KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang Diperbolehkan.
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim..
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..
Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu
wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah
falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah
Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan
'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da
Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa
tamuutunna illaa wa antum muslimuun.
Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min
nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala
katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal arhaama
innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa
Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula
sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah
wa rasuulahuu waqod faaza fauzaa 'adzhiima.
Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi
muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa
wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin
fiinnar.
Berikut, Pembahasan Singkat KITAB RIYADHUS SHALIHIN
256. Bab Ghibah yang Diperbolehkan.
Perlu diketahui, ghibah hanya diperbolehkan dalam tujuan
yang dibenarkan secara syar'i, dimana tujuan tersebut tidak bisa dicapai tanpa
ghibah. Ada enam sebab yang membolehkan ghibah secara syar'i:
Pertama:
Mengadukan perlakuan zalim. Orang teraniaya boleh mengadukan
perlakuan zalim kepada sultan, hakim, atau pihak lain yang punya kekuasaan atau kemampuan untuk bertindak adil
pada pihak yang berbuat zalim, misalkan dengan mengatakan, "Si fulan
menzalimi saya dengan tindakan ini dan itu."
Kedua:
Ghibah digunakan untuk mengubah kemungkaran dan
mengembalikan ahli maksiat kepada jalan yang benar, misalkan berkata kepada
pihak yang kekuasaannya diharapkan bisa menghilangkan kemungkaran, "Si
fulan berbuat begini dan begitu, tolong cegahlah dia," atau semisalnya
dengan tujuan untuk menghilangkan kemungkaran. Jika tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan kemungkaran maka hukumnya haram.
Ketiga:
Bertanya, misalkan bertanya kepada mufti, "Ayah,
saudara saya, suami saya, atau si fulan menzalimi saya dengan tindakan ini dan
itu. Bolehkah dia melakukan hal itu? Bagaimana caranya agar saya bisa terlepas
dari dia, agar saya mendapatkan hak saya kembali, dan menangkal
kezalimannya?" atau, kata-kata yang serupa lainnya. Ghibah semacam ini
diperbolehkan karena diperlukan. Namun begitu, lebih hati-hati dan lebih
baiknya mengatakan demikian, "Bagaimana pendapat Anda terkait seseorang
atau seorang suami yang begini dan begitu?" Dengan cara ini maksudnya
tercapai tanpa menyebut orang tertentu. Meski demikian, menyebut orang secara
tertentu hukumnya boleh, seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun, in
syaa Alloh.
Keempat:
Mengingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan atau
menasehati mereka melalui beberapa sisi;
Mengkritik para perawi atau saksi yang harus dikritik. Ini
boleh berdasarkan ijmak kaum muslimin, bahkan wajib jika diperlukan.
Bermusyawarah untuk menikahkan seseorang, melibatkan
seseorang untuk suatu urusan, menitipkan sesuatu atau bermuamalah dengan
seseorang. Orang yang dimintai pendapat tidak boleh menutup-nutupi kondisi
orang yang dimaksud, bahkan harus menyebutkan segala keburukannya dengan niat
memberikan nasihat.
Ketika seseorang melihat seorang murid sering menemui ahli
bid'ah atau berguru pada orang fasik, dan ia khawatir jika si murid terkena
bahayanya, ia harus menasihati si murid dan menjelaskan kondisi gurunya, dengan
syarat berniat memberikan nasihat. Dan sisi inilah yang kadang disalahgunakan.
Kadang orang menyampaikan hal tersebut karena dorongan dengki. Ditambah lagi
setan membuat samar hal itu padanya, dan membuatnya terbayang seakan-akan yang
ia sampaikan adalah nasihat. Hal semacam ini perlu diperhatikan dengan baik.
Seseorang yang memiliki kekuasaan namun tidak ia jalankan
secara semestinya, mungkin karena tidak layak menjabat kekuasaan tersebut, atau
mungkin pula yang bersangkutan fasik atau lalai. Kondisi ini harus disampaikan
kepada pemimpin tertinggi untuk mencopot orang tersebut, dan menunjuk orang
yang layak, atau seseorang mengetahui kondisi si pemimpin yang tidak layak atau
fasik tersebut, agar pemimpin tertinggi memperlakukannya sesuai kondisinya,
tidak terpedaya, dan berusaha untuk mendorongnya berlaku istiqomah, atau
meminta agar diganti dengan yang lain.
Kelima:
Seseorang menampakkan kefasikan atau bid'ah, seperti meminum
khamar secara terang-terangan, merampas harta milik orang lain, memungut pajak,
memungut harta orang lain secara semena-mena, dan membawahi urusan-urusan
bathil. Kefasikan orang seperti ini boleh diberitahukan kepada khalayak, namun
haram hukumnya menyebutkan aib-aib lainnya selain kefasikan yang ia perlihatkan
secara terang-terangan (jelas), kecuali jika ada faktor lain yang membolehkan
untuk menyebut aib-aib lainnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Keenam:
Untuk memperkenalkan. Jika seseorang dikenal dengan suatu
julukan, seperti Al-A'masy (orang yang kabur penglihatannya), Al-A'raj
(pincang), Al-Asham (tuli), Al-Ahwal (juling), dan lainnya, mereka boleh
diperkenalkan dengan julukan-julukan tersebut. Namun tidak boleh menyebut
julukan-julukan ini dengan maksud menghina. Ada baiknya jika pengenalan
dilakukan dengan julukan lain.
Demikian enam sebab yang disebutkan ulama, dan sebagian
besar di antaranya disepakati. Dalil-dalilnya adalah hadits-hadits shahih dan
masyhur. Sebagian ulama menyatukan sebab-sebab ini dalam bait syair berikut:
Celaan bukanlah ghibah dalam enam (hal); Mengadukan
kezaliman, memperkenalkan, mengingatkan. Orang yang menampakkan kefasikan
dengan jelas, orang yang bertanya, dan orang yang meminta bantuan untuk
menghilangkan kemungkaran.
Diantara hadits-hadits tersebut:
1/1531.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, seseorang meminta izin
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau berkata, "Izinkan dia
masuk, dia adalah seburuk-buruk anggota kabilah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6054), dan Muslim (2591)].
Penjelasan:
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Bukhari terkait bolehnya
menggunjing orang-orang yang berbuat kerusakan dan mencurigakan. Ada yang
mengatakan bahwa orang dalam riwayat ini adalah Uyainah bin Hishn. Yang lain
menyebut Makhramah bin Naufal.
2/1532.
Dari ('Aisyah), ia berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Aku yakin si fulan dan fulan sama sekali tidak
mengetahui agama kita sedikitpun'."
(HR. Al-Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari, 6067].
Penjelasan:
Al-Bukhari berkata, "Laits bin Sa'ad, salah satu perawi
hadits ini, berkata, 'Kedua orang tersebut termasuk golongan orang-orang
munafik'."
Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
menyampaikan hal itu untuk menjelaskan kemunafikan yang disembunyikan oleh
kedua orang tersebut, agar penampilan luar keduanya tidak mengelabuhi orang
yang tidak mengetahui urusan mereka berdua.
3/1533.
Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu'anha, ia berkata,
"Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku berkata, 'Abu
Jahm dan Mu'awiyah meminangku.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
kemudian bersabda, 'Adapun Mu'awiyah, dia miskin, tidak punya harta, sementara
Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Muslim (1480), Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits
ini].
Penjelasan:
Riwayat Muslim menyebutkan; "Adapun Abu Jahm, ia suka
memukul wanita." Ini menafsirkan riwayat, "Dia tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya." Pendapat lain mengatakan, artinya ia
sering bepergian.
Pensyarah mengatakan, makna pertama lebih tepat, karena
riwayat-riwayat saling menafsirkan satu sama lain, meski tidak menutup
kemungkinan untuk disatukan.
4/1534.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu'anhu, ia berkata,
"Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu
perjalanan saat orang-orang tertimpa kesulitan, lalu Abdullah bin Ubai berkata,
'Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi
Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)' Ia juga berkata,
'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Musthalik),
pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.' Aku
kemudian menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan hal
itu kepada beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian menemui
Abdullah bin Ubay, lalu ia bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa ia tidak
mengatakan seperti itu. Mereka kemudian berkata, 'Zaid telah berdusta kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam'. Karena kata-kata mereka ini, sesuatu
yang berat menimpa diri saya, hingga Allah menurunkan kepada Nabi-Nya
pembenaran kata-kata saya; Apabila orang-orang munafik datang kepadamu
(Muhammad)' Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memanggil mereka
untuk memintakan ampunan bagi mereka, mereka lantas membuang muka'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (3900), Muslim (2772)].
Penjelasan:
Perkataan Zaid, "Lalu ia bersumpah dengan
sungguh-sungguh," yaitu ia bersumpah dan menegaskan sumpahnya dengan
mengulang-ulangnya.
5/1535.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Hindun,
istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, 'Abu Sufyan
itu orang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku,
kecuali yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.' Beliau Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan
cara yang patut'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (5359), Muslim (1714)].
Penjelasan:
Dalam hadits ini, Asy-Syuhh artinya kikir disertai tamak.
Hadits ini menunjukkan, boleh menyebut-nyebut seseorang
dengan sesuatu yang tidak ia sukai dengan maksud untuk meminta fatwa, mengadu,
dan semacamnya. Dan boleh mendengar kata-kata wanita asing (bukan mahram) di
hadapan hukum dan fatwa.
Hadits ini menunjukkan, wajib menafkahi istri. Nafkah istri
di ukur berdasarkan kecukupan.
Juga menunjukkan, hal-hal yang tidak ditentukkan dalam
syari'at mengacu pada kebiasaan.
Allahu a’lam..
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaah wa barakaatuh..
Sumber:
KITAB RIYADHUSH SHALIHIN
Imam An-Nawawi
Syarah: Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Alih Bahasa: Tim Penterjemah Ummul Qura
Penerbit: UMMUL QURA – Jkt.