AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Rabu, 17 Desember 2014

KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang Diperbolehkan

KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang Diperbolehkan.


Bismillaahir Rahmaanir Rahiim..
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah


Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da


Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.


Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa


Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod faaza fauzaa 'adzhiima.


Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar.


Berikut, Pembahasan Singkat KITAB RIYADHUS SHALIHIN


256. Bab Ghibah yang Diperbolehkan.


Perlu diketahui, ghibah hanya diperbolehkan dalam tujuan yang dibenarkan secara syar'i, dimana tujuan tersebut tidak bisa dicapai tanpa ghibah. Ada enam sebab yang membolehkan ghibah secara syar'i:


Pertama:


Mengadukan perlakuan zalim. Orang teraniaya boleh mengadukan perlakuan zalim kepada sultan, hakim, atau pihak lain yang punya  kekuasaan atau kemampuan untuk bertindak adil pada pihak yang berbuat zalim, misalkan dengan mengatakan, "Si fulan menzalimi saya dengan tindakan ini dan itu."


Kedua:


Ghibah digunakan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan ahli maksiat kepada jalan yang benar, misalkan berkata kepada pihak yang kekuasaannya diharapkan bisa menghilangkan kemungkaran, "Si fulan berbuat begini dan begitu, tolong cegahlah dia," atau semisalnya dengan tujuan untuk menghilangkan kemungkaran. Jika tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kemungkaran maka hukumnya haram.


Ketiga:


Bertanya, misalkan bertanya kepada mufti, "Ayah, saudara saya, suami saya, atau si fulan menzalimi saya dengan tindakan ini dan itu. Bolehkah dia melakukan hal itu? Bagaimana caranya agar saya bisa terlepas dari dia, agar saya mendapatkan hak saya kembali, dan menangkal kezalimannya?" atau, kata-kata yang serupa lainnya. Ghibah semacam ini diperbolehkan karena diperlukan. Namun begitu, lebih hati-hati dan lebih baiknya mengatakan demikian, "Bagaimana pendapat Anda terkait seseorang atau seorang suami yang begini dan begitu?" Dengan cara ini maksudnya tercapai tanpa menyebut orang tertentu. Meski demikian, menyebut orang secara tertentu hukumnya boleh, seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun, in syaa Alloh.


Keempat:


Mengingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan atau menasehati mereka melalui beberapa sisi;


Mengkritik para perawi atau saksi yang harus dikritik. Ini boleh berdasarkan ijmak kaum muslimin, bahkan wajib jika diperlukan.


Bermusyawarah untuk menikahkan seseorang, melibatkan seseorang untuk suatu urusan, menitipkan sesuatu atau bermuamalah dengan seseorang. Orang yang dimintai pendapat tidak boleh menutup-nutupi kondisi orang yang dimaksud, bahkan harus menyebutkan segala keburukannya dengan niat memberikan nasihat.


Ketika seseorang melihat seorang murid sering menemui ahli bid'ah atau berguru pada orang fasik, dan ia khawatir jika si murid terkena bahayanya, ia harus menasihati si murid dan menjelaskan kondisi gurunya, dengan syarat berniat memberikan nasihat. Dan sisi inilah yang kadang disalahgunakan. Kadang orang menyampaikan hal tersebut karena dorongan dengki. Ditambah lagi setan membuat samar hal itu padanya, dan membuatnya terbayang seakan-akan yang ia sampaikan adalah nasihat. Hal semacam ini perlu diperhatikan dengan baik.


Seseorang yang memiliki kekuasaan namun tidak ia jalankan secara semestinya, mungkin karena tidak layak menjabat kekuasaan tersebut, atau mungkin pula yang bersangkutan fasik atau lalai. Kondisi ini harus disampaikan kepada pemimpin tertinggi untuk mencopot orang tersebut, dan menunjuk orang yang layak, atau seseorang mengetahui kondisi si pemimpin yang tidak layak atau fasik tersebut, agar pemimpin tertinggi memperlakukannya sesuai kondisinya, tidak terpedaya, dan berusaha untuk mendorongnya berlaku istiqomah, atau meminta agar diganti dengan yang lain.


Kelima:


Seseorang menampakkan kefasikan atau bid'ah, seperti meminum khamar secara terang-terangan, merampas harta milik orang lain, memungut pajak, memungut harta orang lain secara semena-mena, dan membawahi urusan-urusan bathil. Kefasikan orang seperti ini boleh diberitahukan kepada khalayak, namun haram hukumnya menyebutkan aib-aib lainnya selain kefasikan yang ia perlihatkan secara terang-terangan (jelas), kecuali jika ada faktor lain yang membolehkan untuk menyebut aib-aib lainnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


Keenam:


Untuk memperkenalkan. Jika seseorang dikenal dengan suatu julukan, seperti Al-A'masy (orang yang kabur penglihatannya), Al-A'raj (pincang), Al-Asham (tuli), Al-Ahwal (juling), dan lainnya, mereka boleh diperkenalkan dengan julukan-julukan tersebut. Namun tidak boleh menyebut julukan-julukan ini dengan maksud menghina. Ada baiknya jika pengenalan dilakukan dengan julukan lain.


Demikian enam sebab yang disebutkan ulama, dan sebagian besar di antaranya disepakati. Dalil-dalilnya adalah hadits-hadits shahih dan masyhur. Sebagian ulama menyatukan sebab-sebab ini dalam bait syair berikut:


Celaan bukanlah ghibah dalam enam (hal); Mengadukan kezaliman, memperkenalkan, mengingatkan. Orang yang menampakkan kefasikan dengan jelas, orang yang bertanya, dan orang yang meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.


Diantara hadits-hadits tersebut:


1/1531.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, seseorang meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau berkata, "Izinkan dia masuk, dia adalah seburuk-buruk anggota kabilah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6054), dan Muslim (2591)].


Penjelasan:


Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Bukhari terkait bolehnya menggunjing orang-orang yang berbuat kerusakan dan mencurigakan. Ada yang mengatakan bahwa orang dalam riwayat ini adalah Uyainah bin Hishn. Yang lain menyebut Makhramah bin Naufal.


2/1532.
Dari ('Aisyah), ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Aku yakin si fulan dan fulan sama sekali tidak mengetahui agama kita sedikitpun'."
(HR. Al-Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari, 6067].


Penjelasan:


Al-Bukhari berkata, "Laits bin Sa'ad, salah satu perawi hadits ini, berkata, 'Kedua orang tersebut termasuk golongan orang-orang munafik'."


Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan hal itu untuk menjelaskan kemunafikan yang disembunyikan oleh kedua orang tersebut, agar penampilan luar keduanya tidak mengelabuhi orang yang tidak mengetahui urusan mereka berdua.


3/1533.
Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu'anha, ia berkata, "Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku berkata, 'Abu Jahm dan Mu'awiyah meminangku.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda, 'Adapun Mu'awiyah, dia miskin, tidak punya harta, sementara Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Muslim (1480), Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits ini].


Penjelasan:


Riwayat Muslim menyebutkan; "Adapun Abu Jahm, ia suka memukul wanita." Ini menafsirkan riwayat, "Dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya." Pendapat lain mengatakan, artinya ia sering bepergian.
Pensyarah mengatakan, makna pertama lebih tepat, karena riwayat-riwayat saling menafsirkan satu sama lain, meski tidak menutup kemungkinan untuk disatukan.


4/1534.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan saat orang-orang tertimpa kesulitan, lalu Abdullah bin Ubai berkata, 'Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)' Ia juga berkata, 'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Musthalik), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.' Aku kemudian menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu kepada beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian menemui Abdullah bin Ubay, lalu ia bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa ia tidak mengatakan seperti itu. Mereka kemudian berkata, 'Zaid telah berdusta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam'. Karena kata-kata mereka ini, sesuatu yang berat menimpa diri saya, hingga Allah menurunkan kepada Nabi-Nya pembenaran kata-kata saya; Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad)' Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memanggil mereka untuk memintakan ampunan bagi mereka, mereka lantas membuang muka'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (3900), Muslim (2772)].


Penjelasan:


Perkataan Zaid, "Lalu ia bersumpah dengan sungguh-sungguh," yaitu ia bersumpah dan menegaskan sumpahnya dengan mengulang-ulangnya.


5/1535.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, 'Abu Sufyan itu orang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (5359), Muslim (1714)].


Penjelasan:


Dalam hadits ini, Asy-Syuhh artinya kikir disertai tamak.
Hadits ini menunjukkan, boleh menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak ia sukai dengan maksud untuk meminta fatwa, mengadu, dan semacamnya. Dan boleh mendengar kata-kata wanita asing (bukan mahram) di hadapan hukum dan fatwa.
Hadits ini menunjukkan, wajib menafkahi istri. Nafkah istri di ukur berdasarkan kecukupan.
Juga menunjukkan, hal-hal yang tidak ditentukkan dalam syari'at mengacu pada kebiasaan.


Allahu a’lam..
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaah wa barakaatuh..


Sumber:
KITAB RIYADHUSH SHALIHIN
Imam An-Nawawi
Syarah: Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Alih Bahasa: Tim Penterjemah Ummul Qura
Penerbit: UMMUL QURA – Jkt.

HUKUM MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim..
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah


Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da


Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.


Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa


Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod faaza fauzaa 'adzhiima.


Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar.


Bolehkah Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal?


Sudah sering kita mendengar ucapan semacam ini menjelang perayaan Natal yang dilaksanakan oleh orang Nashrani. Mengenai dibolehkannya mengucapkan selamat natal ataukah tidak kepada orang Nashrani, sebagian kaum muslimin masih kabur mengenai hal ini. Sebagian di antara mereka dikaburkan oleh pemikiran sebagian orang yang dikatakan pintar (baca: cendekiawan), sehingga mereka menganggap bahwa mengucapkan selamat natal kepada orang Nashrani tidaklah mengapa (alias 'boleh-boleh saja'). Bahkan sebagian orang pintar tadi mengatakan bahwa hal ini diperintahkan atau dianjurkan.


Namun untuk mengetahui manakah yang benar, tentu saja kita harus merujuk pada Al Qur'an dan As Sunnah, juga pada ulama yang mumpuni, yang betul-betul memahami agama ini. Ajaran islam ini janganlah kita ambil dari sembarang orang, walaupun mungkin orang-orang yang diambil ilmunya tersebut dikatakan sebagai cendekiawan. Namun sayang seribu sayang, sumber orang-orang semacam ini kebanyakan merujuk pada perkataan orientalis barat yang ingin menghancurkan agama ini. Mereka berusaha mengutak-atik dalil atau perkataan para ulama yang sesuai dengan hawa nafsunya. Mereka bukan karena ingin mencari kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya, namun sekedar mengikuti hawa nafsu. Jika sesuai dengan pikiran mereka yang sudah terkotori dengan paham orientalis, barulah mereka ambil. Namun jika tidak bersesuaian dengan hawa nafsu mereka, mereka akan tolak mentah-mentah. Ya Allah, tunjukilah kami kepada kebenaran dari berbagai jalan yang diperselisihkan -dengan izin-Mu-
Semoga dengan berbagai fatwa dari ulama yang mumpuni, kita mendapat titik terang mengenai permasalahan ini.


HUKUM UCAPAN SELAMAT NATAL


Oleh:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan:


Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin- rahimahullah ditanya: Bagaimana hukum mengucapkan "Merry Christmas" (Selamat Natal) kepada orang-orang Kafir? Bagaimana pula memberikan jawaban kepada mereka bila mereka mengucapkannya kepada kita? Apakah boleh pergi ke tempat-tempat pesta yang mengadakan acara seperti ini? Apakah seseorang berdosa, bila melakukan sesuatu dari yang disebutkan tadi tanpa sengaja (maksud yang sebenarnya) namun dia melakukannya hanya untuk berbasa-basi, malu, nggak enak perasaan atau sebab-sebab lainnya? Apakah boleh menyerupai mereka di dalam hal itu?


Jawaban:


Mengucapkan "Merry Christmas" (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (Ijma'). Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya "Ahkâm Ahl adz-Dzimmah", beliau berkata;


"Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi'ar-syi'ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, 'Semoga Hari raya anda diberkahi' atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah Ta'ala. Dan amat dimurka lagi bila memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut. Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid'ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi Kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya."


Mengenai kenapa Ibn al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi'ar-syi'ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridlai hal itu dilakukan mereka sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridlai syi'ar-syi'ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya karena Allah Ta'ala tidak meridlai hal itu, sebagaimana dalam firman-Nya:


Artinya : "Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu."
(QS. Az-Zumar: 7)


Artinya : "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu."
(QS. Al-Ma`idah: 3)


Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.


Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridlai Allah Ta'ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari'atkan di dalam agama mereka akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk.
Allah Ta'ala berfirman:


Artinya: "Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi."
(QS. Ali 'Imran: 85)


'Berkunjung Ke Tempat Orang Nashrani untuk Mengucapkan Selamat Natal pada Mereka'


Masih dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah dari Majmu' Fatawa wa Rosail Ibnu 'Utsaimin, 3/29-30, no. 405.


Pertanyaan:


Syaikh rahimahullah ditanya: "Apakah diperbolehkan pergi ke tempat pastur (pendeta), lalu kita mengucapkan selamat hari raya dengan tujuan untuk menjaga hubungan atau melakukan kunjungan?"


Jawaban:


Tidak diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekedar memberi selamat (salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:


"Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat)."
(HR. Muslim no. 2167)


Adapun dulu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berkunjung ke tempat orang Yahudi yang sedang sakit ketika itu, ini dilakukan karena Yahudi tersebut dulu ketika kecil pernah menjadi pembantu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Tatkala Yahudi tersebut sakit, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjenguknya dengan maksud untuk menawarkannya masuk Islam. Akhirnya, Yahudi tersebut pun masuk Islam. Bagaimana mungkin perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengunjungi seorang Yahudi untuk mengajaknya masuk Islam, kita samakan dengan orang yang bertandang ke non muslim untuk menyampaikan selamat hari raya untuk menjaga hubungan?! Tidaklah mungkin kita kiaskan seperti ini kecuali hal ini dilakukan oleh orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu.


'Merayakan Natal Bersama'


Fatwa berikut adalah fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta'
(Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) no. 8848.


Pertanyaan:


"Apakah seorang muslim diperbolehkan bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam perayaan Natal yang biasa dilaksanakan pada akhir bulan Desember? Di sekitar kami ada sebagian orang yang menyandarkan pada orang-orang yang dianggap berilmu bahwa mereka duduk di majelis orang Nashrani dalam perayaan mereka. Mereka mengatakan bahwa hal ini boleh-boleh saja. Apakah perkataan mereka semacam ini benar? Apakah ada dalil syar'i yang membolehkan hal ini?"


Jawaban:


Tidak boleh bagi kita bekerjasama dengan orang-orang Nashrani dalam melaksanakan hari raya mereka, walaupun ada sebagian orang yang dikatakan berilmu melakukan semacam ini. Hal ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan jumlah mereka yang banyak. Di samping itu pula, hal ini termasuk bentuk tolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah Ta'ala berfirman:


"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran."
(QS. Al Maidah: 2)


Semoga Allah memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, pengikut dan sahabatnya.


Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya.


Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya.


Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam:


"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka."
[Hadits Riwayat Abu Daud]


Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidlâ` ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm.


"Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan mengihinakan kaum lemah (iman)."


Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena berbasa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab-sebab lainnya karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.


Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan dien mereka, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada mereka terhadap musuh-musuh mereka, sesungguh Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.


Semoga Allah Ta’ala memberi taufik pada kita. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, pengikut dan sahabatnya.


Semoga bermanfa'at..
Wassalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


[Disalin dari Majmû' Fatâwa Fadlîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, Jilid.III, h.44-46, No.403]
Via: almanhaj.or.id & muslim.or.id

Minggu, 07 Desember 2014

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Larangan Ghibah, dan Perintah Menjaga Lisan.

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Larangan Ghibah, dan Perintah Menjaga Lisan.
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..




254. Bab Larangan Ghibah dan Perintah Menjaga Lisan


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujurat: 12)


Ayat ini melarang ghibah, yaitu menyebut-nyebut seorang muslim dengan sesuatu yang tidak ia suka, meskipun hal itu benar.


Ibnu Katsir menjelaskan, ghibah haram berdasarkan ijmak, tidak ada pengecualiannya selain untuk maslahat yang kuat, seperti jarh-ta'dil, dan nasihat. Seperti perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam saat ada orang keji meminta izin untuk menemui beliau, "Izinkan dia masuk, dia adalah seburuk-seburuk anggota kabilah." Juga kata-kata beliau terhadap Fathimah binti Qais Radhiyallahu 'anha, saat itu ia dipinang Mu'awiyah dan Abu Jahm, "Adapun Mu'awiyah, dia miskin, sementara Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya." Dan untuk hal-hal lain yang termasuk nasihat. Selain itu, ghibah tetap sebagai sebuah larangan keras. Terdapat nash yang secara tegas melarang ghibah. Untuk itu, Allah menyamakan perbuatan yang satu ini dengan memakan bangkai manusia, seperti yang Allah Ta'ala sampaikan dalam firman-Nya:


"Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik."
(QS. Al-Hujurat:12).


Yaitu, seperti hal nya kita secara tabi'at merasa jijik memakan bangkai manusia, maka kita harus membenci perbuatan ghibah, karena hukumannya jauh lebih berat.


Peringatan ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terkait orang yang menarik kembali hibah yang telah ia berikan, "Laksana anjing muntah, kemudian ia menjilati kembali muntahnya." Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kami tidak memiliki perumpamaan buruk."


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya."
(QS. Al-Isra: 36).


Ibnu Abbas menafsirkan, "Janganlah kamu mengatakan (sesuatu yang tidak kamu ketahui)."


Qatadah menafsirkan, "Janganlah kamu berkata, 'Aku melihat,' padahal tidak melihat apa pun, 'Aku mendengar,' padahal tidak mendengar apapun, 'Aku tahu,' padahal tidak tahu, karena Allah Ta'ala akan menanyakan semua itu padamu."


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (mencatat)."
(QS. Qaf: 18).


Yaitu, tidaklah seseorang mengatakan sesuatu, melainkan akan dicatat perkataannya itu oleh malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia.


Ibnu Abbas menafsirkan, "Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sekitarnya malaikat pengawas yg selalu hadir (mencatat)," malaikat mencatat segala kebaikan ataupun keburukan yang diucapkan manusia, bahkan malaikat mencatat kata-kata manusia, "Aku makan, minum, aku pergi, aku datang, aku melihat," hingga saat hari Kamis tiba, segala amal perbuatan dan perkataannya diperlihatkan kepada Allah, Allah menetapkan kebaikan dan keburukan yang dicatat, lalu membuang selain itu. Itulah maksud firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)."
(QS. Ar-Ra'd: 39).


Hasan Al-Bashri berkata seraya membaca ayat ini:


"(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang stu duduk disebelah kanan dan yang lain disebelah kiri."
(QS. Qaf: 17).


"Wahai anak Adam! Lembaran amal dibentangkan untukmu, dua malaikat mulia ditugaskan untukmu, salah satunya berada di sebelah kananmu, satunya lagi di sebelah kirimu. Yang berada di sebelah kananmu mencatat kebaikan-kebaikanmu, sementara yang di sebelah kirimu mencatat keburukan-keburukanmu. Maka berbuatlah semamumu, entah sedikit ataupun banyak. Setelah kau mati, lembaran amalmu dilipat dan diletakkan di lehermu saat kau berada di kuburmu, hingga kau muncul pada hari kiamat. Saat itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, 'Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya, dan pada hari Kiamat kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. 'Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu'."
(QS. Al-Isra': 13-14).
Setelah itu Hasan Al-Bashri berkata, "Demi Allah, Dzat yang membuatmu sebagai penghitung atas dirimu sendiri, telah berlaku adil."


Perlu diketahui, setiap mukallaf harus menjaga lisan dari seluruh tutur kata, selain kata-kata yang tampak jelas maslahatnya. Ketika dari sisi maslahat sama saja antara berbicara atau diam, maka sunnahnya adalah menahan diri untuk berbicara, karena kata-kata mubah bisa berkembang menjadi kata-kata haram atau makruh. Kata-kata seperti ini biasanya banyak. Keselamatan tidak setara dengan apa pun juga.


Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Di antara baiknya (tanda) ke-Islaman seseorang adalah meninggalkan apa pun yang tidak berguna."


1/1511.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diamlah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47)].


Penjelasan:


Hadits ini secara tegas menunjukkan, tidak sepatutnya berbicara selain kata-kata yang baik. Inilah kata-kata yang jelas terlihat maslahatnya. Ketika diragukan adanya maslahat, jangan berbicara (diamlah).


Artinya, siapa yang beriman secara sempurna, iman yang menyelamatkan dari siksa Allah dan menghantar menuju ridha Allah, berkatalah yang baik atau diamlah, karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenarnya takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha sekuat tenaga melakukan apa yang Ia perintahkan dan menjauhi larangan-Nya.


2/1512.
Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah muslim yang paling baik?' Beliau menjawab, 'Orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (11) dan Muslim (42)].


Penjelasan:


Hadits ini menunjukkan, siapa yang kaum muslimin terhindar gangguannya, berarti dia muslimin terbaik. Lisan dan tangan secara khusus disebut, karena umumnya segala hal berasal dari kedua bagian tubuh ini, karena kata-kata diucapkan dengan lisan, dan perbuatan dilakukan dengan tangan.


3/1513.
Dari Sahal bin Sa'ad, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Barang siapa menjamin (menjaga) apa yang ada di antara dua jenggotnya (lisan) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (kemaluan) untukku, aku menjamin surga untuknya'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6474) dan At-Tirmidzi (2408). Saya (Syaikh Al-Albani) tidak mendapatkan hadits ini dalam (riwayat) Muslim. Begitu pula ulama yang mentakhrij buku Riyadhush Shalihin].


Penjelasan:


Hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang menjaga lisan dan kemaluan dari segala yang diharamkan, ia akan masuk syurga.


4/1514.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata tanpa ia pikirkan (baik atau buruk) nya, dan ia pun tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari (jarak) antara timur dan barat."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6477); Muslim (2988); dan At-Tirmidzi (2315)].


Penjelasan:


Makna 'yatabayyanu' adalah memikirkan apakah kata-katanya baik atau buruk.


Hadits ini menunjukkan, tidak sepatutnya banyak berbicara, jangan berbicara selain dalam hal-hal yang berguna, dan harus menjaga ucapan saat marah, karena bisa jadi saat marah seseorang mengucapkan kata-kata yang membahayakan dirinya sendiri dalam hal agama dan dunia.


Disebutkan dalam hadits Abu Dzar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang beliau riwayatkan dari lembaran-lembaran Ibrahim 'alaihissalaam, "Orang berakal harus mengetahui zamannya, menata urusannya, dan menjaga lisannya. Siapa yang meyakini tutur kata termasuk bagian dari amal, ia akan sedikit berbicara, kecuali untuk hal-hal yang berguna."


5/1515.
Dari (Abu Hurairah), dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata dari (kata-kata) yang diridhai Allah Ta'ala tanpa ia pedulikan, dan Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata dari (kata-kata) yang dimurkai Allah Ta'ala tanpa ia pedulikan, dan karena itu ia pun jatuh ke dalam neraka Jahanam."
[Shahih: Al-Bukhari (6478)].


6/1516.
Dari Abu Abdurrahman, Bilal bin Harits Al-Muzanni radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata dari keridhaan Allah Ta'ala, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian rupa, dan karenanya Allah mencatat ridha-Nya untuknya hingga hari ia bertemu dengan-Nya. Dan sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata dari murka Allah Ta'ala, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian rupa, dan karenanya Allah mencatat murka-Nya untuknya hingga hari ia bertemu dengan-Nya."
(HR. Malik dalam Al-Muwaththa', dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih.").
[Shahih: Imam Malik (2/985); Ahmad (3/469); At-Tirmidzi (2319); dan Ibnu Majah (3969), Lihat 'Shahih Ibn Majah (3205)].


Penjelasan:


Ibnu Abdilbarr berkata, "Aku tidak mengetahui perbedaan pendapat terkait sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits ini, 'Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata di hadapan sultan zalim, dengan kata-kata itu seseorang membuat si sultan tersebut senang, sehingga ia membuat Allah Ta'ala murka, ia hiasi kebathilan yang hendak dilakukan sultan, seperti menumpahkan darah, mendzalimi muslim, atau semacamnya yang diinginkan si sultan, sehingga ia menjauh dari Allah dan meraih murka-Nya. Demikian hal nya kata-kata yang disukai Allah Ta'ala, yang diucapkan di hadapan sultan untuk mengalihkan sultan dari keinginannya dan mencegah kemaksiatan yang ia inginkan. Kata-kata ini juga menggapai keridhaan Allah yang tidak ia sangka-sangka.


7/1517.
Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sampaikan suatu hal kepadaku untuk kujadikan pegangan.' Beliau bersabda, 'Katakan, 'Rabbku Allah,' kemudian ber-istiqamahlah.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan padaku?' Beliau memegang lisannya sendiri lalu menjawab, 'Ini'."
(HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih.").
[Shahih: At-Tirmidzi (2410). Lihat 'Shahih At-Tirmidzi' (1964)].


Penjelasan:


Istiqamah adalah menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan. Hadits ini bersumber dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :


"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Rabb kami adalah Allah,' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan kepadamu'."
(QS. Fushshilat: 30).


Hadits tersebut diatas menunjukkan, hal terbesar yang membinasakan manusia adalah lisan.


Al-Aquli berkata, "Kekhawatiran dikaitkan dengan lisan karena lisan adalah kendali manusia."


8/1518.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Janganlah kalian memperbanyak perkataan selain dzikir kepada Allah, karena banyaknya perkataan selain dzikir kepada Allah Ta'ala mengeraskan hati, dan manusia yang paling jauh dari Allah Ta'ala adalah yang berhati keras'."
(HR. At-Tirmidzi).


Penjelasan:


Dzikir adalah pujian untuk Allah dan berdo'a kepada-Nya, dan dzikir yang paling mulia adalah Al-Qur'an.
Kerasnya hati adalah hati tidak tersentuh oleh nasihat, tidak menjalankan kebaikan dan tidak berhenti melakukan keburukan.


9/1519.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Siapa yang dijaga Allah dari keburukan apa yang ada di antara dua jenggotnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), ia masuk syurga'."
(HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih.").
[Shahih: At-Tirmidzi (2409), Lihat Shahih Al-Jami', (6593)].


Penjelasan:


Yaitu, siapa yang menjaga lisan dari keburukan dan ia gunakan lisan dalam kebaikan, dan ia jaga kemaulannya dari hal-hal yang diharamkan, ia masuk syurga.


10/1520.
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu menjadi lapang bagimu (lakukan hal-hal yang membuatmu betah di rumah), dan tangisilah kesalahanmu'."
(HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan.").
[Shahih: Ahmad (4/48) dan At-Tirmidzi (2406); Shahih At-Tirmidzi, 1961].


Penjelasan:


Ada yang menyatakan, jawaban ini termasuk kata-kata orang bijak, karena yang ditanyakan adalah tentang hakikat keselamatan, namun jawaban yang diberikan adalah sebab-sebab selamat, karena itu yang lebih penting.


11/1521.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, 'Apabila anak Adam memasuki pagi hari, seluruh bagian tubuh tunduk di hadapan lisan, mereka berkata, 'Bertakwalah kepada Allah dalam (menjaga hak-hak) kami, karena kami ini akan dihukum (karena apa yang kau ucapkan) Jika kau lurus, kami lurus, dan jika kau bengkok, kami bengkok pula'."
(HR. At-Tirmidzi).
[Hasan: At-Tirmidzi (2407). Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami' (351)].


Dalam hadits ini, tukaffirul lisan artinya tunduk di hadapan lisan. 'Fa innama nahnu bika' artinya kami dihukum karena apa yang kau ucapkan.


Penjelasan:


Ath-Thaibi berkata, "Sinkronisasi antara hadits ini dengan hadits, 'Sungguh, di dalam tubuh ada segumpal darah,' lisan adalah pengganti dan penerjemah hati, dan manusia itu berupa hati dan lisan. Manusia itu ditentukan oleh salah satu di antara dua organnya yang paling kecil."


12/1522.
Dari Mu'adz radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang memasukkanku ke syurga dan menjauhkanku dari neraka?' Beliau bersabda, 'Kau menanyakan tentang sesuatu yang besar. Sungguh, itu mudah bagi yang diberi kemudahan Allah; engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan kepadamu? Puasa itu perisai, sedekah itu memadamkan kesalahan, seperti air memadamkan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam.' Setelah itu beliau membaca, 'Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.' (As-Sajdah: 16-17) Setelah itu beliau bertanya, 'Maukah aku beritahukan padamu asas, tiang, dan puncak urusan (agama)?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Asas urusan (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku beritahukan padamu tiang semua itu?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau kemudian memegang lisan dan bersabda, Tahanlah (lisan) mu!' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kita dihukum karena apa yang kita bicarakan?' Beliau menjawab, 'Semoga ibumu kehilanganmu! (secara tekstual berarti do'a kematian, namun ini bukan yang dimaksud. Yang dimaksud adalah untuk mengingatkan dari kelalaian dan membesarkan suatu hal), manusia ditelungkupkan di neraka di atas wajah-wajah mereka tidak lain disebabkan oleh hasil dari lisan mereka'."
(HR. At-Tirmidzi dan berkata, "Hadits ini hasan shahih.").


Penjelasan:


1. Amal perbuatan adalah sebab masuk syurga.
2. Seluruh pertolongan berada di tangan Allah 'Aza wa Jalla. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan bahwa menjalankan kewajiban-kewajiban Islam berujung pada masuk syurga, selanjutnya beliau menunjukkan pintu-pintu kebaikan di antara amalan-amalan nafilah.
3. Jihad adalah amalan terbaik setelah amalan-amalan fardhu, dan menahan lisan selain untuk mengatakan yang baik-baik adalah asas kebaikan.


13/1523.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tahukah kalian apa ghibah itu?' Mereka (para shahabat) menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda, 'Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia tidak suka.' Beliau ditanya, 'Bagaimana jika saudaraku itu memang seperti yang kukatakan?' Beliau menjawab, 'Jika kata-katamu terkait saudaramu benar, maka kau telah meng-ghibah-nya, dan jika kata-katamu terkait saudaramu tidak benar, maka kau telah berdusta terhadapnya'."
(HR. Muslim).


Penjelasan:


Hadits ini menunjukkan, hakikat ghibah adalah menyebut-nyebut seseorang dengan yang tidak ia sukai. Yaitu apabila perkataan itu benar itulah ghibah, dan jika perkataan itu tidak benar maka itulah fitnah (dusta).


14/1524.
Dari Abu Bakrah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam khutbah hari Nahr di Mina saat haji Wada', "Sungguh, darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian, haram bagi kalian seperti haramnya hari kalian ini, dibulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Ingat, aku sudah menyampaikan ini!"
(Muttafaq 'alaih).


Penjelasan:


Hadits ini mengharamkan mengusik darah, harta benda, dan kehormatan seorang muslim dengan tindakan apa pun yang tidak diizinkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.


15/1525.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Aku berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, 'Shafiyah itu begini dan begitu.' Sebagian perawi mengatakan, 'Maksud 'Aisyah; Shafiyah itu pendek.' Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda, 'Sungguh, kau telah mengucapkan kata-kata yang andai dicampurkan dengan air lautan, tentu akan mengotorinya!' 'Aisyah berkata, 'Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang di hadapan beliau, lalu bliau bersabda, 'Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang meskipun aku diberi ini dan itu'."
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih").
[Shahih: Ahmad (6/189); Abu Dawud (4875); dan At-Tirmidzi (2502). Lihat Shahih At-Tirmidzi (2024)].


Penjelasan:


Hadits ini merupakan larangan keras menggunjing orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."
(QS. An-Najm: 3-4).


Kata-kata 'Aisyah, "Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang dihadapan beliau," maksudnya 'Aisyah meniru gerakan seseorang yang tidak ia suka.


Al-Aquli menjelaskan, sabda beliau, "Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang," maksudnya aku tidak ingin meniru seperti tindakannya. Dalam bahasa Arab, meniru tindakan dan ucapan seseorang disebut  'hakahu'. Kata ini umumnya digunakan untuk hal buruk. Dalam ghibah, perbuatan ini haram, misalnya menirukan cara berjalan orang pincang, membungkuk, atau kondisi-kondisi lain yang ditiru.


16/1526.
Dari Anas radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Saat aku di-mi'rija-kan (dibawa naik ke langit) aku melintasi suatu kaum. Mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar wajah dan dada mereka. Aku kemudian bertanya, 'Siapa mereka itu, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang memakan daging orang, dan membicarakan harga diri orang lain!"
(HR. Abu Dawud).
[Shahih: Ahmad (3/224) dan Abu Dawud (4878). Lihat Ash-Shahihah (553) dan Shahih Al-Jami' 5213)].


Penjelasan:


Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditanya, "Wahai Rasulullah, si fulanah dan fulanah berpuasa, keduanya sudah tidak kuat.' Beliau berkata, 'Panggil keduanya!' Beliau kemudian berkata kepada salah satunya, 'Muntahlah!' Ia kemudian memuntahkan daging, darah segar, dan nanah.' Yang satunya lagi juga seperti itu. Setelah itu beliau bersabda, 'Keduanya menahan diri dari apa yang Allah halalkan, namun keduanya tidak bisa menjaga diri dari apa yang Allah haramkan. Salah satunya mendatangi yang lain, lalu keduanya terus memakan daging orang hingga perut mereka berdua penuh dengan nanah'."


17/1527.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Setiap Muslim bagi muslim lainnya adalah haram darah, kehormatan dan hartanya."
(HR. Muslim).
[Shahih: Muslim (2564)].


Penjelasan:


Hadits ini menegaskan haramnya darah, harga diri, dan harta benda seorang muslim.


Allahu a’lam bishowab..
Barakallaahu fiikum..
Semoga bermanfa’at..
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


Sumber:
‘KITAB RIYADHUS SHALIHIN’, Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.
Penerbit: UMMUL QURA; Jakarta.