AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Jumat, 29 Januari 2016

KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Bab Muraqabah (Pengawasan)

Bismillaahir rahmaanir rahiim
Assalamu'alaykum wa rahmatullaah wa barakaatuh.


"Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa waminsayyi aati 'amaalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah."


"Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiy ya ba'da."


"Segala puji hanya milik Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya, kita memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya."


"Aku bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah dengan haq (benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla saja, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan tidak ada Nabi setelahnya"


Qola Ta'ala fii Kitabul Karim: "Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaaha haqqo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimun."


Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).


Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujaha wa batstsa minhuma rijaalan katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa."


Dan AllahTa'ala berfirman: "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).


Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaulan sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasullahuu waqod faaza fauzan 'adzhiima."


Dan Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal-amal kalian dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).


Amma ba'du, "Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar."


Amma ba'du: "Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka."


Ringkasan Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN', Bab Muraqabah.


5. Bab Muraqabah (Pengawasan).


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Yang melihatmu ketika engkau berdiri (untuk shalat) dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud."
(QS. Asy-Syu'ara': 218-219).


Allah 'Aza wa Jalla berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, "Bertawakkallah kepada Zat Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang yang melihatmu ketika engkau melaksanakan shalat dan perubahan badanmu ketika ruku', berdiri, sujud, duduk di antara orang-orang sujud."
Maksudnya, orang-orang yang melakukan shalat. Artinya, Allah 'Aza wa Jalla melihatmu ketika engkau melakukan shalat sendirian dan ketika shalat berjama'ah.


(Muraqabah) merupakan salah satu dari dua tingkatan ihsan, yaitu engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat (seakan-akan) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada."
(QS. Al-Hadid: 4).


Artinya, kalian tidak akan terlepas dari penglihatan Allah. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang ke-empat nya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dia-lah yang ke-enam nya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka dimana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. Al-Mujadalah: 7).


"Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit."
(QS. Ali Imran: 5).


Allah 'Aza wa Jalla memberitahukan bahwa Dia mengetahui hal gaib di langit dan di bumi. Bagi Allah tidak ada sesuatu pun di langit dan bumi yang tersembunyi dari-Nya.


"Sungguh, Rabbmu benar-benar mengawasi."
(QS. Al-Fajr: 14).


Ibnu Katsir berkata, "Mengenai firman Allah di atas, bahwa Ibnu Abbas berkata, 'Dia mendengar dan melihat. Maksudnya, Dia mengawasi makhluk-Nya pada setiap perilaku mereka. Dan Dia akan membalas masing-masing dari mereka sesuai perbuatannya, baik di dunia maupun di akhirat. Makhluk secara keseluruhan akan dihadapkan kepada-Nya, lalu Dia memutuskan dengan adil dan membalas masing-masing dari mereka sesuai haknya. Dia Maha Suci dari kezhaliman dan kecurangan."


"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada."
(QS. Ghafir: 19).


Ibnu Katsir berkata, "Allah 'Aza wa Jalla memberitahukan tentang ilmu-Nya yang sempurna dan mencakup segala sesuatu agar orang-orang merasa berhati-hati lantaran selalu diketahui oleh Allah, sehingga mereka merasa benar-benar malu kepada Allah 'Aza wa Jalla dan bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa, mereka ber-muraqabah dengan muraqabah orang yang menyadari bahwa ia dilihat oleh Allah."


Ayat-ayat mengenai bab ini cukup banyak dan terkenal, sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak lengah sedikit pun dari pengetahuan Rabbmu biarpun seberat biji zarrah (sawi), baik dibumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang lebih besar dari pada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."
(QS. Yunus: 61).


Adapun hadits-haditsnya adalah sebagai berikut:


1/60.
Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu menempelkan kedua lututnya dan meletakkan kedua tangannya pada kedua pahanya seraya berkata: 'Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam.' Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu.' Kemudian laki-laki tersebut berkata, 'anda benar.' Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi, 'Beritahukan aku tentang Iman.' Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.' Kemudian laki-laki tersebut berkata, 'Anda benar.' Kemudian laki-laki tersebut berkata lagi, 'Beritahukan aku tentang Ihsan.' Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau (seakan-akan) tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihat engkau.' Kemudian laki-laki tersebut berkata, 'Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya).' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.' Dia berkata lagi, 'Beritahukan aku tentang tanda-tandanya.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya. Dan jika engkau melihat seorang yang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba berlomba-lomba meninggikan bangunan.' Kemudian laki-laki tersebut berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, 'Wahai Umar! Tahukah engkau siapa laki-laki tadi yang bertanya?' Aku berkata, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Dia adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajari kalian agama kalian.'
[Shahih: Muslim (8); At-Tirmidzi (2613)].


Kosakata asing:


(Talidal amatu rabbataha), yakni tuan puterinya. Maksudnya, karena banyaknya budak perempuan sehingga budak-budak tersebut melahirkan puteri untuk tuan yang memilikinya. Puteri tuannya itu sama kedudukannya dengan tuannya sendiri. Tetapi ada sebagian ulama yang mengatakan tidak demikian.
(Al-'Alah), artinya orang-orang fakir.
(Maliyyan) artinya waktu yang lama, yaitu sampai tiga hari.


Penjelasan hadits:


Hadits ini merupakan hadits yang agung mencakup semua amal perbuatan yang lahir dan bathin. Semua ilmu syari'at merujuk kepadanya. Hadits ini bagaikan induk hadits sebagaimana surat Al-Fatihah disebut dengan Ummul Qur'an (induk Al-Qur'an).


Hadits Jibril ini adalah riwayat dari Umar radhiyallahu 'anhu, dikeluarkan oleh Muslim dari Bukhari. Namun keduanya juga sama-sama mengeluarkannya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Imam An-Nawawi rahimahullaah memulai hadits-hadits arba'in nya dengan hadits Umar (Innamal a'malu binniyyat) dan merupakan hadits pertama dalam Shahih Bukhari. Kemudian dia lanjutkan dengan hadits Umar tentang kisah kedatangan Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, yang merupakan hadits pertama dalam Shahih Muslim. Sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan oleh Imam Al-Baghawi dalam dua kitabnya Syarhus Sunnah dan Mashabihus Sunnah. Kedua kitabnya ini diawali dengan dua hadits tersebut.


Hadits ini adalah hadits pertama dalam Kitabul Iman dalam Shahih Muslim. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya. Periwayatan hadits ini memiliki kisah tersendiri yang disebutkan oleh Muslim di awal hadits ini dengan sanadnya dari Yahya bin Ya'mar. Dia berkata, "Orang pertama yang menyuarakan Qadariyah di Bashrah adalah Ma'bad al-Juhani. Kemudian aku dan Hamid Ibnu Abdirrahman al-Himyari pergi berhaji atau umrah. Kamipun berkata, 'Jika kita bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kita akan tanya dia tentang ucapan orang-orang tersebut mengenai takdir.' Akhirnya kami mendapat taufik untuk bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang kala itu tengah memasuki masjid. Kami segera mengapitnya, dari kanan dan kiri. Aku mengira temanku menyerahkan pembicaraan kepadaku, akupun berkata, 'Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan mempelajari ilmu.' Dia sebutkan bahwa diantara perkara mereka adalah mereka menganggap tidak ada takdir, segala perkara terjadi begitu saja. Diapun berkata, 'Jika engkau bertemu mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah 'Aza wa Jalla yang dengan-Nya Abdullah bin Umar bersumpah! Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian dia menginfakkannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya darinya hingga dia beriman kepada takdir.' Kemudian dia berkata, 'Ayahku Umar bin Khaththab telah menyampaikan hadits padaku.' Kemudian dia menyebutkan hadits ini sebagai dalil atas iman kepada takdir'."


Kandungan kisah ini adalah bahwasanya bid'ah Qadariyah muncul di zaman para shahabat, dan Ibnu Umar masih hidup, dia meninggal tahun 73 H semoga Allah meridhainya. Kemudian para Tabi'in merujuk kepada para shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengetahui urusan agama. Inilah yang wajib dilakukan, yaitu kembali kepada para ulama disetiap waktu. Berdasarkan firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
(QS. An-Nahl: 43).


Kandungan lain dari kisah ini bahwasanya bid'ah Qadariyah merupakan salah satu bid'ah paling buruk. Karena komentar Ibnu Umar sangat keras tentangnya.


Kandungan lainnya dari kisah ini bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) ketika menyebutkan satu hukum dia menyebutkannya bersama dalilnya.


Hadits Jibril ini mengandung dalil bahwa para malaikat terkadang mendatangi manusia dalam bentuk manusia. Contohnya apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an tentang kedatangan Jibril kepada Maryam dalam bentuk manusia. Demikian pula kedatangan malaikat kepada Ibrahim dan Luth dalam bentuk manusia. Dengan kekuasaan Allah 'Aza wa Jalla mereka berubah wujud dari wujud asli mereka ke dalam wujud manusia. Allah 'Aza wa Jalla telah berfirman tentang penciptaan malaikat:


"Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya."
(QS. Fathir: 1).


Dalam Shahih Bukhari [4858] dan Shahih Muslim [280] disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melihat Jibril memiliki enam ratus sayap.


Kisah kedatangan Jibril ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu duduk di hadapannya memuat beberapa adab penuntut ilmu dihadapan gurunya. Faedah lainnya bahwa seorang yang bertanya tidak mesti hanya menanyakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya, namun selayaknya dia menanyakan hal lain yang telah dia ketahui hukumnya agar para hadirin mendengarkan jawabannya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di akhir hadits menyebut Jibril sebagai pengajar. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia mendatangi kalian untuk mengajari kalian agama kalian." Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lah yang mengajar, sebab beliau yang secara langsung menyampaikan. Namun beliau sandarkan kepada Jibril karena dialah yang menjadi sebab.


Ucapannya: "Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam." Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Islam adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah jika engkau mampu." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam dengan perkara-perkara lahiriyah. Dan ketika ditanya tentang Iman, beliau menjawabnya dengan perkara-perkara bathin. Lafazh Islam dan Iman termasuk lafazh yang jika disebut secara bersamaan maka masing-masing memiliki makna yang berbeda. Disini, keduanya disebut bersamaan maka Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara lahiriyah. Inilah yang sesuai dengan makna Islam, yaitu berserah diri dan tunduk kepada Allah 'Aza wa Jalla. Sedangkan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin, dan ini sesuai dengan makna iman, yaitu membenarkan dan mengakui. Namun jika kedua lafazh ini disebut secara terpisah, maka maknanya sama: "Mencakup perkara lahiriyah dan bathin." Di antara contoh penyebutan Islam secara tersendiri adalah firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi."
(QS. Ali Imran: 85).


Adapun contoh disebutkannya iman secara tersendiri adalah firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."
(QS. Al Ma'idah: 5).


Sama dengan ini kata fakir dan miskin, (birr) dan takwa dan lainnya.


Perkara pertama yang menjadi tafsir Islam adalah Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Syahadat Muhammad Rasulullah. Kedua Syahadat ini saling berkaitan. Keduanya dituntut dari setiap manusia dan jin semenjak diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sampai hari kiamat. Barangsiapa yang tidak mengimani beliau maka dia termasuk penghuni neraka. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:


"Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini baik seorang Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentangku, lalu dia mati tanpa beriman dengan risalah yang aku bawa, melainkan dia termasuk penghuni neraka."
[HR. Muslim (240)].


Makna Syahadat Laa ilaaha illallaah adalah tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah. Kalimat ikhlas ini mengandung dua rukun: Peniadaan yang bersifat umum diawalnya, dan penetapan yang bersifat khusus di akhirnya. Awalnya mengandung peniadaan ibadah dari segala sesuatu selain Allah 'Aza wa Jalla, kemudian akhirnya mengandung penetapan ibadah hanya kepada Allah 'Aza wa Jalla tanpa ada sekutu bagi-Nya. Khabar Laa (nafiyah lil jins) takdirnya adalah Haq. Tidak sesuai jika ditakdirkan dengan Maujuud (Ada). Sebab sesembahan-sesembahan batil ada dan banyak. Sehingga yang dinafikan adalah sifat ketuhanan yang haq. Inilah yang dinafikan dari segala sesuatu selain Allah 'Aza wa Jalla, dan ditetapkan bagi Allah semata.


Makna Syahadat Muhammad Rasulullah adalah mencintai beliau melebihi makhluk lainnya, mentaati beliau dalam setiap perintahnya, meninggalkan segala apa yang beliau larang, membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik yang telah berlalu, yang akan datang maupun yang sedang berlangsung, dan ini tidak disaksikan dan tidak dilihat langsung. Dan beribadah kepada Allah 'Aza wa Jalla sesuai dengan kebenaran dan petunjuk yang beliau ajarkan.


Mengikhlaskan amal kepada Allah 'Aza wa Jalla dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam merupakan konsekuensi dari Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Muhammad Rasulullah. Semua amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah harus ikhlas kepada Allah 'Aza wa Jalla dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Jika ikhlas tidak ada maka amal tidak diterima. Berdasarkan firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan."
(QS. Al-Furqan: 23).


Allah 'Aza wa Jalla juga berfirman dalam hadits qudsi:


"Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan sebuah amal, dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan dia bersama syiriknya."
[HR. Muslim (2985)].


Dan jika ittiba' (kesesuaian dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) tidak ada, maka amal itu juga tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:


"Barangsiapa yang membuat-buat dalam dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal tersebut tertolak."
[HR. Bukhari (2697) dan Muslim (1718)].


Dalam salah satu lafazh riwayat Muslim:


"Barangsiapa yang mengerjakan sebuah amal yang tidak didasari oleh perintah kami maka ia tertolak."


Hadits ini lebih umum daripada hadits pertama. Sebab mencakup orang yang melakukan sebuah bid'ah yang ia buat sendiri dan orang yang melakukan bid'ah karena mengikuti orang lain.


Ucapannya; "Dia berkata, 'Anda benar.' Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan." Keheranannya ini disebabkan karena biasanya orang yang bertanya tidak mengetahui jawabannya, sehingga dia bertanya agar mengetahui jawabannya. Orang seperti ini tidak akan berkata kepada orang yang ditanyanya ketika mendapat jawaban, 'Engkau benar.' Sebab jika si penanya membenarkan orang yang ditanya, ini menunjukkan bahwa si penanya sudah mengetahui jawabannya sejak awal. Karena itulah para shahabat heran dengan si penanya yang aneh tersebut yang membenarkan jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.


Ucapannya; "Dia bertanya lagi, 'Beritahukan aku tentang Iman.' Lalu beliau bersabda, 'Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk'." Jawaban ini mencakup enam rukun Iman. Rukun pertama adalah beriman kepada Allah. Yang merupakan asas iman terhadap semua yang wajib diimani. Karena itulah di-idhafah-kan kepada-Nya para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah maka dia tidak mengimani rukun lainnya. Iman kepada Allah mencakup iman kepada Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan bahwasanya Allah 'Aza wa Jalla disifati dengan segala sifat sempurna yang layak dengan-Nya, suci dari segala sifat kekurangan. Maka wajib mengesakan Allah dengan Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya serta Asma' was shifat-Nya.


Mentauhidkan Allah 'Aza wa Jalla dengan Rububiyah-Nya yaitu berikrar bahwa Dia Maha Esa dalam perbuatannya, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Seperti menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur segala urusan, mengatur semesta alam dan lain-lainnya yang berkaitan dengan Rububiyah-Nya.


Tauhid Uluhiyah adalah mentauhidkan-Nya dalam perbuatan para hamba. Seperti do'a, rasa takut, rasa harap, tawakkal, memohon pertolongan, memohon perlindungan, istighatsah, menyembelih, bernadzar dan jenis-jenis ibadah lainnya yang wajib diserahkan hanya kepada Allah 'Aza wa Jalla. Tidak boleh diserahkan kepada selain-Nya sedikitpun. Meskipun kepada malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun nabi yang diutus, apalagi yang lainnya.


Adapun Tauhid Asma' Was Shifat adalah menetapkan segala apa yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam berupa nama-nama dan sifat-sifat yang layak dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya, tanpa takyif atau tamtsil, ataupun tahrif, ta'wil dan ta'thil. Serta mensucikan-Nya dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat."
(QS. Asy-Syuura: 11).


Di dalam ayat ini terkumpul antara penetapan dan pensucian. Penetapan terkandung dalam firman-Nya: "Dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." Dan pensucian terkandung dalam firman-Nya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia."  Maka sesungguhnya Allah 'Aza wa Jalla memiliki pendengaran yang tidak sama dengan pendengaran-pendengaran lain. Dia memiliki penglihatan yang tidak sama dengan penglihatan-penglihatan lain. Demikian seterusnya dikatakan dalam setiap nama dan sifat yang tetap bagi Allah 'Aza wa Jalla.


Iman kepada malaikat adalah beriman bahwasanya mereka termasuk makhluk yang diciptakan Allah. Mereka diciptakan dari cahaya, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim [2996] bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


"Malaikat diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari Nyala api. Dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian."


Mereka memiliki sayap sebagaimana disebut dalam ayat pertama surat Fathir. Jibril saja memiliki 600 sayap, sebagaimana disebutkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di muka. Jumlah mereka sangat banyak, tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya melainkan Allah 'Aza wa Jalla. Dalilnya adalah bahwasanya Baitul Ma'mur yang berada dilangit ketujuh dimasuki oleh 70.000 malaikat setiap harinya tanpa pernah kembali lagi ke dalamnya. Diriwayatkan oleh Bukhari [3207] dan Muslim [259]. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya [2842] dari Abdullah bin Ma'ud radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Pada hari itu akan didatangkan Neraka Jahannam dengan 70.000 tali pengekang, setiap kekang ditarik oleh 70.000 malaikat'."


Diantara malaikat ada yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu. Ada pula yang ditugaskan menurunkan hujan. Ada yang ditugaskan untuk mematikan. Ada yang ditugaskan didalam rahim. Ada yang ditugaskan di surga. Ada yang ditugaskan di neraka. Dan lain-lainnya. Semuanya tunduk dan taat kepada perintah Allah 'Aza wa Jalla. Mereka tidaklah menentang perintah-Nya, mereka melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Diantara malaikat ada yang disebut namanya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Malik, Munkar dan Nakir. Wajib mengimani malaikat yang telah disebut namanya ataupun yang belum disebut namanya. Wajib pula mengimani dan membenarkan semua berita tentang malaikat yang disebutkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.


Iman kepada kitab-kitab-Nya adalah membenarkan dan mengakui semua kitab yang diturunkan oleh Allah 'Aza wa Jalla kepada salah seorang Rasul-Nya. Serta meyakini bahwa semua haq, diturunkan (dari sisi Allah) dan bukan makhluk. Semuanya mengandung kebahagiaan bagi umat tempat diturunkannya. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia akan selamat dan beruntung. Dan barangsiapa yang berpaling darinya maka dia telah merugi. Diantara kitab-kitab ini ada yang disebut namanya dan ada yang tidak. Diantara yang disebut dalam Al-Qur'an adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim dan Musa. Penyebutan Shuhuf Ibrahim dan Musa tercantum pada dua tempat di dalam Al-Qur'an; pada surat An-Najm dan Al-A'la. Zabur Daud disebut dua kali dalam Al-Qur'an, yaitu dalam surat An-Nisa' dan Al-Isra'. Allah 'Aza wa Jalla berfirman pada kedua surat tersebut:


"Dan Kami berikan Zabur kepada Daud."
(QS. An-Nisa': 163 dan Al-Isra': 55).


Adapun Taurat dan Injil banyak disebutkan dalam Al-Qur'an, namun yang terbanyak adalah penyebutan Taurat. Tidak pernah seorang rasul disebut dalam Al-Qur'an seperti Musa. Dan tidak pernah satu kitab disebut di dalam Al-Qur'an seperti Kitab Musa. Namanya disebut dengan At-Taurat, Al-Kitab, Al-Furqan, Adh-Dhiya' dan Adz-Dzikr.


Salah satu keistimewaan Al-Qur'an dibanding kitab-kitab sebelumnya adalah Al-Qur'an menjadi mukjizat abadi. Allah menjamin keterpeliharaannya, selamat dari perubahan dan diturunkan tidak sekaligus.


Iman kepada rasul-rasul adalah membenarkan dan mengakui bahwa Allah memilih dari kalangan manusia para rasul dan nabi yang menuntun manusia menuju kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari Malaikat dan dari manusia."
(QS. Al-Hajj: 75).


Adapun jin, tidak ada rasul di kalangan mereka, yang ada hanyalah para pemberi peringatan. Sebagaimana Allah 'Aza wa Jalla firmankan:


"Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur'an, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: 'Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).' ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: 'Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih.' Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata."
(QS. Al-Ahqaf: 29-32).


Mereka tidak menyebut rasul dari kalangan mereka dan tidak pula kitab-kitab diturunkan kepada mereka. Mereka hanya menyebut dua kitab yang diturunkan kepada Musa dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidak disebutkan Injil yang datang setelah Taurat. Hal itu karena banyak dari hukum-hukum Injil telah ada didalam Taurat. Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat-ayat ini, ''Mereka tidak menyebut Isa karena Isa 'alaihissalaam diturunkan kepadanya Injil. Di dalamnya banyak terdapat wejangan dan nasihat yang bertujuan untuk melembutkan hati, serta sedikit menyebutkan halal dan haram. Maka Injil hakikatnya seperti penyempurna syari'at Taurat, sebab sandarannya adalah Taurat." Karena itulah mereka berkata: "Yang telah diturunkan sesudah Musa."


Rasul adalah orang yang dibebankan untuk menyampaikan syari'at yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)."
(QS. Al-Hadid: 25).


Alkitab adalah isim jins yang berarti kitab-kitab.
Sedang nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya untuk menyampaikan syari'at sebelumnya. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allah."
(QS. Al-Ma'idah: 44).


Para rasul dan nabi telah menyampaikan apa yang diperintahkan kepada mereka dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Mereka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(QS. An-Nahl: 35).


Allah 'Aza wa Jalla juga berfirman:


"Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: 'Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-rasul diantaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?' mereka menjawab: 'Benar (telah datang).' tetapi telah pasti berlaku ketetapan adzab terhadap orang-orang yang kafir."
(QS. Az-Zumar: 71).


Az-Zuhri berkata, "Dari Allah 'Aza wa Jalla berasal Risalah, kewajiban Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk menerima." Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya pada Kitabut Tauhid, bab firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya."
(QS. Al-Ma'idah: 67). [XIII/503 bersama Al-Fath].


Diantara para rasul ada yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an, ada pula yang belum dikisahkan. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu."
(QS. An-Nisa': 164).


Dan Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu."
(QS. Ghafir: 78).


Rasul-rasul yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an ada dua puluh lima rasul. Delapan belas diantaranya disebutkan dalam surat Al-An'am, yaitu firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas semuanya termasuk orang-orang yang shalih. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth masing-masing Kami lebihkan derajatnya diatas umat (di masanya)."
(QS. Al-An'am: 83-86).


Tujuh orang sisanya adalah Adam, Idris, Hud, Shalih, Syu'aib, Dzulkifli dan Muhammad Shalawatullaah wa salaamuhu wa barakaatuhu 'alaihim ajma'in.


Iman kepada hari akhir adalah membenarkan dan mengakui segala apa yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang peristiwa setelah mati. Allah 'Aza wa Jalla telah menjadikan kehidupan ini dua kampung: Kampung dunia dan kampung akhirat. Pembatas antara kedua kehidupan ini adalah kematian, tiupan sangkakala yang mematikan semua orang yang masih hidup di akhir zaman. Semua orang yang telah mati telah tiba kiamatnya, berpindah dari kampung amal menuju kampung balasan. Kehidupan setelah mati ada dua: kehidupan barzakh, yaitu setelah mati hingga hari kebangkitan. Dan kehidupan setelah mati. Kehidupan barzakh tidak ada yang mengetahui hal ilatnya kecuali Allah. Kehidupan ini mengikuti kehidupan setelah mati. Sebab di kedua kehidupan ini diberikan balasan amal. Orang-orang yang berbahagia mendapatkan nikmat surga dalam kubur mereka. Sedang orang-orang yang sengsara mendapatkan adzab neraka didalam kubur mereka.


Termasuk iman kepada hari akhir adalah iman kepada hari pembangkitan, pengumpulan, syafa'at, telaga, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal), shirat (jembatan), surga, neraka dan lainnya yang telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.


Iman kepada takdir adalah beriman bahwa Allah 'Aza wa Jalla telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat. Ini memiliki empat fase:


1. Allah sejak awal mengetahui segala apa yang terjadi.

2. Allah menulis semua takdir lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.

3. Allah berkehendak atas semua yang ditakdirkan.

4. Allah menciptakan dan mengadakan semua apa yang ditakdirkan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya, catatan-Nya dan kehendak-Nya.


Maka bagi kita wajib beriman dengan ke-empat fase ini. Dan meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti ada, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka tidak mungkin ada. Inilah dia makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:


"Dan ketahuilah bahwa apa yang menimpamu tidak mungkin meleset darimu. Dan apa yang tidak mengenaimu tidak mungkin menimpamu."


Ucapannya, "Beritahukan aku tentang ihsan." Lalu beliau bersabda, "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau (seakan-akan) tidak melihatnya maka Dia melihatmu." Ihsan merupakan derajat paling tinggi. Di bawahnya adalah derajat iman kemudian Islam. Setiap mukmin adalah muslim, dan setiap muhsin adalah mukmin dan muslim. Dan tidak setiap muslim seorang mukmin dan muhsin. Karena itu disebutkan dalam surat Al-Hujurat:


"Orang-orang Arab Badui itu berkata: 'Kami telah beriman.' Katakanlah: 'Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu'."
(QS. Al-Hujurat: 14).


Di dalam hadits ini diterangkan ketinggian derajat ihsan, yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya." Artinya engkau beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau berdiri dihadapan-Nya, melihat-Nya. Barangsiapa yang seperti ini keadaannya, maka sesungguhnya dia telah melaksanakan ibadah dengan sempurna. Jika tidak demikian, maka dia harus meresapi dan menyadari bahwa Allah 'Aza wa Jalla melihatnya dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya. Sehingga dia berhati-hati jangan sampai Allah melihatnya melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Karenanya dia beramal agar dilihat-Nya, bukan karena dilihat seseorang, sesuai dengan perintah-Nya.


Ucapannya: "Kemudian dia berkata, 'Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya).' Beliau bersabda: 'Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya'." Allah mengkhususkan diri-Nya dengan ilmu ghaib, maka tidak ada yang mengetahui kapan terjadi kiamat melainkan Dia.


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
(QS. Luqman: 34).


Dan Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri."
(QS. Al-An'am: 59).


Diantaranya adalah ilmu tentang hari kiamat. Di dalam Shahih Bukhari [4778] dari Abdullah bin Umar dia berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Kunci-kunci ilmu ghaib ada lima.' Kemudian beliau membaca: 'Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat'."


Dan Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: 'Kapankah terjadinya?' Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang dilangit dan di bumi, kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.' Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'."
(QS. Al-A'raf: 187).


Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kiamat akan terjadi pada hari Jum'at. Namun masalah tahun berapa, bulan apa dan Jum'at yang mana terjadinya, tidak ada yang mengetahui hal tersebut melainkan Allah.
Di dalam Sunan Abi Daud [1046] dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Hari terbaik yang terbit padanya matahari adalah hari Jum'at. Di hari Jum'at Adam diciptakan, di hari Jum'at dia diturunkan (ke bumi), di hari Jum'at dia diampuni dan di hari Jum'at dia meninggal. Dan di hari Jum'at terjadi kiamat. Tidak ada satu makhluk melatapun melainkan berubah bentuk pada hari Jum'at dari waktu subuh hingga terbit matahari; karena takut terjadi kiamat, kecuali jin dan manusia'." (Al-Hadits. Hadits ini shahih, para rawinya adalah para rawi Kutubus Sittah, kecuali Al-Qana'i, Ibnu Majah tidak mengeluarkan riwayatnya).


Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Artinya bahwa makhluk tidak tahu kapan terjadinya. Dan bahwasanya penanya manapun dan orang manapun yang ditanya sama-sama tidak mengetahuinya.


Ucapannya: "Dia berkata, 'Beritahukan aku tentang tanda-tandanya.' Beliau bersabda: 'Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya. Dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, berlomba-lomba meninggikan bangunan." (amaaroh) artinya tanda-tanda. Tanda-tanda hari kiamat terbagi menjadi dua; (pertama) tanda-tanda kedekatan waktunya, seperti terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya Dajjal, keluarnya Ya'juj dan Ma'juj, turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalaam dari langit dan lain-lainnya. Dan (kedua) tanda-tanda sebelum itu, diantaranya tanda-tanda yang disebutkan pada hadits ini.


Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya'' ditafsirkan bahwa ini merupakan isyarat akan banyaknya terjadi penaklukan dan akan banyaknya tawanan. Diantara wanita tawanan ada yang digauli oleh tuannya dan melahirkan seorang anak lelaki untuknya. Sehingga wanita tersebut menjadi Ummu Walad (istilah bagi seorang budak wanita yang melahirkan anak dari hasil hubungan dengan tuannya). Ditafsirkan juga bahwa akan terjadi perubahan keadaan dan perbuatan durhaka dari anak-anak terhadap ayah dan ibu mereka hingga anak-anak seolah menjadi tuan bagi ayah dan ibu mereka.


Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunan." Bahwa orang-orang fakir yang menggembala kambing dan tidak memiliki pakaian, keadaan mereka berubah. Mereka berpindah menuju penduduk kota dan mereka berlomba meninggikan bangunan disana. Kedua tanda ini telah terjadi.


Ucapannya: "Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau bertanya: 'Wahai Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?" Aku berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahu para shahabatnya bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Jibril, setelah dia pergi. Terdapat keterangan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahu Umar tiga hari setelahnya. Hal ini tidaklah bertentangan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahu hadirin dan Umar radhiyallahu 'anhu tidak ada, sebab dia telah meninggalkan majelis. Tiga hari kemudian baru dia berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.


Diantara kandungan hadits ini adalah:


1. Seorang penanya, selain bertanya untuk belajar dia juga kadang bertanya untuk memberikan ilmu. Seorang yang mengetahui suatu ilmu bertanya agar para hadirin mendengar jawabannya.

2. Para malaikat terkadang berubah dari bentuk aslinya ke dalam bentuk manusia. Namun ini bukanlah dalil bolehnya sandiwara atau drama yang banyak dilakukan di zaman ini. Sebab sandiwara atau drama adalah salah satu bentuk dusta. Adapun apa yang terjadi pada Jibril, itu merupakan atas izin dan kuasa Allah 'Aza wa Jalla.

3. Penjelasan tentang adab seorang murid bersama gurunya.

4. Ketika Islam disebut bergandengan dengan Iman maka Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara zahir dan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin.

5. Memulai dengan yang terpenting. Sebab beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memulai tafsir Islam dengan Syahadatain dan tafsir iman dengan iman kepada Allah 'Aza wa Jalla.

6. Rukun Islam ada lima dan pokok Iman ada enam.

7. Penjelasan perbedaan tingkatan Islam, Iman dan Ihsan.

8. Penjelasan ketinggian derajat Iman.

9. Ilmu tentang hari kiamat merupakan salah satu perkara yang dikhususkan oleh Allah 'Aza wa Jalla untuk diri-Nya.

10. Penjelasan tentang beberapa tanda kiamat.

11. Seorang yang tidak tahu mengucapkan: Allahu a'lam.


2/61.
Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdir Rahman, Mu'az bin Jabal radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu akan dapat menghapuskan keburukan tadi dan pergaulilah orang lain dengan budi pekerti yang baik."
[HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, "Hadits ini hasan."].
[At-Tirmidzi (1988); Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam kitab Shahih Al-Jami' (97)].


Penjelasan hadits:


Ini adalah wasiat agung yang menghimpun hak-hak Allah dan hak-hak para hamba-Nya.
Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah."
(QS. An-Nisa: 131).


Takwa kepada Allah ialah taat kepada-Nya dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.


"Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah) dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat kebaikan."
(QS. Hud: 114-115).


Ibnul Mubarak berkata, "Budi pekerti yang baik ialah berwajah ceria, melakukan kebaikan, dan menahan diri dari menyakiti (orang lain)."


Allah 'Aza wa Jalla telah menyifati orang-orang yang bertakwa di dalam kitab-Nya sebagaimana yang diwasiatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di dalam hadits ini.


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal."
(QS. Ali-Imran: 133-136).


3/62.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Pada suatu hari saya berada di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, 'Hai anak muda! Sungguh, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; yaitu peliharalah Allah, pasti Allah akan memeliharamu. Peliharalah Allah, pasti engkau akan mendapti-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mohonlah kepada Allah dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa seandainya umat ini, apabila berkumpul hendak memberikan kemanfa'atan padamu dengan sesuatu, maka mereka itu tidak akan dapat memberikan kemanfa'atan itu, melainkan dengan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah untukmu.
Demikian pula jika umat ini berkumpul hendak membahayakanmu dengan sesuatu, maka mereka itu tiada akan dapat memberikan bahaya itu, melainkan dengan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran kertas pun telah kering (telah ditetapkan)'."
[HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih."].


Dalam riwayat selain At-Tirmidzi disebutkan; "Peliharalah Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Ingatlah Allah diwaktu engkau dalam keadaan lapang, maka Allah akan mengingatmu di waktu engkau dalam kesulitan. Ketahuilah bahwa apa saja yang terlepas dari dirimu, pastilah tidak akan mengena kepadamu dan apa saja yang mengena pada dirimu, pasti tidak akan dapat meleset dari dirimu.
Ketahuilah bahwa pertolongan itu beserta kesabaran dan kelapangan itu beserta kesukaran dan bahwa beserta kesukaran itu pasti ada kemudahan."


Penjelasan hadits:


Hadits ini merupakan dasar yang agung tentang muraqabah kepada Allah 'Aza wa Jalla, memelihara hak-hak-Nya, pasrah kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, mengakui keesaan-Nya, dan mengakui kelemahan makhluk semuanya serta butuhnya makhluk semuanya kepada Allah.


4/63.
Dari Anas radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya engkau semua pasti melakukan berbagai amalan yang dalam pandangan matamu kamu anggap lebih kecil (dosanya) dari pada sehelai rambut. Akan tetapi, kami semua pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menganggapnya termasuk golongan dosa-dosa yang membinasakan."
[HR. Al-Bukhari dan ia berkata, "Al-Mubiqat artinya hal-hal yang merusakkan].
[Shahih: Al-Bukhari (6492)].


Penjelasan dan intisari hadits:


1. Kesempurnaan muraqabah kepada Allah 'Aza wa Jalla yang dilakukan oleh para shahabat dan kesempurnaan rasa malu mereka kepada Allah.

2. Selayaknya manusia menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil, karena dikhawatirkan dosa tersebut dapat merusaknya dalam beragama. Sebagaimana seseorang menjaga diri dari sedikit racun lantaran khawatir racun itulah yang menyebabkan kematiannya. Allah 'Aza wa Jalla berfirman, "Diantara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28).

3. Sesungguhnya orang Mukmin memandang dosanya seakan-akan batu besar yang ia khawatir akan menimpanya, sedangkan orang munafik memandang dosanya seakan-akan lalat yang lewat diatas hidungnya.


5/64.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang bersabda, "Sesungguhnya Allah 'Aza wa Jalla itu cemburu, dan kecemburuan Allah 'Aza wa Jalla itu ialah apabila seseorang manusia mendatangi hal-hal yang diharamkan oleh Allah atasnya."
(Muttafaqun 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (5223); Muslim (2761)].


Penjelasan hadits:


Di dalam hadits ini terdapat pesan bahwa muraqabah kepada Allah serta takut akan murka dan siksa Allah ketika keharaman-keharaman-Nya dilakukan.


6/65.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Ada tiga orang dari kaum Bani Israil yang terdiri dari penderita kusta, si botak, dan si buta. Allah 'Aza wa Jalla hendak menguji mereka, lalu Allah 'Aza wa Jalla mengutus seorang malaikat kepada mereka. Maka sang malaikat mendatangi penderita kusta dan berkata, 'Keadaan seperti apa yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Warna kulit yang indah dan kulit yang bagus. Di samping itu, penyakit yang membuat orang-orang jijik kepadaku ini lenyap dari diriku.' Lantas sang malaikat mengusapnya. Dalam sekejap lenyaplah penyakit yang menjijikkan tersebut dari sekujur tubuhnya dan ia dikarunia warna kulit yang bagus. Sang malaikat bertanya lagi, 'Harta apakah yang engkau inginkan?' Ia menjawab, 'Unta.' atau dia mengatakan, 'Sapi.' -Perawi Hadits ini masih ragu, antara unta ataukah sapi-. Lalu dia dikarunia unta yang bunting, kemudian malaikat mendo'akan, 'Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu atas unta ini.'


Selanjutnya sang malaikat mendatangi si botak, kemudian ia berkata, 'Keadaan seperti apa yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Rambut yang bagus dan hal-hal yang menyebabkan orang-orang merasa jijik kepadaku menjadi hilang.' Lantas sang malaikat mengusapnya. Dalam sekejap lenyaplah penyakit yang menyebabkan orang-orang merasa jijik kepadanya dan ia dikarunia rambut yang bagus. Sang malaikat bertanya lagi, 'Harta apakah yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Sapi.' Lalu ia dikarunia sapi yang bunting, kemudian malaikat mendo'akan, 'Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu atas sapi ini.'


Yang terakhir, sang malaikat mendatangi orang buta, lalu ia berkata, 'Apakah yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Allah mengembalikan penglihatanku, sehingga saya dapat melihat orang-orang.' Lantas sang malaikat mengusapnya. Dalam sekejap Allah mengembalikan penglihatan matanya. Sang malaikat bertanya lagi, 'Harta apakah yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Kambing.' Ia pun dikarunia kambing yang hampir beranak.


Kedua unta dan sapi ini pun mulai beranak. Demikian pula kambing ini melahirkan anak-anaknya. Beberapa waktu kemudian, si penderita kusta mempunyai unta sepenuh lembah, si botak mempunyai sapi sepenuh lembah dan si buta mempunyai kambing sepenuh lembah.


Setelah itu, sang malaikat yang sama mendatangi lagi orang yang dulunya menderita kusta dalam rupa sebagaimana si penderita kusta ketika masih menderita kusta. Ia berkata, 'Saya adalah orang miskin yang telah kehabisan bekal dalam perjalananku. Sehingga, tidak ada yang dapat menyampaikan diriku ketempat tujuanku pada hari ini melainkan Allah. Oleh karena itu, atas nama Allah yang telah memberi karunia kepadamu warna kulit yang indah dan bagus dan sejumlah harta, saya meminta kepadamu seekor unta agar saya dapat menempuh perjalananku ini.' Ia menjawab, 'Kebutuhanku banyak sekali.' Sang malaikat berujar, 'Sepertinya saya pernah mengenalmu. Bukankah dahulu engkau seorang yang berpenyakit kusta sehingga orang-orang merasa jijik kepadamu dan engkau seorang fakir, kemudian Allah memberikan karunia kepadamu?' Ia menjawab, 'Semua harta ini adalah warisan nenek moyangku dulu dan mereka pun mewarisi dari nenek moyangnya pula.' Sang malaikat menandaskan, 'Jika engkau berdusta, maka Allah akan mengembalikanmu sebagaimana keadaanmu semula.'


Selanjutnya, sang malaikat mendatangi orang yang dulunya botak dalam rupa sebagaimana keadaan si botak sebelumnya. Sang malaikat mengatakan hal yang sama sebagaimana yang dikatakan kepada penderita kusta. Dan ternyata si botak itu menolak permintaannya sebagaimana yang diucapkan oleh penderita kusta. Akhirnya sang malaikat itu berkata, 'Jikalau engkau berdusta, maka Allah akan mengembalikanmu sebagaimana keadaanmu semula.'


Terakhir, sang malaikat mendatangi orang yang asalnya buta dalam rupa sebagaimana keadaan si buta sebelumnya. Kemudian sang malaikat berkata, 'Saya adalah orang miskin dan sedang menempuh perjalanan yang kebetulan kehabisan bekal. Sehingga, tidak ada yang dapat menyampaikan perjalananku pada hari ini kecuali Allah. Oleh karena itu, atas nama Allah yang mengembalikan penglihatanmu, saya meminta kepadamu seekor kambing sebagai bekal agar saya sampai ke tempat tujuanku dalam perjalanan ini.' Orang yang asalnya buta tersebut menjawab, 'Saya dahulu adalah seorang yang buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku. Maka, ambillah mana saja yang engkau inginkan dan tinggalkanlah mana saja yang engkau kehendaki. Demi Allah, pada hari ini saya tidak akan mempersulit kepadamu dengan sesuatu yang engkau ambil karena mengharapkan keridhaan Allah 'Aza wa Jalla.'


Sang malaikat berkata, 'Tahanlah hartamu, karena sesungguhnya kalian semua hanya diuji. Sungguh, Allah telah meridhai dirimu dan memurkai dua orang sahabatmu (Si penderita kusta dan si botak)'."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari (3464, 6653); Muslim (2964)].


Kosakata asing:


(An-Naqatu al-'usyara') artinya unta bunting.
(Antaja) dalam riwayat lain dengan lafal intaja artinya mengurusi kelahirannya.
(Wallada Hadza) artinya mengurusi kelahirannya. Kata ini maknanya sama dengan antaja kaitannya dengan unta. Jadi, kata Al-Muwallid, An-Natij, Al-Qabilah artinya sama. Akan tetapi, Al-Muwallid untuk binatang sedangkan lainnya untuk selain hewan.
(Inqato'a bi al-hibal) artinya beberapa sebab.
(La ajhaduka) artinya aku tidak mau memberatkanmu untuk meminta kembali sedikitpun dari harta yang engkau ambil atau kamu cari dari hartaku. Dalam riwayata Imam Bukhari dengan kata: (La ahmaduka), artinya aku tidak menghalangimu sekiranya hartaku tidak ada yang engkau tinggalkan karena engkau memerlukannya.


Penjelasan dan intisari hadits:


1. Peringatan akan mengkufuri kenikmatan, motivasi untuk mensyukuri kenikmatan, mengakui kenikmatan, dan memuji Allah atas kenikmatan.

2. Keutamaan sedekah, himbauan bersikap lemah lembut kepada orang-orang lemah, memuliakan mereka dan memberikan kebutuhan-kebutuhan mereka.

3. Larangan bersikap kikir, karena kikir mendorong pelakunya untuk berdusta dan mengingkari nikmat Allah.


7/66.
Dari Abu Ya'la, Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Orang yang cerdik ialah orang yang selalu mengevaluasi diri dan beramal untuk bekal sesudah mati, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan mendapat kemurahan dari Allah."
[HR. At-Tirmidzi, ia berkata, "Hadits ini hasan"].
[Shahih: At-Tirmidzi (2461); Ibnu Majah (4260); Ahmad (4/124); Al-Hakim (1//57). Didha'ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Kitab Dha'if Al-Jami' (4310)].


Penjelasan hadits:


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula) angan-angan ahli kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalas sesuai dengan kejahatannya itu, dan dia tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah. Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun."
(QS. An-Nisa': 123-124).


8/67.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Termasuk di antara kebaikan keislaman seseorang ialah apabila ia meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfa'at padanya'."
[Hadits ini hasan. HR. At-Tirmidzi dan lain-lain].
[Shahih: At-Tirmidzi (2318); Ibnu Majah (3976); Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam kitab Shahih Ibnu Majah (3211)].


Penjelasan hadits:


Hadits ini merupakan dasar yang agung di antara dasar-dasar tentang adab.


Ditanyakan kepada Luqman, "Apa pesan yang sampai kepadamu yang dapat kami lihat?" Beliau menjawab, "Jujur dalam perkataan, menyampaikan amanah, dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfa'at bagiku."


Sahl bin Abdullah At-Tutsari berkata, "Barang siapa mengatakan sesuatu yang tidak ada manfa'atnya, maka ia terhalang untuk jujur."


Diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Orang yang pertama kali menjumpai kalian ialah seorang ahli syurga." Lantas yang masuk bertemu mereka adalah Abdullah bin Salam. Kontan para shahabat mendatanginya dan menyampaikan kabar kepadanya. Mereka pun bertanya kepadanya, "Ceritakan kepada kami amal perbuatanmu yang paling engkau andalkan?" Ia menjawab, "Sesungguhnya amal perbuatanku sangat lemah. Yang paling saya andalkan untuk kuharapkan ialah selamatnya hati dan saya meninggalkan hal yang tidak bermanfa'at bagiku."


Imam Al-Ghazali menjelaskan, "Batasan perkataan yang tidak ada manfa'atnya bagimu ialah engkau mengatakan sesuatu yang seandainya engkau tidak mengatakannya, maka engkau tidak dosa dan tidak ada bahaya, baik di waktu sekarang maupun mendatang."


9/68.
Dari Umar radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang bersabda, "Janganlah seorang lelaki ditanya tentang penyebab ia memukul istrinya."
[HR. Abu Dawud dan lain-lainnya].
[Dha'if: Ahmad (1/20); Abu Dawud (2147); Didha'ifkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Dha'if Al-Jami' (6218)].


Penjelasan hadits:


Maksudnya, tidak boleh ditanyakan apa penyebab seorang suami memukul istrinya karena ada kemungkinan penyebabnya adalah sesuatu yang menjadikan malu jika disebutkan, semisal menolak berhubungan badan. Akan tetapi, hal ini dibiarkan kepada yang bersangkutan dan diserahkan kepada muraqabah kepada Rabbnya kecuali jika kasusnya perlu dilaporkan kepada hakim. Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalehah, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar."
(QS. An-Nisa': 34).


Semoga kita senantiasa merasa selalu dalam Pengawasan-Nya 'Aza wa Jalla, sehingga bisa menghindarkan kita dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
WaAllahu Ta'ala a'lam bishowab
Wassalamu'alaykum wa rahmatullaah wa barakatuh.



Sumber:

Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN' - Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takrij: Syaikh Nasiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.
Penerbit: Ummul Qura - Jkt.


Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).

Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar