AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Kamis, 02 April 2015

Meluruskan Subhat "BID'AH HASANAH"

Assalamu'alaykum wa Rahmatullah wa Barakaatuh..
Bismillaah..
Segala puji hanya milik Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya, kita memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari kejelekan-kejelekan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya.


Aku bersaksi bahwa tidak ada yang patut disembah dengan haq (benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla saja, dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.


"Yaa ayyuhalladziina aaamanut taqullah haqqo tuqootihi wala tamutunna illa wa antum muslimun."


"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).


"Yaa ayyuhannasut taqu robbakumulladzii kholaqokum min nafsin wa hidah wa kholaqo minha dzaujaha wa batstsa minhuma rijaalan katsiiron wa nisaa a wattaqullahalladzii tasaa alunnabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaykum roqiiba."


"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).


"Yaa ayyuhalladziina aaamanut taqullaha wa qulu qaulan sadida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfirlakum dzunubakum wa mayyuti 'illaha wa rasulahu faqod faaza fauzan 'adzhiima."


"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal-amal kalian dan mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).


Amma ba'du: Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka.


Wa ba'du: sesungguhnya, salah satu ujian terbesar umat Islam dewasa ini adalah permasalahan "Bid'ah" (sesuatu yang diada-adakan dalam urusan agama), bahkan hal ini telah menyebar ke berbagai negara Islam. Jarang sekali kita jumpai suatu tempat yang disitu terlepas dari masalah bid'ah dan sangat sedikit manusia yang selamat darinya. Perkara bid'ah merupakan masalah yang besar, sangat berbahaya, dan bisa menjerumuskannya kepada kekufuran. Pelaku bid'ah telah mencabut hukum Allah [Al Bid'atu Asbabuha wa Mudlooruha; oleh Mahmud Syaltut, hal. 45], karena itu dia tidak mau berusaha untuk bertaubat (tidak diberi pertolongan untuk bertaubat).


Telah berkata Abdullah bin Abbas: "Sesungguhnya diantara perkara-perkara yang paling dibenci di sisi Allah adalah bid'ah."
[Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Al Kubro (4/316)].


Berkata Sufyan Ats Tsauri [Dikeluarkan oleh Al Lalika'l (1/133) dan Abu Na'im dalam Al Hilyah (7/26) dan Baghowi dalam Syarhussunnah (1/216)]: "Bid'ah itu lebih disukai oleh iblis daripada kemaksiatan, pelaku maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya, sedangkan pelaku bid'ah tidak ada keinginan untuk bertaubat dari kebid'ahannya"
[Karena pelaku bid'ah mengira perbuatannya baik, dan dengan perbuatan bid'ah itu dia bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Oleh karena itu pelaku bid'ah tidak pernah berfikir untuk bertaubat kepada Allah dari perbuatannya bahkan dengan kebid'ahannya tersebut ia mengharapkan pahala. Sebagaimana firman Allah Ta'ala: 'Maka apakah orang yang dijadikan (syaithon) menganggap baik pekerjaannya yang buruk meyakini pekerjaannya itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithon)?’ (QS. Faathir: 8)].


Berbeda dengan orang yang berbuat maksiat, ia merasa sedikit amalannya dan jelek perbuatannya, sehingga jika datang nasihat padanya segera ia akan bertaubat. Akan tetapi keduanya, pelaku bid'ah dan maksiat, apabila mau bertaubat, sesungguhnya Allah 'Aza wa Jalla Maha Mengampuni dosa dan menerima taubat hamba-Nya dan memaafkan kejelekan-kejelekannya. Kita mohon kepada Allah 'Aza wa Jalla keselamatan, 'afiyah, taufiq dan hidayah-Nya.


Sesungguhnya, Dalil-dalil Menjelaskan Bahwasanya Semua Bid'ah Adalah Sayyiah (Tercela), Tidak Ada Hasan (Baik) Sedikitpun Padanya.


Dalil ke 1:


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agama bagimu."
[QS. Al Maidah: 3].


Telah berkata Imam Malik bin Anas rahimahullah:


"Barangsiapa mengada-adakan di dalam Islam suatu kebid'ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan, ia telah menuduh bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wasalllam mengkhianati risalah, karena Allah Ta'ala telah berfirman (yang artinya): "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi agama bagimu." Maka sesungguhnya yang tidak menjadi agama pada hari itu, tidak menjadi agama pula pada hari ini."
[Al I'tishom, Imam Asy Syatibi 1/64].


Berkata Asy Syaukani rahimahullah: "Maka, sungguh apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mewafatkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah Ta'ala menyempurnakan agama-Nya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama menurut keyakinan mereka, berarti belum sempurna agama ini kecuali dengan pendapat mereka, ini berarti mereka telah menolak Al-Qur'an. Dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesutu yang bukan dari urusan agama?”


Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadikanlah ayat yang mulia ini (QS. Al Maidah: 3) sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ra'yi (orang yang mengandalkan akalnya) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka.
[Al Qoutul Mufid fi Adillati Al Ijtihad wa At Taqlid; hal.38; Dimni Ar Rosaail As Salafiyyah; terbitan Darul Kutub].


Dalil ke 2:


Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhuma -semoga Allah Ta'ala meridhoi keduanya-, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khutbahnya: ‘Amma ba'du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat’."
[HR. Muslim no. 867].


Dalil ke 3:


Dari Irbadh bin Sariyyah radhiyallahu'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi nasihat kepada kami yang membuat hati kami bergetar dan berlinangan air mata (karena terharu). Seseorang dari kami berkata: 'Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.' Maka beliau bersabda: 'Aku wasiatkan kepada kamu sekalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Barangsiapa hidup (berumur panjang) diantara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaur-rasyidin yang diberi petunjuk (yang datang) sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat."
[Dikeluarkan oleh Ahmad (4/126); Abu Dawud (4607); Tirmidzi (2676) beliau mengatakan Hasan Shahih; Ibnu Majah (44); Ad Darimi (1/44-45); berkata Al-Bazzar, "Hadits ini Tsabit Shohih"; demikian pula perkataan Ibnu Abdil Baar (sebagaimana Al Bazzar) dalam kitab Jaami'ul Bayan Al Ilmi hal. 549].


Telah berkata Ibnu Rajab rahimahullah: "Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Kullu bid'atin dholalah' (semua bid'ah adalah sesat) merupakan kata (qoidah) yang menyeluruh, dan tidak ada pengecualian sedikitpun (dengan mengatakan, 'Ada Bid'ah Hasanah') dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama."
[Jaami'ul Bayan Al Ilmi hal. 549].


Telah berkata Ibnu Hajar rahimahullah: “Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: 'Kullu bid'atin dholalah' (semua bid'ah adalah sesat) qoidah syar'iyyah yang menyeluruh baik lafadz maupun maknanya.”
[Fathul Baary 13/254].


Berkata Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah: "Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Kullu bid'atin' (semua bid'ah) maknanya menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat, mencakup dan umum pula yaitu lafadz 'Kullu' (semua)” [Al Ibda fi Kamali asy Syar'i wa Khothiri Al Ibtida'-Ibnu Utsaimin; hal. 13]. Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai 'bid'ah hasanah', jawabannya adalah dengan kata tersebut diatas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul Bid'ah untuk menjadikan bid'ah mereka sebagai 'Bid'ah Hasanah'. Dan ditangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yakni: 'Kullu bid'atin dholalah'. Pedang yang sangat tajam ini dibuat diatas nubuwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah. Dan bentuk (kalimat yang digunakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya 'Bid'ah Hasanah', sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Kullu bid'atin dholalah' (Semua bid'ah adalah sesat).


Dalil ke 4:


Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Barangsiapa yang mengada-adakan (Sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kami ini, apa-apa yang tidak ada darinya (tidak kami perintahkan) maka ia tertolak'."
[Shahih Bukhari (2697); Shahih Muslim (1718)].


Berkata As-Syaukani rahimahullah: "Hadits ini termasuk qoidah-qoidah agama, karena termuat didalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqih yang berpendapat bahwa bid'ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian didalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil Aqli maupun Naqli (Dari Al-Qur'an maupun Al-Hadits).”
[Nailul Author (2/69)].


Dalam riwayat Muslim: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka dia tertolak."


Hadits ini merupakan neraca bagi amal lahiriyah. Bahwasanya sebuah amal tidak dianggap melainkan sejalan dengan syari'at. Sebagaimana hadits (Innamal a'malu binniyyati) merupakan pokok bagi amal bathin. Bahwasanya semua amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Aza wa Jalla harus dilakukan dengan ikhlas kepada Allah ‘Aza wa Jalla dan pelakunya harus menghayati niatnya.


Jika ibadah-ibadah seperti wudhu', mandi junub, shalat dan lainnya dilakukan dengan tata cara yang menyelisihi syari'at maka semuanya tidak diterima dari pelakunya dan tidak dianggap (sah). Sesungguhnya sesuatu yang diambil dengan akad yang rusak harus dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak bisa dimiliki (oleh pihak kedua). Hal ini ditunjukkan oleh kisah seorang pekerja di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada ayahnya (pekerja tersebut):


"Adapun budak wanita dan kambing-kambing itu dikembalikan kepadamu."
(HR. Bukhari [2695] dan Muslim [1697]).


Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang membuat sebuah bid'ah yang tidak memiliki asal dalam syari'at maka hal tersebut tertolak, dan pelakunya mendapatkan ancaman. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang kota Madinah:


"Barangsiapa yang membuat perkara baru di dalamnya atau melindungi orang yang membuat perkara baru, maka dia mendapatkan laknat dari Allah dan para malaikat serta manusia semuanya."
(HR. Bukhari [1870] dan Muslim [1366].


Riwayat kedua yang dikeluarkan oleh Muslim lebih umum dari pada riwayat pertama yang sama-sama dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Sebab riwayat pertama tersebut mencakup orang yang melakukan bid'ah, baik dia sendiri yang mengada-adakannya atau ada orang lain sebelumnya yang mengada-adakannya dan dia mengikutinya.


Makna (radd) dalam hadits ini adalah (mardud 'alaih). Ini salah satu bentuk penggunaan mashdar untuk makna isim maf'ul [Radd adalah mashdar (kata dasar) yang artinya penolakan. Sedangkan Mardud 'alaih adalah isim maf'ul (obyek) yang artinya ditolak].


Tidak tercakup oleh hadits ini apa-apa yang menjadi maslahat untuk menjaga agama, atau menjadi media untuk memahami dan mengenal agama. Seperti mengumpulkan Al-Qur'an dalam mushaf, menyusun ilmu bahasa dan nahwu, dan lainnya.


Hadits ini secara mutlak menunjukkan bahwa semua amal yang menyelisihi syari'at adalah tertolak, meskipun tujuan pelakunya baik. Ini diisyaratkan oleh kisah seorang shahabat yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Ied. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkata padanya:


"(Daging) kambingmu adalah daging biasa."
(HR. Bukhari [955] dan Muslim [1961]).


Konteks hadits ini menunjukkan bahwa semua amal yang tidak didasari oleh syari'at adalah tertolak. Kemudian makna tersirat hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang berdasarkan perintah syari'at tidaklah tertolak. Artinya barangsiapa yang amalnya berjalan dibawah hukum-hukum syari'at dan selaras dengannya maka amal tersebut diterima. Sebaliknya barangsiapa yang keluar dari itu maka amalnya tertolak.


Dalil ke 5:


Dari Abdillah bin 'Ukaim, bahwasanya Umar radhiyallahu'anhu berkata: "Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah perkataan Allah Ta'ala, dan sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan ketahuilah sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada di neraka."
[Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhoh dalam Al Bida'l; hal. 13 dan Al Lallika'l hadits ke 100 (1/84)].


Dalil ke 6:


Berkata Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu: "Ittiba'lah (mengikutilah), dan janganlah kalian berbuat bid'ah, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua bid'ah adalah sesat."
[Dikeluarkan oleh Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah hadits no. 175 (1/327, 328) dan Al Lallika'l hadits no. 104 (1/86)].


Dalil ke 7:


Berkata Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhuma: "Semua bid'ah adalah sesat, walaupun manusia melihatnya baik."
[Dikeluarkan oleh Ibnu Baththoh dalam Al Ibanah hadits no.205 (1/339) dan Al Lallika'l hadits no. 126 (1/92)].


Beberapa Subhat (Kesamaran) Orang Yang Menganggap Adanya Bid'ah Hasanah, dan Jawaban Terhadapnya.


I. Subhat Pertama.


Pemahaman mereka (orang-orang yang menganggap adanya 'Bid'ah Hasanah') terhadap hadits:


"Barangsiapa yang mengerjakan (dan menganjurkan) dalam Islam Sunnah yang baik, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakan (sebab anjuran tersebut) setelahnya tanpa menurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengerjakan (dan menganjurkan) dalam Islam sunnah yang jelek maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengerjakan (sebab anjuran tersebut) setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun."
[Dikeluarkan oleh Muslim (hadits no. 1017)].


Jawaban Terhadap Subhat Ini:


Pertama


Bahwasanya makna 'man sana' (pada hadits diatas) ialah: mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan mengerjakan amal dengan membuat syari'at baru (yang baru). Adapun maksud hadits tersebut adalah beramal dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam sunnah Nabawi. Sebab datangnya hadits ini (asbabul wurudnya) menunjukkan benarnya hal itu (bahwa yang dimaksud memang demikian), yaitu tentang shodaqoh yang telah disyari'atkan.
[Yakni hadits dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah pada kami, maka beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memberi motivasi (semangat) pada manusia untuk bershodaqoh, akan tetapi para shahabat berlambat-lambat (tidak bersegera) sehingga nampak pada wajah Rasulullah kemarahan. Kemudian datang seorang dari kaum Anshor dengan membawa kantung berisi uang (untuk bershodaqoh), maka shahabat yang lain pada waktu itu mengikutinya, sehingga kelihatan wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam senang dan beliau bersabda (yang artinya): ‘Barangsiapa yang mengerjakan (dan menganjurkan) dalam Islam sunnah yang baik..’.” (hadits tersebut). Ini adalah lafadz Ad Darimi hal. 514 (1/141) dan di riwayat Muslim lebih panjang lagi].


Kedua


Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: (Min sanna fiil islaami sunnatan hasanah) "Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam sunnah yang baik...", sementara beliau juga bersabda: (Kullu bid'atin dholalah) "Semua bid'ah adalah sesat”), maka tidaklah mungkin muncul dari yang benar dan dibenarkan (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam) perkataan yang satu mendustakan perkataan yang lain. Dan tidak mungkin pula perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bertentangan selama-lamanya.
[Al Ibda' fi Kamali Asy Syar'l wa Khothiri Al Ibtida', Ibnu Utsaimin, hal. 19].


Ketiga


Bahwasanya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: (Man sanna sunnatan) "Barangsiapa mengerjakan sunnah", beliau tidak bersabda: "Barangsiapa yang berbuat bid'ah", dan beliau juga bersabda: (fiil islaami) "Dalam Islam", sedangkan  bid'ah bukanlah perbuatan dari Islam, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: (hasanah) "Yang baik", padahal bid'ah bukan termasuk kebaikan [Al Ibda fi Kamali Asy Syar'l wa Khothiri Al Ibtida', Ibnu Utsaimin, hal. 20], maka jelaslah perbedaan antara sunnah dengan bid'ah, karena sunnah adalah jalan dalam rangka ittiba' (mengikuti) sedangkan bid'ah adalah mengada-adakan hal yang baru di dalam masalah agama.


Keempat


Tidaklah pernah ada, seorangpun dari ulama salaf yang menafsirkan (Sunnatul hasanah) 'Sunnah yang baik' dengan bid'ah yang diada-adakan oleh manusia yang datangnya dari diri mereka sendiri.


Kelima


Bahwasanya makna (Man sanna) adalah orang yang menghidup-hidupkan sunnah yang sudah ada, yaitu ketika sunnah itu ditinggalkan, kemudian menghidupkan kembali. Maka kata (insanna) itu disandarkan tertentu, yakni bagi orang yang menghidupkan sunnah ketika itu ditinggalkan. Suatu hadits yang menunjukkan hal ini adalah:


"Barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku kemudian manusia mengamalkannya, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengamalkan sunnah tersebut tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengada-adakan suatu kebid'ahan kemudian dikerjakan (bid'ah itu), maka dia mendapatkan dosa orang yang mengamalkan bid'ah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengamalkan bid'ah itu.”
[Sunnan Ibnu Majah, hadits no. 204]


Keenam


Bahwasanya perkataan (Man sanna sunnatan hasanah) "Barangsiapa yang mengerjakan sunnah yang baik...", dan (Man sanna sunnatan sayyiah) "Barangsiapa yang mengerjakan sunnah yang buruk...", pada dasarnya tidaklah mungkin mengandung pengertian "Mengada-ada", karena adanya (Hasanah) 'Baik' dan (Sayyiah) 'Buruk' hanya bisa diketahui melalui syari'at. Maka lazimnya, adanya "Sunnah" dalam hadits tersebut, yang baik menurut syari'at, dan yang buruk/jelek menurut syari'at pula. Sehingga, seseorang tidak bershodaqoh melainkan dengan mencontoh shodaqoh yang telah diterangkan/dicontohkan, demikian pula dengan sunnah-sunnah lain yang disyari'atkan.
Maka, sunnah yang jelek merupakan suatu bentuk kemaksiatan yang memang telah ditetapkan oleh syari'at bahwa hal tersebut adalah maksiat. Seperti, peristiwa pembunuhan masyhur oleh anak Nabi Adam 'Alaihissalaam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: (..annahu awwalu man sannalqotla) "Karena dia (Qobil) adalah yang pertama kali mengadakan pembunuhan..." [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, hadits no. 3335]. Hal ini termasuk bid'ah, karena sudah ditetapkan dalam syari'at tercelanya dan larangan (melakukan) pembunuhan [Lihat Al l'tishom oleh Imam Syatibi Jilid I, hal. 236].


II. Subhat Kedua.


Pemahaman mereka (orang yang menganggap adanya bid'ah hasanah) terhadap perkataan Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu: (Ni'mal bid'atin hadzihi...) "Nikmatnya bid'ah adalah ini..."
[Dikeluarkan oleh Imam Bukhari, hadits no. 2010].


Jawaban Terhadap Subhat Ini:


Pertama


Seandainya kita ingin berdiskusi tentang benarnya dalil ini seperti yang mereka inginkan dengan dalil itu adalah 'Bid'ah Hasanah', maka jelas hal ini tidak bisa diterima, karena tidak boleh perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bertentangan dengan perkataan semua manusia yang ada, termasuk Abu Bakar radhiyallahu'anhu yang beliau adalah manusia paling utama pada umat ini setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Bukan juga perkataan Umar radhiyallahu'anhu, orang kedua yang paling utama setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidak pula perkataan orang selain keduanya. Telah berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu'anhu: "Dikhawatirkan akan turun atas kalian batu dari langit, saya berkata: 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda', sementara kalian mengatakan  'Berkata Abu Bakar dan Umar'."


Berkata Umar bin Abdul Aziz rahimahullah:
(Laa ro' ya ahadin ma'a sunnatin sannahaa rosuulullah) "Tidak ada pendapat seorangpun di atas suatu sunnah yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjalaninya."
[l'lamul muwaqi'in (2/282)].


Berkata Imam Syafi'i rahimahullah:
"Telah sepakat kaum muslimin bahwasannya: 'Barangsiapa yang telah mendapat penjelasan tentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka tidak halal baginya meninggalkannya disebabkan perkataan seseorang'."
[l'lamul muwaqi'in (2/282)].


Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:
(Man rodda haditsan nabiyyi Shallallahu 'alaihi wasallam fahuwa 'ala syafaa halakah) "Barangsiapa yang menolak suatu hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia berada di pinggir jurang kehancuran."
[Thobaqot Al Hanabilah (2/15); Al Ibanah (1/260)].


Kedua


Bahwasanya Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu mengatakan: (Ni'mal bid'atin hadzihi) "Nikmatnya bid'ah adalah ini" kalimat ini ketika beliau mengumpulkan manusia untuk mengerjakan sholat tarawih, sementara sholat tarawih (dengan berjama'ah) itu sendiri bukanlah bid'ah, akan tetapi termasuk sunnah yang nyata dengan dalil yang diriwayatkan oleh 'Aisyah radhiyallahu'anha:


"Bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sholat pada suatu malam di masjid, maka sholatlah manusia (para shahabat) dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam,  kemudian sholatlah dari suatu kabilah, maka semakin banyaklah manusia, kemudian mereka berkumpul pada malam yang ketiga, atau keempat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tidak keluar pada mereka. Ketika subuh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Sungguh aku telah melihat apa yang kalian kerjakan, dan tidaklah ada yang menghalangiku untuk keluar pada kalian melainkan karena aku takut hal tersebut diwajibkan atas kalian.' Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan."
[Dikeluarkan oleh Bukhari hadits no. 1129].


Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menetapkan untuk meninggalkan sholat tarawih berjama'ah, dengan sebab (dikhawatirkan dianggap wajib oleh para shahabat).
Ketika Umar radhiyallahu'anhu melihat illat (sebab) itu hilang, kembalilah ia mengerjakan sholat tarawih dengan berjama'ah. Sehingga apa yang dikerjakan oleh Umar radhiyallahu'anhu ini jelas ada asalnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.


Ketiga


Jika sudah jelas bahwa yang dikerjakan oleh Umar radhiyallahu'anhu ini bukan termasuk bid'ah, maka apakah makna 'bid'atu' dalam perkataan beliau radhiyallahu'anhu..??


Sesungguhnya yang dimaksud bid'ah dalam perkataan Umar radhiyallahu'anhu adalah makna bid'ah secara bahasa, bukan secara syar'i. Adapun bid'ah menurut bahasa adalah 'Apa-apa yang dikerjakan tanpa ada contoh sebelumnya.'
[Lihat 'Lisanul' 'Arabi 8/6].


Ketika sholat tarawih dengan berjama'ah ini tidak dikerjakan pada masa Abu Bakar dan pada awal masa Umar radhiyallahu'anhu, maka bid'ah di sini adalah bidah menurut bahasa. Maksudnya tidak ada contoh yang mendahuluinya. Sedangkan menurut syar'i jelas bukan, karena sholat ini ada asalnya, yaitu dari apa yang telah dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.


Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:


"Barangsiapa yang menamakan bid'ah dengan ibarat ini, maka tidak ada masalah dalam hal penamaan. Akan tetapi hal itu tidak dapat dijadikan dalil untuk mendukung adanya bid'ah yang sedang kita bicarakan (bid'ah hasanah). Karena hal tersebut merupakan pemindahan kalimat dari tempat yang semestinya."
[Al l'tishom 1/2520].


Berikut ini, sebagian pendapat para Imam sebagai bukti apa-apa yang telah disebutkan diatas:


1. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:


"Kebanyakan orang, menggunakan perkataan Umar radhiyallahu'anhu: 'ni'mal bid'atin hadzihi' (nikmatnya bid'ah adalah ini) sebagai dalil untuk mendukung adanya bid'ah hasanah. Padahal 'bid'ah' disini adalah penamaan/penyebutan secara bahasa (lughowi) bukan penamaan/penyebutan secara syar'i. Karena, arti bid'ah menurut bahasa mencakup semua yang dikerjakan tanpa adanya contoh yang mendahului. Adapun definisi bid'ah menurut syar'i adalah: 'Setiap apa-apa yang tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan atasnya."
['Iqtidlo Shirotol Mustaqim' hal. 276].


2. Berkata Ibnu Katsir rahimahullah:


"Bid'ah itu ada dua macam:
1). Adakalanya bid'ah itu secara syar'i sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: 'Fa inna kullu muhdatsatin bid'ah wa kullu bid'atin dholalah' (Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat).


2). Adakalanya bid'ah itu secara lughoh, sebagaimana perkataan 'Amirul Mukminin Umar bin khattab radhiyallahu'anhu tentang pengumpulan mereka untuk melaksanakan sholat tarawih secara berjama'ah dan dilakukan demikian seterusnya, yakni: 'Ni'mal bid'atin hadzihi' (Nikmatnya bid'ah adalah ini).”
[Tafsir Ibnu Katsir surat Al Baqarah: 117].


3. Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:


"Adapun sesuatu yang terjadi dari perkataan salaf tentang adanya sebagian bid'ah hasanah, yang dimaksud adalah bid'ah secara 'lughoh' bukan menurut syar'i, seperti perkataan Umar radhiyallahu'anhu: 'Ni'mal bid'atin hadzihi' (Nikmatnya bid'ah adalah ini)."
Maksudnya, perbuatan ini (Sholat tarawih berjama'ah secara terus-menerus) tidak dilakukan sebelumnya, akan tetapi ada asal atau sumber dari syar'i yang perbuatan itu kembali kepadanya.
['Jaami'ul 'Ulum wa Al Hikam, hadits no. 28].


4. Berkata Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah:


"Kalimat bid'ah mempunyai dua pengertian:
1). Pengertian secara lughoh (bahasa): yaitu sesuatu yang baru yang tidak didahului oleh suatu contoh. Dengan makna ini maka benarlah perkataan mereka bahwa bid'ah ini (Bid'ah secara lughoh) termasuk bagian hukum yang lima [Ada sebagian ulama yang membagi bid'ah menjadi 5 bagian hukum yaitu bid'ah yang haram, makruh, mubah, mandub, dan wajib], sebagaimana perkataan Umar radhiyallahu'anhu ketika  memerintahkan manusia untuk melaksanakan sholat tarawih berjama'ah dengan satu imam, dengan ucapan beliau: 'Nimal bid'atin hadzihi'.


2). Pengertian secara syar'i yaitu apa-apa yang tidak ada pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak ada perintah dien yang datang atasnya seperti masalah aqidah, ibadah dan pengharaman sesuatu menurut agama, sebagaimana dalam hadits: 'Fa inna kullu muhdatsatin bid'ah wa kullu bid'atin dholalah' (Sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat). Sesuatu masalah agama yang tidak ada pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah kesesatan. Karena Allah 'Aza wa Jalla telah menyempurnakan agama dan Nikmat-Nya atas ciptaan-Nya. Maka tidak boleh seorangpun setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menambahkan dalam perkara dien baik dalam masalah aqidah, syi'ar Islam, tidak pula mengurangi,menambah maupun merubah sifat yang ada didalamnya. Seperti, merubah sholat jahriah (yang bacaannya dikeraskan), menjadi sebaliknya. Juga tidak menjadikan sesuatu yang mutlak menjadi sesuatu yang tertentu disebabkan waktu, tempat, kesepakatan golongan tertentu maupun pendapat seseorang yang tidak datang dari Pembuat Syari'at."
[Tafsir Al Manar Jilid 9 hal. 660 (Lihat 'Ilmu Ushuli Bid'ah' oleh Ali Hasan, hal. 95)].


III. Subhat Ketiga.


Pemahaman mereka terhadap atsar:


'Ma ro aahul muslimuuna hasanan fa huwa 'indallaaha hasanun'.
(Sesuatu yang dipandang kaum muslimin baik, maka di sisi Allah 'Aza wa Jalla adalah baik).
[Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya Jilid I hal. 379].


Jawaban Terhadap Subhat Ini:


Pertama


Bahwasanya tidak benar atsar ini marfu' (sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam), akan tetapi atsar ini adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud dan berhenti atasnya.


Berkata Ibnul Qoyyim Al Jauziyah:


"Atsar ini bukanlah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya mereka yang menyandarkan perkataan ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang tidak faham tentang hadits. Hanyalah (atsar) ini tsabit dari perkataan Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu.”
[Al Furusiyyah, oleh Ibnul Qoyyim (2/245)].


Telah berkata Ibnu Abdil Hadi rahimahullah:


"Telah diriwayatkan secara marfu' dari Anas bin Malik dengan sanad yang gugur, dan yang benar mauquf (berhenti) pada Ibnu Mas'ud.”
[Kasyfu Al Khufaai, oleh Al Ajluuni (2.245)].


Telah berkata Az Zaila'i rahimahullah:


"Asing kemarfu'annya, saya tidak mendapatinya kecuali mauquf (berhenti) pada Ibnu Mas'ud."
[Nashburroyah (4/133)].


Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan:


"Tidak ada asal baginya secara marfu (sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam), hanya saja mauquf (berhenti) pada Ibnu Mas'ud."
[As Silsilah Adloifah, hadits no. 533 (2.17)].


Kedua


Bahwasanya kata 'Al' pada kata 'Almuslimuun' tersebut adalah 'Lil ahdi' (hal yang dimaksud adalah tertentu), yakni kembali pada shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, inilah yang dimaksud. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh sebuah atsar berikut, ketika (Ibnu Mas'ud) berkata:


"Allah melihat hati hamba-hamba-Nya, maka didapati hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam paling baik diantara yang lainnya. Maka Allah memilih Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk diri-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa Risalah-Nya. Kemudian melihat hati hamba-hamba-Nya yang lain setelah hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, didapati hati para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik dari hati hamba-hamba yang lainnya. Maka Allah 'Aza wa Jalla menjadikan Nabi-Nya atas mereka sebagai pemimpin berperang membela agama-Nya. Maka sesuatu yang dilihat oleh kaum muslimin baik, berarti disisi Allah 'Aza wa Jalla adalah baik, dan sesuatu yang mereka anggap jelek, maka hal itu di sisi Allah 'Aza wa Jalla adalah jelek."
Ada tambahan pada sebagian riwayat: "Dan sungguh shahabat semuanya telah sepakat mengangkat Abu Bakar radhiyallahu'anhu sebagai Khalifah."


Maka dengan dalil yang jelas ini telah terang bahwa yang dimaksud dengan 'Almuslimuun' pada atsar ini adalah para ‘shahabat’. Demikian pula (yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah para shahabat) sebagaimana yang dikeluarkan oleh para Imam penulis kitab hadits, atsar ini ada dalam kita 'As Shahabat', demikian pula dalam kitab 'Al Mustadrok' oleh Al Hakim [Al Mustadrok (3/78)], atsar ini juga dicantumkan dalam kitab 'Ma'rifatus Shahabat' tanpa menyebut awalnya, akan tetapi disebutkan perkataannya (Ibnu Mas'ud) dengan 'Ma ro aahul muslimuuna hasanan' (Sesuatu yang dianggap kaum muslimin baik...). Ini menunjukkan bahwa Abu Abdullah Al Hakim rahimahullah memahami maksud kata 'Al muslimuun' disini adalah para shahabat. Apabila permasalahannya demikian, maka telah diketahui bahwa para shahabat yang Allah 'Aza wa Jalla telah ridha pada mereka, sepakat atas tercela dan jeleknya semua bid'ah. Dan tidak kita lihat salah seorang dari mereka (para shahabat) yang menganggap baik dari bid'ah sedikitpun.


Ketiga


Ada yang berpendapat  'Al' di sini bukan 'Lil ahdi' (tertentu) tetapi 'Lil istighroq' (secara umum): Maka yang dimaksud adalah ijma', dan ijma' sendiri adalah hujjah.


Berkata Al Izz bin Abdus Salam:


"Jika benar hadits, maka yang dimaksud 'Almuslimuun' adalah Ahlul Ijma'."
Wallahu a'lam.
[Al Mustadrok (3/78)].
Maka kami berkata kepada orang yang menjadikan atsar ini sebagai dalil adanya bid'ah hasanah: "Apakah mungkin ada suatu bid'ah, jika sementara kaum muslimin sepakat atas baiknya bid'ah itu?"
Sesungguhnya ini adalah mustahil dan tidak diragukan lagi tidak akan ada bid'ah sementara kaum muslimin sepakat akan kebaikannya. Sebaliknya diyakini bahwa qurun (generasi) pertama/shahabat telah ijma' (sepakat) bahwa semua bid'ah adalah sesat, dan terus akan tetap seperti ini. Segala puji hanya bagi Allah 'Aza wa Jalla.


Keempat


Bagaimana bisa, perkataan seorang shahabat yang mulia ini dijadikan dalil adanya suatu kebaikan dalam bid'ah, sementara beliau radhiyallahu'anhu adalah seorang shahabat yang paling tegas mencegah dan memperingatkan (manusia) dari kebid'ahan. Seperti yang telah dikatakan beliau radhiyallahu'anhu:
"Ittabi'uu wa laa tabtadi'uu faqod kufiitum wa kulla bid'atin dholalah."
(Berittiba'lah kalian dan jangan membuat kebid'ahan, sungguh telah cukup bagi kalian, dan semua bid'ah adalah sesat), dan banyak sekali perkataan beliau dalam melarang kebid'ahan.


IV. Subhat Keempat.


Dari Ghudloif bin Al Harits, ia berkata: "Diutus kepadaku Abdul Malik bin Marwan, berkata (Abdul Malik bin Marwan): 'Wahai Aba Asma', sesungguhnya kami telah mengumpulkan (menganjurkan) manusia pada dua perkara.' Bertanya Aba Asma': 'Apa keduanya itu?' Menjawab (Abdul Malik bin Marwan): 'Mengangkat kedua tanganku di atas mimbar pada hari Jum'at dan bercerita setelah (sholat) Subuh dan Ashar.' Maka berkata Aba Asma': 'Adapun keduanya itu, adalah  bid'ah kalian yang paling ringan menurutku. Tidaklah aku menyetujui sedikitpun dari keduanya.' Bertanya (Abdul Malik bin Marwan): 'Kenapa?' Menjawab (Aba Asma'): 'Karena Nabi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Tidaklah suatu kaum mengada-adakan kebid'ahan melainkan dicabut (diangkat) sunnah yang semisalnya.' Maka berpegang teguh dengan sunnah adalah lebih baik daripada mengada-adakan (kebid'ahan)."
[Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/105)].


Jawaban Terhadap Subhat Ini:


Pertama


Hadits ini tidak kuat, akan tetapi dhaif pada sanadnya dengan dua illat/penyebab:


1. Sanadnya terdapat Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, dia ini dhaif (dilemahkan) oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Abu Zur'ah, Abu Hatim, An Nasa'i dan Ad Daruqutni.
[Lihat Tahdzibul Kamal (33/108)].
Dan berkata Ibnu Hajar dalam At Taqrib: "Dhaif".[At Taqrib no. (7973)].


2. Pada sanadnya ada Baqiyah bin Al Walif, dia ini perawi mu'an-'an. Berkata Ibnu Hajar: "Dia (Baqiyah bin Al Walif) banyak mentadlis, orang-orang yang lemah dan orang-orang majhul."
[Ta'rif Ahlu At Taqdis, hal. 121].
(Tadlis= menyembunyikan aib yang ada pada sanad, dan menampakkan kebaikannya).['Tafsir Mustholah Al Hadits', Mahmud Tohan, hal. 74].


Ibnu Hajar telah menyebutkan Baqiyah bin Al Walif pada derajat yang ke-4 dari kedudukan orang-orang mudallas. Mereka adalah orang yang telah disepakati bahwa, tidak bisa diambil hujjah sedikitpun dari hadits mereka, kecuali untuk menjelaskan bahwa mereka benar-benar mendengar, ini disebabkan banyak tadlis mereka atas perawi yang lemah dan majhul.
Dan tadlis yang dilakukan oleh Baqiyah adalah paling jeleknya bentuk tadlis, yaitu tadlis taswiyah [Seorang perawi meriwayatkan dari Syaikhnya, kemudian menggugurkan perawi yang lemah diantara dua yang tsiqoh, bertemulah antara 2 tsiqoh (yang lemah digugurkan), kemudian dianggap sama semua sanad itu menjadi tsiqoh (dipercaya)]. Maka tidak diterima (riwayatnya) kecuali ada penjelasan ia benar-benar mendengar dari sanad yang pertama sampai sanad yang terakhir. Maka tidak cukup penjelasan, bahwa dia mendengar, (akan tetapi) bisa jadi ia menyembunyikan (salah satu perawi) pada sisi yang lain dari sanadnya, lalu bagaimana sementara dia sendiri adalah mu'an-'an?!


Kedua


Yang harus dibenarkan, bahwasanya telah diulang-ulang peringatan tentang tidak bolehnya perkataan seorangpun manusia yang ada, bertentangan dengan perkataan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.


Ketiga


Bahwasanya Ghudloif bin Al Harits diperselisihkan tentang ke-shahabatannya, sebagian mereka menggolongkan shahabat dan sebagian lain menggolongkan tabi'in.
[Lihat 'Asadul Ghobah' (4/340); 'Siir A'laamu An Nubala'' (3/453); 'Al Ishobah (3/453)].


Keempat


Ghudloif bin Al Harits meninggalkan dan menolak bid'ah tersebut seandainya bid'ah itu baik, tentunya dia akan mengambil (melakukannya).


Kelima


Bahwasanya perkataan 'Amtsala bida'ikum' (bid'ah kalian yang paling ringan) adalah perkata yang nisbi, maksudnya dibanding dengan bid'ah-bid'ah yang lain, lebih ringan kejelekannya dan lebih sedikit penyelewengannya. Berkata Ibnu Hajar: "Apabila jawaban seorang shahabat (Ghudloif bin Al Harits) dalam perkara yang ada asalnya dalam sunnah saja seperti ini, maka apakah sangkaan orang terhadap kamu pada perkara-perkara dien yang tidak ada asalnya dalam sunnah, dan bagaimana lagi dengan perkara-perkara yang dibawakan (sementara) ia menyelisihi sunnah?!”
[Al Fath (13/253)].


Keenam


Ghudloif bin Al Harits mengambil dalil untuk meninggalkan bid'ah ini dengan hadits:


"Maa ahdatsa qaumun bid'atan illaa rufi'a mitsluhaa minassunnati."
(Tidak suatu kaum mengadakan suatu bid'ah, melainkan diangkat (dihilangkan) sunnah yang semisalnya).


Seandainya ini adalah bid'ah hasanah (bid'ah yang baik), maka tidak diangkat sunnah yang semisalnya, karena hilangnya sunnah merupakan suatu hukuman (siksa) padahal pelaku kebaikan tidaklah disiksa.


V. Subhat Kelima


(Pemahaman mereka terhadap) perkataan Imam Syafi'i rahimahullah:


"Bid'ah itu ada dua macam: Bid'ah Mahmudah (Terpuji) dan Bid'ah Madzmumah (Tercela), maka apa-apa yang sesuai dengan sunnah itu adalah terpuji, dan apa-apa yang menyelisihi sunnah itu adalah tercela."
[Hilyatu Al Auliya' (9/113)].


Dan berkata pula Imam Safi'i rahimahullah:


"Suatu yang diada-adakan itu ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan menyelisihi Kitab (Al Qur'an) atau Sunnah, atau atsar, atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat; dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ini tidak tercela."
['Manaqibu Asy Syafi'i', oleh Al Baihaqi (1/469) dan 'Al Ba'its, oleh Abi Syamah hal.94].


Jawaban Terhadap Subhat Ini:


Pertama


Tidak boleh perkataan semua manusia yang ada, bertentangan dengan perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjadi hujjah bagi setiap orang, dan bukanlah perkataan seseorang dari manusia menjadi hujjah atas Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Telah berkata Abdullah bin Abbas radhiyallahu'anhu: "Tidaklah seseorang selain Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melainkan pendapatnya dapat diambil dan ditinggalkan."


Kedua


Sesungguhnya orang yang mau berfikir terhadap perkataan Imam Syafi'i rahimahullah tersebut, maka tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i rahimahullah dengan 'Bid'ah Mahmudah' (Terpuji) adalah pengertian bid'ah secara Lughoh (Bahasa), bukan secara syar'i, dengan dalil: Bahwasanya semua yang bid'ah menurut syari'at adalah menyelisihi Kitab (Al-Qur'an) dan Sunnah. Dan Imam Syafi'i rahimahullah memberi batasan bid'ah yang terpuji, yaitu yang tidak bertentangan/menyelisihi Kitab dan Sunnah. Padahal, bidah secara syar'i adalah menyelisihi Firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian."


Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:


"Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara kami ini yang bukan daripadanya, maka ia tertolak."
Serta banyak lagi ayat dan hadits yang lain.


Berkata Ibnu Rajab rahimahullah:
"Yang dimaksud oleh Imam Syafi'i rahimahullah, yang telah disebutkan sebelumnya, bahwasanya pada dasarnya, bid'ah yang tercela adalah sesuatu yang tidak ada asalnya dalam syari'at (agama) yang dia akan kembali padanya, inilah bid'ah menurut syar'i. Adapun bid'ah yang terpuji, yaitu apa-apa yang sesuai dengan sunnah, maksudnya sesuatu yang ada dasarnya dari sunnah yang kembali padanya, hanya saja pemahaman ini secara lughoh (bahasa) bukan secara syar'i, karena sesuai dengan sunnah."
['Jami'ul 'Ulum wa Al Hikam', hadits no.28].


Dan bid'ah secara lughoh (bahasa) yang dimaksud oleh Imam Syafi'i rahimahullah dalam perkataan beliau (Bid'ah Terpuji), misalnya: penulisan hadits dan sholat tarawih, maka benarlah bahwa definisi bid'ah di sini adalah secara lughoh (Bahasa) karena hal ini tidak ada contoh yang mendahuluinya; adapun menurut definisi syar'i, ini tidak benar karena (perbuatan tersebut) ada asalnya dari sunnah.


Kesimpulan dari perkataan di atas:


Bahwa setiap bid'ah  yang dikatakan terpuji, bukanlah bid'ah, akan tetapi diduga bid'ah; dan jika memang telah tetap sesuatu itu adalah bid'ah, maka bid'ah itu jelek secara qoth'i (pasti) karena menyelisihi Kitab (Al-Qur'an) dan sunnah.


Ketiga


Sudah masyhur tentang Imam Syafi'i rahimahullah, bahwasanya beliau sangat menjaga dalam mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan sangat benci terhadap orang yang menolak hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Terbukti ketika beliau ditanya tentang suatu permasalahan, maka beliau mengatakan: "Telah diriwayatkan tentang hal tersebut demikian dan demikian dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam", maka orang yang bertanya berkata: "Wahai Abu Abdullah, apakah kamu berkata (berpendapat) dengannya (dengan hadits tersebut)?! Maka Imam Syafi'i rahimahullah gemetar (karena marah) dan tergoncang, kemudian beliau berkata: "Wahai kamu, bumi manakah yang akan kupijak dan langit manakah yang akan kunaungi, apabila aku telah meriwayatkan suatu hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kemudian aku tidak berkata dengannya?! Ya (kata beliau), wajib bagiku dengan pendengaran dan penglihatanku."
['Shifatu Sufwah (2/256)].
Bagaimana masih disangka dalam keadaan yang demikian ini beliau rahimahullah menyelisihi hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:


"Kullu bid'atin dholalah."


Bahkan lebih pantas perkataan Imam Syafi'i rahimahullah ditempatkan pada tempatnya yang tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Sesungguhnya yang dimaksud Imam Syafi'i rahimahullah dengan 'Bid'ah' di sini adalah makna secara lughowi. Dan sungguh telah berkata Imam Syafi'i rahimahullah: "Apabila kalian mendapati di dalam Kitabku yang menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka katakanlah (ambillah) dengan sunnah itu dan tinggalkanlah apa yang aku katakan."
[Siir A'laamu An Nubala' (10/34)].


Imam Syafi'i rahimahullah berkata pula: "Setiap hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka itu adalah pendapatku (perkataanku) walaupun kalian tidak mendengarnya dariku."
[Ibid].


Beliau rahimahullah juga berkata: "Setiap apa yang aku katakan, apabila menyelisihi hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam itulah yang lebih utama (untuk diikuti), dan janganlah kalian bertaqlid padaku."
[Hilyatu Al Auliya' (9/108); Siir A'laamu An Nubala' (1/33)].


Dan beliau rahimahullah berkata pula: "Setiap masalah yang benar datangnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menurut ahlu Naql sementara ia menyelisihi apa yang aku katakan, maka aku akan kembali merujuk pada hadits itu selama hidupku dan setelah matiku."
['Tawaaliy At Ta'siisi' (108)].


VI. Subhat Keenam


(Pemahaman mereka terhadap) perkataan Al Izz bin Abdus Salam tentang bid'ah:


"Bid'ah itu terbagi menjadi: Bid'ah yang wajib, Bid'ah yang haram, Bid'ah yang mandub, Bid'ah yang makruh dan Bid'ah yang mubah. Sedangkan untuk mengetahui dari jenis apakah Bid'ah tersebut, yaitu dengan menghadapkannya pada kaidah-kaidah syari'ah, maka jika termasuk dalam golongan kaidah yang wajib, maka wajiblah hukumnya, jika termasuk dalam kaidah hukum yang haram, maka haram pula hukumnya, jika termasuk dalam kaidah yang mandub, maka mandub juga hukumnya, jika termasuk dalam kaidah hukum yang mubah, maka mubahlah hukumnya."
[Qowaidul Ahkam (2/173)].


Jawaban Terhadap Subhat Ini:


Pertama


Bahwasanya tidak boleh ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dibenturkan dengan ucapan manusia, siapapun orangnya. Tentang masalah ini telah diingatkan berulang-ulang.


Kedua


Berkata Imam Asy Syatibi rahimahullah:


"Sesungguhnya pembagian ini adalah perkara baru yang dibuat-buat, tidak ada padanya dalil syar'i yang menunjukkan (membenarkan) pembagian tersebut, bahkan di dalam pembagian itu sendiri terjadi pertentangan, karena hakekat dari bid'ah adalah sesuatu yang tidak terdapat padanya dalil syar'i, tidak dari nash-nash syar'i, tidak juga dari kaidah-kaidah syari'ah, karena kalau ada dalil yang menunjukkan kepada hukum wajib, atau mandub, atau mubah, niscaya amal tersebut tidak dikategorikan sebagai perkara bid'ah, bahkan hal itu termasuk dalam keumuman amalan yang diperintahkan atau termasuk hal yang sifatnya pilihan. Sehingga mengumpulkan (menyamaratakan) perkara yang sifatnya bid'ah dengan suatu perkara yang ada dalil yang menunjukkan tentang wajib, mandub, atau mubahnya, berarti mengumpulkan dua hal yang saling bertentangan.”


Ketiga


Bahwasanya pembagian bid'ah yang dimaksud oleh Al Izz bin Abdus Salam adalah bid'ah dalam arti bahasa, bukan dalam artian syar'i, ini ditunjukkan oleh contoh-contoh pada tiap pembagian bid'ah itu.
Tentang bid'ah yang wajib, beliau mencontohkan dengan kesibukan dalam bidang nahwu yang dengan ilmu ini akan terpahami perkataan Allah 'Aza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam. Maka apakah menyibukkan diri dengan belajar ilmu nahwu itu dikatakan bid'ah menurut syari'ah? Ataukah hal itu termasuk dalam perkara:


"Maa laa yatimmul waajibu illabihi fahuwa waajibun."
(Setiap kewajiban yang tidak bisa terlaksana kecuali dengan adanya pelengkap, maka (mendatangkan) pelengkap tersebut wajib hukumnya."


Oleh sebab itu, ilmu nahwu memungkinkan untuk disebut bid'ah dari sisi bahasa (tidak secara istilah syari'ah).
Adapun hukum-hukum syari'ah hanya berhubungan dengan definisi-definisi syari'ah, bukan definisi secara bahasa.
Pada pembagian bid'ah yang mandub, beliau mencontohkan dengan sholat tarawih, membangun sekolah-sekolah dan berbicara tasawuf yang terpuji, di mana semua itu bukanlah bid'ah dalam syari'ah. Seperti sholat tarawih, telah ada perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Sebagaimana dijelaskan pada subhat yang kedua diatas.
Kemudian membangun madrasah adalah perantara untuk terwujudkan Tholabul Ilmi (Menuntut Ilmu) yang sudah tidak samar lagi tentang keutamaan ilmu dan mengajarkannya. Dan berbicara tentang tasawuf yang terpuji (maksudnya) adalah dari sisi nasehat kepada perkara yang ma'ruf.
Adapun pembagian bid'ah yang mubah, beliau mencontohkan dengan berbagai perkara-perkara yang sifatnya merupakan kelezatan dunia (yang halal), maka tentu saja itu bukan termasuk bid'ah menurut syari'ah. Akan tetapi kalau sampai pada tingkat berlebihan (israf) maka itu bagian dari perkara yang haram, termasuk kemaksiatan dan bukan ke-bid'ahan, dimana antara kemaksiatan dan kebid'ahan itu berbeda. Dan contoh-contoh itu telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Imam Syatibi rahimahullah.
[Lihat 'Al I'tishom' (1/246)].


Keempat


Tentang Al Izz bin Abdus Salam rahimahullah, beliau telah dikenal masyhur tentang kegigihannya dalam memerangi /mengingatkan orang dari bahaya bid'ah, dakwah beliau melarang perbuatan yang disebut-sebut oleh ahli bid'ah sebagai 'Bid'ah Hasanah'.


Berkata Syihabuddin Abu Syamah rahimahullah -salah seorang murid dari Al Izz bin Abdus Salam-:


"Beliau adalah orang yang paling pantas disebut sebagai Khatib dan Imam, selalu menyingkirkan bid'ah-bid'ah yang sering dilakukan oleh para khatib, dan beliau termasuk pedang yang paling tajam diatas mimbar. Beliau telah menyatakan bathilnya dua macam sholat, yaitu sholat raghaib (sholat sebelas rakaat setelah sholat maghrib) dan sholat nisfu sya'ban serta mencegah orang-orang dari melaksanakannya."
['Thobaqoh Asy Syafi'iyyah', oleh As Subkiy (8/210)].


Berikut ini sebagian nukilan bagaimana beliau dalam memerangi dan mencegah kebid'ahan, termasuk juga bid'ah yang disebut-sebut oleh pelakunya dalam 'bid'ah hasanah', itupun diingkari oleh Al Izz bin Abdus Salam, antara lain: ketika beliau ditanya hukum berjabat tangan setiap selesai sholat subuh dan ashar, ini termasuk bid'ah (yang tercela), kecuali untuk orang yang baru datang dan berkumpul dengan orang-orang yang berjabat tangan padanya sebelum dimulai sholat. Karena berjabat tangan itu disyari'atkan untuk orang yang baru datang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam setelah sholat selalu membaca dzikir-dzikir yang disyari'atkan dan beristighfar tiga kali kemudian beranjak meninggalkan masjid. Diriwayatkan pula bahwa beliau dalam dzikirnya berdo'a:


"Robbiqinii 'adzaabaka yauma tab'atsu 'ibaadaka."
(Wahai Rabbku, lindungilah aku dari adzab-Mu pada hari dibangkitkannya hamba-hamba-Mu).
Maka kebaikan itu ada pada ittiba' (Mengikuti) Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
[Fatawa Al Izz bin Abdus Salam, hal. 46 no. 15; Cet. Daarul Baaz]


Beliau rahimahullah juga menyatakan:


"Tidak disunnahkan mengangkat tangan dalam berdo'a kecuali pada keadaan yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengangkat tangan di sana (ketika berdo'a), dan tidaklah seorang yang mengusap wajah setelah berdo'a kecuali dia itu jahil."
[Ibid, hal. 47].


Beliau rahimahullah juga menyatakan:


"Tidak dibenarkan membaca sholawat atas Nabi ketika Qunut.” [Yang beliau maksud disini adalah Qunut saat sholat Fajar (Shubuh) karena dia bermahdzab Syafi'i, dimana Syafi'iyyah tersebut berpendapat disyariatkannya Qunut pada sholat Shubuh, adapun sholawat kepada Nabi telah tsabit dalam qunut witir dari perbuatan Ubay bin Kaab ketika mengimami orang pada sholat tarawih di masa Khalifah Umar radhiyallahu'anhu. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shohihnya hadits no. 1100, dan lihat catatan kaki 'Shifat Sholat Nabi' hal. 160], tidak boleh menambah dan mengurangi sedikitpun atas Sholawat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.


Syaikh Al Albani mengomentari ucapan ini dengan berkata: "Ucapan ini merupakan isyarat tidak ada peluang untuk mengatakan adanya bid'ah hasanah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang berpendapat adanya bid'ah hasanah."
['Shifat Sholat Nabi' hal. 161].


Dibawah ini adalah nash yang tegas dari beliau rahimahullah tentang apa yang dimaksud dengan ucapannya bid'ah hasanah itu. Ketika membantah Ibnu Sholah seputar permasalahan sholat raghaib, beliau rahimahullah berkata:


"Kemudian dia -yaitu Ibnu Sholah- menganggap bahwa hal itu adalah bid'ah maudhu'ah (yang diletakkan oleh orang-orang), maka kami bantah dia (Ibnu Sholah) dengan hujjah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:


'Syarral umuuri muhdatsaa tuhaa wa kullu bid'atin dholaalah.'
(Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat).


Maka 'Bid'ah Hasanah' yang dikecualikan dari hadits tersebut, yaitu 'Setiap Bid'ah' yang tidak menyelisihi sunnah tapi mencocokinya", sehingga tetap pada selainnya berlaku keumuman sabda Nabi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: "Sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat."
['Musaajilah 'Ilmiyyah baina Al Imaamain Al Jaliilain Al Izz bin Abdussalam wa Ibnu Sholah', hal. 31]


Dan yang menjadi pertanyaan di sini: Jika suatu masalah mencocoki sunnah, apakah boleh dikatakan bahwa itu bid'ah menurut istilah syar'i?!


Maka amatilah ucapan Al Izz bin Abdus Salam tentang definisinya terhadap 'Bid'ah Hasanah': "Tidak menyelisihi sunnah tapi mencocokinya!!", maka apa yang mencocoki sunnah sama sekali bukan bid'ah menurut istilah syar'i, akan tetapi bisa jadi tergolong bid'ah dilihat dari sisi bahasa. Nampaklah dengan jelas bahwa sesungguhnya yang dimaksud oleh Al Izz bin Abdus Salam dengan bid'ah hasanah, bid'ah wajibah, bid'ah mandubah, dan bid'ah mubahah adalah bid'ah dalam makna bahasa. Adapun dalam istilah syar'i, maka semua bid'ah itu sesat. Dan jelaslah dari sini bahwa ucapan 'Bid'ah Hasanah' dalam syari'ah merupakan salah satu sebab penting kaburnya antara makna bahasa dan istilah syar'i tentang arti bid'ah yang tersebut di sebagian riwayat-riwayat, dan di sebagian ucapan para ulama. Maka barangsiapa diberi taufik oleh Allah 'Aza wa Jalla untuk membedakan antara makna bahasa dan istilah syar'i, niscaya akan hilanglah darinya subhat-subhat serta akan jelaslah baginya permasalahan ini.
Allahu Ta'ala a'lam bishowab.


Sumber:

Al-Qur'an

Al-Hadits

Buku: 'Adakah Bid'ah Hasanah'
Penulis: Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As Sahaibani.
Penerbit: Maktabah Al Khadiiriy bil Madinah An Nabawiyyah.
Cet. Pertama: 1416 H.
Penerjemah: Abu Anas As Salafy.
Dalam Buku: 'Adakah Bid'ah Hasanah?'
Penerbit: Cahaya Tauhid Press.
Perum Dirgantara Permai, Jl. Simpang Dirgantara V B-VI no. 4, Malang.

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.