AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Selasa, 24 Februari 2015

SYARAH HADITS ARBA'IN AN-NAWAWI, Hadits Ke-13

Hadits Ke-13


"Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, pembantu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga dia mencintai saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri."
(HR. Bukhari dan Muslim).


Hadits ini menafikkan kesempurnaan iman yang bersifat wajib dari seorang muslim hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri, yaitu dalam hal duniawi dan ukhrawi. Termasuk bergaul dengan manusia sebagaimana dia suka dipergauli oleh orang lain dengannya. Dalam Shahih Muslim [1844] disebutkan dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu 'anhuma dalam hadits yang panjang:


"Barangsiapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka hendaklah ketika kematian menjemputnya dia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dia mempergauli manusia dengan cara yang ia senangi dipergauli oleh orang lain."


Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi."
(QS. Al-Muthaffifin: 1-3).


Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata dalam Jami'ul Ulum Wal Hikam [I/306]: "Hadits Anas menunjukkan bahwa seorang mukmin merasa senang dengan apa yang membuat saudara seimannya senang. Dia mengharapkan bagi saudaranya seiman apa yang dia harapkan untuk dirinya sendiri berupa kebaikan. Ini semua sejatinya timbul dari kebersihan sempurna sebuah hati dari sifat menipu dan mendengki. Sesungguhnya kedengkian membuat seseorang tidak senang jika orang lain melebihinya dalam kebaikan, atau bahkan menyamainya sekalipun. Karena dia senang melebihi orang lain dengan segala keutamaan yang dia miliki dan ingin memilikinya sendiri. Sedangkan konsekuensi iman adalah kebalikan dari hal tersebut. Sesungguhnya iman membuat seseorang ingin seluruh kaum mukminin ikut merasakan kebaikan yang diberikan Allah kepadanya, tanpa kurang sedikitpun."


Dia juga berkata [308]: "Kesimpulannya, seorang mukmin hendaknya mencintai bagi kaum mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya, dan membenci bagi mereka apa yang dia benci bagi dirinya. Jika dia mendapati kekurungan pada agama saudaranya se-Islam maka dia berusaha untuk memperbaikinya."


Diantara kandungan hadits ini adalah:


1. Hendaklah seorang muslim mencintai untuk saudara se-Islam nya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri, dan membenci untuknya apa yang dia benci untuk dirinya sendiri.


2. Motivasi untuk menerapkan perkara ini, sebab kesempurnaan iman yang bersifat wajib adalah dinafikan dari diri seseorang sampai dia menerapkan perkara tersebut.


3. Kaum mukminin bertingkat-tingkat dalam iman mereka.


4. Penggunaan ungkapan "Saudaranya" bertujuan untuk menumbuhkan kasih sayang pada seorang muslim agar hal tersebut diterapkan untuk saudaranya.


Sumber:

Kitab “Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah.”, oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr. (Ulama Ahli Hadits Kota Madinah an-Nabawiyah).

SYARAH HADITS ARBA'IN AN-NAWAWI, Hadits Ke-12

Hadits Ke-12:


"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya."
(Hadits hasan, Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lainnya seperti ini).


Makna hadits ini adalah seorang muslim itu meninggalkan hal yang tidak penting baginya dalam urusan agama dan dunia, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Artinya dia harus berusaha keras melakukan hal yang berguna baginya dalam semua itu.


Ibnu Rajab berkata dalam Jami'ul Ulum Wal Hikam [I/288-289]: "Makna hadits ini bahwasanya orang yang baik keislamannya akan meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak berguna dan membatasi diri dengan ucapan dan perbuatan yang berguna. Makna Ya'nihi adalah inayah (perhatian) nya tercurah padanya serta menjadi maksud dan tujuannya. Inayah artinya sangat memperhatikan sesuatu.
Dikatakan:


"Anaahu ya'niihi"


Artinya:


"Dia memperhatikannya dan meninggalkannya."


Maksudnya bukanlah meninggalkan sesuatu yang tidak dia perhatikan dan tidak dia inginkan menurut hawa nafsu. Namun harus menurut hukum Islam dan Islam. Sebab itulah hal ini dijadikan sebagai salah satu bentuk kebaikan Islam seseorang. Jika baik keislaman seseorang maka dia akan meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak berguna baginya dalam Islam. Sesungguhnya Islam menuntut untuk melakukan perkara-perkara wajib sebagaimana telah disebutkan pada penjelasan hadits Jibril 'alaihis salaam. Sesungguhnya termasuk kategori Islam yang sempurna lagi terpuji meninggalkan perkara-perkara haram. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:


"Seorang muslim adalah kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya."


Jika keislaman seseorang baik artinya dia akan meninggalkan segala hal yang tidak berguna dari setiap perkara haram, syubhat, makruh dan perkara-perkara mubah yang tidak dibutuhkan. Semua perkara ini tidaklah berguna bagi seorang muslim jika sempurna Islamnya mencapai derajat Ihsan. Yaitu dia beribadah kepada Allah Ta'ala seolah dia melihat-Nya, jika dia tidak melihat-Nya sesungguhnya Allah melihatnya. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan menghayati bahwa Allah Maha Dekat dan mengawasinya maka Islamnya telah baik. Konsekuensinya dia meninggalkan segala hal yang tidak berguna baginya dalam Islam dan menyibukkan diri dengan hal yang berguna baginya. Dari kedua sikap ini terlahir rasa malu kepada Allah dan meninggalkan segala hal yang dimalukannya tersebut."


Di antara kandungan hadits ini adalah:


1. Seorang insan meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya dalam perkara agama dan duniawinya.


2. Seorang insan menyibukkan diri dengan apa yang berguna baginya dari perkara agama dan duniawinya.


3. Meninggalkan sesuatu yang tidak berguna akan memberikan ketenangan, memelihara waktu dan menyelamatkan kehormatan.


4. Manusia bertingkat-tingkat dalam Islam.


Sumber:

Kitab “Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah.”, oleh: Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr. (Ulama Ahli Hadits Kota Madinah an-Nabawiyah).