Bismillaahir rahmaanir rahiim
Assalamu'alaykum wa rahmatullaah wa barakaatuh.
"Innal hamdalillaah
nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa
waminsayyi aati 'amaalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalah wamayyudlil falaa
hadiyalah."
"Asyhadu alaa ilaha
illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiy ya
ba'da."
"Segala puji hanya milik
Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya, kita
memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan
diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah
oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya,
dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak seorangpun
yang dapat memberi hidayah kepadanya."
"Aku bersaksi bahwa tidak
ada yang patut disembah dengan haq (benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla saja,
dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan tidak ada Nabi
setelahnya"
Qola Ta'ala fii Kitabul Karim: "Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaaha
haqqo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimun."
Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).
Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa
hidah wa kholaqo minhaa dzaujaha wa batstsa minhuma rijaalan katsiiran wanisaa
a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum
roqiibaa."
Dan AllahTa'ala berfirman: "Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang
satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).
Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaulan sadiida
yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa
rasullahuu waqod faaza fauzan 'adzhiima."
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang
benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal-amal kalian dan
mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).
Amma ba'du,
"Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin
shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa
tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar."
Amma ba'du: "Sesungguhnya
sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan
setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka."
Ringkasan Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN', Bab Muraqabah.
5. Bab Muraqabah (Pengawasan).
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Yang melihatmu ketika engkau berdiri (untuk shalat) dan (melihat)
perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud."
(QS. Asy-Syu'ara': 218-219).
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam, "Bertawakkallah kepada Zat Yang Maha
Perkasa, Maha Penyayang yang melihatmu ketika engkau melaksanakan shalat dan
perubahan badanmu ketika ruku', berdiri, sujud, duduk di antara orang-orang
sujud."
Maksudnya, orang-orang yang melakukan shalat. Artinya, Allah
'Aza wa Jalla melihatmu ketika engkau
melakukan shalat sendirian dan ketika shalat berjama'ah.
(Muraqabah)
merupakan salah satu dari dua tingkatan ihsan, yaitu engkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat (seakan-akan)
melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada."
(QS. Al-Hadid: 4).
Artinya, kalian tidak akan terlepas dari penglihatan Allah.
Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada
di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah yang ke-empat nya. Dan tidak ada lima orang, melainkan
Dia-lah yang ke-enam nya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melainkan Dia pasti ada bersama mereka dimana pun mereka berada. Kemudian Dia
akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka
kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. Al-Mujadalah: 7).
"Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di
langit."
(QS. Ali Imran: 5).
Allah 'Aza wa Jalla
memberitahukan bahwa Dia mengetahui hal gaib di langit dan di bumi. Bagi Allah
tidak ada sesuatu pun di langit dan bumi yang tersembunyi dari-Nya.
"Sungguh, Rabbmu benar-benar mengawasi."
(QS. Al-Fajr: 14).
Ibnu Katsir berkata, "Mengenai
firman Allah di atas, bahwa Ibnu Abbas berkata, 'Dia mendengar dan melihat.
Maksudnya, Dia mengawasi makhluk-Nya pada setiap perilaku mereka. Dan Dia akan
membalas masing-masing dari mereka sesuai perbuatannya, baik di dunia maupun di
akhirat. Makhluk secara keseluruhan akan dihadapkan kepada-Nya, lalu Dia memutuskan
dengan adil dan membalas masing-masing dari mereka sesuai haknya. Dia Maha Suci
dari kezhaliman dan kecurangan."
"Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
tersembunyi dalam dada."
(QS. Ghafir: 19).
Ibnu Katsir berkata, "Allah
'Aza wa Jalla memberitahukan tentang ilmu-Nya yang sempurna dan mencakup segala
sesuatu agar orang-orang merasa berhati-hati lantaran selalu diketahui oleh
Allah, sehingga mereka merasa benar-benar malu kepada Allah 'Aza wa Jalla dan
bertakwa kepada-Nya dengan sebenar-benar takwa, mereka ber-muraqabah dengan
muraqabah orang yang menyadari bahwa ia dilihat oleh Allah."
Ayat-ayat mengenai bab ini cukup banyak dan terkenal,
sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Dan tidaklah engkau (Muhammad) berada dalam suatu urusan, dan
tidak membaca suatu ayat Al-Qur'an serta tidak pula kamu melakukan suatu
pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu ketika kamu melakukannya. Tidak
lengah sedikit pun dari pengetahuan Rabbmu biarpun seberat biji zarrah (sawi),
baik dibumi ataupun di langit. Tidak ada sesuatu yang lebih kecil dan yang
lebih besar dari pada itu, melainkan semua tercatat dalam Kitab yang nyata
(Lauh Mahfuzh)."
(QS. Yunus: 61).
Adapun hadits-haditsnya adalah sebagai berikut:
1/60.
Dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak
padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam lalu menempelkan kedua lututnya dan meletakkan kedua tangannya pada
kedua pahanya seraya berkata: 'Wahai Muhammad,
beritahukan aku tentang Islam.' Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam: 'Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi
haji jika mampu.' Kemudian
laki-laki tersebut berkata, 'anda
benar.' Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan.
Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi, 'Beritahukan
aku tentang Iman.' Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.' Kemudian laki-laki tersebut berkata, 'Anda benar.' Kemudian laki-laki
tersebut berkata lagi, 'Beritahukan aku
tentang Ihsan.' Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah
seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau (seakan-akan) tidak melihatnya maka
sesungguhnya Dia melihat engkau.' Kemudian laki-laki tersebut berkata, 'Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan
kejadiannya).' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.'
Dia berkata lagi, 'Beritahukan aku tentang
tanda-tandanya.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Jika seorang budak wanita melahirkan
tuannya. Dan jika engkau melihat seorang yang bertelanjang kaki dan dada,
miskin dan penggembala domba berlomba-lomba meninggikan bangunan.' Kemudian
laki-laki tersebut berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau Shallallahu
'alaihi wasallam bertanya, 'Wahai Umar!
Tahukah engkau siapa laki-laki tadi yang bertanya?' Aku berkata, 'Allah dan
Rasul-Nya lebih mengetahui.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Dia adalah Jibril. Dia datang kepada
kalian untuk mengajari kalian agama kalian.'
[Shahih: Muslim
(8); At-Tirmidzi (2613)].
Kosakata asing:
(Talidal amatu
rabbataha), yakni tuan puterinya. Maksudnya, karena banyaknya budak
perempuan sehingga budak-budak tersebut melahirkan puteri untuk tuan yang
memilikinya. Puteri tuannya itu sama kedudukannya dengan tuannya sendiri.
Tetapi ada sebagian ulama yang mengatakan tidak demikian.
(Al-'Alah),
artinya orang-orang fakir.
(Maliyyan) artinya
waktu yang lama, yaitu sampai tiga hari.
Penjelasan hadits:
Hadits ini merupakan hadits yang agung mencakup semua amal
perbuatan yang lahir dan bathin. Semua ilmu syari'at merujuk kepadanya. Hadits
ini bagaikan induk hadits sebagaimana surat Al-Fatihah disebut dengan Ummul
Qur'an (induk Al-Qur'an).
Hadits Jibril ini adalah
riwayat dari Umar radhiyallahu 'anhu,
dikeluarkan oleh Muslim dari Bukhari. Namun keduanya juga sama-sama
mengeluarkannya dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu. Imam An-Nawawi rahimahullaah
memulai hadits-hadits arba'in nya dengan hadits Umar (Innamal a'malu binniyyat) dan merupakan hadits pertama dalam Shahih Bukhari. Kemudian dia lanjutkan
dengan hadits Umar tentang kisah kedatangan Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, yang
merupakan hadits pertama dalam Shahih
Muslim. Sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan oleh Imam Al-Baghawi
dalam dua kitabnya Syarhus Sunnah dan
Mashabihus Sunnah. Kedua kitabnya ini
diawali dengan dua hadits tersebut.
Hadits ini adalah hadits
pertama dalam Kitabul Iman dalam Shahih Muslim. Diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar dari ayahnya. Periwayatan hadits ini memiliki kisah
tersendiri yang disebutkan oleh Muslim di awal hadits ini dengan sanadnya dari
Yahya bin Ya'mar. Dia berkata, "Orang
pertama yang menyuarakan Qadariyah di Bashrah adalah Ma'bad al-Juhani. Kemudian
aku dan Hamid Ibnu Abdirrahman al-Himyari pergi berhaji atau umrah. Kamipun
berkata, 'Jika kita bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam, kita akan tanya dia tentang ucapan orang-orang tersebut
mengenai takdir.' Akhirnya kami mendapat taufik untuk bertemu dengan Abdullah
bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu yang kala itu tengah memasuki masjid.
Kami segera mengapitnya, dari kanan dan kiri. Aku mengira temanku menyerahkan
pembicaraan kepadaku, akupun berkata, 'Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya
telah muncul orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan mempelajari ilmu.' Dia
sebutkan bahwa diantara perkara mereka adalah mereka menganggap tidak ada
takdir, segala perkara terjadi begitu saja. Diapun berkata, 'Jika engkau
bertemu mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan
mereka berlepas diri dariku. Demi Allah 'Aza wa Jalla yang dengan-Nya Abdullah
bin Umar bersumpah! Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar
gunung Uhud kemudian dia menginfakkannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya
darinya hingga dia beriman kepada takdir.' Kemudian dia berkata, 'Ayahku Umar
bin Khaththab telah menyampaikan hadits padaku.' Kemudian dia menyebutkan
hadits ini sebagai dalil atas iman kepada takdir'."
Kandungan kisah ini adalah
bahwasanya bid'ah Qadariyah muncul di zaman para shahabat, dan Ibnu Umar masih
hidup, dia meninggal tahun 73 H semoga Allah meridhainya. Kemudian para Tabi'in
merujuk kepada para shahabat Rasul Shallallahu
'alaihi wasallam untuk mengetahui urusan agama. Inilah yang wajib
dilakukan, yaitu kembali kepada para ulama disetiap waktu. Berdasarkan firman
Allah 'Aza wa Jalla:
"Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui."
(QS. An-Nahl: 43).
Kandungan lain dari kisah
ini bahwasanya bid'ah Qadariyah merupakan salah satu bid'ah paling buruk.
Karena komentar Ibnu Umar sangat keras tentangnya.
Kandungan lainnya dari kisah
ini bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) ketika menyebutkan satu hukum dia
menyebutkannya bersama dalilnya.
Hadits Jibril ini mengandung
dalil bahwa para malaikat terkadang mendatangi manusia dalam bentuk manusia.
Contohnya apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an tentang kedatangan Jibril kepada
Maryam dalam bentuk manusia. Demikian pula kedatangan malaikat kepada Ibrahim
dan Luth dalam bentuk manusia. Dengan kekuasaan Allah 'Aza wa Jalla mereka berubah wujud dari wujud asli mereka ke dalam
wujud manusia. Allah 'Aza wa Jalla
telah berfirman tentang penciptaan malaikat:
"Segala puji bagi Allah
Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk
mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang)
dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya."
(QS. Fathir: 1).
Dalam Shahih Bukhari [4858] dan Shahih
Muslim [280] disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam melihat Jibril memiliki enam ratus sayap.
Kisah kedatangan Jibril ini
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam lalu duduk di hadapannya memuat beberapa adab penuntut ilmu
dihadapan gurunya. Faedah lainnya bahwa seorang yang bertanya tidak mesti hanya
menanyakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya, namun selayaknya dia
menanyakan hal lain yang telah dia ketahui hukumnya agar para hadirin
mendengarkan jawabannya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di akhir hadits menyebut Jibril
sebagai pengajar. Beliau Shallallahu
'alaihi wasallam berkata, "Sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia mendatangi
kalian untuk mengajari kalian agama kalian." Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lah yang
mengajar, sebab beliau yang secara langsung menyampaikan. Namun beliau
sandarkan kepada Jibril karena dialah yang menjadi sebab.
Ucapannya: "Wahai
Muhammad, beritahukan aku tentang Islam." Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Islam
adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi
melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah jika engkau
mampu." Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam dengan
perkara-perkara lahiriyah. Dan ketika ditanya tentang Iman, beliau menjawabnya
dengan perkara-perkara bathin. Lafazh Islam dan Iman termasuk lafazh yang jika
disebut secara bersamaan maka masing-masing memiliki makna yang berbeda.
Disini, keduanya disebut bersamaan maka Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara
lahiriyah. Inilah yang sesuai dengan makna Islam, yaitu berserah diri dan
tunduk kepada Allah 'Aza wa Jalla.
Sedangkan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin, dan ini sesuai dengan
makna iman, yaitu membenarkan dan mengakui. Namun jika kedua lafazh ini disebut
secara terpisah, maka maknanya sama: "Mencakup perkara lahiriyah dan
bathin." Di antara contoh penyebutan Islam secara tersendiri adalah firman
Allah 'Aza wa Jalla:
"Barangsiapa mencari agama
selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi."
(QS. Ali Imran: 85).
Adapun contoh disebutkannya
iman secara tersendiri adalah firman Allah 'Aza
wa Jalla:
"Barangsiapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan
ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi."
(QS. Al Ma'idah: 5).
Sama dengan ini kata fakir
dan miskin, (birr) dan takwa dan
lainnya.
Perkara pertama yang menjadi
tafsir Islam adalah Syahadat Laa ilaaha
illallaah dan Syahadat Muhammad Rasulullah.
Kedua Syahadat ini saling berkaitan. Keduanya dituntut dari setiap manusia dan
jin semenjak diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam sampai hari kiamat. Barangsiapa yang tidak mengimani
beliau maka dia termasuk penghuni neraka. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Demi Allah yang jiwaku
berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini baik seorang Yahudi maupun
Nasrani, yang mendengar tentangku, lalu dia mati tanpa beriman dengan risalah
yang aku bawa, melainkan dia termasuk penghuni neraka."
[HR. Muslim (240)].
Makna Syahadat Laa ilaaha illallaah adalah tidak ada
sesembahan yang haq melainkan Allah. Kalimat ikhlas ini mengandung dua rukun:
Peniadaan yang bersifat umum diawalnya, dan penetapan yang bersifat khusus di
akhirnya. Awalnya mengandung peniadaan ibadah dari segala sesuatu selain Allah 'Aza wa Jalla, kemudian akhirnya
mengandung penetapan ibadah hanya kepada Allah 'Aza wa Jalla tanpa ada sekutu bagi-Nya. Khabar Laa (nafiyah lil jins)
takdirnya adalah Haq. Tidak sesuai
jika ditakdirkan dengan Maujuud (Ada). Sebab
sesembahan-sesembahan batil ada dan banyak. Sehingga yang dinafikan adalah
sifat ketuhanan yang haq. Inilah yang dinafikan dari segala sesuatu selain Allah
'Aza wa Jalla, dan ditetapkan bagi
Allah semata.
Makna Syahadat Muhammad Rasulullah adalah mencintai
beliau melebihi makhluk lainnya, mentaati beliau dalam setiap perintahnya,
meninggalkan segala apa yang beliau larang, membenarkan berita-berita yang beliau
sampaikan, baik yang telah berlalu, yang akan datang maupun yang sedang
berlangsung, dan ini tidak disaksikan dan tidak dilihat langsung. Dan beribadah
kepada Allah 'Aza wa Jalla sesuai
dengan kebenaran dan petunjuk yang beliau ajarkan.
Mengikhlaskan amal kepada
Allah 'Aza wa Jalla dan mengikuti apa
yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam merupakan konsekuensi dari Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Muhammad
Rasulullah. Semua amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah
harus ikhlas kepada Allah 'Aza wa Jalla
dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam. Jika ikhlas tidak ada maka amal tidak diterima.
Berdasarkan firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Dan Kami hadapi segala amal
yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan."
(QS. Al-Furqan: 23).
Allah 'Aza wa Jalla juga berfirman dalam hadits qudsi:
"Aku paling tidak
membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan sebuah amal, dia menyekutukan
Aku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan dia bersama
syiriknya."
[HR. Muslim (2985)].
Dan jika ittiba' (kesesuaian dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) tidak ada,
maka amal itu juga tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang
membuat-buat dalam dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya, maka
hal tersebut tertolak."
[HR. Bukhari (2697) dan
Muslim (1718)].
Dalam salah satu lafazh
riwayat Muslim:
"Barangsiapa yang
mengerjakan sebuah amal yang tidak didasari oleh perintah kami maka ia
tertolak."
Hadits ini lebih umum
daripada hadits pertama. Sebab mencakup orang yang melakukan sebuah bid'ah yang
ia buat sendiri dan orang yang melakukan bid'ah karena mengikuti orang lain.
Ucapannya; "Dia berkata, 'Anda benar.' Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang
membenarkan." Keheranannya ini disebabkan karena biasanya orang yang
bertanya tidak mengetahui jawabannya, sehingga dia bertanya agar mengetahui
jawabannya. Orang seperti ini tidak akan berkata kepada orang yang ditanyanya
ketika mendapat jawaban, 'Engkau benar.' Sebab jika si penanya
membenarkan orang yang ditanya, ini menunjukkan bahwa si penanya sudah
mengetahui jawabannya sejak awal. Karena itulah para shahabat heran dengan si
penanya yang aneh tersebut yang membenarkan jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ucapannya; "Dia bertanya lagi, 'Beritahukan
aku tentang Iman.' Lalu beliau
bersabda, 'Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk'." Jawaban ini mencakup enam rukun Iman.
Rukun pertama adalah beriman kepada Allah. Yang merupakan asas iman terhadap
semua yang wajib diimani. Karena itulah di-idhafah-kan
kepada-Nya para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul. Barangsiapa yang tidak
beriman kepada Allah maka dia tidak mengimani rukun lainnya. Iman kepada Allah
mencakup iman kepada Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Dan bahwasanya Allah 'Aza
wa Jalla disifati dengan segala sifat sempurna yang layak dengan-Nya, suci
dari segala sifat kekurangan. Maka wajib mengesakan Allah dengan Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya serta Asma' was
shifat-Nya.
Mentauhidkan Allah 'Aza wa Jalla dengan Rububiyah-Nya yaitu berikrar bahwa Dia
Maha Esa dalam perbuatannya, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Seperti menciptakan,
memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur segala urusan, mengatur
semesta alam dan lain-lainnya yang berkaitan dengan Rububiyah-Nya.
Tauhid Uluhiyah
adalah mentauhidkan-Nya dalam perbuatan para hamba. Seperti do'a, rasa takut,
rasa harap, tawakkal, memohon pertolongan, memohon perlindungan, istighatsah, menyembelih, bernadzar dan
jenis-jenis ibadah lainnya yang wajib diserahkan hanya kepada Allah 'Aza wa Jalla. Tidak boleh diserahkan
kepada selain-Nya sedikitpun. Meskipun kepada malaikat yang dekat dengan-Nya
ataupun nabi yang diutus, apalagi yang lainnya.
Adapun Tauhid Asma' Was Shifat adalah menetapkan
segala apa yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya dan ditetapkan oleh
Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam
berupa nama-nama dan sifat-sifat yang layak dengan kesempurnaan dan
keagungan-Nya, tanpa takyif atau tamtsil, ataupun tahrif, ta'wil dan ta'thil. Serta mensucikan-Nya dari
segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat."
(QS. Asy-Syuura: 11).
Di dalam ayat ini terkumpul
antara penetapan dan pensucian. Penetapan terkandung dalam firman-Nya: "Dan
Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." Dan pensucian terkandung
dalam firman-Nya: "Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan
Dia." Maka sesungguhnya
Allah 'Aza wa Jalla memiliki
pendengaran yang tidak sama dengan pendengaran-pendengaran lain. Dia memiliki
penglihatan yang tidak sama dengan penglihatan-penglihatan lain. Demikian
seterusnya dikatakan dalam setiap nama dan sifat yang tetap bagi Allah 'Aza wa Jalla.
Iman kepada malaikat adalah
beriman bahwasanya mereka termasuk makhluk yang diciptakan Allah. Mereka
diciptakan dari cahaya, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim [2996] bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Malaikat diciptakan dari
cahaya. Jin diciptakan dari Nyala api. Dan Adam diciptakan dari apa yang telah
disifatkan kepada kalian."
Mereka memiliki sayap
sebagaimana disebut dalam ayat pertama surat Fathir. Jibril saja memiliki 600
sayap, sebagaimana disebutkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di muka. Jumlah mereka sangat banyak,
tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya melainkan Allah 'Aza wa Jalla. Dalilnya adalah bahwasanya Baitul Ma'mur yang berada dilangit ketujuh dimasuki oleh 70.000
malaikat setiap harinya tanpa pernah kembali lagi ke dalamnya. Diriwayatkan
oleh Bukhari [3207] dan Muslim [259]. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya [2842] dari Abdullah bin Ma'ud
radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: 'Pada hari itu akan
didatangkan Neraka Jahannam dengan 70.000 tali pengekang, setiap kekang ditarik
oleh 70.000 malaikat'."
Diantara malaikat ada yang
ditugaskan untuk menyampaikan wahyu. Ada pula yang ditugaskan menurunkan hujan.
Ada yang ditugaskan untuk mematikan. Ada yang ditugaskan didalam rahim. Ada
yang ditugaskan di surga. Ada yang ditugaskan di neraka. Dan lain-lainnya.
Semuanya tunduk dan taat kepada perintah Allah 'Aza wa Jalla. Mereka tidaklah menentang perintah-Nya, mereka
melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Diantara malaikat ada yang
disebut namanya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yaitu Jibril, Mikail,
Israfil, Malik, Munkar dan Nakir. Wajib mengimani malaikat yang telah disebut
namanya ataupun yang belum disebut namanya. Wajib pula mengimani dan
membenarkan semua berita tentang malaikat yang disebutkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.
Iman kepada kitab-kitab-Nya
adalah membenarkan dan mengakui semua kitab yang diturunkan oleh Allah 'Aza wa Jalla kepada salah seorang
Rasul-Nya. Serta meyakini bahwa semua haq, diturunkan (dari sisi Allah) dan
bukan makhluk. Semuanya mengandung kebahagiaan bagi umat tempat diturunkannya.
Barangsiapa yang mengambilnya maka dia akan selamat dan beruntung. Dan
barangsiapa yang berpaling darinya maka dia telah merugi. Diantara kitab-kitab
ini ada yang disebut namanya dan ada yang tidak. Diantara yang disebut dalam
Al-Qur'an adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim dan Musa. Penyebutan
Shuhuf Ibrahim dan Musa tercantum pada dua tempat di dalam Al-Qur'an; pada
surat An-Najm dan Al-A'la. Zabur Daud disebut dua kali dalam Al-Qur'an, yaitu
dalam surat An-Nisa' dan Al-Isra'. Allah 'Aza
wa Jalla berfirman pada kedua surat tersebut:
"Dan Kami berikan Zabur
kepada Daud."
(QS. An-Nisa': 163 dan
Al-Isra': 55).
Adapun Taurat dan Injil
banyak disebutkan dalam Al-Qur'an, namun yang terbanyak adalah penyebutan
Taurat. Tidak pernah seorang rasul disebut dalam Al-Qur'an seperti Musa. Dan
tidak pernah satu kitab disebut di dalam Al-Qur'an seperti Kitab Musa. Namanya
disebut dengan At-Taurat, Al-Kitab, Al-Furqan, Adh-Dhiya' dan
Adz-Dzikr.
Salah satu keistimewaan
Al-Qur'an dibanding kitab-kitab sebelumnya adalah Al-Qur'an menjadi mukjizat
abadi. Allah menjamin keterpeliharaannya, selamat dari perubahan dan diturunkan
tidak sekaligus.
Iman kepada rasul-rasul
adalah membenarkan dan mengakui bahwa Allah memilih dari kalangan manusia para
rasul dan nabi yang menuntun manusia menuju kebenaran dan mengeluarkan mereka
dari kegelapan menuju cahaya. Allah 'Aza
wa Jalla berfirman:
"Allah memilih
utusan-utusan-(Nya) dari Malaikat dan dari manusia."
(QS. Al-Hajj: 75).
Adapun jin, tidak ada rasul
di kalangan mereka, yang ada hanyalah para pemberi peringatan. Sebagaimana
Allah 'Aza wa Jalla firmankan:
"Dan (ingatlah) ketika Kami
hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur'an, Maka tatkala mereka
menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: 'Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya).' ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya
(untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: 'Hai kaum kami, sesungguhnya kami
telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan
kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru
kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa
kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih.' Dan orang yang tidak menerima
(seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri
dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah,
mereka itu dalam kesesatan yang nyata."
(QS. Al-Ahqaf: 29-32).
Mereka tidak menyebut rasul
dari kalangan mereka dan tidak pula kitab-kitab diturunkan kepada mereka.
Mereka hanya menyebut dua kitab yang diturunkan kepada Musa dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidak
disebutkan Injil yang datang setelah Taurat. Hal itu karena banyak dari
hukum-hukum Injil telah ada didalam Taurat. Ibnu Katsir berkata ketika
menafsirkan ayat-ayat ini, ''Mereka tidak
menyebut Isa karena Isa 'alaihissalaam diturunkan kepadanya Injil. Di dalamnya
banyak terdapat wejangan dan nasihat yang bertujuan untuk melembutkan hati,
serta sedikit menyebutkan halal dan haram. Maka Injil hakikatnya seperti
penyempurna syari'at Taurat, sebab sandarannya adalah Taurat." Karena itulah
mereka berkata: "Yang telah
diturunkan sesudah Musa."
Rasul adalah orang yang
dibebankan untuk menyampaikan syari'at yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana
firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Sesungguhnya Kami telah
mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan)."
(QS. Al-Hadid: 25).
Alkitab adalah isim jins yang berarti kitab-kitab.
Sedang nabi adalah orang
yang diwahyukan kepadanya untuk menyampaikan syari'at sebelumnya. Sebagaimana
firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Sesungguhnya Kami telah
menurunkan kitab Taurat yang didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),
yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta
mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allah."
(QS. Al-Ma'idah: 44).
Para rasul dan nabi telah
menyampaikan apa yang diperintahkan kepada mereka dengan sempurna. Sebagaimana
firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Mereka tidak ada kewajiban
atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang."
(QS. An-Nahl: 35).
Allah 'Aza wa Jalla juga berfirman:
"Orang-orang kafir dibawa ke
neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka
itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka
penjaga-penjaganya: 'Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-rasul diantaramu
yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan
dengan hari ini?' mereka menjawab: 'Benar (telah datang).' tetapi telah pasti
berlaku ketetapan adzab terhadap orang-orang yang kafir."
(QS. Az-Zumar: 71).
Az-Zuhri berkata, "Dari Allah 'Aza wa Jalla berasal Risalah,
kewajiban Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyampaikan dan kewajiban
kita untuk menerima." Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya pada Kitabut Tauhid, bab firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Hai rasul, sampaikanlah apa
yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya."
(QS. Al-Ma'idah: 67).
[XIII/503 bersama Al-Fath].
Diantara para rasul ada yang
dikisahkan di dalam Al-Qur'an, ada pula yang belum dikisahkan. Sebagaimana
firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Dan (Kami telah mengutus)
Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu,
dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu."
(QS. An-Nisa': 164).
Dan Allah 'Aza wa Jalla berfirman:
"Dan sesungguhnya telah Kami
utus beberapa orang rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan
kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan
kepadamu."
(QS. Ghafir: 78).
Rasul-rasul yang dikisahkan
di dalam Al-Qur'an ada dua puluh lima rasul. Delapan belas diantaranya
disebutkan dalam surat Al-An'am, yaitu firman Allah 'Aza wa Jalla:
"Dan itulah hujjah Kami yang
Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang
kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada
keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu
(juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh)
yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas
semuanya termasuk orang-orang yang shalih. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth
masing-masing Kami lebihkan derajatnya diatas umat (di masanya)."
(QS. Al-An'am: 83-86).
Tujuh orang sisanya adalah
Adam, Idris, Hud, Shalih, Syu'aib, Dzulkifli dan Muhammad Shalawatullaah wa salaamuhu wa barakaatuhu 'alaihim ajma'in.
Iman kepada hari akhir
adalah membenarkan dan mengakui segala apa yang disebutkan di dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah tentang peristiwa setelah mati. Allah 'Aza wa Jalla telah menjadikan kehidupan ini dua kampung: Kampung
dunia dan kampung akhirat. Pembatas antara kedua kehidupan ini adalah kematian,
tiupan sangkakala yang mematikan semua orang yang masih hidup di akhir zaman.
Semua orang yang telah mati telah tiba kiamatnya, berpindah dari kampung amal
menuju kampung balasan. Kehidupan setelah mati ada dua: kehidupan barzakh,
yaitu setelah mati hingga hari kebangkitan. Dan kehidupan setelah mati.
Kehidupan barzakh tidak ada yang mengetahui hal ilatnya kecuali Allah. Kehidupan
ini mengikuti kehidupan setelah mati. Sebab di kedua kehidupan ini diberikan
balasan amal. Orang-orang yang berbahagia mendapatkan nikmat surga dalam kubur
mereka. Sedang orang-orang yang sengsara mendapatkan adzab neraka didalam kubur
mereka.
Termasuk iman kepada hari
akhir adalah iman kepada hari pembangkitan, pengumpulan, syafa'at, telaga, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal), shirat (jembatan), surga, neraka dan lainnya
yang telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Iman kepada takdir adalah
beriman bahwa Allah 'Aza wa Jalla
telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat. Ini memiliki
empat fase:
1. Allah sejak awal
mengetahui segala apa yang terjadi.
2. Allah menulis semua
takdir lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.
3. Allah berkehendak atas
semua yang ditakdirkan.
4. Allah menciptakan dan
mengadakan semua apa yang ditakdirkan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya, catatan-Nya
dan kehendak-Nya.
Maka bagi kita wajib beriman
dengan ke-empat fase ini. Dan meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki
oleh Allah pasti ada, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah,
maka tidak mungkin ada. Inilah dia makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
"Dan ketahuilah bahwa apa
yang menimpamu tidak mungkin meleset darimu. Dan apa yang tidak mengenaimu
tidak mungkin menimpamu."
Ucapannya, "Beritahukan
aku tentang ihsan." Lalu
beliau bersabda, "Ihsan adalah engkau beribadah kepada
Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau (seakan-akan) tidak melihatnya
maka Dia melihatmu." Ihsan merupakan derajat paling tinggi. Di
bawahnya adalah derajat iman kemudian Islam. Setiap mukmin adalah muslim, dan
setiap muhsin adalah mukmin dan muslim. Dan tidak setiap muslim seorang mukmin
dan muhsin. Karena itu disebutkan dalam surat Al-Hujurat:
"Orang-orang Arab Badui itu
berkata: 'Kami telah beriman.' Katakanlah: 'Kamu belum beriman, tapi katakanlah
'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu'."
(QS. Al-Hujurat: 14).
Di dalam hadits ini
diterangkan ketinggian derajat ihsan, yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah
engkau melihat-Nya." Artinya engkau beribadah kepada-Nya
seolah-olah engkau berdiri dihadapan-Nya, melihat-Nya. Barangsiapa yang seperti
ini keadaannya, maka sesungguhnya dia telah melaksanakan ibadah dengan sempurna.
Jika tidak demikian, maka dia harus meresapi dan menyadari bahwa Allah 'Aza wa Jalla melihatnya dan tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya. Sehingga dia berhati-hati jangan sampai
Allah melihatnya melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Karenanya dia beramal
agar dilihat-Nya, bukan karena dilihat seseorang, sesuai dengan perintah-Nya.
Ucapannya: "Kemudian dia berkata, 'Beritahukan aku tentang hari kiamat
(kapan kejadiannya).' Beliau bersabda: 'Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya'." Allah mengkhususkan diri-Nya dengan ilmu ghaib, maka
tidak ada yang mengetahui kapan terjadi kiamat melainkan Dia.
Allah 'Aza wa Jalla berfirman:
"Sesungguhnya Allah, hanya
pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan
hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada
seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
(QS. Luqman: 34).
Dan Allah 'Aza wa Jalla berfirman:
"Dan pada sisi Allah-lah
kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri."
(QS. Al-An'am: 59).
Diantaranya adalah ilmu
tentang hari kiamat. Di dalam Shahih
Bukhari [4778] dari Abdullah bin Umar dia berkata: "Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Kunci-kunci ilmu ghaib ada lima.' Kemudian beliau membaca: 'Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang hari kiamat'."
Dan Allah 'Aza wa Jalla berfirman:
"Mereka menanyakan kepadamu
tentang kiamat: 'Kapankah terjadinya?' Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan
tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat
menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya
bagi makhluk) yang dilangit dan di bumi, kiamat itu tidak akan datang kepadamu
melainkan dengan tiba-tiba.' Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu
benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang hari
kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui'."
(QS. Al-A'raf: 187).
Di dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa kiamat akan terjadi pada hari Jum'at. Namun masalah tahun
berapa, bulan apa dan Jum'at yang mana terjadinya, tidak ada yang mengetahui
hal tersebut melainkan Allah.
Di dalam Sunan Abi Daud [1046] dari Abu Hurairah
dia berkata: "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: 'Hari terbaik
yang terbit padanya matahari adalah hari Jum'at. Di hari Jum'at Adam diciptakan,
di hari Jum'at dia diturunkan (ke bumi), di hari Jum'at dia diampuni dan di
hari Jum'at dia meninggal. Dan di hari Jum'at terjadi kiamat. Tidak ada satu
makhluk melatapun melainkan berubah bentuk pada hari Jum'at dari waktu subuh
hingga terbit matahari; karena takut terjadi kiamat, kecuali jin dan manusia'."
(Al-Hadits. Hadits ini shahih, para rawinya adalah para rawi Kutubus Sittah, kecuali Al-Qana'i, Ibnu
Majah tidak mengeluarkan riwayatnya).
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang
ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya." Artinya bahwa
makhluk tidak tahu kapan terjadinya. Dan bahwasanya penanya manapun dan orang
manapun yang ditanya sama-sama tidak mengetahuinya.
Ucapannya: "Dia berkata, 'Beritahukan aku tentang
tanda-tandanya.' Beliau bersabda:
'Jika
seorang budak wanita melahirkan tuannya. Dan jika engkau melihat seorang
bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, berlomba-lomba
meninggikan bangunan." (amaaroh)
artinya tanda-tanda. Tanda-tanda hari kiamat terbagi menjadi dua; (pertama)
tanda-tanda kedekatan waktunya, seperti terbitnya matahari dari tempat
terbenamnya, keluarnya Dajjal, keluarnya Ya'juj dan Ma'juj, turunnya Isa bin
Maryam 'alaihissalaam dari langit dan
lain-lainnya. Dan (kedua) tanda-tanda sebelum itu, diantaranya tanda-tanda yang
disebutkan pada hadits ini.
Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Jika
seorang budak wanita melahirkan tuannya'' ditafsirkan bahwa ini
merupakan isyarat akan banyaknya terjadi penaklukan dan akan banyaknya tawanan.
Diantara wanita tawanan ada yang digauli oleh tuannya dan melahirkan seorang
anak lelaki untuknya. Sehingga wanita tersebut menjadi Ummu Walad (istilah bagi seorang budak wanita yang melahirkan anak
dari hasil hubungan dengan tuannya). Ditafsirkan juga bahwa akan terjadi
perubahan keadaan dan perbuatan durhaka dari anak-anak terhadap ayah dan ibu
mereka hingga anak-anak seolah menjadi tuan bagi ayah dan ibu mereka.
Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Dan
jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala
domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunan." Bahwa
orang-orang fakir yang menggembala kambing dan tidak memiliki pakaian, keadaan
mereka berubah. Mereka berpindah menuju penduduk kota dan mereka berlomba
meninggikan bangunan disana. Kedua tanda ini telah terjadi.
Ucapannya: "Kemudian orang itu berlalu dan aku
berdiam sebentar. Kemudian beliau bertanya: 'Wahai Umar! Tahukah engkau siapa yang bertanya?" Aku berkata:
"Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: "Dia adalah Jibril yang datang kepada
kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian." Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahu
para shahabatnya bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Jibril, setelah dia
pergi. Terdapat keterangan bahwa beliau Shallallahu
'alaihi wasallam memberitahu Umar tiga hari setelahnya. Hal ini tidaklah
bertentangan. Karena Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam memberitahu hadirin dan Umar radhiyallahu 'anhu tidak ada, sebab dia telah meninggalkan majelis.
Tiga hari kemudian baru dia berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Diantara kandungan hadits ini adalah:
1. Seorang penanya, selain
bertanya untuk belajar dia juga kadang bertanya untuk memberikan ilmu. Seorang
yang mengetahui suatu ilmu bertanya agar para hadirin mendengar jawabannya.
2. Para malaikat terkadang
berubah dari bentuk aslinya ke dalam bentuk manusia. Namun ini bukanlah dalil
bolehnya sandiwara atau drama yang banyak dilakukan di zaman ini. Sebab
sandiwara atau drama adalah salah satu bentuk dusta. Adapun apa yang terjadi
pada Jibril, itu merupakan atas izin dan kuasa Allah 'Aza wa Jalla.
3. Penjelasan tentang adab
seorang murid bersama gurunya.
4. Ketika Islam disebut
bergandengan dengan Iman maka Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara zahir
dan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin.
5. Memulai dengan yang
terpenting. Sebab beliau Shallallahu
'alaihi wasallam memulai tafsir Islam dengan Syahadatain dan tafsir iman dengan iman kepada Allah 'Aza wa Jalla.
6. Rukun Islam ada lima dan
pokok Iman ada enam.
7. Penjelasan perbedaan
tingkatan Islam, Iman dan Ihsan.
8. Penjelasan ketinggian
derajat Iman.
9. Ilmu tentang hari kiamat
merupakan salah satu perkara yang dikhususkan oleh Allah 'Aza wa Jalla untuk diri-Nya.
10. Penjelasan tentang
beberapa tanda kiamat.
11. Seorang yang tidak tahu mengucapkan: Allahu a'lam.
2/61.
Dari Abu Zar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdir Rahman, Mu'az
bin Jabal radhiyallahu 'anhu meriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam yang bersabda, "Bertakwalah kepada Allah di mana saja
engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik, maka
kebaikan itu akan dapat menghapuskan keburukan tadi dan pergaulilah orang lain
dengan budi pekerti yang baik."
[HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, "Hadits ini hasan."].
[At-Tirmidzi (1988); Syaikh Al-Albani menghasankannya dalam
kitab Shahih Al-Jami' (97)].
Penjelasan hadits:
Ini adalah wasiat agung yang menghimpun hak-hak Allah dan
hak-hak para hamba-Nya.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci
sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah."
(QS. An-Nisa: 131).
Takwa kepada Allah ialah taat kepada-Nya dengan melakukan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
"Dan laksanakanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang)
dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus
kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat
(Allah) dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala
orang yang berbuat kebaikan."
(QS. Hud: 114-115).
Ibnul Mubarak berkata, "Budi
pekerti yang baik ialah berwajah ceria, melakukan kebaikan, dan menahan diri
dari menyakiti (orang lain)."
Allah 'Aza wa Jalla
telah menyifati orang-orang yang bertakwa di dalam kitab-Nya sebagaimana yang
diwasiatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam di dalam hadits ini.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Rabbmu dan mendapatkan
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertakwa, (yaitu) orang-orang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan
Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera)
mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang
dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
dosa itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari
Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka
kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal."
(QS. Ali-Imran: 133-136).
3/62.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata, "Pada suatu
hari saya berada di belakang Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau
bersabda, 'Hai anak muda! Sungguh, aku
akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; yaitu peliharalah Allah, pasti
Allah akan memeliharamu. Peliharalah Allah, pasti engkau akan mendapti-Nya di
hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mohonlah kepada Allah dan jika engkau
meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa
seandainya umat ini, apabila berkumpul hendak memberikan kemanfa'atan padamu
dengan sesuatu, maka mereka itu tidak akan dapat memberikan kemanfa'atan itu,
melainkan dengan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah untukmu.
Demikian pula jika umat ini berkumpul hendak membahayakanmu dengan
sesuatu, maka mereka itu tiada akan dapat memberikan bahaya itu, melainkan
dengan sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah untukmu. Pena telah diangkat
dan lembaran-lembaran kertas pun telah kering (telah ditetapkan)'."
[HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih."].
Dalam riwayat selain At-Tirmidzi disebutkan; "Peliharalah
Allah, maka engkau akan mendapati-Nya dihadapanmu. Ingatlah Allah diwaktu
engkau dalam keadaan lapang, maka Allah akan mengingatmu di waktu engkau dalam
kesulitan. Ketahuilah bahwa apa saja yang terlepas dari dirimu, pastilah tidak
akan mengena kepadamu dan apa saja yang mengena pada dirimu, pasti tidak akan
dapat meleset dari dirimu.
Ketahuilah bahwa pertolongan itu beserta kesabaran dan kelapangan itu
beserta kesukaran dan bahwa beserta kesukaran itu pasti ada kemudahan."
Penjelasan hadits:
Hadits ini merupakan dasar yang agung tentang muraqabah kepada Allah 'Aza wa Jalla, memelihara hak-hak-Nya,
pasrah kepada-Nya, tawakal kepada-Nya, mengakui keesaan-Nya, dan mengakui
kelemahan makhluk semuanya serta butuhnya makhluk semuanya kepada Allah.
4/63.
Dari Anas radhiyallahu
'anhu berkata, "Sesungguhnya
engkau semua pasti melakukan berbagai amalan yang dalam pandangan matamu kamu
anggap lebih kecil (dosanya) dari pada sehelai rambut. Akan tetapi, kami semua
pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menganggapnya termasuk
golongan dosa-dosa yang membinasakan."
[HR. Al-Bukhari dan ia berkata, "Al-Mubiqat artinya
hal-hal yang merusakkan].
[Shahih:
Al-Bukhari (6492)].
Penjelasan dan
intisari hadits:
1. Kesempurnaan muraqabah kepada Allah 'Aza wa Jalla yang dilakukan oleh para shahabat dan kesempurnaan
rasa malu mereka kepada Allah.
2. Selayaknya manusia menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil,
karena dikhawatirkan dosa tersebut dapat merusaknya dalam beragama. Sebagaimana
seseorang menjaga diri dari sedikit racun lantaran khawatir racun itulah yang
menyebabkan kematiannya. Allah 'Aza wa
Jalla berfirman, "Diantara hamba-hamba Allah yang takut
kepada-Nya hanyalah para ulama." (QS. Fathir: 28).
3. Sesungguhnya orang Mukmin memandang dosanya seakan-akan
batu besar yang ia khawatir akan menimpanya, sedangkan orang munafik memandang
dosanya seakan-akan lalat yang lewat diatas hidungnya.
5/64.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam yang bersabda, "Sesungguhnya Allah 'Aza wa Jalla itu
cemburu, dan kecemburuan Allah 'Aza wa Jalla itu ialah apabila seseorang
manusia mendatangi hal-hal yang diharamkan oleh Allah atasnya."
(Muttafaqun 'alaih).
[Shahih:
Al-Bukhari (5223); Muslim (2761)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat pesan bahwa muraqabah kepada
Allah serta takut akan murka dan siksa Allah ketika keharaman-keharaman-Nya
dilakukan.
6/65.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu pernah mendengar Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Ada tiga orang dari kaum Bani Israil
yang terdiri dari penderita kusta, si botak, dan si buta. Allah 'Aza wa Jalla
hendak menguji mereka, lalu Allah 'Aza wa Jalla mengutus seorang malaikat
kepada mereka. Maka sang malaikat mendatangi penderita kusta dan berkata,
'Keadaan seperti apa yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Warna kulit yang
indah dan kulit yang bagus. Di samping itu, penyakit yang membuat orang-orang
jijik kepadaku ini lenyap dari diriku.' Lantas sang malaikat mengusapnya. Dalam
sekejap lenyaplah penyakit yang menjijikkan tersebut dari sekujur tubuhnya dan
ia dikarunia warna kulit yang bagus. Sang malaikat bertanya lagi, 'Harta apakah
yang engkau inginkan?' Ia menjawab, 'Unta.' atau dia mengatakan, 'Sapi.'
-Perawi Hadits ini masih ragu, antara unta ataukah sapi-. Lalu dia dikarunia
unta yang bunting, kemudian malaikat mendo'akan, 'Semoga Allah memberi
keberkahan kepadamu atas unta ini.'
Selanjutnya sang malaikat mendatangi si botak, kemudian ia berkata,
'Keadaan seperti apa yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Rambut yang bagus
dan hal-hal yang menyebabkan orang-orang merasa jijik kepadaku menjadi hilang.'
Lantas sang malaikat mengusapnya. Dalam sekejap lenyaplah penyakit yang
menyebabkan orang-orang merasa jijik kepadanya dan ia dikarunia rambut yang
bagus. Sang malaikat bertanya lagi, 'Harta apakah yang engkau inginkan?' Dia
menjawab, 'Sapi.' Lalu ia dikarunia sapi yang bunting, kemudian malaikat
mendo'akan, 'Semoga Allah memberi keberkahan kepadamu atas sapi ini.'
Yang terakhir, sang malaikat mendatangi orang buta, lalu ia berkata,
'Apakah yang engkau inginkan?' Dia menjawab, 'Allah mengembalikan
penglihatanku, sehingga saya dapat melihat orang-orang.' Lantas sang malaikat
mengusapnya. Dalam sekejap Allah mengembalikan penglihatan matanya. Sang
malaikat bertanya lagi, 'Harta apakah yang engkau inginkan?' Dia menjawab,
'Kambing.' Ia pun dikarunia kambing yang hampir beranak.
Kedua unta dan sapi ini pun mulai beranak. Demikian pula kambing ini
melahirkan anak-anaknya. Beberapa waktu kemudian, si penderita kusta mempunyai
unta sepenuh lembah, si botak mempunyai sapi sepenuh lembah dan si buta
mempunyai kambing sepenuh lembah.
Setelah itu, sang malaikat yang sama mendatangi lagi orang yang dulunya
menderita kusta dalam rupa sebagaimana si penderita kusta ketika masih
menderita kusta. Ia berkata, 'Saya adalah orang miskin yang telah kehabisan
bekal dalam perjalananku. Sehingga, tidak ada yang dapat menyampaikan diriku
ketempat tujuanku pada hari ini melainkan Allah. Oleh karena itu, atas nama
Allah yang telah memberi karunia kepadamu warna kulit yang indah dan bagus dan
sejumlah harta, saya meminta kepadamu seekor unta agar saya dapat menempuh
perjalananku ini.' Ia menjawab, 'Kebutuhanku banyak sekali.' Sang malaikat
berujar, 'Sepertinya saya pernah mengenalmu. Bukankah dahulu engkau seorang
yang berpenyakit kusta sehingga orang-orang merasa jijik kepadamu dan engkau
seorang fakir, kemudian Allah memberikan karunia kepadamu?' Ia menjawab, 'Semua
harta ini adalah warisan nenek moyangku dulu dan mereka pun mewarisi dari nenek
moyangnya pula.' Sang malaikat menandaskan, 'Jika engkau berdusta, maka Allah
akan mengembalikanmu sebagaimana keadaanmu semula.'
Selanjutnya, sang malaikat mendatangi orang yang dulunya botak dalam
rupa sebagaimana keadaan si botak sebelumnya. Sang malaikat mengatakan hal yang
sama sebagaimana yang dikatakan kepada penderita kusta. Dan ternyata si botak
itu menolak permintaannya sebagaimana yang diucapkan oleh penderita kusta.
Akhirnya sang malaikat itu berkata, 'Jikalau engkau berdusta, maka Allah akan
mengembalikanmu sebagaimana keadaanmu semula.'
Terakhir, sang malaikat mendatangi orang yang asalnya buta dalam rupa sebagaimana
keadaan si buta sebelumnya. Kemudian sang malaikat berkata, 'Saya adalah orang
miskin dan sedang menempuh perjalanan yang kebetulan kehabisan bekal. Sehingga,
tidak ada yang dapat menyampaikan perjalananku pada hari ini kecuali Allah.
Oleh karena itu, atas nama Allah yang mengembalikan penglihatanmu, saya meminta
kepadamu seekor kambing sebagai bekal agar saya sampai ke tempat tujuanku dalam
perjalanan ini.' Orang yang asalnya buta tersebut menjawab, 'Saya dahulu adalah
seorang yang buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku. Maka, ambillah
mana saja yang engkau inginkan dan tinggalkanlah mana saja yang engkau
kehendaki. Demi Allah, pada hari ini saya tidak akan mempersulit kepadamu
dengan sesuatu yang engkau ambil karena mengharapkan keridhaan Allah 'Aza wa
Jalla.'
Sang malaikat berkata, 'Tahanlah hartamu, karena sesungguhnya kalian
semua hanya diuji. Sungguh, Allah telah meridhai dirimu dan memurkai dua orang
sahabatmu (Si penderita kusta dan si botak)'."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari
(3464, 6653); Muslim (2964)].
Kosakata asing:
(An-Naqatu al-'usyara')
artinya unta bunting.
(Antaja) dalam
riwayat lain dengan lafal intaja
artinya mengurusi kelahirannya.
(Wallada Hadza)
artinya mengurusi kelahirannya. Kata ini maknanya sama dengan antaja kaitannya dengan unta. Jadi, kata
Al-Muwallid, An-Natij, Al-Qabilah
artinya sama. Akan tetapi, Al-Muwallid untuk binatang sedangkan lainnya untuk
selain hewan.
(Inqato'a bi al-hibal)
artinya beberapa sebab.
(La ajhaduka)
artinya aku tidak mau memberatkanmu untuk meminta kembali sedikitpun dari harta
yang engkau ambil atau kamu cari dari hartaku. Dalam riwayata Imam Bukhari
dengan kata: (La ahmaduka), artinya
aku tidak menghalangimu sekiranya hartaku tidak ada yang engkau tinggalkan
karena engkau memerlukannya.
Penjelasan dan
intisari hadits:
1. Peringatan akan mengkufuri kenikmatan, motivasi untuk
mensyukuri kenikmatan, mengakui kenikmatan, dan memuji Allah atas kenikmatan.
2. Keutamaan sedekah, himbauan bersikap lemah lembut kepada
orang-orang lemah, memuliakan mereka dan memberikan kebutuhan-kebutuhan mereka.
3. Larangan bersikap kikir, karena kikir mendorong pelakunya
untuk berdusta dan mengingkari nikmat Allah.
7/66.
Dari Abu Ya'la, Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Orang yang cerdik ialah
orang yang selalu mengevaluasi diri dan beramal untuk bekal sesudah mati,
sedangkan orang yang lemah ialah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya dan
berangan-angan mendapat kemurahan dari Allah."
[HR. At-Tirmidzi, ia berkata, "Hadits ini hasan"].
[Shahih:
At-Tirmidzi (2461); Ibnu Majah (4260); Ahmad (4/124); Al-Hakim (1//57).
Didha'ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Kitab Dha'if Al-Jami' (4310)].
Penjelasan hadits:
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah angan-anganmu dan bukan (pula)
angan-angan ahli kitab. Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan
dibalas sesuai dengan kejahatannya itu, dan dia tidak akan mendapatkan
pelindung dan penolong selain Allah. Dan barang siapa mengerjakan amal
kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu
akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun."
(QS. An-Nisa': 123-124).
8/67.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Termasuk di
antara kebaikan keislaman seseorang ialah apabila ia meninggalkan hal-hal yang
tidak ada manfa'at padanya'."
[Hadits ini hasan. HR. At-Tirmidzi dan lain-lain].
[Shahih:
At-Tirmidzi (2318); Ibnu Majah (3976); Syaikh Al-Albani menshahihkannya dalam
kitab Shahih Ibnu Majah (3211)].
Penjelasan hadits:
Hadits ini merupakan dasar yang agung di antara dasar-dasar
tentang adab.
Ditanyakan kepada Luqman, "Apa pesan yang sampai kepadamu yang dapat kami lihat?"
Beliau menjawab, "Jujur dalam
perkataan, menyampaikan amanah, dan meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfa'at
bagiku."
Sahl bin Abdullah At-Tutsari berkata, "Barang siapa mengatakan sesuatu yang tidak ada manfa'atnya, maka
ia terhalang untuk jujur."
Diriwayatkan bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Orang yang pertama kali
menjumpai kalian ialah seorang ahli syurga." Lantas yang masuk
bertemu mereka adalah Abdullah bin Salam. Kontan para shahabat mendatanginya dan
menyampaikan kabar kepadanya. Mereka pun bertanya kepadanya, "Ceritakan kepada kami amal perbuatanmu
yang paling engkau andalkan?" Ia menjawab, "Sesungguhnya amal perbuatanku sangat lemah. Yang paling saya
andalkan untuk kuharapkan ialah selamatnya hati dan saya meninggalkan hal yang
tidak bermanfa'at bagiku."
Imam Al-Ghazali menjelaskan, "Batasan perkataan yang tidak ada manfa'atnya bagimu ialah engkau
mengatakan sesuatu yang seandainya engkau tidak mengatakannya, maka engkau
tidak dosa dan tidak ada bahaya, baik di waktu sekarang maupun mendatang."
9/68.
Dari Umar radhiyallahu
'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam yang bersabda, "Janganlah seorang lelaki ditanya
tentang penyebab ia memukul istrinya."
[HR. Abu Dawud dan lain-lainnya].
[Dha'if: Ahmad
(1/20); Abu Dawud (2147); Didha'ifkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Dha'if Al-Jami' (6218)].
Penjelasan hadits:
Maksudnya, tidak boleh ditanyakan apa penyebab seorang suami
memukul istrinya karena ada kemungkinan penyebabnya adalah sesuatu yang
menjadikan malu jika disebutkan, semisal menolak berhubungan badan. Akan
tetapi, hal ini dibiarkan kepada yang bersangkutan dan diserahkan kepada muraqabah kepada Rabbnya kecuali jika
kasusnya perlu dilaporkan kepada hakim. Allah 'Aza wa Jalla berfirman:
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalehah, adalah mereka yang taat
(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur
(pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka
menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya.
Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar."
(QS. An-Nisa': 34).
Semoga kita senantiasa
merasa selalu dalam Pengawasan-Nya 'Aza wa Jalla, sehingga bisa menghindarkan
kita dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
WaAllahu Ta'ala a'lam
bishowab
Wassalamu'alaykum wa
rahmatullaah wa barakatuh.
Sumber:
Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN' - Imam
An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu
Mubarak.
Takrij: Syaikh Nasiruddin
Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah
UMMUL QURA.
Penerbit: Ummul Qura - Jkt.
Kitab "Fathul Qawiyyil Matin
fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab
Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul
Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah
Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar