AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Jumat, 28 Februari 2014

TENTANG SYI'AH



Bismillaahi Rahmaanir Rahiim..
Assalammu’alaikum wa rahmatullah wa barakatuh

Alhamdulillah, segala puji senantiasa kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang senantiasa memberikan limpahan karunia-Nya, dan hanya kepada Allah Ta’ala kami menyembah dan hanya kepada-Nya kami minta pertolongan, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan keluarga beliau serta shahabat beliau.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfa'at bagi kita, keluarga, dan umat Islam pada umumnya. Aamiin ya Robbal Aalamiin.
Masih banyaknya saudara kita yang belum faham terhadap aqidah Syi’ah, membuat saya ingin berbagi.
Semoga tulisan yang sederhana ini dapat memberikan manfa'at bagi kita dan keluarga kita.


Apa arti kata tasyayyu' dan siapa Syi'ah itu?


Kata tasyayyu' secara etimologi bermakna membantu atau mendukung, diambil dari kata musyaya'ah yang artinya tunduk dan mengikuti. Syi'ah adalah orang-orang yang mengaku cinta Ahlul Bait yang melampaui batas-batas syara' dengan beranggapan  bahwa mereka adalah pengikut setia pemimpin Ahlul Bait semisal Al-Imam Ali, Hasan, Husain, Ali bin Husain, Ja'far As-Shadiq dan lain-lain Radhiyallahu 'anhu Mereka tidak mengakui Abu Bakar, Umar, Ustman, Mu’awiyyah dan pendukung-pendukungnya sebagai shahabat Nabi. Bahkan mereka (Syi'ah) mencaci-maki dan melaknat para shahabat tersebut.


Bagaimana asal usul munculnya Syi'ah?


Ketika konflik diantara Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu 'anhu dengan Mu'awiyah bin Abi Shofyan Radhiyallahu 'anhu memanas, maka kesempatan emas ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kaum Majusi dan Yahudi untuk memecah belah persatuan umat Islam. Mereka menyebarkan fitnah dan permusuhan diantara kaum muslimin. Kemudian muncullah seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba' memperlihatkan kecintaannya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan menyuarakan lebih berhaknya beliau untuk menjadi khalifah. Abdullah bin Saba' sangat berlebihan dalam hal tersebut, sampai-sampai dia mengkultuskan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu sebagai Tuhan, seperti yang dilakukan kaum Yahudi terhadap Nabi Uzair, mereka berkata: "Uzair adalah putra Allah." Dan seperti yang dilakukan orang Nashrani terhadap Nabi Isa ‘Alaihi Sallam mereka juga berkata: "Isa Al-Masih anak Allah." Abdullah bin Saba' pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu: "Kamu adalah kamu!", maksudnya: "Kamu adalah Tuhan." Akibat perkataannya itu, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengasingkannya ke kota Mada'in. Ibnu Saba' adalah orang yang pertama kali mengatakan secara terang–terangan mengenai kepemimpinan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan darinya pula muncul kelompok-kelompok yang berlebihan dalam mengagungkan Ali bin Abi Taolib Radhiyallahu 'anhu sehingga mereka mengatakan:


''Sesungguhnya Ali bin Abi Thalib lebih berhak dan lebih utama atas kenabian dan kerasulan dari pada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, dan sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat Jibril kepadanya (Ali) akan tetapi malaikat Jibril keliru dan menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.''


Demikianlah asal-usul golongan Syi'ah yang kemunculannya dipelopori langsung oleh orang Yahudi (Abdullah bin Saba') yang menggembar-gemborkan bahwa kepemimpinan Islam  setelah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa sallam adalah milik  sayyidina Ali semata. Dia berargumen bahwa setiap Nabi pasti mempunyai orang yang diwasiati menjadi penggantinya. Menurutnya, sayyidina Ali-lah  orang yang diwasiati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam sebagai penggantinya. Akan tetapi setelah wafatnya Rasullullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam para shahabat memonopoli dan merampas haknya sayyidina Ali untuk menjadi khalifah (pemimpin). Kemudian mereka menentukan langsung shahabat Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menjadi khalifah sebagai gantinya sayyidina Ali, diteruskan oleh Umar Radhiyallahu 'anhu, kemudian Ustman Radhiyallahu 'anhu.


''Khalifah-khalifah tersebut bersama para shahabat bersekongkol untuk merampas kekhalifahan dari pemiliknya yang hakiki, yaitu sayyidina Ali dan keturunan-keturunannya.''
Itulah mulut kotor Abdullah bin Saba' sang pelopor Syi’ah.


Ringkas kata sesungguhnya Abdullah bin Saba' adalah orang yang meletakkan dasar–dasar ideologi Syi'ah dan menyebarkan benih-benihnya. Ulama Syi'ah Al-Kisyi berkata dalam kitabnya Rijal Al-Syi'ah: "Sebagian Ilmuan berpendapat sebenarnya Abdullah bin Saba' adalah orang Yahudi kemudian masuk Islam dan bersahabat dengan Ali Radhiyallahu 'anhu. Di saat ia masih menganut agama Yahudi ia punya kajian yang nyleneh yaitu pernyataannya bahwa Yusya' bin Nun adalah orang yang diwasiati Nabi Musa 'Alaihi sallam sebagai penggantinya. Kemudian setelah masuk Islam dan pasca wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa sallam dia menyatakan hal yang sama kepada sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu. Dia dikenal sebagai orang pertama yang mengatakan bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu wajib menjadi imam dan sama sekali tidak mengakui imamah semua musuh-musuh Ali. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa benih-benih Syi'ah sebenarnya berasal dari kaum Yahudi dan kaum Nashrani.


Syaikh Yusuf bin Isma'il An-Nabhani dalam kitabnya Nujum Al-Muhtadin FI Al-Raddi 'Ala Ikhwani Al-Syayathin  berkata: "Rowafidh adalah kelompok yang muncul sejak 25 tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa sallam. Mereka mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam berbuat kebohongan, kekejian, kefasikan dan perbuatan–perbuatan buruk lainnya. Dulu mereka adalah golongan Yahudi yang melakukan makar di daerah Arab, yang dipelopori oleh seorang laki-laki Yahudi  bernama Abdullah bin Saba' yaitu pemimpin Syi'ah Rafidhah di Kufah. Ketika melihat umat Islam bersatu dan sehati, maka ia berkeinginan untuk memecah belah umat Islam menjadi beberapa golongan sehingga kekuatan Islam menjadi lemah. Dia berpura-pura masuk Islam dan dengan kemunafikanya dia berusaha merusak umat Islam. Ibnu Saba' pergi ke Kufah, Bashrah, Iraq, dan Persia -sekarang Iran- untuk mengajak manusia mengikuti madzhabnya yang dinamai dengan madzhab Syi'ah. Ibnu Saba' adalah orang pertama yang mengobarkan api permusuhan dalam diri umat Islam dan memerintahkan umat manusia untuk mencintai Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu dan keturunannya serta membenci Abu Bakar, Umar, dan Utsman."


Ulama lain berpendapat: "Syi'ah berhasil menyesatkan orang-orang Persia (Iran) sehingga menjadikannya pengikut setia lagi fanatik buta terhadap sayyidina Ali serta keturunannya. Mereka meyakini bahwa sayyidina Ali dan keluarganya adalah orang-orang yang ma'shum (dijaga dari melakukan kesalahan). Dan juga berlebihan dalam mencintai Ali dan keturunannya sampai masuk ketaraf kekufuran. Semua itu disebabkan karena penghinaan dan pengkafiran mereka terhadap Abu Bakar, Umar, Ustman dan pengikut-pengikutnya. Kelompok ini sudah menyebarluas ke seluruh penjuru Arab dan Ajam sampai sekarang."


Mengapa Syi'ah dinamakan juga dengan Rafidhah?


Sebabnya adalah: ketika Zaid bin Ali Zainal 'Abidin  bin Husain Radhiyallahu 'anhu memberontak kepada khalifah Hisyam bin Abdul Malik kemudian beliau diperangi oleh Yusuf bin Umar As-Tsaqofi (Gubernur Iraq pada masa pemerintahan Hisyam) maka pengikut-pengikut Zaid meninggalkannya sendirian, setelah sebagian besar dari mereka telah menghianatinya.
Kebanyakan penduduk Kufah telah membai'at beliau dan mau menolong beliau dengan syarat beliau tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu. Akan tetapi beliau menjawab dengan tegas: “tidak!” saya akan tetap mengakui keduanya sebagai khalifah. Kemudian mereka berkata: "Kalau begitu kami akan meninggalkanmu." Maka Zaid menjawab: "Pergilah kalian semua karena kalian adalah Rafidhah (golongan yang melakukan desersi). Sejak kejadian itulah Syi'ah disebut Rafidhah.


Kajian seperti ini  dikutip oleh Muhammad bin Ali As-Shobban dalam kitabnya Is'af Al-Raghibin. Imam Al-Ashma'i berkata: "Syi'ah  dinamai Rafidhah sebab mereka meninggalkan Zaid bin Ali."


Apakah ada perkataan sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu yang mengisyaratkan akan terjadinya fitnah Syi'ah Rafidhah?


Ada, diantaranya perkataan beliau: “Dua orang celaka sebab aku, yaitu orang yang terlalu cinta kepadaku dan orang yang terlalu benci kepadaku.”
Sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu juga berkata: "Sesungguhnya aku akan dicintai oleh satu kaum sampai mereka masuk neraka sebab kecintaannya kepadaku, dan aku akan dibenci satu kaum sehingga mereka masuk neraka sebab kebenciannya kepadaku."
Dari 'Alqomah bin Qais An-Nakha'i Radhiyallahu 'anhu salah seorang imam tabi'in berkata: "Sesungguhnya golongan Syi'ah ini sudah terlalu berlebihan terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu seperti halnya orang Nashrani yang terlalu berlebihan terhadap Isa bin Maryam."


Dapat kita simpulkan bahwa kelompok yang melampaui batas dan berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu 'anhu adalah kelompok Syi'ah dan para pengikutnya. Bahkan diantara mereka ada yang sangat keterlaluan dalam mencintai Ali Radhiyallahu 'anhu sampai-sampai menganggap Ali Radhiyallahu 'anhu adalah Allah. Adapun kelompok yang sangat membenci Ali Radhiyallahu 'anhu adalah kaum Nawashib dan Khawarij. Kelompok ini sangat anti dengan Ali Radhiyallahu 'anhu sampai berani mencaci-maki dan melaknatnya. Kedua golongan ini sama sesatnya.


Ada berapa sekte-sekte dalam Syi'ah Rafidhah?


Syi’ah terbagi menjadi beberapa sekte, diantaranya Syi'ah Imamiyah, Kaisaniyah dan Ghurabiyah –yaitu kelompok yang berpendapat bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang yang diberi wahyu oleh malaikat Jibril-. Keterangan ini dijelaskan oleh Qodli 'Iyadl dalam kitabnya As-Syifa dan syarahnya.


Kenapa Rafidhah juga disebut Syi'ah Imamiyah Al-Itsna 'Asyariyah?


Karena pengikut madzhab ini meyakini bahwasannya setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala mengakhiri risalahnya dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam kitabnya dan disampaikan melalui lisan para Rasul-Nya telah menentukan Imam dua belas yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu untuk menunjukan jalan yang benar kepada manusia dan menjadi pemimpin mereka. Imam dua belas inilah yang berhak mengatur urusan manusia sampai datangnya hari kiamat nanti. Imam-imam ini dijaga dari melakukan kesalahan layaknya seorang Nabi dan mereka wajib ditaati, kedudukan mereka sama dengan kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, bahkan mereka lebih utama dari para nabi dan rasul  selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Barang siapa yang ragu akan keyakinan di atas maka divonis kafir dan kekal di neraka menurut aqidah mereka.


Mereka meyakini bahwa imamah terbatas pada Imam dua belas saja dan manakala hakim yang menghukumi dengan selain hukum Imam dua belas maka dianggap kafir. Menurut mereka pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan khalifah-khalifah setelahnya adalah pemerintahan kufur, dzalim dan merampas hak-hak mereka.


Diantara akidah mereka adalah Imam terakhir dari Imam-imam yang ada tidak akan mati sampai hari kiamat yaitu Imam Muhammad Al-Askari -yang lebih dikenal dengan sebutan al-Mahdi al-Muntadhar- yang berbeda dengan al-Mahdinya Sunni.


Bagaimana bentuk keyakinan Syi'ah Rafidhah terhadap Al-Qur'an Al-Karim ?


Syi'ah Rafidhah meyakini bahwa Ulama Ahlul Bait sepakat mengatakan: "Al-Qur'an diturunkan dengan empat bagian; seperempat diturunkan kepada kita, seperempat pada musuh kita, seperempat berupa sejarah dan perumpamaan-perumpamaan dan seperempat berupa kewajiban dan hukum. Mereka berkata: "Jika Al- Qur'an dibaca sesuai dengan apa yang  diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka akan muncul dalam Al-Qur'an 70 orang laki-laki Quraisy yang terlaknat  nama–namanya serta ayah ibunya. Yang dimaksud mereka adalah para shahabat. Mereka meyakini bahwa Ahlul Bait mempunyai Mushaf yang isinya tidak sama dengan Mushaf umat muslim pada umumnya dan menyebutnya dengan nama Mushaf Fatimah. Mereka juga meyakini bahwa orang yang mengumpulkan Al-Quran dengan sempurna hanyalah sayyidina Ali.


Ni'matullah Al-Jaza-iri -ulama Syi'ah- dalam kitab Al-Anwar An-Nu'maniyah (vol 2 hal 360)
berkata: "Sudah begitu masyhur dalam hadits-hadits bahwa Al-Qur’an sebagaimana ketika diturunkan tidak ada seorangpun yang menyusunnya kecuali Amirul Mu'minin 'Alaihi sallam (Ali bin Abi Thalib) atas wasiat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam. Setelah Nabi wafat Imam Ali melaksanakan wasiat tersebut selama 6 bulan, kemudian setelah selesai mengumpulkan Al-Qur'an seperti yang diturunkan, beliau mendatangi Khalifah-khalifah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam seraya berkata kepada mereka: "Ini adalah kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti yang diturunkan kepada Nabi Muhammad." Umar bin Khaththab menjawab: "Kami tidak butuh kamu dan Al-Qur'anmu. Kami sudah punya Al-Qur'an yang ditulis oleh Utsman. Ali berkata: "Kalian tidak akan bisa melihatnya setelah hari ini dan siapapun juga sampai lahirnya keturunanku yang bernama al-Mahdi, dan Al-Qur'an yang dibawa Al-Mahdi banyak tambahan dan tidak mengalami distorsi sedikit pun. Dikarenakan Utsman termasuk penulis wahyu yang sesuai dengan maslahat yang diinginkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam yaitu jangan sampai ada orang menuduh bahwasannya Al-Qur'an adalah buatan seseorang, atau bukan yang diturunkan oleh malaikat Jibril, sebagaimana yang dituduhkan oleh para pendahulu mereka, ternyata mereka juga berkata seperti itu. Begitu juga Mu'awiyah, diangkat menjadi penulis wahyu selama 6 bulan sebelum wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam dengan alasan seperti di atas. Utsman dan para shahabat tidak pernah berkumpul bersama kecuali di masjid dengan orang banyak. Mereka hanya menulis Al-Qur'an yang telah dibawa oleh malaikat Jibril 'Alaihi sallam. Adapun Al-Qur'an yang tersimpan dalam rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam tidak ada seorang pun yang menulisnya selain Amirul Mu'minin 'Alaihi sallam, karena beliau punya hubungan mahram yang memudahkannya untuk keluar masuk rumah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa sallam." Statemen di atas tidak perlu dikomentari karena jelas mengandung kedustaan yang nyata.


Di bawah ini merupakan sebagian dari penjelasan ulama-ulama Syi'ah supaya pembaca bisa mengetahui bahwasannya realita yang ada tidak seperti yang selama ini dituduhkan kepada mereka:


1. Syaikh Al-Mufid, yang diklaim orang Syi'ah termasuk salah satu pendiri madzhab Syi'ah berkata: "Beberapa hadits sudah masyhur dari kalangan keluarga Nabi bahwasanya Al-Qur’an itu mengalami perubahan dan terdapat pengurangan dan pembuangan yang dilakukan oleh orang-orang yang dhalim. Disadur dari kitab Awa'il Al-Maqolat hal 91.


2. Abu Al-Hasan Al-'Amili berkata: "Ketahuilah sesungguhnya kebenaran yang harus diakui berdasarkan hadits-hadits mutawatir adalah, "Al-Qur’an yang ada saat ini mengalami banyak perubahan setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan para shahabat yang mengumpulkannya banyak membuang kalimat-kalimat dan ayat-ayat. Dikutip dari kitab Mir'atul Anwar wa Misykatul Asror hal 36 pasal keempat yang berjudul Bayanu Khulashoti Aqwali Ulamaina fi Taghyiri Al-Qur'an wa 'adamihi wa Tazyifi Istidlali Man Ankara At-Thaghyir. Selanjutnya Al-'Amili mengatakan:


"Sesungguhnya meyakini Al-Quran telah mengalami distorsi merupakan pokok dari ajaran Syi'ah. Redaksi aslinya sebagai berikut: "Dan menurut saya sudah jelas kebenaran asumsi di atas setelah menganalisis hadits-hadits dan meneliti beberapa atsar sehingga memungkinkan untuk mengatakan  bahwa pendapat itu menjadi keyakinan mazhab Syi'ah dan termasuk ambisi besar dalam perampasan khilafah."


3. Ni'matullah al-Jaza-iri berkata: "Menerima kemutawatiran Al-Quran merupakan wahyu illahi dan seluruhnya telah diturunkan oleh malaikat Jibril berarti mendustakan hadits-hadits yang sudah masyhur bahkan mutawatir yang menjelaskan terjadinya distorsi dalam Al-Quran baik kalimatnya, materinya dan I'robnya. Padahal hadits-hadits tersebut telah disepakati keshahihannya oleh ulama kami. Dari kitab Al-Anwar al-Nu'maniyah (vol:2 hal:357)


4. Sulthan Muhammad al-Khurasani berkata: "Ketahuilah sudah banyak hadits-hadits yang diriwayatkan dari imam–imam yang suci yang menyatakan adanya penambahan, pengurangan dan perubahan dalam Al-Quran". Refrensi dari kitab Bayanu al-Sa'adah fi Maqomat al- 'Ibadah.
Pernyataan-pernyataan mereka yang demikian ini sangat banyak. Mereka meyakini bahwasannya para shahabat keliru dalam mengumpulkan dan menyusun mushaf. Pengurangan, penambahan dan kesalahan adalah hasil kerja dari tangan-tangan mereka.

Pendapat mereka (ulama Syi'ah) jelas tertolak dengan ikut andilnya Sayyidina Ali dalam pengumpulan Al-Quran setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam sekaligus termasuk anggota dalam penulisan mushaf. Beliau juga membenarkan apa yang telah dilakukan oleh Sayyidina Utsman dan tidak pernah ada ucapan-ucapan atau sepatah kata pun yang menghujat Al-Quran yang telah disepakati para shahabat. Bahkan banyak ulama meriwayatkan bahwasannya sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu membaca dan mengajarkan Al-Quran sebagaimana shahabat lainnya, seperti yang telah diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman As-Sulami dan lain-lain dari Sayyidina Ali. Tidak ditemukan satu orang pun yang memperselisihkannya dan tidak ada satu riwayat yang mengatakan bahwasanya Ali Radhiyallahu 'anhu berbeda dengan shahabat yang lain, baik secara hadits ahad maupun mutawatir.


Jika memang  terjadi perbedaan dalam hal ini, banyak ataupun sedikit pasti akan tersebar di kalangan masyarakat dan tidak mungkin bisa diingkari. Andaikan problematika ini benar-benar terjadi antara Ali dan para Ulama dari keturunannya niscaya akan ada riwayat yang sangat eviden dan populer yang menjelaskannya. Dan dengan mengetahui hal itu bisa memantabkan hati memandang keagungan dan kemuliaan beliau dan keturunannya. Sudah menjadi ketetapan bahwa seseorang yang begitu agung dan banyak pendukungnya semestinya banyak riwayat-riwayat yang menerangkannya. Padahal tidak satu huruf pun yang mengatakan bahwasanya Ali Radhiyallahu 'anhu menghujat Al-Quran, bahkan riwayat-riwayat yang ada mengatakan sebaliknya.


Kalau memang tuduhan orang Syi'ah mengenai Al-Quran itu benar, maka beliau (Ali bin Abi Thalib) tidak mungkin tinggal diam dan beliau pasti ingkar serta memberi tahu orang lain dan para pendukungnya akan hal tersebut. Karena beliau adalah orang yang punya otoritas dalam amar ma'ruf nahi mungkar dan tidak ada kemungkaran yang lebih besar daripada merubah Al-Quran karena hal itu merusak agama dan dapat mendekonstruksi syari’at Islam. Sementara beliau adalah pribadi yang luhur derajatnya, sangat hati-hati dalam urusan agama dan umat dan anti dalam mementingkan diri sendiri dengan tanpa menghiraukan orang lain. Andaikata beliau mempunyai prinsip tidak merespon atas kemungkaran niscaya semua orang akan tahu, toh padahal realitasnya tidak berkata demikian.


Hal tersebut di atas dikuatkan fakta sejarah ketika beliau memegang pemerintahan tidak pernah menjelaskan apa-apa yang telah dituduhkan oleh orang Syi'ah selama ini. Selama menjabat dan  memegang pemerintahan beliau tidak pernah sekalipun berseberangan dengan khalifah sebelumnya dan juga tidak pernah membuat  Al-Quran yang baru.


Para Ulama Ahlussunnah berkata: "Barang siapa meragukan keotentikan Al-Quran yang telah dikumpulkan para shahabat baik dalam segi penambahan, pengurangan, penggantian, pendustaan hukum ataupun ceritanya, menetapkan atau membuang sesuatu yang tidak termasuk bagian dari Al-Quran dengan sengaja maka orang itu divonis kafir menurut Ijma' para Ulama.


Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


"Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quran ketika Al Quran itu datang kepada mereka, (mereka itu pasti akan celaka), dan Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah Kitab yang mulia."
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Fushshilaat: 41-42).


Al-Quran menurut kesepakatan umat Islam terjaga dari pengurangan, penambahan, dan penggantian serta perubahan. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan AlQuran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya" (Q.S. al-Hijr: 9)


Semua itu adalah pendapat dan keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah mengenai Al-Quran. Adapun sikap orang Syi'ah mereka selalu ragu dan curiga akan adanya pengurangan, penambahan, dan perubahan dalam Al-Quran dan tidak mau menerimanya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari kesesatan mereka. Sebenarnya bagi siapapun  yang membaca ayat-ayat al-Qur'an yang dituduh telah mengalami perubahan pasti orang tersebut akan memuji keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas limpahan nikmat akal dan agama.


Jangan sekali-kali kita tertipu atas pengingkaran sebagian tokoh-tokoh Syi'ah terhadap keaslian Al-Quran karena mereka hanyalah kelompok kecil saja. Nikmatullah al-Jaza-iri dalam kitab Al-Anwar Al Nu'maniyah vol 2 hal 357 mengatakan: "Dalam masalah keotentikan Al-Quran, ada beberapa tokoh Syi'ah yang bersilang pendapat satu sama lain, seperti al-Murtadlo, as-Shoduq dan Syaikh At-Thabarsi. Mereka mengatakan bahwasanya mushaf yang ada adalah Al-Quran yang otentik seperti ketika diturunkan, tidak pernah mengalami perubahan sama sekali."


Sikap sebagian ulama Syi'ah yang kelihatannya tidak kontra terhadap Ahlussunnah adalah bentuk sikap "taqiyah" (pengelabuan diri) sebagaimana yang telah dikatakan al-Jaza-iri, "Sikap seperti ini mereka lakukan karena ada kepentingan-kepentingan (politik). Diantaranya agar supaya mereka tidak dihujat oleh masyarakat dan lawan politik mereka." Kalau memang Al-Quran bisa mengalami perubahan, kenapa boleh mengamalkan kaidah-kaidah dan hukum-hukumnya?


Al-Nuri al-Thabarsi berkata: "Bagi siapa saja yang pernah membaca kitab at-Tibyan karangan Al-Thusi dia akan tahu bahwa cara beliau dalam masalah ini hanya mencari muka saja dan mengikuti alur pemikiran orang yang berseberangan dengannya."


Al-Thabarsi setelah menguatkan ucapannya dengan bermacam bukti berkata: "Perkataan Sayyid al-Jalil Ali Bin Thawus dalam kitab Sa'dus Su'ud, "Kami selalu ingat apa yang diriwayatkan pendahulu kami yaitu Abu Ja'far Al-Thusi dalam kitabnya at-Tibyan. Apa yang dilakukannya itu merupakan bentuk Taqiyah belaka." Di ambil dari kitab Faslul Khithob karya al-Thabarsi hal 38).


Sesungguhnya sikap yang bathil ini (Taqiyah) telah menghilangkan kepercayaan umat terhadap apa saja yang muncul dari mazhab Syi'ah seperti pengakuan kedekatan dengan ahlul bait dan lain-lain. Permasalahan Taqiyah dalam persektif etimologi maupun termonologi, dan akidah orang Syi'ah akan dibahas secara detail di bawah ini.


Bagaimana sikap orang Syiah terhadap As-Sunnah An-Nabawiyyah yang merupakan sumber syariat Islam setelah Al-Quran?


Sesungguhnya Syi'ah walaupun mereka secara eksplisit tidak mengingkari As-Sunnah An-Nabawiyyah sebagai sumber syariat, namun subtansi mazhab mereka secara implisit mengatakan sebaliknya dengan alasan-alasan berikut ini:


Pertama: Definisi Hadits menurut Syi'ah adalah riwayat tentang ucapan, tindakan, dan ketetapan orang-orang ma'shum (menurut mereka yaitu dua belas imam) ada yang shahih dan tidak shohih. Definisi ini bisa disimpulkan bahwa ucapan, tindakan dan ketetapan orang yang belum mencapai derajat ma'shum tidak bisa dikatakan Hadits. Adapun al-'amah (istilah kaum Syi'ah untuk Ahlussunnah wal Jamaah) menganggap cukup periwayatan hadits sampai pada salah satu sahabat dan tabi'in.


Berpijak dari uraian di atas, bisa kita simpulkan bahwa apa yang diriwayatkan Ahlussunnah (al-Ammah menurut mereka) dalam kitab-kitab hadits seperti al-Bukhari, Muslim, dan beberapa kitab Sunan menurut mereka tidak dianggap dan tidak bisa dijadikan hujjah. Kesimpulan ini bertendensi atas idiolgi mereka mengkafirkan para Sahabat sehingga berimbas tidak menerima hadits yang diriwayatkan oleh para shahabat. Orang-orang Syi'ah berani membuang As-Sunnah An-Nabawiyyah yang dibuat pegangan oleh mayoritas umat Islam sepanjang sejarah. Lebih-lebih keberanian mereka mengkafirkan generasi setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam yang telah diakui dan dididik langsung oleh beliau.


Kedua: Sumber-sumber Hadits yang mu'tabar menurut mereka hanya ada empat, yaitu:

·         al-Kafi, karangan Abu Ja'far Muhammad al-Kulaini, sebuah kitab paling populer dan paling tinggi menurut mereka.
·         Kitabu Man Laa Yahdluruhu al-Faqih, karangan Abu Ja'far bin Baabawaih al-Qummi.
·         Tahdzib al-Ahkam.
·         al-Istibshor karangan Syeikh Abu Ja'far Muhammad al-Thusi.


Sedangkan golongan yang meriwayatkan keempat kitab tersebut terbagi menjadi dua:


Pertama: Al-Akhbariyun, golongan yang menjadikan kitab-kitab tersebut sebagai hujjah yang tidak terbantahkan, tidak menerima kritikan, dan mengingkari terhadap Ilmu al-Rijal, Al-Jarh, dan At-Ta'dil (ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk para periwayat hadits) dengan segala bentuknya. Hal ini yang membuat kitab-kitab tersebut tidak lepas dari hujatan dan celaan. Apalagi mereka punya persepsi bahwa Ilmu al-Jarh wat-Ta'dil adalah buatan Ahlussunnah  yang harus ditentang.


Kedua: Al-Ushuliyun, golongan yang melakukan observasi dan pengkajian terhadap para perawi kitab-kitab tersebut bahkan menurut penelitian mereka separuh isi bahkan lebih dari kitab tersebut yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Kajian mereka inilah yang menyebabkan terjadinya pertentangan diantara dua kelompok ini.


Apa makna Taqiyah menurut Syi'ah? dan bagaimana posisi taqiyah dalam akidah mereka?


Taqiyah menurut Syi'ah adalah menutup-nutupi ajaran dan keyakinan yang mereka anggap benar dan tidak memperlihatkan permusuhan dihadapan lawan-lawannya dengan tujuan merusak agama dan dunia. Menurut Syi'ah taqiyah bisa didefinisikan dengan memperlihatkan kecocokan di hadapan kelompok yang berbeda dalam urusan agama.


Taqiyah adalah akidah Syi'ah Rafidhah seperti halnya yahudi yang meyakini bahwa sifat munafik wajib dilakukan  untuk menyelamatkan diri dari  musuh-musuhnya.


Menurut Syi'ah taqiyah termasuk syi'ar dan ibadah yang paling utama. Al-Kulaini meriwayatkan dari Ja'far as-Shodiq berkata: "Taqiyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak beriman orang yang tidak melakukan taqiyah." Di dalam kitab 'Amalinya al-Thusi menulis, Ja'far Shadiq juga mengatakan: ''Tidak termasuk golonganku orang yang tidak melakukan taqiyah, dan tidak mau menjaga 'aib kita dari  rakyat  jelata."


Akan tetapi imam-imam ahlul bait Radhiyallahu 'anhu seperti Imam Ja'far Shodiq dan ayahnya al-Baqir dan lain-lain, mereka semua adalah termasuk orang-orang yang paling berani dan tidak pernah menutup-nutupi aqidahnya. Jika memang mereka dalam kebenaran bagaimana mungkin mereka menutup-nutupi kebenaran tersebut dari umat Islam dan bagaimana mungkin mereka membiarkannya dalam kesesatan ?


Sudah banyak sekali kebohongan-kebohongan yang dilakukan Syi'ah Rafidhah terhadap Ahlul Bait. Di dalam sanad-sanad kitab Syi'ah yang mereka anggap sampai pada ahlul bait banyak sekali rawi-rawi yang majhul (belum diketahui statusnya), gugur dan dicurigai dengan pengakuan ulama mereka sendiri mengenai jarhu dan ta'dil seperti al-Khui, al-Mudhofar dll. Jadi bisa disimpulkan bahwa sanad-sanad mereka tidak bisa dibuat hujjah sama sekali.

Siapa Syi'ahnya Imam Ali karromallahwajhah?


Mereka adalah Ahlussunnah wal Jama'ah karena mereka mencintai sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, bukannya kaum Rawafidh yang menjadi keyakinan mereka (kaum Syi'ah), karena cinta yang benar dan terpuji ialah cinta yang disertai ketaatan terhadap perilaku orang yang dicintai. Sebab kecintaan tanpa disertai ketaatan terhadap orang yang dicintai tidak akan memberikan kebaikan sedikitpun. Bahkan akan menjadi bencana dan siksaan di dunia dan akhirat. Cinta Syiah tidak bisa dikatakan cinta sejati, sebab cinta sejati yaitu kecintaan terhadap seseorang yang dicintai yang disertai mendahulukan apa yang dicintainya, serta mengalahkan kesenangan diri sendiri. Oleh karena itu Imam Ali karromallahwajhah  berkata: "Tidak bisa kumpul kecintaan terhadap diriku dan kebencian terhadap Abu Bakar dan Umar. Karena benci dan cinta adalah dua hal yang selalu kontradiksi dan tidak mungkin disatukan."


Apa yang wajib kita yakini terhadap para shahabat Radhiyallahu 'anhum ?


Kita wajib mengakui keutamaan, keadilan, keamanahan dan keunggulan para shahabat, tidak boleh mencaci maki, mencela, berprasangka buruk pada siapapun dari mereka. 


Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:


“Jangan kalian mencaci maki shahabat-ku, demi dzat yang menguasai jiwa-ku, andaikan salah satu dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan bisa menandingi sedekah mereka satu mud dan atau setengahnya.” (H.R. Bukhori Muslim).


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam juga bersabda:


“Barang siapa menghina salah satu dari shahabatku maka wajib baginya laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala, malaikat dan semua manusia. Tidak akan diterima amalnya baik sunnah maupun wajib kelak di hari Qiamat.” (H.R. Imam Ahmad)


Para Ulama rahimahullah berkata: "Menghina dan mencaci shahabat jika bertentangan dengan dalil-dalil qoth'i maka hukumnya kafir, seperti tuduhan zina terhadap sayyidatina Aisyah Radhiyallahu’anha dan jika tidak bertentangan dengan dalil-dalil qoth'i maka hukumnya bid'ah dan fasik.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim yang cinta akan agamanya wajib menanamkan dalam hati rasa cinta kepada shahabat Nabi, berbaik sangka, menghormati, memulyakan, mendoakan ridho kepadanya dan tidak mengomentari dengan omongan-omongan yang tak ada gunanya, sehingga bisa dikatagorikan termasuk golongan orang yang disebut dalam  ayat Al-Quran:


Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hasyr: 10).


Sebagian Ulama Salaf ketika ditanya mengenai hal tersebut mereka menjawab: "Itu adalah darah yang tangan kita telah disucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala darinya sehingga kita tidak perlu mengotori mulut kita dengan darah tersebut.


Bagaimana kita menanggapi konflik dan permusuhan yang terjadi diantara shahabat?


Kita tidak boleh mengomentari apa yang terjadi diantara shahabat dan berpaling dari berita-berita sejarawan, kebodohannya perawi hadits, dan kesesatannya ahli bid'ah yang dapat menurunkan derajat para shahabat. Dan berusaha mentakwili sebaik mungkin sesuai derajat dan keagungan mereka dengan mencari solusi terbaik serta  menyebut kebaikan–kebaikan mereka dan tidak usah membahas hal tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu tentang mereka dan apa yang akan terjadi antara mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memuji mereka dalam al-Qur'an:


"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". (Q.S. al-Fath: 9)


Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui hal tersebut lalu merahasiakannya kepada nabi-Nya dan orang setelahnya! Maha Suci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari hal tersebut. Barang siapa yang meyakini bahwasannya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengetahui sesuatu yang akan terjadi sepeninggal Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wasallam maka orang tersebut telah kufur secara nyata.
Begitu juga peristiwa yang terjadi antara Imam Ali dan Muawiyah, karena tidak seorang pun memvonis  kufur salah satunya. Para Ulama berkata: "Sesunguhnya Amirul Mu'minin telah berijtihad dalam permasalahan khilafah dan beliau benar dalam ijtihadnya. Beliau adalah  orang yang paling berhak menjabat khilafah pada saat itu. Sedangkan Mu'awiyah keliru dalam ijtihadnya dan tidak berhak menjabat khilafah. Andaikan kita hidup pada masa kepemimpinan sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu maka kita akan mendukungnya untuk melawan Mu'awiyah dan kelompoknya yang menyimpang sehingga mereka mau kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi jalan selamat bagi kita adalah  tidak usah membahas konflik di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Tahu apa yang ada dalam hati mereka.


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


"Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia".(Q.S. al-Baqarah: 134).


Bagaimana hukumnya menghujat para shahabat Radhiyallahu 'anhum ?


Para Ulama berpendapat menghujat salah satu sohabat termasuk perbuatan fasik, dan pelakunya harus dihukum dengan hukuman yang menjerakan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda : Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilihku dan memilih para sohabat untukku sebagai pembantu dan kerabatku. Barang siapa yang berani menghujat mereka maka Allah Subhanahu wa Ta’ala , malaikat, dan semua orang akan  melaknatnya dan tidak akan diterima amalnya baik  sunnah maupun wajib kelak dihari kiamat.


Bagaimana hukumnya orang mengingkari  kekhilafahan dan keshahabatan Abu bakar As Siddiq Radhiyallahu 'anhu ?


Imam Ghozali berkata dalam kitab Al Iqtishod fil I'tiqod: "Semua Aliran Islam sepakat bahwasanya Abu Bakar As-Siddiq adalah orang yang paling berhak untuk memegang khilafah setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, kecuali satu aliran yaitu Rafidhah /Syi'ah. Sesungguhnya mereka mengingkari dan tidak mau mengakui kebenaran kekhilafahan Abu Bakar."
Para Ulama memvonis kufur bagi orang yang mengingkari kekhilafahan Abu Bakar, karena  hal tersebut sudah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur'an surat at-Taubah ayat 40:


''Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) Maka Sesungguhnya Allah Telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekkah) mengeluarkannya (dari Mekkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia Berkata kepada temannya: "Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita." Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir Itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang Tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. at-Taubah: 40).


Begitu juga dalam surat al-Maaidah ayat 54:


"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui" (Q.S. at-Taubah: 54)


Para ulama ahli tafsir dan hadits serta kelompok Ahlusunnah wal jama'ah sepakat bahwasannya  orang yang keluar untuk memerangi orang–orang murtad sepeninggal Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah Abu Bakar As- Sidiq hingga mereka (orang–orang murtad)  kembali kepada Islam. Seandainya bukan karena jasa Abu Bakar niscaya agama ini akan sirna, sebagaimana pernyataan Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu: "Seandainya bukan karena Abu Bakar niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan disembah di muka bumi ini. Oleh karena itu, sebagian Ulama berkata: Wajib bagi setiap orang muslim untuk bersyukur kepada Abu Bakar As Sidiq, lalu mengapa orang-orang menghujat dan menuduh beliau telah melakukan kedzoliman? Bagaimana mungkin orang sesuci Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam mempunyai shahabat yang buruk?


Bagaimana hukumnya orang membenci Imam Ali Radhiyallahu 'anhu?


Para 'ulama berkata: "Sesungguhnya membenci Imam Ali dan sohabat lainnya dikarenakan mereka membantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan melindungi agama Allah Subhanahu wa Ta’ala maka itu adalah kekufuran dan kemunafikan yang nyata. Sebagaimana  yang telah diungkapkan Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam: "Cinta Anshor adalah keimanan dan membenci mereka adalah kekufuran dan kemunafikan."


Sayidina Ali juga pernah mengatakan: "Demi Dzat yang membelah biji-bijian dan yang menciptakan mahluk, sungguh ini merupakan  janji Nabi padaku, "Barangsiapa mencintaiku maka orang tersebut adalah orang mu'min dan tidak seorang pun membenciku kecuali orang munafik ." Jika memang kebencian mereka  terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu tidak dilandasi hal tersebut di atas maka tidak divonis kufur ataupun munafik. Sebagaimana konflik yang terjadi antara para shahabat.


Sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mencintai Imam Ali, shahabat yang lain dan Ahlul bait tanpa sikap berlebih–lebihan sebagaimana sikap sebagian orang-orang Syi'ah dalam mencintai sayidina Ali dan mengkultuskannya sampai kederajat kenabian. Bahkan lebih dari itu mereka berani memalsukan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam serta memasukkan keyakinan-keyakinan kufur, sebagaimana sikap benci para musuh beliau sampai berani melaknatnya di atas mimbar-mimbar masjid. Atas mereka laknat Allah, para malaikat dan semua orang.


Ada sebuah riwayat dari sayyidina Ali yang mengatakan: "Dua orang lelaki akan binasa karena aku: orang yang terlalu mencintaiku dan orang yang terlalu membenciku."


Bagaimana hukumnya orang menghujat dan menuduh zina Ummul Mu'minin A'isyah Radhiyallahu 'anha?


Hal itu merupakan dosa yang paling besar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kita dari melakukan hal tersebut. Imam Qodli 'Iyad berkata dalam kitab As Sifa': Barang siapa menghujat 'Aisyah maka halal dibunuh dan barang siapa menuduh berzina beliau maka telah melenceng dari Al Qur'an.


Sebagian ulama berpendapat bahwasannya mencaci maki sayidah A'isyah sama halnya mencaci maki Allah Subhanahu wa Ta’ala karena orang yang tersebut telah berani mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Barang siapa mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam maka sama halnya mencaci maki Allah.
Beliau adalah seorang wanita suci yang bersuamikan seorang yang suci pula. Disaat kaumnya menuduh beliau berzina, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyanggah apa yang mereka ucapkan dengan menurunkan al-Qur'an surat an-Nuur, ayat  26:


“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga). (Q.S. an-Nuur: 26).


Yang dikehendaki dengan kata At-Thayyib adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan At-Tayyibah adalah A'isyah Radhiyallahu’anha. Barangsiapa menghujat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam sehubungan dengan A'isyah Radhiyallahu’anha maka orang itu kafir, terlaknat dan haram baginya surga.
Imam Ibnu Hazm meriwayatkan hadits melalui sanad Hisyam bin 'Ammar Rahimahullahuta'ala: Hisyam berkata: "Saya mendengar Malik bin Anas berkata: "Barangsiapa menghujat Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu dan Umar Radhiyallahu 'anhu maka harus dicambuk, dan barangsiapa menghujat A'isyah Radhiyallahu 'anha maka halal dibunuh." Lalu ada seseorang bertanya: "Kenapa bisa demikian?" Malik menjawab: Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur'an surat an-Nuur ayat 17:


"Agar kamu (jangan) kembali memperbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman". (Q.S. an-Nuur: 17)


Imam Malik juga berkata: "Barangsiapa menuduh beliau melakukan zina maka sungguh dia telah berseberangan dengan Al-Qur'an dan  barangsiapa berseberangan dengan Al-Qur'an maka halal dibunuh.


Imam Ibnu Hazm Rahimahullahuta'ala berkata: "Perkataan Malik ini benar adanya dan perkataan orang tersebut adalah kekufuran yang nyata dan mendustakan Allah."


Abu Al-Hasan Al-Shiqilli bercerita bahwasannya Al-Qodli Abu Bakar bin Al-Tayyib berkata: "Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut sesuatu dalam Al-Qur'an yang dinisbatkan orang-orang musyrikin kepadanya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menyertainya dengan kata-kata penyucian kepada-Nya seperti firman-Nya dalam surat al-Baqarah, ayat 116:


"Mereka (orang-orang kafir) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya" (Q.S. al-Baqarah: 116)


Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan apa yang dituduhkan orang-orang munafik terhadap A'isyah Radhiyallahu 'anhu dalam Al-Qur'an surat an-Nuur, ayat 16:


"Dan Mengapa kamu tidak berkata, diwaktu mendengar berita bohong itu: "Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), Ini adalah dusta yang besar." (Q.S. an-Nuur: 16).


Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan diri-Nya dalam membebaskan A'isyah Radhiyallahu 'anha adalah sebagai bukti kebenaran ucapan Malik bin Anas bahwasannya penghujat A'isyah Radhiyallahu’anha halal dibunuh dalam arti wallahu a'lam: Allah Subhanahu wa Ta’ala menyamakan orang yang menghujat A'isyah Radhiyallahu’anha dengan menghujat-Nya, dan orang yang menghujat A'isyah Radhiyallahu’anha sama dengan menghujat Nabi-Nya dan orang yang menghujat Nabi-nya sama dengan menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hukuman bagi mereka adalah dibunuh.


Imam Al-Hafizh Abu Bakar ibnu Al-Arabi berkata:


"Sesungguhnya para pendusta (Abdullah bin Ubai dkk) menuduh A'isyah Radhiyallahu’anha telah melakukan zina namun beliau telah dibebaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari tuduhan itu. Barangsiapa mendustakan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka telah kafir. Pendapat Malik ini harus diikuti semua orang bijak. Seandainya ada seseorang menghujat 'Aisyah  maka wajib baginya siksa Allah".


Imam Al-Nawawi ketika menjelaskan hadits ifki (hadits yang  menjelaskan kronologi tuduhan zina kepada A’isyah Radhiyallahu’anha hingga terbebasnya beliau dari tuduhan itu) berkata: "Bebasnya A’isyah Radhiyallahu’anha dari berita bohong sudah di-nash dalam al-Qur’an. Barangsiapa meragukannya maka telah kafir sesuai konsensus (Ijma') Ulama, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari hal tersebut.


Ibnu Abbas dan shahabat lainnya berkata: "Istri para nabi tidak mungkin melakukan zina. Hal ini merupakan bentuk kemulyaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. 


Apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menentukan seseorang khilafah sebagai pengganti beliau ?


Semua ulama sepakat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam tidak pernah menentukan seseorang khalifah  sebagai pengganti beliau. Andaikan pada saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menentukan seseorang menjadi khalifah pasti tidak akan mungkin terjadi perselisihan antara shahabat Anshor dengan yang lain.


Adapun persepsi Syi'ah atas penentuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam terhadap Ali sebagai khalifah  tidak bertendensi sama sekali. Justru orang pertama kali yang menyangkalnya adalah Ali Radhiyallahu 'anhu sendiri. Seandainya Ali Radhiyallahu 'anhu ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjadi kholifah pasti beliau akan menyampaikannya. Tetapi tidak ada riwayat satu pun atau keterangan sama sekali dari beliau tentang hal tersebut. Padahal untuk menetapkan urusan khilafah harus ada dalil-dalil yang valid yang bisa dibuat pijajakan. Dan jika tidak ada penentuan Khalifah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam maka baiat khalifah tiada lain hanya untuk Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu.


Kesimpulan ini dikuatkan dengan isyarah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam kepada beliau yakni untuk menjadi imam para shahabat saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam berhalangan karena sakit.
Menjadi imam sholat adalah tugas seorang Khalifah. Oleh karena itu para shahabat termasuknya Sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku relakan urusan duniaku diserahkan kepada orang yang diridloi oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untuk mengurusi agamaku."


Adapun tuduhan yang dilontarkan oleh Syi'ah tentang digantinya Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pada saat menjadi imam sholat adalah bohong, dikarenakan banyak sekali riwayat yang shahih menjelaskan bahwa Abu Bakar menjadi imam shalat selama tiga hari setelah diperintah oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untuk menggantikan beliau.


Diriwayatkan dari A'isyah Radhiyallahu’anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam pernah berkata kepadanya: "Panggillah Abu Bakar dan saudaramu untuk aku beri sebuah tulisan, karena saya khawatir ada orang yang berandai-andai sampai berkata: "Akulah yang paling mulia, toh padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan orang-orang mukmin tidak rela kecuali kepada Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu."


Diriwayatkan juga dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam sering berwasiat diakhir hayatnya. Diantara wasiatnya adalah: "Seseorang yang paling setia denganku adalah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu, dan jika diizinkan aku mencari kekasih selain Tuhanku Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti aku memilih Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu. Akan tetapi ukhuwwah islamiyyahlah yang harus dikedepankan. Jangan sampai ada pintu masjid masih terbuka kecuali pintu Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu.”


Apa landasan yang dipakai Ahlussunnah wal Jamaah dalam mendahulukan tiga khalifah sebelum sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu?


Landasannya adalah Ijma' shahabat Radhiyallahu 'anhu, yang dalam ijma' shahabat tidak akan terjadi dalam hal kebathilan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menjaga atas ijma' mereka sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam:


"Ummatku tidak akan bersepakat dalam hal kesetatan." (H.R. Imam Ahmad, Thobaroni, Tirmidzi, Ibnu majah dan lain-lain)


Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam:


“Apa saja yang dianggap orang-orang muslim sesuatu yang baik maka menurut Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuatu yang baik pula, dan apa saja yang dianggap orang-orang muslim sesuatu yang jelek maka menurut Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sesuatu yang jelek pula.” (H.R. Imam Ahmad, Thobaroni, dan Hakim)


Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam:


"Tidak ada seseorang yang meninggalkan kelompoknya (muslimin) sejengkal saja kemudian dia meninggal kecuali dia meninggal dalam keadaan jahiliyyah (kufur)." (H.R. Imam Bukhori, Muslim, dan lain-lain dari Ibnu Abbas)


Dan masih banyak sekali hadits yang menerangkan kewajiban mengikuti Ijma' umat Islam dan melarang serta mengancam meninggalkannya. Barang siapa berani berbeda maka dia diancam masuk neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali."(Q.S. an-Nisaa': 115)


Mustahil para shahabat menutup-nutupi kebenaran atau tidak berusaha menjelaskan kebenaran karena takut atau alasan politik. Mereka adalah umat Muhammad yang terbaik, para saksi yang adil yang menjadi pemimpin dengan persaksian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.


Firman Allah Ta ‘ala:


"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (Q.S. At-Taubah: 100)


Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:


"Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia." (Q.S. Al-Baqarah: 143)


Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:


"Sebaik-baik generasi adalah generasi masaku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya." (H.R. Imam Bukhori, Muslim dari Imron bin Hashin)


Pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya atas mereka tidak ada yang bisa mengungguli, dan janji-Nya tidak diingkari karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui apa yang akan terjadi dan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin memuji  kecuali seseorang yang sudah diketahui kebajikannya.


Apa faktor penyebab Imam Ali Radhiyallahu 'anhu menunda pembaiatan kepada Abu Bakar as-Siddiq?


Ketahuilah bahwa sayyidina Ali bersih dari perbuatan yang melenceng dari perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya mengenahi pembaiatan terhadap selain Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu. Bukan karena  takut atau lemah karena beliau adalah orang yang pemberani yang tidak terpengaruh pada cercaan seseorang mengenahi agama, hanya saja beliau berhati-hati sampai jelas baginya suatu kebenaran kemudian beliau mengikutinya.


Telah disepakati oleh umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bahwa sayyidina Ali ikut serta membaiat sayyidina Abu Bakar, Umar Radhiyallahu 'anhu dan rela atas kepemimpinan Abu Bakar  dan Umar Radhiyallahu 'anhu. Ketika keduanya wafat Sayyidina Ali memujinya dan ikut serta dalam mempersiapkan kepemimpinan Utsman.
Apakah mungkin sosok seperi Ali Radhiyallahu 'anhu berani menjadi penjilat agama? Suatu hal yang sangat mustahil itu bisa terjadi pada suami putri tercinta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.


Apa pentakwilan sabda Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa sallam mengenai kepemimpinan sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu pada saat perang Ghudairi khum:


"Barang siapa yang aku (Nabi Shalallahu ‘Alaihi wasallam) mencintainya maka Ali Radhiyallahu 'anhu akan mencintainya juga. Ya Allah kasihilah orang yang mengasihi Ali Radhiyallahu 'anhu dan musuhilah orang yang memusuhi Ali Radhiyallahu 'anhu."


Ulama berkata: Hadits ini tidak menunjukkan atas kekhilafahan sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu. setelah Nabi wafat seperti yang disangka oleh orang-orang Syi'ah yang mengatakan bahwa yang dimaksud "al-Maula" adalah "al-Aula" dengan dalih redaksi yang terakhir pada hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam mendoakan sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu, dengan penjelasan sebagai berikut:


Pertama, orang-orang Syi'ah sepakat atas hadits yang menerangkan kekhalifahan Ali adalah hadits mutawatir, padahal hadits tersebut tidaklah mutawatir.


Kedua, tidaklah disaluti bahawasannya yang dimaksudkan lafadz "al-maula" adalah "al-aula" karena tidak ditemukan dalam bahasa Arab secara etimologi maupun termonologi (syara') lafadz "al-maula" menpunyai makna "al-aula." Dan tidak ada satu pun ulama pakar bahasa Arab yang menyatakan lafadz yang berwazan "maf'alan" bermakna "af'ala." Melainkan yang dikendaki makna "al-Maula" adalah seorang yang menolong. Sedangkan tujuan sabda Nabi adalah melarang membenci Ali dan mengingatkan orang yang menggunakan kemulyaan sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu serta menolak terhadap orang menggunjing sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu.


Ketiga, jika dibenarkan makna "al-maula" adalah "al-aula", maka yang dimaksud dari makna "al-aula" adalah lebih utama untuk diikuti dan dijadikan wasilah, bukan lebih utama dijadikan imam sebelum shahabat Abu Bakar dan Umar. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


"Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan nabi Ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah pelindung semua orang-orang yang beriman". (Q.S. Ali Imran: 68).


Keempat, andaikan disetujui bahwasanya Ali lebih utama menjadi khalifah maka yang dimaksud adalah khalifah pada masa yang akan datang yaitu ketika beliau dibaiat menjadi khalifah. Berarti, tidak menafikan kekhalifahan shahabat sebelumnya yang sudah diijma'i umat Islam beserta Imam Ali Radhiyallahu 'anhu sendiri.


Kelima, bagaimana mungkin hal itu bisa dijadikan tendensi pengangkatan shahabat Ali sebagai seorang imam sedangkan beliau sendiri menyatakan sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam tidak pernah menisbatkan jabatan imamah kepada beliau dan juga tidak pada shahabat yang lain.


Apakah boleh mengutuk shahabat Mu'awiyah dan pengikutnya dari kalangan para shahabat yang tidak mau mengakui dan membai'at  imam Ali, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memulyakannya?


Ketahuilah bahwasanya keluar dari imam-imam kita hukumnya tidak sampai kufur, maksimal pelakunya dikatakan ma'siyat.  Orang yang melakukan ma'siyat tidak boleh dikutuk, bahkan para Ulama menjelasakan bahwasannya tidak diperbolehkan mengutuk seseorang secara mu'ayan (menyebutkan nama seseorang) kecuali kita mengetahui secara pasti orang tersebut mati dalam keadaan kafir seperti Fir'aun atau sama sekali tidak mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti Iblis. Disamping itu tidak ada gunanya kita mengutuk seseorang seperti Mu'awiyah dan para pengikutnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melarang melaknat orang mu'min, dalam hadits dikatakan:


"Melaknat orang mu'min itu sama halnya membunuhnya."
(H.R. Imam Bukhori dan Muslim dari Tsabit bin al-Dlohhaq)


dalam hadits lain juga dijelaskan:


"Janganlah kalian saling melaknat dengan laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan jangan marah dengan murka-Nya." (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lain dari Samuroh bin Jundub ra.)


Bagaimana hukum syara' mengenai ritual yang dilakukan syi'ah Rafidhah pada hari asyuro' seperti menangis histeris, melumuri tubuh mereka  dengan darah dan menyiksa diri mereka sendiri ?


Ritual syi'ah tersebut termasuk katagori dosa-dosa besar yang menyebabkan pelakunya berhak mendapatkan azab, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam sangat mengutuk ritual tersebut.


Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar  berkata: "Semua ulama sepakat mengharamkan tangisan histeris, berdoa seperti doanya orang-orang jahiliyah, dan berdoa untuk kecelakaan dan kebinasaan ketika ditimpa musibah."


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:


"Dua perkara yang menyebabkan manusia kafir yaitu mencemari kehormatan nasab dan menagis histeris kepada mayit". (H.R. Imam Muslim dari Abu Hurairoh)


Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:


"Tidak termasuk ummatku orang yang menampari pipinya, merobek-robek bajunya dan berdoa seperti orang-orang jahiliyah (ketika ada orang yang meninggal)." (H.R. Imam Muslim dari Ibn Mas'ud)

Hadits lain yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al Khudri berbunyi:


"Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam melaknat wanita yang menangis histeris terhadap mayit dan wanita penyanyi biduan." (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain)


Mufti hadhromaut Imam al-Allamah Abdurrahman bin Muhammad dalam kitab fatawinya berkata: "Ritual menyebut –nyebut nama Husain Radhiyallahu 'anhu. yang terjadi di India dan Jawa yang dilakukan pada hari asyuro' adalah suatu bid'ah yang tercela dan sangat diharamkan. Pelakunya adalah orang-orang  fasik dan tersesat yang menyerupai Rafidhah, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat mereka. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda:


"Barang siapa menyerupai suatu qoum maka ia termasuk salah satu darinya." (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain dari Abdullah bin Umar)
Syaikh al-Allamah Ibnu Hajar Al Haitami rahimahullah dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqoh berkata: "Janganlah engkau mengikuti kesesatan-kesesatan syi’ah Rafidhah dan pengikutnya di hari asyuro’ seperti meratapi kematian sayidina Husain Radhiyallahu 'anhu, menyebut-nyebut kebaikannya dan menangisinya dengan histeris, karena itu semua itu bukanlah ahlaknya orang–orang mu’min. Jika yang dilakukan syi’ah benar semestinya yang lebih berhak dan patut diperingati dengan hal-hal tersebut adalah hari kematian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, dan janganlah mengikuti kesesatan–kesesatan kelompok Nawashib yang terkutuk, mereka gembira atas terbunuhnya cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Mereka bermain-main, berfoya-foya dan memuji-muji pembunuhnya. Mereka menjadikan hari Asyuro’ sebagai hari raya mereka dan hari untuk mempertontonkan perhiasan. Perbuatan mereka ini tidak ada tendensinya sama sekali.


Ahlusunnah wal jama’ah adalah kelompok yang mengambil jalan tengah, mereka tidak memperlihatkan kesedihan dan kesusahan yang mendalam atas terbunuhnya Sayyid Husain Radhiyallahu 'anhu seperti yang dilakukan Rowafidh dan juga tidak memperlihatkan kegembiraan yang berlebihan seperti yang dilakukan Nawashib, sebaliknya Ahlussunnah Wal jamaah mengambil jalan tengah di antara kedua kelompok tersebut sebagaimana yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya yaitu dengan mengagungkan dan menghormati hari Asyura’ karena termasuk bulan yang dimulyakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakukan puasa, berdo’a, meminta petunjuk kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meminta ampunan dari segala dosa, bertaubat dari dosa, dan memohon rahmat kepada-Nya, karena di dalamnya terdapat banyak rahasia .


Bagaimana perspektif Islam terhadap nikah mut’ah? dan bagaimana pendapat para Ulama  tentang nikah tersebut ?


Semua Ulama dan Fuqoha’ di seluruh penjuru dunia sepakat bahwa nikah mut’ah hukumnya haram berdasarkan hadits-hadits sohih yang secara tegas memvonis keharaman nikah mut’ah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjelaskan bahwa keharaman nikah mut’ah akan terus berlanjut sampai hari kiyamat seperti yang diriwayatkan Sibroh bin Ma’bad al-Juhani ra. bahwasanya beliau berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam saat perang Fat-hu Makkah (perang dalam rangka membebaskan kota makkah) kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Manusia, sesungguhnya aku pernah melegalkan nikah mut’ah kepada kalian semua, dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah Mut’ah tersebut mulai sekarang sampai hari kiamat ."
Para ulama Ahlussunnah berkata: "Dulu nikah mut'ah pernah diperbolehkan kemudian hukum tersebut dihapus dan akhirnya nikah mut'ah diharamkan sampai hari kiamat, pengahapusan tersebut terjadi dua kali; yang pertama ketika perang khoibar dan yang kedua ketika perang fathu makkah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam hadits-hadits shohih. Pada masa kejayaan Islam sebenarnya nikah mut'ah sudah menjadi polemik dikalangan ulama kemudian perbedaan tersebut hilang dan akhirnya semua ulama sepakat untuk mengharamkan nikah mut'ah.


Adapun pendapat Rowafidh dan Syi'ah yang memperbolehkan nikah mut'ah itu tidak bisa diterima karena pendapat ini sangat bertentangan dengan dalil-dali syar‘i baik yang bersumber dari al- Quran, sunnah Nabi, dan ijma' ulama pakar ijtihad.
Sebagian dari hadits-hadits yang menunjukkan keharaman nikah mut'ah ada yang diriwayatkan langsung oleh Ali karromallah wajhah beliau berkata: "Sesungguhnya nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam telah melarang nikah mut'ah terhadap para wanita dalam perang khoibar dan melarang memakan daging-daging keledai peliharaan." Imam Muslim dalam kitab shohihnya telah menyebutkan lebih dari sepuluh hadits yang menerangkan keharaman nikah mut'ah dan  pada akhirnya semua ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nikah mut'ah hukumnya haram sampai datangnya hari kiamat.


Ketika Ja'far as-Shodiq bin Muhammad al-Baqir ditanya mengenai nikah mut'ah beliau menjawab: "Nikah mut'ah itu zina. Jawaban beliau ini menghancurkan semua anggapan-anggapan syi'ah tentang nikah mut'ah.
Para ulama berkata: "Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur'an telah menerangkan bahwasannya tidak boleh bersetubuh kecuali dengan istrinya sendiri atau budak yang ia miliki."  Yang mana hal ini telah disebut dalam surat al-Mu'minun ayat 5-6 :


"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa." (Q.S. al-Mu'minun: 5-6)


Wanita yang dinikah mut'ah statusnya tidak sama  seperti istri atau pun budak yang di mliki, karena jika statusnya di samakan dengan mereka ia akan mendapat warisan, anaknya bernasab pada bapaknya dan mempunyai 'iddah. Padahal telah disepakati bahwa nikah mut'ah tidak bisa menetapkan satu pun dari hukum tersebut.
Tujuan nikah mut'ah hanyalah ingin memuaskan nafsu birahi, tidak ada tujuan menjaga nasab ingin mendapatka keturunan yang mana keduanya ini adalah tujuan pokok disyari'atkannya sebuah pernikahan.
Maka dapat disimpulkan bahwa nikah mut'ah tidak beda jauh dengan zina dipandang dari sisi kesamaan tujuan keduanya. Orang-orang yang melegalkan nikah mut'ah adalah orang-orang yang menerjang batas-batas syara' dan mereka telah dijelaskan dalam al- Quran:


”Barangsiapa mencari yang di balik itu [zina, homoseksual, dan sebagainya] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. al-Mu'minun: 7)


Yang dimaksud al 'adun dalam ayat di atas adalah orang-orang yang melampaui batas kehalalan sampai batas keharaman, wallahu a'lam.


KOMENTAR PARA ULAMA ISLAM MENGENAI SYI'AH RAFIDHAH


 -  Imam Malik bin Anas


Imam Ibnu Katsir berkata ketika menafsiri firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud[1406]. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar". (Q.S. al-Fath: 29)


Berdasarkan ayat ini, Imam Malik dalam sebuah riwayatnya mengkafirkan Rowafidh karena mereka telah membenci para shahabat. Barang siapa yang membenci para shahabat maka ia telah kafir  dan sebagian  ulama menyetujuinya. Dikutip dari Tafsir Ibnu Katsir vol 4 hal 2119.


Imam al-Qurtubi berkata: "Sungguh benar ucapan dan pentakwilan Imam Malik. Barang siapa berani menghujat salah satu shahabat maka orang tersebut telah berani menentang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengingkari syari'at Islam." Refrensi dari kitab Tafsir Al-Qurtubi vol16 hal 297.


- Imam Ahmad bin Hanbal


Al-Khollal meriwayatkan dari Abu Bakar al-Marrudzi: "Saya bertanya kepada Abu Abdillah tentang hukumnya orang yang menghujat Abu Bakar, Umar dan Aisyah? beliau menjawab: "Saya meyakini orang tersebut telah keluar dari Islam.
Al-Khollal berkata: Abdul al-Malik bin Abdul Hamid mengkabarkan kepadaku dengan berkata: "Saya mendengar Abu  Abdillah berkata: "Barang siapa berani menghujat mereka dikhawatirkan orang tersebut kufur seperti Rowafidl. Lalu beliau berkata: "Barang siapa menghujat para shahabat Nabi maka telah keluar dari islam." Diambil dari kitab  al-Sunnah karya al-Khollal vol 2 hal 557-558.


Al-Khollal berkata: Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: "Saya bertanya kepada ayahku tentang hukumnya orang menghujat salah satu shahabat Nabi lalu beliau menjawab: "Orang tersebut telah keluar dari Islam."


- Imamul Maghrib Al-Qodli 'Iyadl

Dalam kitab Al-Syifa fi Bayani Huquqil Musthofa Shallallahu 'Alaihi wa sallam beliau mengkafirkan orang syi'ah Rafidhah atas perkataan mereka berupa: "Sesungguhnya para imam (imam dua belas)lebih utama dari para nabi." Beliau berkata: "Barang siapa mengingkari al-Qur'an, satu huruf, merubah atau menambahinya - seperti  yang dilakukan al-Bathiniyah dan al-Isma'iliyah- maka telah kufur."


-Imam Al-Hafidz ibnu Katsir


Setelah menyebutkan hadits-hadits yang menafikan imamah, wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam kepada Ali seperti ucapan orang-orang Syi'ah Rafidhah, Ibnu Katsir berkata: "Kalau memang tuduhan mereka itu benar niscaya tidak seorang shahabat pun berani menolaknya. Mereka selalu mengedepankan ta'at kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya dari pada pendapat pribadi baik di waktu beliau hidup ataupun setelah wafat. Tidak mungkin mereka mengedepankan dan mengakhirkan orang yang telah ditetapkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Barang siapa mengatakan shahabat telah melakukannya maka telah menuduh mereka menyimpang dan melawan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala serta ketentuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Barang siapa meyakini hal tersebut maka telah melepas tali  Islam dan kufur menurut ijma' para 'ulama dan halal dibunuh.


- Al-Allamah Abu Hamid Muhammad Al-Maqdisi


Dalam kitab Risalah fi Al-Roddi 'ala Al-Rofidloh halaman 200 setelah membahas aliran-aliran dan keyakinan Rafidhah beliau berkata: "Sangat jelas sekali bagi setiap insan muslim apa yang telah saya sampaikan tentang aqidah-aqidah Rafidhah dengan berbagai alirannya merupakan aqidah kufur dan keluar dari Islam."


- Imam Mulla Ali Al Qori Al-Hanafi


Beliau berkata dalam risalah Summi al-'Awaridh fi Dzammi al Rowafidh: "Barang siapa menghujat salah satu shahabat maka telah fasik, bid'ah menurut ijma' para ulama, kecuali meyakini di perbolehkan dan mendapatkan pahala melakukan  hal tersebut seperti keyakinan sebagian Syi'ah atau meyakini kufur sebagian shahabat dan Ahli Sunnah maka orang tersebut dihukumi kufur menurut ijma' para ulama."


SIKAP PARA HABAIB BA ALAWI TENTANG SYI'AH RAFIDHAH


-  Siapakah Para Habaib Ba 'Alawi?


Mereka adalah kelompok Ahlul Bait yang bertempat tinggal di Hadromaut Yaman sejak akhir abad ketiga hijriyah. Dari keturunan Imam Alawi bin Imam Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir Ahmad bin Imam 'Isa bin Imam Muhammad bin Imam 'Ali Al-'Uroidli bin Imam Ja'far Shodiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Zainul 'Abidin 'Ali bin Imam Al-Husain Al-Sibthi bin Sayyidina Al-Imam 'Ali bin Abi Tholib Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memulyakannya bin Sayyidatuna Fatimah Al-Zahro' binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.
Mereka adalah orang-orang yang mulia, termasuk ahlul 'ilmi, amal dan adil. Thoriqotnya –dibangsakan pada kakeknya– bernama 'Alawiyah yang mereka terima secara turun temurun dari orang tua sepanjang zaman.
Aqidahnya berdasarkan al-Qur'an dan al-Sunnah. Tahap awal adalah mengutamakan dan mengedepankan akhlaq dan amal, sedangkan tahap akhirnya penyucian diri dan penyaksian ni'mat hakiki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua itu berazaskan tiga pilar ajaran yang telah disebutkan dalam kata mutiara Imam Abdillah bin Alawi Al-Haddad:


”Berpegang teguhlah pada al-Qur'an ikutilah sunnah Rasul, teladani Salafusshalih,niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah padamu.”


Bagaimana sikap Para Habaib Ba Alawi terhadap Syi'ah Rafidhah?


Sikap mereka terhadap Syi'ah Rafidhah akan saya jelaskan dengan dalil-dalil yang menyangkut keteguhan para Habaib Ba Alawi dalam memegang thoriqoh Ahlussunnah wal Jama'ah dan bebasnya mereka dari Syi'ah Rafidhah juga dari setiap perkara yang bisa merendahkan derajat para tokoh shahabat Radhiyallahu 'anhu.
Kita memulai dengan kesaksian yang benar tentang para Habaib Ba Alawi dari Syaikh Yusuf bin Isma'il al-Nabhani yang mengatakan dalam kitabnya  al-Asalib al-Badi'ah fi Fadllis Shohabah wa Iqnai al-Syi'ah  hal 495: "Keturunan Nabi jikalau mereka mengunggulkan kakeknya (Ali Radhiyallahu 'anhu) sebab kecintaan mereka kepadanya itu sama sekali tidak dapat mempengaruhi keutamaan Abu Bakar dan Umar.” Ini adalah pendapat mayoritas  ulama dari kalangan habaib apalagi  sadat (sesepuh) para Habaib Ba Alawi  yang notabene bermadzhab Ahlulsunnah wal Jama'ah pasti mengunggulkan keutamaan Abu bakar dan Umar dari pada Ali Radhiyallahu 'anhu. Hal tersebut juga ditetapkan dalam kitab mereka dan dijadikan kurikulum dalam mata pelajaran di madrasah mereka.


Hanya  dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala lah, mereka tetap konsis dan eksis melakukan syari'at Islam mengalahkan tuntutan hawa nafsu.
Teladanilah pernyataan mereka -yang kami terangkan di bawah ini- yang menyerukan untuk selalu konsis dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah dan terhindar dari Rafidhah dan faham sesatnya.


Imam Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad setelah menerangkan Syi'ah Rafidhah, berkomentar: " Rafidhah adalah golongan sesat. Mereka tidak bisa dipercaya dalam hal apapun,  karena jika ada sedikit kebenaran pasti mereka campur dengan kebatilan, maka tidak ada sedikit pun kebenaran yang tersisa dari mereka layaknya seseorang membuat mentega dari kotoran.
Anggapan mereka bahwa Sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu lebih berhak menjadi khalifah jikalau itu benar pasti yang menjadi kholifah setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah beliau, padahal kenyataan yang ada pada saat itu justru  mayoritas shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam termasuk Ali Radhiyallahu 'anhu sepakat membaiat Abu Bakar menjadi khalifah. Dikarenakan beliau adalah shahabat yang paling senior, pernah suka duka bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam di Gua Hira' dan beliau juga pernah diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untuk mengimami sholat di masa hidupnya. Pada awalnya beliau berijtihad memberikan kursi kekhilafahan kepada Umar, akan tetapi Umar Radhiyallahu 'anhu justru menyerahkannya kepada lembaga permusyawaratan yang telah dibentuk dengan beranggotakan enam shahabat termasuk Sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu. Dan cukup bagi Ali Radhiyallahu 'anhu keutamaan dan keistimewaan walaupun kepemimpinan beliau paling akhir.
Adapun tuduhan Rafidhah terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu sebab beliau tidak berkomentar banyak seputar khilafah karena taqiyah, maka sesungguhnya itu bukan semata-mata karena takut  akan tetapi karena beliau ingin menjaga kesatuan dan kebersamaan umat Islam serta menghindari perpecahan di dalamnya." Keterangan dari kitab Tatsbitul al-Fu'ad.


Masih dalam kitab tersebut Imam Abdullah Alawi Al-Haddad juga berkata: "Ketika Syi'ah Zaidiyah sampai ke negara Yaman, mereka banyak bertanya tentang beberapa hal, mereka berkata kepada kami: kenapa kalian semua mendahulukan orang lain dari pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhum? lalu kami menjawab: Beliau sendirilah yang melakukan hal itu, maka kami mengikuti apa yang beliau lakukan, mereka berkata: Itu Cuma Taqiyah belaka, kami menjawab: Kami tidak sehebat dan seberani beliau. Kalau memang benar Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu melakukan Taqiyah lalu siapakah orang yang lebih kuat atau mengimbanginya dalam kejantanan dan keberaniannya?
Di dalam kitab Al-Nashaih Al-Diniyyah pada bagian akhir ketika membahas tentang aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah menjelaskan: Bagi setiap muslim wajib meyakini keutamaan para shahabat dan tingkatan mereka dan mereka itu adalah orang-orang yang adil dan terpilih tidak diperbolehkan menghujat mereka. Sesungguhnya khalifah yang benar setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu, Umar Radhiyallahu 'anhu, Utsman Radhiyallahu 'anhu  kemudian Ali Radhiyallahu 'anhu.
Beliau berkata dalam kitab Al-Da'wah Al-Taammah: "Merupakan suatu keharusan bagi kita untuk tidak membahas konflik yang terjadi diantara para shahabat setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, seperti perang Jamal, Shiffin. Menyikapi hal tersebut bagi seorang muslim harus memberikan jalan dan solusi terbaik mengingat keagungan derajat mereka. Sebagai seorang yang baik haruslah seperti apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:


Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
(Q.S. al-Hasyr: 10).


Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam beliau bersabda:


“Ketika (polemik/konflik) shahabatku dibahas  maka diamlah kalian (dari berkomentar buruk).” (H.R. Thabrani dan Al-Harist bin Abu Usamah dari Ibnu Mas'ud).


Dan Beliau juga bersabda:


“Shahabat-shahabatku laksana bintang-bintang siapapun diantara mereka kalian ikuti maka kalian pasti mendapat petunjuk.” (H.R. Thobaroni dan al-Haitsami).


Beliau juga bersabda:


“Hormati dan muliakanlah para shahabat dan keluargaku, jangan pernah mencaci maki mereka. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melindunginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang melakukan sebaliknya,maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggalkannya. Barangsiapa yang ditinggalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dikhawatirkan mendapat siksaan-Nya.” (H.R. Thobaroni dan Ibnu Asakir).


Dan beliau bersabda:


“Hormati dan muliakanlah para shahabatku dan jangan sekali-kali mereka kalian jadikan bahan hinaan, sebab orang yang bisa mencintai mereka itu karena mencintaiku dan sebaliknya, orang yang memusuhi mereka tak lain karena memusuhiku. Barangsiapa yang menyakitiku berarti menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa saja yang menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti dia akan mendapatkan siksa.” (H.R. At-Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi).


Dan Beliau bersabda:


“Jangan kalian mencaci maki shahabat-ku, demi dzat yang menguasai jiwa-ku, andaikan salah satu dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan bisa menandingi sedekah mereka satu mud dan/atau setengahnya.” (H.R. Bukhori Muslim).


Beliau Imam Abdullah Alawi Al-Haddad bersya'ir dalam kitabnya Al-Durrul Al-Manzhum li Dzawil Uqul Wal Fuhum:


Para shahabat Nabi yang mulia adalah pemimpin
baik Muhajirin maupun Anshor.

Laksana bintang-bintang pemberi petunjuk, dermawan,
pemurah hati, dan bertanggung jawab atas amanat yang dipikulnya

Mereka golongan yang mendapat hidayah Tuhan maka ikutilah
Dan bermulazamah dengan mereka jangan sampai engkau berpaling

Jangan pernah memusuhinya, sebab mereka sumber hidayah
Dan para penyampai ilmu Al-Qur'an dan Al-Sunnah

Orang yang mengejeknya berarti mendekostruksi dasar agama

Dan terpeleset dalam jurang kesesatan


Sayyid Abdurrahman bin Hamid Al-Sari berkata dalam kitabnya Nafahat Al-Nashim Al-Hajiri Min Kalami Syaikhil Islam Abdullah bin Umar Al-Syathiri hal 340 mengutip langsung dari Imam Abdullah Al-Syathiri termasuk pemimpin para Habaib Ba 'Alawi: pada bulan Syawal Tahun 1359 H. disaat kita belajar ilmu tajwid beliau memberi nasehat kepada kami setelah memberikan kajian ilmiah khusus mendalami seputar polemik dan konflik antara para shahabat Nabi serta berpesan agar tidak membahasnya terlalu dalam. Saking pentingnya beliau hampir tidak mau berdiri untuk mengakhirinya.
Di antara nasehat-nasehatnya adalah: "Wahai anakku, pegangilah nasehatku ini: Barangsiapa yang ingin ilmunya bermanfaat dan berpegang teguh pada thoriqoh A'lawiyyin serta menjadi orang yang dicintai, maka jauhilah membahas polemik dan konflik para shahabat Nabi dan jangan sekali-kali menanggapi orang yang membahasnya.


Apa yang terjadi antara shahabat Nabi Janganlah kita komentari,
Cukup bagi kita berkata: "Mereka berhak mendapatkan pahala atas ijtihad mereka.”


Ada sebuah pertanyaan diajukan kepada Ibnul Mubarok; mana yang lebih utama antara Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu dan Umar bin Abdul Aziz? beliau menjawab: sisa-sisa debu yang menempel pada hidung kudanya Mu'awiyah Radhiyallahu 'anhu itu lebih utama dari pada Umar bin Abdul Aziz. Walaupun hakikat kebenaran berpihak kepada Sayyidina Ali Radhiyallahu 'anhu tetapi tidak baik membahas permasalahan ini kecuali orang yang pandir lagi bodoh.


KESIMPULAN


Syi’ah, yang kini hangat dibicarakan di tanah air kita, karena aqidahnya dan perilakunya yang kontroversial dengan apa yang biasa berlaku di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah atau kaum sunni, ternyata keberadaannya sudah cukup lama, sekitar abad II Hijriyyah, sebelum para ulama salaf, semisal Imam Abu hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal.


Firqoh syi’ah itu ternyata cukup banyak, yang paling populer ialah Zaidiyyah dan Rafidhah.


Zaidiyyah, yaitu aliran (firqoh) yang dipimpin oleh zaid bin Ali  bin husein bin Ali Radhiyallahu 'anhu atas permintaan penduduk Kufah. Firqoh ini tidak ada sesuatu yang terlalu ganjil dengan faham ahlussunnah, kecuali masalah kekhilafahan Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhu dalam kaitannya dengan ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu 'anhu. Bahwa Ali lebih afdhol ketimbang Abu Bakar dan Umar, tanpa menyangkal keabsahannya.


Rafidhah, berasal dari kata rafadha, yang artinya menolak atau meninggalkan. Asal muasal firqoh ini, ialah karena ada sekelompok dari ahlu Kufah pengikut Zaidiyyah yang mengatakan seolah-olah Imam Zaid mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah lalim dan telah berbuat kekejaman terhadap Ali Radhiyallahu 'anhu karenanya, mereka akan selalu dibelakang Imam Zaid. Mendengar itu Imam Zaid menyangkal, katanya: “bahwa aku sama sekali tidak berkata begitu terhadap Abu Bakar dan Umar, bahkan aku menilainya beliau-beliau itu adalah orang-orang baik. Dan itu pula yang ku dengar sendiri dari ayahku (Ali bin Husein), bahkan beliau-beliau itu pernah menjadi pembantu datukku.”


Setelah sekelompok orang ini mendengar pernyataan seperti itu, lalu menyendiri dan memisahkan dari Imam Zaid. Melihat fenomena seperti itu, Imam Zaid lalu berkata kepada mereka: “Rafadh-tumuni” (kalian telah meninggalkan aku). Sejak itulah populer kelompok tersebut dikenal dengan nama “Rafidhah”, artinya golongan yang meninggalkan, atau yang menolak ucapan Imam Zaid.


Firqah Rafidhah ini disamping menolak kekhilafahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, juga menetapkan bahwa yang berhak menjadi khalifah (imam) sesudah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah ‘Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu 'anhu. Para imam itu dianggapnya ma’shum, tidak pernah bersalah dan tidak mungkin salah. Karena itu, firqoh ini juga dikenal dengan nama Imamiyyah, karena teori keimamahannya itu. Juga dikenal dengan nama al-Itsna ‘Asy’ariyyah dua belas. Karena imam-imam yang ma’shum yang berhak menjadi imam-imam manusia adalah dua belas, yaitu: 1. Ali 2. Hasan 3. Husein 4. Ali bin Husein (Zainal Abidin) 5. Muhammad bin Ali (al-Baqir) 6. Ja’far bin Muhammad (Ja’far as-Shodiq).  7. Musa bin Ja’far 8. Ali bin Musa (ar-Ridho) 9. Muhammad bin Ali (at-Taqiy) 10. Ali bin Muhammad 11. Hasan bin Ali al-Askari 12. Muhammad bin Hasan al-Askari.
Firqoh ini, dalam permasalahan fiqh mengikuti aliran Ja’far as-Shadiq. Karena itu sering pula menamakan dirinya Ja’fariyyah.
Jadi Rafidhah, Imamiyyah, al-Itsna ‘Asy’ariyyah adalah satu macam.


POKOK-POKOK KEPERCAYAAN SYI’AH IMAMIYYAH


Seperti tersebut dalam literatur syi’ah Imamiyyah, yang juga Rafidhah, al-Itsna Asy’ariyyah dan Ja’fariyyah seperti al-kafi lil kulaini, al-Ihtijaj lil Tibrisi, al-Istibahar lil Thusi, al-Amali lil Ibni Babawaih al Qummi, Kasyful Ghummah lil Ardubaili, Fashlul khithab fi Istbati Tahrifi kitabi Rabbil Arbab lil Tibrisi, Tafsir al-Ayyasy dan lain-lain, maka dapatlah disimpulkan bahwa pokok-pokok ajaran/kepercayaan Syi’ah al-Imamiyyah itu adalah sebagai berikut:
   

Semua khulafaur Rosyidin, selain Ali, yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah kafir.
Semua shahabat yang turut berbai’at kepada Abu Bakar adalah kafir.
Ummahatul mukminin, utamanya ‘Aisyah dan Hafshah adalah kafir.
Abu Bakar dan ‘Umar di sebut Shanam Quraisy, juga Thaghut, sedang ‘Aisyah dan Hafshoh adalah Jibt (berhala), semuanya perlu dikutuk. Dan siapa yang mengutuk beliau-beliau itu dijamin masuk surga.
Imam-imam mereka adalah ma’shum, dan berhak menentukan siapa-siapa ahli surga.
Imam-imam mereka itu tahu perkara Ghaib.
Sebelum terjadinya kiamat kubra, akan didahului dengan kiamat shughra, bersama dengan datangnya al-Qoim, imam ke dua belas yang kini dikatakan sembunyi di terowongan (sirdab), dan akan dibang-kitkan tiga orang, ‘Aisyah, Abu Bakar dan ‘Umar untuk diadili.
Al-Qur’an yang ada ditangan kaum muslimin sekarang ini, ada kekurangannya yang dilakukan oleh Utsman, antara lain surat al-Wilayah disebut juga surat Wasiah untuk Ali. Sementara Al-Qur’an yang komplit adalah 17.000 ayat, sedang Al-Qur’an yang berada di tangan kita  sekarang ini hanya 6263 ayat, Al-Qur’an tersebut disebut Mush-haf Fathimah, yang kini masih berada di tangan Imam kedua belas (Al-Qoim).
Abu Lu’ lu’ah si pembunuh Umar ra. adalah seorang pahlawan. Dia adalah sahid yang dijamin masuk surga.
Taqiyah, yaitu menyembunyikan apa yang menjadi keyakinan mereka sebenarnya,  dan ini merupakan keharusan  bagi pengikut syi’ah.
Bara’ah, yaitu kesediaan untuk menyatakan bebas dan berlepas diri dari khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar dan Utsman) demi kesempurnaan iman kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yakni: siapa yang tidak mau menyatakan anti abu Bakar, Umar dan Ustman dinilai sebagai kafir.
Raj’ah, artinya kembali, yaitu bahwa imam  yang kedua belas (Muhammad bin Hasan al-Askari) disebut juga al- Qoim, tidak mati, dan kini masih sembunyi. Pada satu saat dia akan kembali untuk memimpin dunia ini. Imam inilah yang oleh Khumaini dinilai sebagai paling sukses memperbaiki dunia, sementara nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam sendiri dan nabi-nabi sebelumnya tidak sukses.


PENILAIAN PARA ULAMA SALAF TENTANG SYI’AH IMAMIYYAH


Setelah mengikuti alur pemikiran dan aqidah syi’ah Imamiyyah seperti tersebut di atas, maka para ulama salaf, seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal serta ulama-ulama yang lain, juga ulama mutaakhirin berkesimpulan, bahwa syi’ah Imamiyyah adalah Dhalalah Mudlillah (sesat dan menyesatkan) yang segenap kaum muslimin perlu diperingatkan agar tidak terkecoh oleh propaganda-propaganda mereka yang manis, yang kadang-kadang kalau tidak ada penelitian yang cermat, akan cukup menggiurkan.


Berikut ini kami nukilkan beberapa penilaian para ulama itu, yang kami kutip dari kitab “Aqoid Syi’ah fil Mizan” oleh DR. Muhammad Kamil al-Hasyimi.


Imam Syafi'i mengatakan:


"Saya belum pernah melihat satu pun kaum yang paling berani bersaksi dusta , selain  Rafidhah.”


Dalam riwayat lain, beliau juga mengatakan:


"Saya belum pernah melihat orang yang paling berani bersaksi dusta atas nama Allah, selain  Rafidhah.”


Imam Malik ketika ditanya pendapatnya tentang Syi’ah , beliau mengatakan:


"Jangan kamu mengajak berbicara mereka, tetapi jangan kamu acuh terhadap mereka, karena mereka itu pendusta.”


Diriwayatkan, bahwa dimajlis Imam Malik pernah disebut-sebut tentang Rafidhah yang mencaci maki para shahabat, lalu beliau membaca ayat:


“Muhammad adalah utusan Allah, sedang orang-orang yang bersamanya (para Shahabat) adalah orang-orang yang tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”……..mereka itu tak ubahnya tanaman yang tunasnya susul-menyusul…….”karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir dengan keadaan mereka itu”………Karena itu: siapa yang merasa jengkel dengan disebutnya para shahabat itu, berarti dia terkena ayat ini, (maksudnya: orang-orang Syi’ah yang mencaci maki dan membenci shahabat itu adalah jelas kufur)". (Tafsir al-Qurtubi).


Imam Abu Hanifah berulang kali mengatakan:


“Siapa yang ragu-ragu akan kekufuran mereka (Syi’ah), berarti dia sendiri tergolong kafir.”


Syarik, seorang  qodli Kufah yang semasa dengan Imam ats-Tsauri dan Abu Hanifah mengatakan:


“Saya akan mengambil ilmu dari setiap orang-orang yang saya temui, kecuali Rafidhah, karena mereka itu telah memalsu hadits dan menjadikannya sebagai agama.”


Kata al-A’masy:


“Saya mendapatkan manusia yang tidak dinamakannya melainkan sebagai pendusta. Karena itu para imam-rahimahumulloh-seperti Syafi’I dan Abu Hanifah sepakat menolak kesaksian syi’ah dan tidak mau menerimanya, karena mereka termasuk pendusta-pendusta.”


Ibnu Taimiyyah berkata:


“Para ahli fiqh (fuqoha’) sepakat menolak kesaksian orang yang sudah dikenal pendusta, tetapi mereka masih berbeda pendapat tentang kesaksian semua ahli Ahwa’ (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu) apakah kesaksiannya  itu mutlak diterima ataukah  mutlak ditolak? Atau apakah kesaksian orang-orang yang yang mengajak kepada bid’ah itu juga harus ditolak? pendapat ketiga inilah yang berkembang dikalangan ahli hadits, yaitu mereka tidak mau meriwayatkan riwayat yang berasal dari orang yang mengajak kepada bid’ah dan mereka pun tidak mau menerima kesaksiannya. Karena itu dalam kitab-kitab induk mereka seperti kitab-kitab shohih (as-Shohih) as-Sunan dan Masanid tidak pernah dijumpai ada riwayat dari orang-orang yang sudah dikenal sebagai mengajak kepada bid’ah-bid’ah, kendati ada juga disitu riwayat dari orang yang dapat dikategorikan sebagai bid’ah seperti Khawarij, Syiah, Murjiah dan Qodariyyah.”


Abdullah bin al-Mubarak mengatakan:


“Agama itu bagi ahli hadits, kalam itu bagi ahli ra'yi sedang dusta itu bagi Rafidhah.”


Abu Zur’ah mengatakan:


“Apabila anda mengetahui ada seorang yang mencela salah seorang diantara para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, maka ketahuilah sesungguhnya dia itu adalah Zindiq (munafiq), sebab sesungguhnya rasul adalah benar, dan apa yang yang dibawanya adalah benar. Sedang yang membawanya itu semua kepada kita hanyalah para shahabat, sementara kaum zindiq ini memang bermaksud hendak menjelek-jelekkan kesaksian kita, guna membatalkan al-Qur’an dan as-sunnah. Karenanya, celaan  untuk mereka itu lebih pantas.”


Al-Qodhi Abu Ya’la mengtakan:


“Yang telah menjadi pendirian para ahli fiqh (fuqoha’) tentang orang yang mencaci maki para shahabat, yaitu jika dia itu memgganggapnya yang demikian itu halal, maka berarti kufur, dan jika dia tidak menganggapnya halal , maka berarti fasiq, tidak sampai kufur.”


Imam Thahawi pengarang Syarah Thahawiyah mengatakan:


“Kami mencintai para shohabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam. Tidak seorang pun yang kami sia-siakan dalam hal mencintai mereka itu. Kami juga tidak menyatakan berlepas diri dari seorang pun di antara mereka. Bahkan kami akan membenci siapa saja yang membenci mereka dan menyebut mereka dengan cara yang tidak benar. Dan kami tidak akan menyebut mereka itu kecuali dengan benar. Sebab, mencintai mereka itu termasuk agama, iman dan ihsan. Sementara membenci mereka adalah kufur, nifaq dan zhalim.”


Ibnu Hazm al-Zhahiri menyangkal para uskup yang menghujatnya,” bahwa Syi’ah telah menetapkan al-Qur’an yang ada ini sudah berubah (muharraf)”, dengan mengatakan sbb:


"Anggapan Syi’ah seperti itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menjatuhkan al-Qur’an dan kaum muslimin, karena Syi’ah itu Ghairul muslimin (bukan Islam).”


PANDANGAN ULAMA MUTA’AKHIRIN


Yang di maksud ulama muta’akhirin, ulama belakangan, yaitu ulama yang lahir dan berkecimpung dalam dunia keislaman, sesudah periode para Imam Madzhab, yaitu sekitar abad X Hijriyah. Mereka itu disebut muta’akhkhirin ( belakang), karena dasar-dasar ilmu, seperti Qawaid Nahwiyyah dan Sharfiyyah, Ushul Tafsir, Ushul Hadits dll, sudah mapan, bahkan pendapat-pendapat tentang berbagai masalah sosial yang berkaitan dengan ahkam sudah dibicarakan, sehingga hampir-hampir tidak ada lagi Qawaid yang perlu dibuat dan pendapat yang baru yang diketengahkan. Maka ulama mutaakhkhirin ini boleh dikatakan sekedar mentarjih (meneliti kembali mana yang pas dengan nash al-Qur’an dan Sunnah dan mana mana yang kurang pas) dan mengembangkan.


Kendatipun demikian, ulama mutaakhkhirin ini juga mempunyai pandangan yang berbobot, tidak kalah bobotnya dengan ulama salaf atau ulama mutaqaddimin.Khusus tentang Syi’ah ini, ulama mutaakhkhirin juga mengadakan penilaian dengan argumentasinya sendiriyang akurat dan kuat.


Kalaupun kaum Syi’ah itu mengaku sebagai pengikut ahlul bait, namun pegakuannya itu tidak bisa diterima. Kata al-Alusi:


“Sekali-kali mereka bukan pengikut ahlil bait, tetepi pengikut syetan, sementara ahlul bait sendiri berlepas diri dari mereka.”


Al-Alusi adalah pengarang Tafsir Ruhul Ma’ani, beliau juga mengarang beberapa buku khusus menyanggah Syi’ah, antara lain berjudul Mukhtashar at-Tuhfah al-Itsna Asyariyah, Sa,adatut Darain Fi Syarhi HaditsitsTsaqalain yang semula berbahasa Persi karangan Syaikh Aziz ad-Dahlawi, diarabkan oleh Syukri untuk al-Alusi, dan Shabbul ‘Adzab ‘ala Man Shabbal Ash-hab, (Curahan adzab untuk orang yang mencacimaki Shahabat).


DR. Musthafa as-Siba'i. Beliau pernah bergaul dangan orang-orang Syi’ah beberapa tahun, dan salah seorang pelopor untuk mengadakan taqrieb (pendekatan) antara Sunny dan Syi'i. Namun, akhirnya beliau mengetahui hakekat Syi’ah dengan tersingkap kedoknya., maka akhirnya beliau mengatakan sbb:

“Kaum (kelompok Syi’ah) ini ternyata tetap memegangi apa yang terdapat dalam kitab-kitab mereka, antara lain berupa cacian yang keji dan gambaran yang dusta terhadap perselisihan yang terjadi antara para shahabat. Sementara tujuan mereka mengadakan taqrieb adalah taqriebu ahli sunnah ila madzhabisy Syi’ah (mendekatkan golongan ahli sunnah ke faham syi’ah), bukan pendekatan antara dua aliran tersebut satu sama lain.”
Selanjutnya beliau juga  mengatakan:


"Hampir saja kaum muslimin dibuat bingung oleh kelancangan yang keterlaluan terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, seandainya kaum muslimin tidak tahu, bahwa golongan Rafidhah itu kebanyakan adalah berasal dari Persi yang menyamar dengan tasyayyu’ (mengaku kebenaran dakwaan Syi’ah) dengan tujuan untuk melepas buhul islam atau (melepasnya) dari orang-orang islam, sementara mereka tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh Agama mereka yang lama. Lalu mereka pindah kepada Islam dengan pemikiran animisme dengan tidak ambil pusing berdusta atas nama shahibur risalah (Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam).”


Muhammad Kazhim Habib mengatakan dalam bukunya ar-Riddah bainal Amsi wal Yauma, terbitan tahun 1977, tentang Syi’ah Imamiyah Ja’fariyah sbb:


"Mereka itu berenang dalam kekufuran, bagaikan gelembung darah putih yang mengapung dalam darah, atau seperti ikan berenang dalam air".


Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang peneliti hadits secara tegas mengkafirkan pemimpin Ja’fariyyah, dengan alasan, bahwa sang pemimpin dengan terang-terangan telah menyindir Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, (bahwa Nabi gagal), menganggap bahwa al-Qur’an (wahyu) turun kepada Fathimah selama 75 hari, dua shahabat besar Abu Bakar dan Umar dinilai sebagai kafir dan menetapkan do’a (kutukan) kepada dua berhala Quraisy, yaitu Abu Bakar dan Umar.


Wallahu’alam bishowab.
Wassalammu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh