Assalamu'alaykum wa Rahmatullah wa Barakatuh
KITAB RIYADHUSH SHALIHIN
16. Bab Memelihara
Sunnah dan Adab-adabnya.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah."
(QS. Al-Hasyr: 7).
Di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban melaksanakan
perintah-perintah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam dan meninggalkan larangan-larangannya.
"Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut
keinginannya, tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)."
(Qs. An-Najm: 3-4).
Maksudnya, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam tidak akan mengatakan kecuali kebenaran dan bukan berasal
keinginan dan tujuan beliau, karena apa yang disabdakan beliau merupakan wahyu
dari Allah 'Aza wa Jalla.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Katakanlah (Muhammad), 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosamu'."
(QS. Ali Imran: 31).
Ayat ini turun ketika kafir ahli kitab mengaku cinta kepada
Allah 'Aza wa Jalla. Jadi, barang
siapa mengaku cinta kepada Allah 'Aza wa
Jalla padahal ia tidak mengikuti jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, maka pada esensinya orang tersebut
berdusta.
Sebagian ulama berkata, "(Pada pembahasan ini) bukan seseorang
yang mencintai, akan tetapi dia akan dicintai (oleh Allah)."
Al-Hasan Al-Bashri berkata, "Suatu kaum menganggap bahwa
mereka mencintai Allah, maka Allah pun menguji mereka dengan ayat ini."
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat."
(QS. Al-Ahzab: 21).
'Al-uswatu'
artinya mengikuti Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam baik dalam perkataannya, perbuatannya, dan tingkah
lakunya.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan
engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
(sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan
yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya."
(QS. An-Nisa: 65).
Sebab turunnya ayat ini ialah ada seorang laki-laki dari
kalangan Anshar sedang bersengketa dengan Zubair radhiyallahu 'anhu mengenai aliran air di tanah batuan yang mereka
gunakan air tersebut untuk menyiram. Sedangkan Zubair di bagian paling atas.
Lantas Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Siramilah wahai Zubair, kemudian
alirkan air tersebut kepada tetanggamu." Maka shahabat Anshar
tersebut emosi, lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah! Mentang-mentang dia
adalah putera pamanmu." Maka, raut muka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun
berubah, kemudian beliau bersabda kepada Zubair, "Siramilah, kemudian
tahanlah air itu agar kembali ke sumbernya."
Ketika itu Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam memenuhi hak Zubair. Semula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memberi
isyarat kepada Zubair dengan suatu pendapat yang bermaksud memberi kelonggaran
kepada Zubair dan kepada shahabat Anshar tersebut. Ketika si Anshar tadi
membuat marah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam, maka Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam hanya memenuhi hak Zubair dalam hukum secara jelas. Zubair
berkata, "Demi Allah, saya tidak menyangka ayat ini turun kecuali berkenan
dengan masalah tersebut."
Ibnu Katsir berkata, "Allah bersumpah dengan Zat-Nya sendiri
Yang Maha Mulia dan Maha Suci bahwa seseorang tidak akan beriman sehingga ia
menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai hakim dalam segala
urusan. Jadi, apa pun yang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam putuskan, maka
itu adalah benar dan wajib tunduk kepadanya, baik lahir maupun bathin,
sebagaimana tersebut didalam hadits, 'Demi Zat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, tidak beriman salah seorang di antara kalian sehingga
keinginannya mengikuti apa yang aku bawa'."
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman
kepada Allah dan hari kemudian."
(QS. An-Nisa: 59)
Ulama berkata, "Maksudnya ialah kembali kepada
Al-Qur'an dan sunnah."
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Barang siapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah
menaati Allah."
(QS. An-Nisa: 80).
Maksudnya, barang siapa menaati Rasul dalam perkara yang
diperintahkannya, maka sungguh ia telah menaati Allah 'Aza wa Jalla, karena Allah 'Aza
wa Jalla memerintahkan untuk menaati Rasul dan mengikutinya.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Dan sungguh engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan
yang lurus."
(QS. Asy-Syura: 52).
Maksudnya adalah agama Islam.
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya
takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih."
(QS. An-Nur: 63).
Di dalam ayat ini terdapat ancaman yang berat terhadap orang
yang menyalahi perintah Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam, ada kalanya berupa fitnah di dunia atau pun siksa di
akhirat.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah
dan hikmah (sunnah Nabimu)."
(QS. Ahzab: 34).
Di dalam ayat ini terdapat perintah kepada para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam agar tidak
melupakan kenikmatan yang agung ini, yaitu kitab Allah 'Aza wa Jalla dan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang dibacakan di rumah-rumah mereka.
Ayat-ayat diatas tersebut mengenai bab ini, yakni Bab
Memelihara Sunnah dan Adab-adabnya.
Sedangkan hadits-haditsnya sebagai berikut:
1/156.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Biarkanlah apa yang tidak aku jelaskan
pada kalian, karena sesungguhnya yang menyebabkan kebinasaan umat-umat sebelum
kalian ialah mereka terlalu banyak bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka.
Oleh karena itu, jika aku melarang kalian akan sesuatu, maka jauhilah itu dan
jika aku memerintah kalian melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampu
kalian."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (7288); Muslim (1337)].
Penjelasan hadits:
Hadits ini mempunyai sababul wurud, yaitu bahwa suatu ketika
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
berkhutbah dan beliau berkata, "Wahai manusia! Sungguh, Allah telah
mewajibkan kalian ibadah haji. Oleh karena itu, lakukanlah ibadah haji!"
Lantas seorang laki-laki bertanya, "Apakah setiap tahun wahai
Rasulullah?" Beliau pun terdiam sehingga lelaki tersebut
mengatakannya berulang-ulang. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Seandainya aku berkata ya,
pastinya menjadi wajib dan kalian tidak akan mampu." Kemudian
beliau bersabda (hadits di atas), "Biarkanlah apa yang aku tinggalkan
untuk kalian...."
Hadits ini termasuk di antara kaidah Islam yang penting.
Allah 'Aza wa Jalla berfirman:
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah"
(QS. Al-Hasyr: 7).
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu."
(QS. At-Taghabun: 16).
Dalam hadits ini terdapat kemakruhan banyak bertanya tanpa
ada perlunya. Imam Malik rahimahullah
berkata, "Membantah dan berdebat dapat menghilangkan cahaya ilmu dari hati
seseorang."
Dalam sebagian atsar disebutkan, "Apabila Allah 'Aza wa Jalla
menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Allah 'Aza wa Jalla membukakan
baginya pintu ilmu dan menutup darinya pintu berdebat. Dan apabila Allah 'Aza
wa Jalla menghendaki buruk pada seorang hamba, maka Allah 'Aza wa Jalla
membukakan baginya pintu berdebat dan menutup darinya pintu ilmu."
2/157.
Dari Abu Najih, Al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah memberikan nasihat kepada kami
dengan suatu nasihat yang mengesankan sekali, membuat hati gemetar, dan air
mata pun bercucuran. Kemudian kami berkata, 'Ya Rasulullah, seolah-olah
nasihat itu adalah nasihat seseorang yang hendak berpisah. Oleh karena itu,
berilah wasiat kepada kami semua!' Beliau pun bersabda, 'Aku
wasiatkan kepada kalian semua agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan patuh,
meskipun yang memerintah kalian semua adalah seorang budak Habsyi. Sesungguhnya
barang siapa diantara kalian yang masih hidup, maka ia akan melihat berbagai
perselisihan yang banyak sekali. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpegang
teguh pada suunahku dan sunnah para Khulafa' Rasyidin yang memperoleh petunjuk.
Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah
melakukan perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap
bid'ah adalah sesat'."
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata,
"Hadits ini hasan shahih).
[Shahih: Abu Dawud (4607); At-Tirmidzi (2678). Dishahihkan
oleh syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Al-Jami' (2549)].
Kosakata dalam hadits
ini:
An-nawajidz
artinya gigi taring. Ada yang berpendapat artinya gigi geraham.
Khulafa' Rasyidin;
mereka adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali radhiyallahu 'anhuma.
Di dalam Hadits ini terdapat wasiat untuk berpegang teguh
pada sunnah, baik dalam keyakinan, perbuatan, dan ucapan serta menjauhi bid'ah,
yaitu hal-hal yang baru dalam tatanan agama yang tidak ada dasarnya dalam
syari'at.
Uushiikum
bitaqwallaah, wassam'i wath tho'ah, dua kalimat tersebut menghimpun
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Penjelasan hadits:
Al-Hasan berkata, "Demi Allah, agama ini tidak akan
ditegakkan dengan stabil tanpa melalui pemerintah, meskipun ia berbuat zhalim.
Demi Allah, sungguh hal yang dibuat baik oleh Allah melalui mereka lebih banyak
dari pada yang mereka rusak."
3/158.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Semua umatku masuk syurga, melainkan
orang yang enggan." Beliau ditanya, 'Siapakah orang yang enggan,
wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, "Barang siapa yang taat
kepadaku, maka ia masuk syurga dan barang siapa yang durhaka kepadaku, maka
sungguh dialah orang yang enggan."
(HR. Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari (7280)].
Penjelasan hadits:
Didalam hadits ini terdapat kabar gembira paling agung bagi
orang-orang yang taat dari kalangan umat ini bahwa mereka semuanya akan masuk
syurga kecuali orang yang berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya serta
mengikuti syahwat dan hawa nafsunya.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun
orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari
(keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh syurgalah tempat tinggal(nya)."
(QS. An-Nazi'at: 37-41).
4/159.
Dari Abu Muslim; ada yang mengatakan, dari Abu Iyas, Salamah
bin 'Amr bin Al-Akwa' radhiyallahu 'anhu
meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki makan di samping Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dengan
tangan kirinya. Kemudian beliau bersabda, "Makanlah dengan tangan kananmu!"
Orang itu berkata, "Aku tidak bisa." Beliau bersabda, "Kamu
tidak akan bisa." Tidak ada yang mencegahnya melakukan hal itu
kecuali karena kesombongannya. Akhirnya ia tidak bisa mengangkat tangan
kanannya ke mulutnya.
(HR. Muslim).
[Shahih: Muslim (2021)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat pensyari'atan memakan dengan
tangan kanan dan kemakruhan makan dengan tangan kiri tanpa ada alasan.
5/160.
Dari Abu Abdillah; An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhuma meriwayatkan, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Hendaklah
kalian benar-benar meratakan shaf-shaf kalian, atau sungguh Allah akan
membalikkan antara wajah-wajah kalian semua'."
(Muttafaq 'alaih).
Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meratakan
shaf-shaf kita sehingga beliau seakan-akan meratakan letaknya anak panah
sampai-sampai beliau meyakinkan bahwa kita semua telah mengerti akan meratakan
barisan itu. Kemudian pada suatu hari beliau keluar, lalu beliau berdiri
sehingga hampir saja beliau bertakbir, tiba-tiba beliau melihat seorang lelaki
yang menonjolkan dadanya, lalu beliau bersabda, 'Hai hamba-hamba Allah, hendaklah
kalian benar-benar meratakan shaf kalian atau sungguh Allah akan membalikkan
antara wajah-wajah kalian."
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat ancaman yang keras kepada orang
yang tidak mau meratakan barisan, dan motivasi untuk meratakan barisan, serta
diperbolehkan berbicara pada waktu antara iqamat dan saat akan melakukan
shalat.
6/161.
Dari Abu Musa radhiyallahu
'anhu berkata, "Sebuah rumah di Madinah terbakar dan mengena pada
penghuninya di malam hari. Ketika kejadian ini diceritakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, 'Sesungguhnya api itu adalah
musuh kalian. Oleh karena itu, jika kalian tidur, padamkanlah api itu dari kalian'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6294); Muslim (2016)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat perintah memadamkan api ketika
tidur lantaran dikhawatirkan terjadi kebakaran. Termasuk dalam hal ini api
lampu dan lainnya kecuali jika dirasa aman dari bahaya.
7/162.
Dari Abu Musa radhiyallahu
'anhu juga berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu
yang aku diutus oleh Allah untuk membawanya ialah bagaikan hujan yang mengenai
bumi. Di antara bumi ada bagian yang baik. Tanah bagian ini dapat menerima air,
sehingga ia dapat menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak sekali. Dan di
antara bumi ada pula yang gersang. Tanah bagian ini dapat menahan air, maka
Allah memberikan kemanfaatan kepada manusia dengan tanah ini, karena mereka
dapat minum darinya, dapat menyiram dan menanam.
Ada pula hujan mengenai bagian bumi yang lain. Tanah ini hanyalah
merupakan tanah rata lagi licin, tidak dapat menahan air dan tidak dapat
menumbuhkan rumput. Jadi itulah perumpamaan orang yang pandai dalam agama Allah
dan dapat pula memberikan kemanfaatan dengan apa yang aku diutus oleh Allah
untuk membawanya, lalu ia dapat memahami dan mengajarkannya. Dan juga
perumpamaan orang yang enggan mengangkat kepala untuk menerima petunjuk dan
ilmu dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk membawanya."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (79); Muslim (2282)].
Kosakata asing:
Faquha artinya
menjadi ahli fiqh.
Penjelasan hadits:
Al-Qurthubi berkata, "Ini merupakan perumpamaan yang
dibuat oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam terhadap agama yang dibawanya dan beliau mengumpamakan para
pendengar beliau sebagai tanah yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka adalah
orang yang mengetahui, mau mengamalkan dan mengajarkannya. Orang ini sama
halnya dengan tanah yang baik dan dapat menyerap air sehingga ia dapat
bermanfaat untuk dirinya sendiri serta dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan
sehingga ia bermanfaat untuk lainnya juga.
Sebagian lain adalah orang yang mengumpulkan ilmu yang
menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu. Hanya saja ia tidak mau melakukan
hal-hal yang sunnah atau ia tidak memahami ilmu yang ia kumpulkan. Akan tetapi,
ia menyampaikan ilmunya kepada orang lain. Orang ini bagaikan tanah yang
digenangi air sehingga orang lain dapat mengambil manfaat darinya, yaitu orang
yang diisyaratkan dalam sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam, 'Semoga Allah
menjadikan baik orang yang mendengar perkataanku, lalu ia sampaikan sebagaimana
yang ia dengar.'
sebagian lain ada orang yang mendengar ilmu, tetapi ia tidak
mau menjaganya, tidak mengamalkannya, dan tidak menyampaikannya kepada orang
lain. Orang ini sama halnya dengan tanah yang berair atau tanah tandus yang
tidak dapat menerima air atau justru merusak air.
Kesimpulannya, manusia dalam masalah agama ada tiga
kategori, yaitu:
1. Orang-orang yang mengetahui dan mau mengamalkan, yaitu
orang mukmin secara umum.
2. Orang-orang yang mengetahui, mau mengamalkan, dan
mengajarkan, yaitu para ulama.
3. Orang-orang yang tidak mau mengamalkan, yaitu orang-orang
kafir dan orang fasik.
8/163.
Dari Jabir radhiyallahu
'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Perumpamaanku dan perumpamaan kalian semua
adalah bagaikan seorang lelaki yang menyalakan api, kemudian banyak belalang
dan kupu-kupu yang jatuh ke dalam api tadi, sedang orang itu mencegah
binatang-binatang itu agar jangan sampai terjun di situ. Aku ini adalah seorang
yang merintangi kalian dari neraka. Akan tetapi, kalian masih juga hendak lepas
dari peganganku."
(HR. Muslim).
[Shahih: Muslim (2285)].
Kosakata asing:
Al-janadibu
seperti belalang dan kupu-kupu. Binatang ini merupakan binatang yang terbiasa
jatuh ke dalam api.
Al-hujazu artinya
tempat mengikatkan sarung atau celana.
Penjelasan hadits:
Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam menyerupakan jatuhnya orang-orang bodoh dan orang-orang
yang menyimpang dengan melakukan kemaksiatan dan syahwat mereka ke dalam
neraka, serta semangat mereka untuk tercebur ke dalamnya, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah
mencegah mereka bagaikan terjatuhnya kupu-kupu ke dalam api di dunia lantaran
keinginannya dan lemah pikirannya. Keduanya sama-sama berjalan menuju kerusakan
dirinya karena kebodohannya.
9/164.
Dari Jabir radhiyallahu
'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menyuruh menjilat jari-jari dan piring seraya bersabda, "Sesungguhnya
kalian tidak tahu di manakah yang ada berkahnya."
(HR. Muslim).
[Shahih: Muslim (2033, 135)].
Penjelasan:
Dalam riwayat lain dari Imam Muslim disebutkan, "Jika
sesuap makanan salah seorang di antara kalian jatuh, maka hendaklah ia
mengambilnya, lalu hendaklah ia menyingkirkan kotoran yang melekat padanya.
Kemudian hendaklah ia memakannya dan janganlah makanan itu dibiarkan untuk
setan. Dan jangan pula seseorang mengusap tangannya dengan sapu tangan sehingga
ia menjilati jari-jarinya terlebih dahulu, karena sesungguhnya dia tidak
mengetahui di bagian makanan yang mana yang terdapat keberkahan."
Dalam riwayat Imam Muslim pula disebutkan, "Sesungguhnya
setan akan mendatangi seseorang di antara kalian di setiap keadaannya, bahkan
setan pun mendatangi orang itu ketika ia sedang makan. Maka, jika sesuap
makanan salah seorang dari kalian jatuh, maka hendaklah ia menyingkirkan
kotoran-kotoran yang melekat padanya, kemudian hendaklah dia memakannya dan
jangan dibiarkan untuk setan."
Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk menundukkan jiwa
dengan sikap rendah hati dan mengambil sesuap makanan yang terjatuh dan tidak
membiarkannya sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang-orang elit karena
sombong, dan perintah menjilati jari-jari dan piring.
10/165.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu
'anhuma berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam berdiri di hadapan kami untuk memberikan nasihat. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Hai
sekalian manusia, sesungguhnya kalian semua akan dikumpulkan untuk menghadap
kepada Allah 'Aza wa Jalla dalam keadaan telanjang kaki, telanjang badan, dan
tidak berkhitan, 'Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah
Kami akan mengulanginya lagi. (Suatu) janji yang pasti Kami tepati; sungguh,
Kami akan melaksanakannya.' (QS. Al-Anbiya': 104)
Ketahuilah, bahwa makhluk yang kali pertama diberi pakaian pada hari
Kiamat ialah Nabi Ibrahim 'Alaihissalaam. Ketahuilah, Nabi Ibrahim akan
didatangkan dengan disertai beberapa orang dari ummatku, kemudian orang-orang
itu diseret ke sebelah kiri. Lalu aku berkata, 'Ya Rabbku, mereka adalah
ummatku.' Lalu dikatakan kepadaku, 'Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa
yang mereka ada-adakan sepeninggalmu.' Maka aku katakan sebagaimana yang
dikatakan oleh seorang hamba yang shalih, 'Dan aku menjadi saksi terhadap
mereka, selama aku berada ditengah-tengah mereka. Maka, setelah Engkau mengangkatku
ke langit, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Yang Maha Menyaksikan
atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka
adalah hamba-hamba-Mu, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya
Engkaulah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.' (QS. Al-Ma'idah: 117-118)
Setelah itu dikatakan kepadaku, 'Sebenarnya mereka itu tidak
henti-hentinya melakukan kemurtadan semenjak engkau berpisah dengan
mereka'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (3349, 3447, 4325)].
Penjelasan hadits:
Al-Khatthabi berkata, "Di dalam hadits ini terdapat isyarat
tentang sedikitnya jumlah orang yang mengalami hal tersebut. Sesungguhnya hal
ini terjadi pada sebagian orang badui yang telanjang kaki dan tidak terjadi
pada seorang pun dari kalangan shahabat yang terkenal."
11/166.
Dari Abu Said; Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang menggunakan ketapel. Dan
beliau bersabda, 'Sesungguhnya ketapel itu tidak dapat membunuh binatang buruan, tidak
dapat membunuh musuh. Dan bahwa ketapel itu hanya membutakan mata dan
memecahkan gigi'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6220); Muslim (1954)].
Dalam riwayat lain disebutkan, "Sesungguhnya seorang
kerabat Ibnu Mughaffal bermain ketapel, lalu Ibnu Mughaffal pun melarangnya dan
berkata, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam melarang menggunakan ketapel dan bersabda, 'Sesungguhnya
ketapel itu tidak dapat membunuh binatang buruan.' Kemudian kerabat
Ibnu Mughaffal tersebut masih mengulangi perbuatannya lagi. Lalu Ibnu Mughaffal
berkata, 'Aku telah memberitahukan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang
menggunakan ketapel, tetapi engkau masih juga mengulangi perbuatanmu bermain
ketapel. Aku tidak akan berbicara lagi padamu selamanya'."
[Shahih: Muslim (1954, 56)].
Kosakata asing:
Al-Khadzaf ialah melempar kerikil dengan telunjuk dan ibu
jari atau dengan dua jari telunjuk (ketapel).
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini diperbolehkan tidak mengajak bicara ahli
bid'ah, orang fasik, dan penentang sunnah padahal ia telah mengetahui.
12/167.
Dari Abis bin Rabi'ah berkata, "Aku melihat Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu mencium hajar aswad seraya berkata, 'Aku
mengetahui bahwa kamu adalah batu. Kamu tidak dapat memberikan manfaat dan
tidak pula dapat membahayakan. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menciummu, pastilah aku juga tidak menciummu'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (1597, 1605, 1610); Muslim (1270)].
Penjelasan:
Intisari hadits:
1. Menyerahkan semua urusan agama kepada Pembuat syari'at (Allah 'Aza wa Jalla) dan sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, dan
mengikutinya dengan baik dalam hal-hal yang tidak dapat diketahui maknanya. Ini
merupakan kaidah agung dalam mengikuti Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam terhadap apa yang beliau lakukan meskipun kita tidak
mengetahui hikmahnya.
2. Sebagai bantahan terhadap pemahaman sebagian orang-orang
bodoh bahwa hajar aswad mempunyai khasiat yang kembali pada bendanya sendiri.
3. Beberapa sunnah yang berupa ucapan dan perbuatan, dan
sesungguhnya seorang pemimpin apabila merasa khawatir perbuatannya dapat
menyebabkan pemahaman yang keliru bagi seseorang, maka hendaknya ia bersegera
memberi penjelasan.
Allahu Ta'ala 'alam bishowab.
Sumber:
Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN' - Imam
An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu
Mubarak.
Takrij: Syaikh Nasiruddin
Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah
UMMUL QURA.
Penerbit: Ummul Qura - Jkt.