanya
sebuah amal tidak dianggap melainkan sejalan dengan syari'at. Sebagaimana
hadits (Innamal a'malu binniyyati) merupakan pokok bagi amal bathin. Bahwasanya
semua amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Aza wa Jalla harus dilakukan dengan
ikhlas kepada Allah ‘Aza wa Jalla dan
pelakunya harus menghayati niatnya.
Jika ibadah-ibadah seperti wudhu', mandi junub, shalat dan
lainnya dilakukan dengan tata cara yang menyelisihi syari'at maka semuanya
tidak diterima dari pelakunya dan tidak dianggap (sah). Sesungguhnya sesuatu
yang diambil dengan akad yang rusak harus dikembalikan kepada pemiliknya dan
tidak bisa dimiliki (oleh pihak kedua). Hal ini ditunjukkan oleh kisah seorang
pekerja di mana Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam berkata kepada ayahnya (pekerja tersebut):
"Adapun budak wanita dan kambing-kambing itu dikembalikan
kepadamu."
(HR. Bukhari [2695] dan Muslim [1697]).
Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang membuat sebuah
bid'ah yang tidak memiliki asal dalam syari'at maka hal tersebut tertolak, dan
pelakunya mendapatkan ancaman. Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda tentang kota Madinah:
"Barangsiapa yang membuat perkara baru di dalamnya atau melindungi
orang yang membuat perkara baru, maka dia mendapatkan laknat dari Allah dan
para malaikat serta manusia semuanya."
(HR. Bukhari [1870] dan Muslim [1366].
Riwayat kedua yang dikeluarkan oleh Muslim lebih umum dari
pada riwayat pertama yang sama-sama dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Sebab
riwayat pertama tersebut mencakup orang yang melakukan bid'ah, baik dia sendiri
yang mengada-adakannya atau ada orang lain sebelumnya yang mengada-adakannya
dan dia mengikutinya.
Makna (radd) dalam hadits ini adalah (mardud
'alaih). Ini salah satu bentuk penggunaan mashdar untuk makna isim
maf'ul [Radd adalah mashdar (kata dasar) yang artinya penolakan.
Sedangkan Mardud 'alaih adalah isim maf'ul (obyek) yang artinya
ditolak].
Tidak tercakup oleh hadits ini apa-apa yang menjadi maslahat
untuk menjaga agama, atau menjadi media untuk memahami dan mengenal agama.
Seperti mengumpulkan Al-Qur'an dalam mushaf, menyusun ilmu bahasa dan nahwu,
dan lainnya.
Hadits ini secara mutlak menunjukkan bahwa semua amal yang
menyelisihi syari'at adalah tertolak, meskipun tujuan pelakunya baik. Ini
diisyaratkan oleh kisah seorang shahabat yang menyembelih hewan kurbannya
sebelum shalat Ied. Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam berkata padanya:
"(Daging) kambingmu adalah daging biasa."
(HR. Bukhari [955] dan Muslim [1961]).
Konteks hadits ini menunjukkan bahwa semua amal yang tidak
didasari oleh syari'at adalah tertolak. Kemudian makna tersirat hadits ini menunjukkan
bahwa setiap amal yang berdasarkan perintah syari'at tidaklah tertolak. Artinya
barangsiapa yang amalnya berjalan dibawah hukum-hukum syari'at dan selaras
dengannya maka amal tersebut diterima. Sebaliknya barangsiapa yang keluar dari
itu maka amalnya tertolak.
Dalil ke 5:
Dari Abdillah bin 'Ukaim, bahwasanya Umar radhiyallahu'anhu berkata: "Sesungguhnya
sebenar-benar perkataan adalah perkataan Allah Ta'ala, dan sesungguhnya
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan
seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan ketahuilah sesungguhnya
setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan
setiap kesesatan ada di neraka."
[Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhoh dalam Al Bida'l; hal. 13 dan
Al Lallika'l hadits ke 100 (1/84)].
Dalil ke 6:
Berkata Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu: "Ittiba'lah (mengikutilah), dan
janganlah kalian berbuat bid'ah, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua
bid'ah adalah sesat."
[Dikeluarkan oleh Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah hadits no.
175 (1/327, 328) dan Al Lallika'l hadits no. 104 (1/86)].
Dalil ke 7:
Berkata Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhuma: "Semua bid'ah adalah sesat, walaupun
manusia melihatnya baik."
[Dikeluarkan oleh Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah hadits
no.205 (1/339) dan Al Lallika'l hadits no. 126 (1/92)].
Beberapa Subhat
(Kesamaran) Orang Yang Menganggap Adanya Bid'ah Hasanah, dan Jawaban
Terhadapnya.
I. Subhat Pertama.
Pemahaman mereka (orang-orang yang menganggap adanya 'Bid'ah Hasanah') terhadap hadits:
"Barangsiapa yang mengerjakan (dan menganjurkan) dalam Islam
Sunnah yang baik, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan
(sebab anjuran tersebut) setelahnya tanpa menurangi pahala mereka sedikitpun.
Dan barangsiapa yang mengerjakan (dan menganjurkan) dalam Islam sunnah yang
jelek maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengerjakan (sebab anjuran
tersebut) setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun."
[Dikeluarkan oleh Muslim (hadits no. 1017)].
Jawaban Terhadap Subhat Ini:
Pertama
Bahwasanya makna 'man
sana' (pada hadits diatas) ialah: mengerjakan amal dalam rangka
melaksanakan atau mengikuti, bukan mengerjakan amal dengan membuat syari'at baru (yang baru). Adapun maksud
hadits tersebut adalah beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam
sunnah Nabawi. Sebab datangnya hadits ini (asbabul wurudnya) menunjukkan
benarnya hal itu (bahwa yang dimaksud memang demikian), yaitu tentang shodaqoh
yang telah disyari'atkan.
[Yakni hadits dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah pada kami, maka beliau Shallallahu
'alaihi wasallam memberi motivasi (semangat) pada manusia untuk bershodaqoh,
akan tetapi para shahabat berlambat-lambat (tidak bersegera) sehingga nampak
pada wajah Rasulullah kemarahan. Kemudian datang seorang dari kaum Anshor
dengan membawa kantung berisi uang (untuk bershodaqoh), maka shahabat yang lain
pada waktu itu mengikutinya, sehingga kelihatan wajah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam senang dan beliau bersabda (yang artinya): ‘Barangsiapa yang
mengerjakan (dan menganjurkan) dalam Islam sunnah yang baik..’.” (hadits
tersebut). Ini adalah lafadz Ad Darimi hal. 514 (1/141) dan di riwayat
Muslim lebih panjang lagi].
Kedua
Bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: (Min sanna
fiil islaami sunnatan hasanah) "Barangsiapa yang mengerjakan dalam
Islam sunnah yang baik...", sementara beliau juga bersabda: (Kullu
bid'atin dholalah) "Semua bid'ah adalah sesat”), maka
tidaklah mungkin muncul dari yang benar dan dibenarkan (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) perkataan
yang satu mendustakan perkataan yang lain. Dan tidak mungkin pula perkataan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bertentangan selama-lamanya.
[Al Ibda' fi Kamali Asy Syar'l wa Khothiri Al Ibtida', Ibnu
Utsaimin, hal. 19].
Ketiga
Bahwasanya, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: (Man sanna sunnatan) "Barangsiapa
mengerjakan sunnah", beliau tidak bersabda: "Barangsiapa yang
berbuat bid'ah", dan beliau juga bersabda: (fiil islaami) "Dalam
Islam", sedangkan bid'ah
bukanlah perbuatan dari Islam, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: (hasanah) "Yang
baik", padahal bid'ah bukan termasuk kebaikan [Al Ibda fi Kamali
Asy Syar'l wa Khothiri Al Ibtida', Ibnu Utsaimin, hal. 20], maka jelaslah
perbedaan antara sunnah dengan bid'ah, karena sunnah adalah jalan dalam rangka
ittiba' (mengikuti) sedangkan bid'ah adalah mengada-adakan hal yang baru di
dalam masalah agama.
Keempat
Tidaklah pernah ada, seorangpun dari ulama salaf yang
menafsirkan (Sunnatul hasanah) 'Sunnah yang baik' dengan bid'ah yang
diada-adakan oleh manusia yang datangnya dari diri mereka sendiri.
Kelima
Bahwasanya makna (Man
sanna) adalah orang yang menghidup-hidupkan sunnah yang sudah ada, yaitu
ketika sunnah itu ditinggalkan, kemudian menghidupkan kembali. Maka kata (insanna) itu disandarkan tertentu, yakni
bagi orang yang menghidupkan sunnah ketika itu ditinggalkan. Suatu hadits yang
menunjukkan hal ini adalah:
"Barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku kemudian
manusia mengamalkannya, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengamalkan
sunnah tersebut tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang
mengada-adakan suatu kebid'ahan kemudian dikerjakan (bid'ah itu), maka dia
mendapatkan dosa orang yang mengamalkan bid'ah tersebut tanpa mengurangi
sedikitpun dosa orang yang mengamalkan bid'ah itu.”
[Sunnan Ibnu Majah, hadits no. 204]
Keenam
Bahwasanya perkataan (Man sanna sunnatan hasanah) "Barangsiapa
yang mengerjakan sunnah yang baik...", dan (Man sanna sunnatan sayyiah)
"Barangsiapa yang mengerjakan sunnah yang buruk...", pada
dasarnya tidaklah mungkin mengandung pengertian "Mengada-ada", karena
adanya (Hasanah) 'Baik' dan (Sayyiah) 'Buruk' hanya
bisa diketahui melalui syari'at. Maka lazimnya, adanya "Sunnah" dalam hadits tersebut, yang
baik menurut syari'at, dan yang buruk/jelek menurut syari'at pula. Sehingga,
seseorang tidak bershodaqoh melainkan dengan mencontoh shodaqoh yang telah
diterangkan/dicontohkan, demikian pula dengan sunnah-sunnah lain yang
disyari'atkan.
Maka, sunnah yang jelek merupakan suatu bentuk kemaksiatan
yang memang telah ditetapkan oleh syari'at bahwa hal tersebut adalah maksiat.
Seperti, peristiwa pembunuhan masyhur oleh anak Nabi Adam 'Alaihissalaam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: (..annahu awwalu man sannalqotla)
"Karena dia (Qobil) adalah yang pertama kali mengadakan pembunuhan..."
[Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, hadits no. 3335]. Hal ini termasuk bid'ah,
karena sudah ditetapkan dalam syari'at tercelanya dan larangan (melakukan)
pembunuhan [Lihat Al l'tishom oleh Imam Syatibi Jilid I, hal. 236].
II. Subhat Kedua.
Pemahaman mereka (orang yang menganggap adanya bid'ah
hasanah) terhadap perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu: (Ni'mal bid'atin hadzihi...) "Nikmatnya
bid'ah adalah ini..."
[Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, hadits no. 2010].
Jawaban Terhadap Subhat Ini:
Pertama
Seandainya kita ingin berdiskusi tentang benarnya dalil ini
seperti yang mereka inginkan dengan dalil itu adalah 'Bid'ah Hasanah', maka jelas hal ini tidak bisa diterima, karena
tidak boleh perkataan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bertentangan dengan perkataan semua manusia yang ada,
termasuk Abu Bakar radhiyallahu'anhu
yang beliau adalah manusia paling utama pada umat ini setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Bukan juga
perkataan Umar radhiyallahu'anhu,
orang kedua yang paling utama setelah Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam, dan tidak pula perkataan orang selain keduanya. Telah
berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu'anhu:
"Dikhawatirkan
akan turun atas kalian batu dari langit, saya berkata: 'Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda', sementara kalian mengatakan 'Berkata Abu Bakar dan Umar'."
Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:
(Laa ro' ya ahadin ma'a sunnatin sannahaa rosuulullah) "Tidak
ada pendapat seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjalaninya."
[l'lamul muwaqi'in (2/282)].
Berkata Imam Syafi'i rahimahullah:
"Telah sepakat kaum muslimin bahwasannya: 'Barangsiapa yang telah
mendapat penjelasan tentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
maka tidak halal baginya meninggalkannya disebabkan perkataan seseorang'."
[l'lamul muwaqi'in (2/282)].
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
(Man rodda haditsan nabiyyi Shallallahu 'alaihi wasallam fahuwa 'ala
syafaa halakah) "Barangsiapa yang menolak suatu hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia berada di pinggir jurang
kehancuran."
[Thobaqot Al Hanabilah (2/15); Al Ibanah (1/260)].
Kedua
Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu mengatakan: (Ni'mal bid'atin hadzihi) "Nikmatnya
bid'ah adalah ini" kalimat ini ketika beliau mengumpulkan manusia
untuk mengerjakan sholat tarawih, sementara sholat tarawih (dengan berjama'ah)
itu sendiri bukanlah bid'ah, akan tetapi termasuk sunnah yang nyata dengan
dalil yang diriwayatkan oleh 'Aisyah radhiyallahu'anha:
"Bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sholat pada
suatu malam di masjid, maka sholatlah manusia (para shahabat) dengan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian
sholatlah dari suatu kabilah, maka semakin banyaklah manusia, kemudian mereka
berkumpul pada malam yang ketiga, atau keempat, maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam tidak keluar pada mereka. Ketika subuh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: 'Sungguh aku telah melihat apa yang kalian kerjakan,
dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar pada kalian melainkan karena
aku takut hal tersebut diwajibkan atas kalian.' Hal itu terjadi pada bulan
Ramadhan."
[Dikeluarkan oleh Bukhari hadits no. 1129].
Maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menetapkan untuk meninggalkan sholat tarawih berjama'ah,
dengan sebab (dikhawatirkan dianggap wajib oleh para shahabat).
Ketika Umar radhiyallahu'anhu
melihat illat (sebab) itu hilang, kembalilah ia mengerjakan sholat tarawih
dengan berjama'ah. Sehingga apa yang dikerjakan oleh Umar radhiyallahu'anhu ini jelas ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketiga
Jika sudah jelas bahwa yang dikerjakan oleh Umar radhiyallahu'anhu ini bukan termasuk
bid'ah, maka apakah makna 'bid'atu'
dalam perkataan beliau radhiyallahu'anhu..??
Sesungguhnya yang dimaksud bid'ah dalam perkataan Umar radhiyallahu'anhu adalah makna bid'ah
secara bahasa, bukan secara syar'i. Adapun bid'ah menurut bahasa adalah 'Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh
sebelumnya.'
[Lihat 'Lisanul' 'Arabi 8/6].
Ketika sholat tarawih dengan berjama'ah ini tidak dikerjakan
pada masa Abu Bakar dan pada awal masa Umar radhiyallahu'anhu,
maka bid'ah di sini adalah bidah menurut bahasa. Maksudnya tidak ada contoh
yang mendahuluinya. Sedangkan menurut syar'i jelas bukan, karena sholat ini ada
asalnya, yaitu dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:
"Barangsiapa yang menamakan bid'ah dengan ibarat ini, maka tidak
ada masalah dalam hal penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil
untuk mendukung adanya bid'ah yang sedang kita bicarakan (bid'ah hasanah).
Karena hal tersebut merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang
semestinya."
[Al l'tishom 1/2520].
Berikut ini, sebagian pendapat para Imam sebagai bukti
apa-apa yang telah disebutkan diatas:
1. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
"Kebanyakan orang, menggunakan perkataan Umar radhiyallahu'anhu:
'ni'mal bid'atin hadzihi' (nikmatnya bid'ah adalah ini) sebagai dalil untuk
mendukung adanya bid'ah hasanah. Padahal 'bid'ah' disini adalah
penamaan/penyebutan secara bahasa (lughowi) bukan penamaan/penyebutan secara
syar'i. Karena, arti bid'ah menurut bahasa mencakup semua yang dikerjakan tanpa
adanya contoh yang mendahului. Adapun definisi bid'ah menurut syar'i adalah:
'Setiap apa-apa yang tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan atasnya."
['Iqtidlo Shirotol Mustaqim' hal. 276].
2. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:
"Bid'ah itu ada dua macam:
1). Adakalanya bid'ah itu secara syar'i sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Fa inna kullu muhdatsatin bid'ah wa kullu
bid'atin dholalah' (Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan
setiap bid'ah adalah sesat).
2). Adakalanya bid'ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan 'Amirul
Mukminin Umar bin khattab radhiyallahu'anhu tentang pengumpulan mereka untuk
melaksanakan sholat tarawih secara berjama'ah dan dilakukan demikian
seterusnya, yakni: 'Ni'mal bid'atin hadzihi' (Nikmatnya bid'ah adalah ini).”
[Tafsir Ibnu Katsir surat Al Baqarah: 117].
3. Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
"Adapun sesuatu yang terjadi dari perkataan salaf tentang adanya
sebagian bid'ah hasanah, yang dimaksud adalah bid'ah secara 'lughoh' bukan
menurut syar'i, seperti perkataan Umar radhiyallahu'anhu: 'Ni'mal bid'atin
hadzihi' (Nikmatnya bid'ah adalah ini)."
Maksudnya, perbuatan ini (Sholat tarawih berjama'ah secara
terus-menerus) tidak dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber
dari syar'i yang perbuatan itu kembali kepadanya.
['Jaami'ul 'Ulum wa Al Hikam, hadits no. 28].
4. Berkata Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah:
"Kalimat bid'ah mempunyai dua pengertian:
1). Pengertian secara lughoh (bahasa): yaitu sesuatu yang baru yang
tidak didahului oleh suatu contoh. Dengan makna ini maka benarlah perkataan mereka
bahwa bid'ah ini (Bid'ah secara lughoh) termasuk bagian hukum yang lima [Ada
sebagian ulama yang membagi bid'ah menjadi 5 bagian hukum yaitu bid'ah yang
haram, makruh, mubah, mandub, dan wajib], sebagaimana perkataan Umar
radhiyallahu'anhu ketika memerintahkan
manusia untuk melaksanakan sholat tarawih berjama'ah dengan satu imam, dengan
ucapan beliau: 'Nimal bid'atin hadzihi'.
2). Pengertian secara syar'i yaitu apa-apa yang tidak ada pada masa
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak ada perintah dien yang datang
atasnya seperti masalah aqidah, ibadah dan pengharaman sesuatu menurut agama,
sebagaimana dalam hadits: 'Fa inna kullu muhdatsatin bid'ah wa kullu bid'atin
dholalah' (Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah
adalah sesat). Sesuatu masalah agama yang tidak ada pada masa Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam adalah kesesatan. Karena Allah 'Aza wa Jalla telah
menyempurnakan agama dan Nikmat-Nya atas ciptaan-Nya. Maka tidak boleh
seorangpun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menambahkan dalam perkara
dien baik dalam masalah aqidah, syi'ar Islam, tidak pula mengurangi,menambah
maupun merubah sifat yang ada didalamnya. Seperti, merubah sholat jahriah (yang
bacaannya dikeraskan), menjadi sebaliknya. Juga tidak menjadikan sesuatu yang
mutlak menjadi sesuatu yang tertentu disebabkan waktu, tempat, kesepakatan
golongan tertentu maupun pendapat seseorang yang tidak datang dari Pembuat
Syari'at."
[Tafsir Al Manar Jilid 9 hal. 660 (Lihat 'Ilmu Ushuli
Bid'ah' oleh Ali Hasan, hal. 95)].
III. Subhat
Ketiga.
Pemahaman mereka terhadap atsar:
'Ma ro aahul muslimuuna hasanan fa huwa 'indallaaha hasanun'.
(Sesuatu yang dipandang kaum muslimin baik, maka di sisi Allah 'Aza wa
Jalla adalah baik).
[Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya Jilid I hal.
379].
Jawaban Terhadap Subhat Ini:
Pertama
Bahwasanya tidak benar atsar ini marfu' (sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam), akan tetapi atsar ini adalah
perkataan Abdullah bin Mas'ud dan berhenti atasnya.
Berkata Ibnul Qoyyim Al Jauziyah:
"Atsar ini bukanlah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam. Sesungguhnya mereka yang menyandarkan perkataan ini kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang tidak faham tentang hadits. Hanyalah
(atsar) ini tsabit dari perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu.”
[Al Furusiyyah, oleh Ibnul Qoyyim (2/245)].
Telah berkata Ibnu Abdil Hadi rahimahullah:
"Telah diriwayatkan secara marfu' dari Anas bin Malik dengan sanad
yang gugur, dan yang benar mauquf (berhenti) pada Ibnu Mas'ud.”
[Kasyfu Al Khufaai, oleh Al Ajluuni (2.245)].
Telah berkata Az Zaila'i rahimahullah:
"Asing kemarfu'annya, saya tidak mendapatinya kecuali mauquf
(berhenti) pada Ibnu Mas'ud."
[Nashburroyah (4/133)].
Syaikh Al Albani rahimahullah
mengatakan:
"Tidak ada asal baginya secara marfu (sampai kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam), hanya saja mauquf (berhenti) pada Ibnu
Mas'ud."
[As Silsilah Adloifah, hadits no. 533 (2.17)].
Kedua
Bahwasanya kata 'Al'
pada kata 'Almuslimuun' tersebut
adalah 'Lil ahdi' (hal yang dimaksud
adalah tertentu), yakni kembali pada shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, inilah yang dimaksud. Sebagaimana
yang ditunjukkan oleh sebuah atsar berikut, ketika (Ibnu Mas'ud) berkata:
"Allah melihat hati hamba-hamba-Nya, maka didapati hati Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam paling baik diantara yang lainnya. Maka Allah
memilih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk diri-Nya, Allah
mengutusnya dengan membawa Risalah-Nya. Kemudian melihat hati hamba-hamba-Nya
yang lain setelah hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, didapati hati
para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik dari hati
hamba-hamba yang lainnya. Maka Allah 'Aza wa Jalla menjadikan Nabi-Nya atas
mereka sebagai pemimpin berperang membela agama-Nya. Maka sesuatu yang dilihat
oleh kaum muslimin baik, berarti disisi Allah 'Aza wa Jalla adalah baik, dan
sesuatu yang mereka anggap jelek, maka hal itu di sisi Allah 'Aza wa Jalla
adalah jelek."
Ada tambahan pada sebagian riwayat: "Dan sungguh shahabat
semuanya telah sepakat mengangkat Abu Bakar radhiyallahu'anhu sebagai
Khalifah."
Maka dengan dalil yang jelas ini telah terang bahwa yang
dimaksud dengan 'Almuslimuun' pada
atsar ini adalah para ‘shahabat’.
Demikian pula (yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah para shahabat)
sebagaimana yang dikeluarkan oleh para Imam penulis kitab hadits, atsar ini ada
dalam kita 'As Shahabat', demikian
pula dalam kitab 'Al Mustadrok' oleh
Al Hakim [Al Mustadrok (3/78)], atsar ini juga dicantumkan dalam kitab 'Ma'rifatus Shahabat' tanpa menyebut
awalnya, akan tetapi disebutkan perkataannya (Ibnu Mas'ud) dengan 'Ma ro aahul muslimuuna hasanan' (Sesuatu yang dianggap kaum muslimin baik...).
Ini menunjukkan bahwa Abu Abdullah Al Hakim rahimahullah
memahami maksud kata 'Al muslimuun'
disini adalah para shahabat. Apabila permasalahannya demikian, maka telah
diketahui bahwa para shahabat yang Allah 'Aza
wa Jalla telah ridha pada mereka, sepakat atas tercela dan jeleknya semua
bid'ah. Dan tidak kita lihat salah seorang dari mereka (para shahabat) yang
menganggap baik dari bid'ah sedikitpun.
Ketiga
Ada yang berpendapat
'Al' di sini bukan 'Lil ahdi' (tertentu) tetapi 'Lil
istighroq' (secara umum): Maka
yang dimaksud adalah ijma', dan ijma' sendiri adalah hujjah.
Berkata Al Izz bin Abdus Salam:
"Jika benar hadits, maka yang dimaksud 'Almuslimuun' adalah Ahlul
Ijma'."
Wallahu a'lam.
[Al Mustadrok (3/78)].
Maka kami berkata kepada orang yang menjadikan atsar ini
sebagai dalil adanya bid'ah hasanah: "Apakah mungkin ada suatu bid'ah, jika
sementara kaum muslimin sepakat atas baiknya bid'ah itu?"
Sesungguhnya ini adalah mustahil dan tidak diragukan lagi
tidak akan ada bid'ah sementara kaum muslimin sepakat akan kebaikannya.
Sebaliknya diyakini bahwa qurun (generasi) pertama/shahabat telah ijma'
(sepakat) bahwa semua bid'ah adalah sesat, dan terus akan tetap seperti ini.
Segala puji hanya bagi Allah 'Aza wa
Jalla.
Keempat
Bagaimana bisa, perkataan seorang shahabat yang mulia ini
dijadikan dalil adanya suatu kebaikan dalam bid'ah, sementara beliau radhiyallahu'anhu adalah seorang
shahabat yang paling tegas mencegah dan memperingatkan (manusia) dari
kebid'ahan. Seperti yang telah dikatakan beliau radhiyallahu'anhu:
"Ittabi'uu wa laa tabtadi'uu faqod kufiitum wa kulla bid'atin
dholalah."
(Berittiba'lah kalian dan jangan membuat kebid'ahan, sungguh telah cukup
bagi kalian, dan semua bid'ah adalah sesat), dan banyak sekali
perkataan beliau dalam melarang kebid'ahan.
IV. Subhat
Keempat.
Dari Ghudloif bin Al Harits, ia berkata: "Diutus
kepadaku Abdul Malik bin Marwan, berkata (Abdul Malik bin Marwan): 'Wahai Aba
Asma', sesungguhnya kami telah mengumpulkan (menganjurkan) manusia pada dua
perkara.' Bertanya Aba Asma': 'Apa keduanya itu?' Menjawab (Abdul Malik bin
Marwan): 'Mengangkat kedua tanganku di atas mimbar pada hari Jum'at dan
bercerita setelah (sholat) Subuh dan Ashar.' Maka berkata Aba Asma': 'Adapun
keduanya itu, adalah bid'ah kalian yang
paling ringan menurutku. Tidaklah aku menyetujui sedikitpun dari keduanya.'
Bertanya (Abdul Malik bin Marwan): 'Kenapa?' Menjawab (Aba Asma'): 'Karena Nabi
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tidaklah suatu kaum
mengada-adakan kebid'ahan melainkan dicabut (diangkat) sunnah yang semisalnya.'
Maka berpegang teguh dengan sunnah adalah lebih baik daripada mengada-adakan (kebid'ahan)."
[Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/105)].
Jawaban Terhadap Subhat Ini:
Pertama
Hadits ini tidak kuat, akan tetapi dhaif pada sanadnya dengan dua illat/penyebab:
1. Sanadnya terdapat Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam,
dia ini dhaif (dilemahkan) oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Abu
Zur'ah, Abu Hatim, An Nasa'i dan Ad Daruqutni.
[Lihat Tahdzibul Kamal (33/108)].
Dan berkata Ibnu Hajar dalam At Taqrib:
"Dhaif".[At Taqrib no. (7973)].
2. Pada sanadnya ada Baqiyah bin Al Walif, dia ini perawi
mu'an-'an. Berkata Ibnu Hajar: "Dia (Baqiyah bin Al Walif) banyak
mentadlis, orang-orang yang lemah dan orang-orang majhul."
[Ta'rif Ahlu At Taqdis, hal. 121].
(Tadlis= menyembunyikan aib yang ada pada sanad, dan
menampakkan kebaikannya).['Tafsir Mustholah Al Hadits', Mahmud Tohan, hal. 74].
Ibnu Hajar telah menyebutkan Baqiyah bin Al Walif pada
derajat yang ke-4 dari kedudukan orang-orang mudallas. Mereka adalah orang yang
telah disepakati bahwa, tidak bisa diambil hujjah sedikitpun dari hadits
mereka, kecuali untuk menjelaskan bahwa mereka benar-benar mendengar, ini
disebabkan banyak tadlis mereka atas perawi yang lemah dan majhul.
Dan tadlis yang dilakukan oleh Baqiyah adalah paling
jeleknya bentuk tadlis, yaitu tadlis taswiyah [Seorang perawi meriwayatkan dari
Syaikhnya, kemudian menggugurkan perawi yang lemah diantara dua yang tsiqoh,
bertemulah antara 2 tsiqoh (yang lemah digugurkan), kemudian dianggap sama
semua sanad itu menjadi tsiqoh (dipercaya)]. Maka tidak diterima (riwayatnya)
kecuali ada penjelasan ia benar-benar mendengar dari sanad yang pertama sampai
sanad yang terakhir. Maka tidak cukup penjelasan, bahwa dia mendengar, (akan
tetapi) bisa jadi ia menyembunyikan (salah satu perawi) pada sisi yang lain
dari sanadnya, lalu bagaimana sementara dia sendiri adalah mu'an-'an?!
Kedua
Yang harus dibenarkan, bahwasanya telah diulang-ulang
peringatan tentang tidak bolehnya perkataan seorangpun manusia yang ada,
bertentangan dengan perkataan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ketiga
Bahwasanya Ghudloif bin Al Harits diperselisihkan tentang
ke-shahabatannya, sebagian mereka menggolongkan shahabat dan sebagian lain
menggolongkan tabi'in.
[Lihat 'Asadul Ghobah' (4/340); 'Siir A'laamu An Nubala''
(3/453); 'Al Ishobah (3/453)].
Keempat
Ghudloif bin Al Harits meninggalkan dan menolak bid'ah
tersebut seandainya bid'ah itu baik, tentunya dia akan mengambil
(melakukannya).
Kelima
Bahwasanya perkataan 'Amtsala
bida'ikum' (bid'ah kalian yang paling
ringan) adalah perkata yang nisbi, maksudnya dibanding dengan bid'ah-bid'ah
yang lain, lebih ringan kejelekannya dan lebih sedikit penyelewengannya.
Berkata Ibnu Hajar: "Apabila jawaban seorang shahabat (Ghudloif bin Al Harits) dalam
perkara yang ada asalnya dalam sunnah saja seperti ini, maka apakah sangkaan
orang terhadap kamu pada perkara-perkara dien yang tidak ada asalnya dalam
sunnah, dan bagaimana lagi dengan perkara-perkara yang dibawakan (sementara) ia
menyelisihi sunnah?!”
[Al Fath (13/253)].
Keenam
Ghudloif bin Al Harits mengambil dalil untuk meninggalkan
bid'ah ini dengan hadits:
"Maa ahdatsa qaumun bid'atan illaa rufi'a mitsluhaa
minassunnati."
(Tidak suatu kaum mengadakan suatu bid'ah, melainkan diangkat
(dihilangkan) sunnah yang semisalnya).
Seandainya ini adalah bid'ah hasanah (bid'ah yang baik),
maka tidak diangkat sunnah yang semisalnya, karena hilangnya sunnah merupakan
suatu hukuman (siksa) padahal pelaku kebaikan tidaklah disiksa.
V. Subhat Kelima
(Pemahaman mereka terhadap) perkataan Imam Syafi'i rahimahullah:
"Bid'ah itu ada dua macam: Bid'ah Mahmudah (Terpuji) dan Bid'ah
Madzmumah (Tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji,
dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela."
[Hilyatu Al Auliya' (9/113)].
Dan berkata pula Imam Safi'i rahimahullah:
"Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang
diada-adakan menyelisihi Kitab (Al Qur'an) atau Sunnah, atau atsar, atau ijma',
maka ini adalah bid'ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan
yang sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela."
['Manaqibu Asy Syafi'i', oleh Al Baihaqi (1/469) dan 'Al
Ba'its, oleh Abi Syamah hal.94].
Jawaban Terhadap Subhat Ini:
Pertama
Tidak boleh perkataan semua manusia yang ada, bertentangan
dengan perkataan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam. Perkataan Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam menjadi hujjah bagi setiap orang, dan bukanlah perkataan
seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Telah berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu'anhu: "Tidaklah seseorang selain Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan
ditinggalkan."
Kedua
Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam
Syafi'i rahimahullah tersebut, maka
tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i rahimahullah dengan 'Bid'ah
Mahmudah' (Terpuji) adalah
pengertian bid'ah secara Lughoh (Bahasa), bukan secara syar'i, dengan
dalil: Bahwasanya semua yang bid'ah menurut syari'at adalah menyelisihi Kitab
(Al-Qur'an) dan Sunnah. Dan Imam Syafi'i rahimahullah
memberi batasan bid'ah yang terpuji, yaitu yang tidak bertentangan/menyelisihi
Kitab dan Sunnah. Padahal, bidah secara syar'i adalah menyelisihi Firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama
kalian."
Dan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini yang bukan
daripadanya, maka ia tertolak."
Serta banyak lagi ayat dan hadits yang lain.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
"Yang dimaksud oleh Imam Syafi'i rahimahullah, yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwasanya pada dasarnya, bid'ah yang tercela adalah
sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syari'at (agama) yang dia akan kembali
padanya, inilah bid'ah menurut syar'i. Adapun bid'ah yang terpuji, yaitu
apa-apa yang sesuai dengan sunnah, maksudnya sesuatu yang ada dasarnya dari
sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa)
bukan secara syar'i, karena sesuai dengan sunnah."
['Jami'ul 'Ulum wa Al Hikam', hadits no.28].
Dan bid'ah secara lughoh
(bahasa) yang dimaksud oleh Imam
Syafi'i rahimahullah dalam perkataan
beliau (Bid'ah Terpuji), misalnya:
penulisan hadits dan sholat tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid'ah di
sini adalah secara lughoh (Bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang
mendahuluinya; adapun menurut definisi syar'i, ini tidak benar karena
(perbuatan tersebut) ada asalnya dari sunnah.
Kesimpulan dari perkataan di atas:
Bahwa setiap bid'ah
yang dikatakan terpuji, bukanlah bid'ah, akan tetapi diduga bid'ah; dan
jika memang telah tetap sesuatu itu adalah bid'ah, maka bid'ah itu jelek secara
qoth'i (pasti) karena menyelisihi Kitab (Al-Qur'an) dan sunnah.
Ketiga
Sudah masyhur tentang Imam Syafi'i rahimahullah, bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam dan
sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Terbukti ketika beliau ditanya
tentang suatu permasalahan, maka beliau mengatakan: "Telah diriwayatkan tentang
hal tersebut demikian dan demikian dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam", maka orang yang bertanya berkata: "Wahai Abu Abdullah, apakah
kamu berkata (berpendapat) dengannya (dengan hadits tersebut)?! Maka Imam
Syafi'i rahimahullah gemetar (karena marah) dan tergoncang, kemudian beliau
berkata: "Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakah
yang akan kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian aku tidak berkata dengannya?! Ya (kata
beliau), wajib bagiku dengan pendengaran dan penglihatanku."
['Shifatu Sufwah (2/256)].
Bagaimana masih disangka dalam keadaan yang demikian ini
beliau rahimahullah menyelisihi
hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Kullu bid'atin dholalah."
Bahkan lebih pantas perkataan Imam Syafi'i rahimahullah ditempatkan pada tempatnya
yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam
Syafi'i rahimahullah dengan 'Bid'ah'
di sini adalah makna secara lughowi. Dan sungguh telah berkata Imam Syafi'i rahimahullah: "Apabila kalian mendapati di
dalam Kitabku yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,
maka katakanlah (ambillah) dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang aku
katakan."
[Siir A'laamu An Nubala' (10/34)].
Imam Syafi'i rahimahullah
berkata pula: "Setiap hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka
itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun kalian tidak mendengarnya
dariku."
[Ibid].
Beliau rahimahullah
juga berkata: "Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka hadits Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam itulah yang lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah kalian
bertaqlid padaku."
[Hilyatu Al Auliya' (9/108); Siir A'laamu An Nubala'
(1/33)].
Dan beliau rahimahullah
berkata pula: "Setiap masalah yang benar datangnya dari Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menurut ahlu Naql sementara ia menyelisihi apa yang aku
katakan, maka aku akan kembali merujuk pada hadits itu selama hidupku dan
setelah matiku."
['Tawaaliy At Ta'siisi' (108)].
VI. Subhat Keenam
(Pemahaman mereka terhadap) perkataan Al Izz bin Abdus Salam
tentang bid'ah:
"Bid'ah itu terbagi menjadi: Bid'ah yang wajib, Bid'ah yang haram,
Bid'ah yang mandub, Bid'ah yang makruh dan Bid'ah yang mubah. Sedangkan untuk
mengetahui dari jenis apakah Bid'ah tersebut, yaitu dengan menghadapkannya pada
kaidah-kaidah syari'ah, maka jika termasuk dalam golongan kaidah yang wajib,
maka wajiblah hukumnya, jika termasuk dalam kaidah hukum yang haram, maka haram
pula hukumnya, jika termasuk dalam kaidah yang mandub, maka mandub juga
hukumnya, jika termasuk dalam kaidah hukum yang mubah, maka mubahlah
hukumnya."
[Qowaidul Ahkam (2/173)].
Jawaban Terhadap Subhat Ini:
Pertama
Bahwasanya tidak boleh ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dibenturkan
dengan ucapan manusia, siapapun orangnya. Tentang masalah ini telah diingatkan
berulang-ulang.
Kedua
Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:
"Sesungguhnya pembagian ini adalah perkara baru yang dibuat-buat,
tidak ada padanya dalil syar'i yang menunjukkan (membenarkan) pembagian
tersebut, bahkan di dalam pembagian itu sendiri terjadi pertentangan, karena
hakekat dari bid'ah adalah sesuatu yang tidak terdapat padanya dalil syar'i,
tidak dari nash-nash syar'i, tidak juga dari kaidah-kaidah syari'ah, karena
kalau ada dalil yang menunjukkan kepada hukum wajib, atau mandub, atau mubah,
niscaya amal tersebut tidak dikategorikan sebagai perkara bid'ah, bahkan hal
itu termasuk dalam keumuman amalan yang diperintahkan atau termasuk hal yang
sifatnya pilihan. Sehingga mengumpulkan (menyamaratakan) perkara yang sifatnya
bid'ah dengan suatu perkara yang ada dalil yang menunjukkan tentang wajib,
mandub, atau mubahnya, berarti mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan.”
Ketiga
Bahwasanya pembagian bid'ah yang dimaksud oleh Al Izz bin
Abdus Salam adalah bid'ah dalam arti bahasa, bukan dalam artian syar'i, ini
ditunjukkan oleh contoh-contoh pada tiap pembagian bid'ah itu.
Tentang bid'ah yang wajib, beliau mencontohkan dengan
kesibukan dalam bidang nahwu yang dengan ilmu ini akan terpahami perkataan
Allah 'Aza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam. Maka
apakah menyibukkan diri dengan belajar ilmu nahwu itu dikatakan bid'ah menurut
syari'ah? Ataukah hal itu termasuk dalam perkara:
"Maa laa yatimmul waajibu illabihi fahuwa waajibun."
(Setiap kewajiban yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan adanya
pelengkap, maka (mendatangkan) pelengkap tersebut wajib hukumnya."
Oleh sebab itu, ilmu nahwu memungkinkan untuk disebut bid'ah
dari sisi bahasa (tidak secara istilah syari'ah).
Adapun hukum-hukum syari'ah hanya berhubungan dengan
definisi-definisi syari'ah, bukan definisi secara bahasa.
Pada pembagian bid'ah yang mandub, beliau mencontohkan
dengan sholat tarawih, membangun sekolah-sekolah dan berbicara tasawuf yang
terpuji, di mana semua itu bukanlah bid'ah dalam syari'ah. Seperti sholat
tarawih, telah ada perbuatan Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam. Sebagaimana dijelaskan pada subhat yang kedua diatas.
Kemudian membangun madrasah adalah perantara untuk
terwujudkan Tholabul Ilmi (Menuntut Ilmu) yang sudah tidak samar lagi tentang
keutamaan ilmu dan mengajarkannya. Dan berbicara tentang tasawuf yang terpuji
(maksudnya) adalah dari sisi nasehat kepada perkara yang ma'ruf.
Adapun pembagian bid'ah yang mubah, beliau mencontohkan
dengan berbagai perkara-perkara yang sifatnya merupakan kelezatan dunia (yang
halal), maka tentu saja itu bukan termasuk bid'ah menurut syari'ah. Akan tetapi
kalau sampai pada tingkat berlebihan (israf) maka itu bagian dari perkara yang
haram, termasuk kemaksiatan dan bukan ke-bid'ahan, dimana antara kemaksiatan
dan kebid'ahan itu berbeda. Dan contoh-contoh itu telah dijelaskan secara
panjang lebar oleh Imam Syatibi rahimahullah.
[Lihat 'Al I'tishom' (1/246)].
Keempat
Tentang Al Izz bin Abdus Salam rahimahullah, beliau telah dikenal masyhur tentang kegigihannya
dalam memerangi /mengingatkan orang dari bahaya bid'ah, dakwah beliau melarang
perbuatan yang disebut-sebut oleh ahli bid'ah sebagai 'Bid'ah Hasanah'.
Berkata Syihabuddin Abu Syamah rahimahullah -salah seorang murid dari Al Izz bin Abdus Salam-:
"Beliau adalah orang yang paling pantas disebut sebagai Khatib dan
Imam, selalu menyingkirkan bid'ah-bid'ah yang sering dilakukan oleh para
khatib, dan beliau termasuk pedang yang paling tajam diatas mimbar. Beliau
telah menyatakan bathilnya dua macam sholat, yaitu sholat raghaib (sholat
sebelas rakaat setelah sholat maghrib) dan sholat nisfu sya'ban serta mencegah
orang-orang dari melaksanakannya."
['Thobaqoh Asy Syafi'iyyah', oleh As Subkiy (8/210)].
Berikut ini sebagian nukilan bagaimana beliau dalam
memerangi dan mencegah kebid'ahan, termasuk juga bid'ah yang disebut-sebut oleh
pelakunya dalam 'bid'ah hasanah', itupun diingkari oleh Al Izz bin Abdus Salam,
antara lain: ketika beliau ditanya hukum berjabat tangan setiap selesai sholat
subuh dan ashar, ini termasuk bid'ah (yang tercela), kecuali untuk orang yang
baru datang dan berkumpul dengan orang-orang yang berjabat tangan padanya
sebelum dimulai sholat. Karena berjabat tangan itu disyari'atkan untuk orang
yang baru datang. Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam setelah sholat selalu membaca dzikir-dzikir yang
disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beranjak meninggalkan masjid.
Diriwayatkan pula bahwa beliau dalam dzikirnya berdo'a:
"Robbiqinii 'adzaabaka yauma tab'atsu 'ibaadaka."
(Wahai Rabbku, lindungilah aku dari adzab-Mu pada hari dibangkitkannya
hamba-hamba-Mu).
Maka kebaikan itu ada pada ittiba' (Mengikuti)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
[Fatawa Al Izz bin Abdus Salam, hal. 46 no. 15; Cet. Daarul
Baaz]
Beliau rahimahullah
juga menyatakan:
"Tidak disunnahkan mengangkat tangan dalam berdo'a kecuali pada
keadaan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tangan di sana
(ketika berdo'a), dan tidaklah seorang yang mengusap wajah setelah berdo'a
kecuali dia itu jahil."
[Ibid, hal. 47].
Beliau rahimahullah
juga menyatakan:
"Tidak dibenarkan membaca sholawat atas Nabi ketika Qunut.”
[Yang beliau maksud disini adalah Qunut saat sholat Fajar (Shubuh) karena dia
bermahdzab Syafi'i, dimana Syafi'iyyah tersebut berpendapat disyariatkannya
Qunut pada sholat Shubuh, adapun sholawat kepada Nabi telah tsabit dalam qunut
witir dari perbuatan Ubay bin Kaab ketika mengimami orang pada sholat tarawih
di masa Khalifah Umar radhiyallahu'anhu.
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya hadits no. 1100, dan lihat
catatan kaki 'Shifat Sholat Nabi' hal. 160], tidak boleh menambah dan
mengurangi sedikitpun atas Sholawat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
Syaikh Al Albani mengomentari ucapan ini dengan berkata: "Ucapan
ini merupakan isyarat tidak ada peluang untuk mengatakan adanya bid'ah hasanah
sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendapat adanya bid'ah
hasanah."
['Shifat Sholat Nabi' hal. 161].
Dibawah ini adalah nash yang tegas dari beliau rahimahullah
tentang apa yang dimaksud dengan ucapannya bid'ah hasanah itu. Ketika membantah
Ibnu Sholah seputar permasalahan sholat raghaib, beliau rahimahullah berkata:
"Kemudian dia -yaitu Ibnu Sholah- menganggap bahwa hal itu adalah
bid'ah maudhu'ah (yang diletakkan oleh orang-orang), maka kami bantah dia (Ibnu
Sholah) dengan hujjah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:
'Syarral umuuri muhdatsaa tuhaa wa kullu bid'atin dholaalah.'
(Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah
adalah sesat).
Maka 'Bid'ah Hasanah' yang dikecualikan dari hadits tersebut, yaitu
'Setiap Bid'ah' yang tidak menyelisihi sunnah tapi mencocokinya", sehingga
tetap pada selainnya berlaku keumuman sabda Nabi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam: "Sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan dan
setiap bid'ah adalah sesat."
['Musaajilah 'Ilmiyyah baina Al Imaamain Al Jaliilain Al Izz
bin Abdussalam wa Ibnu Sholah', hal. 31]
Dan yang menjadi pertanyaan di sini: Jika suatu masalah
mencocoki sunnah, apakah boleh dikatakan bahwa itu bid'ah menurut istilah
syar'i?!
Maka amatilah ucapan Al Izz bin Abdus Salam tentang
definisinya terhadap 'Bid'ah Hasanah':
"Tidak
menyelisihi sunnah tapi mencocokinya!!", maka apa yang mencocoki
sunnah sama sekali bukan bid'ah menurut istilah syar'i, akan tetapi bisa jadi
tergolong bid'ah dilihat dari sisi bahasa. Nampaklah dengan jelas bahwa
sesungguhnya yang dimaksud oleh Al Izz bin Abdus Salam dengan bid'ah hasanah, bid'ah
wajibah, bid'ah mandubah, dan bid'ah mubahah adalah bid'ah dalam makna bahasa.
Adapun dalam istilah syar'i, maka semua bid'ah itu sesat. Dan jelaslah dari
sini bahwa ucapan 'Bid'ah Hasanah' dalam syari'ah merupakan salah satu sebab
penting kaburnya antara makna bahasa dan istilah syar'i tentang arti bid'ah
yang tersebut di sebagian riwayat-riwayat, dan di sebagian ucapan para ulama.
Maka barangsiapa diberi taufik oleh Allah 'Aza
wa Jalla untuk membedakan antara makna bahasa dan istilah syar'i, niscaya
akan hilanglah darinya subhat-subhat serta akan jelaslah baginya permasalahan
ini.
Allahu Ta'ala a'lam bishowab.
Sumber:
Al-Qur'an
Al-Hadits
Buku: 'Adakah Bid'ah Hasanah'
Penulis: Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As Sahaibani.
Penerbit: Maktabah Al Khadiiriy bil Madinah An Nabawiyyah.
Cet. Pertama: 1416 H.
Penerjemah: Abu Anas As Salafy.
Dalam Buku: 'Adakah Bid'ah Hasanah?'
Penerbit: Cahaya Tauhid Press.
Perum Dirgantara Permai, Jl. Simpang Dirgantara V B-VI no. 4, Malang.
Kitab "Fathul Qawiyyil Matin
fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab
Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul
Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia:
"Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar