AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Jumat, 03 Oktober 2014

KEUTAMAAN BULAN DZULHIJJAH

Diantara dalil-dalil dari kitab dan sunnah seputar keutamaan sepuluh hari dzulhijjah adalah:



1. Firman Allah:
"Demi fajar, dan malam yang sepuluh."
(QS. Al Fajr:1-2).



Berkata Ibnu Katsir, "Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sepuluh hari dzulhijjah."



2. Firman Allah:
"...Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan."
(QS. Al Hajj: 28).



Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma: "(yang dimaksud adalah) sepuluh hari dzulhijjah."



3. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas -Radhiyallahu 'anhuma- dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah. Mereka bertanya: "Tidak juga jihad fi sabilillah?." Beliau menjawab: "Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang pergi (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun."
(HR. Bukhari).



4. Hadits Ibnu Umar -Radhiyallahu 'anhuma -, ia berkata,
"Tidak ada hari yang paling agung dan amat dicintai Allah untuk berbuat kebajikan di dalamnya daripada sepuluh hari pertama ini. Maka pada hari-hari itu perbanyaklah tahlil, takbir dan tahmid."
(HR. Ath Thabrany dalam kitab Al Mu'jam Al Kabir).



5. Sa'id bin Jubair -Rahimahullah- (ia periwayat hadits Ibnu Abbas diatas), apabila memasuki sepuluh hari pertama (dibulan Dzulhijjah) ia sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah (sampai batas akhir kemampuannya).
(Diriwayatkan oleh Ad Daarimi dengan sanad yang hasan).



6. Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari berkata: "Sebab yang tampak dari keistimewaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah karena pada waktu tersebut berkumpul induk ibadah-ibadah yang agung. Yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Yang mana hal ini tidak diperoleh dalam bulan-bulan yang lain."



7. Para muhaqqiq dari kalangan ahlul ilmi berkata, "Sepuluh hari pertama pada bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama, dan sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan adalah malam-malam yang paling utama."



Amalan-amalan yang disyari'atkan pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah:



1. Shalat



Disunnahkan untuk bersegera dalam melakukan shalat-shalat fardhu dan memperbanyak shalat-shalat sunnah. Karena shalat adalah ibadah yang paling utama bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri dengan Rabb nya.
Diriwayatkan dari Tsauban -Radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Hendaklah kalian memperbanyak sujud kepada Allah, karena sesunggguhnya tidaklah engkau melakukan satu sujud melainkan Allah akan mengangkat derajatmu dan menghapuskan kesalahanmu."
(HR. Muslim).
Hadits ini berlaku umum pada setiap waktu.



2. Puasa



Puasa termasuk amal shaleh. Dari Hunaidah bin Khalid, dari istrinya, dari istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, mereka berkata:
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah, hari 'Asyura dan tiga hari pada tiap bulan."
(HR. Imam Ahmad, Abu Daud, An Nasa'i).
Berkata Imam An-Nawawi tentang puasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijjah, bahwa puasa tersebut amat sangat dianjurkan.



3. Bertakbir, bertahlil, dan bertahmid



Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang terdahulu,
"Maka perbanyaklah pada saat itu tahlil, takbir dan tahmid."
Berkata Imam Al Bukhari -Rahimahullah-, "Ibnu Umar dan Abu Hurairah -Radhiyallahu 'anhuma- keluar ke pasar, seraya mengumandangkan takbir, lalu orang-orang pun mengikuti takbirnya." Beliau juga berkata, "Umar bertakbir didalam kemahnya di Mina, hingga dapat didengar oleh orang-orang di masjid. Mereka pun mengikutinya, demikian juga orang-orang di pasar turut bertakbir. Hingga Mina dipenuhi oleh gema takbir"
Ibnu Umar bertakbir pada waktu itu di Mina. Setelah selesai shalat, di atas ranjang, di dalam tendanya, di majelisnya dan ketika berjalan. Disunnahkan untuk menjahrkan (mengeraskan) takbir sebagaimana yang dilakukan Umar, puteranya dan Abu Hurairah.
Maka sepantasnyalah kita sebagai kaum muslimin untuk menghidupkan sunnah ini yang pada masa ini nyaris hilang. Hingga para ahli kebaikanpun hampir-hampir lupa melakukannya, beda halnya dengan orang-orang shaleh terdahulu.



4. Puasa hari Arafah



Puasa hari arafah ditekankan untuk dilakukan oleh orang yang tidak sedang menunaikan haji, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang hari Arafah, bahwa beliau berkata:
"Aku berharap Allah akan melebur dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang."
(HR. Muslim).



5. Keutamaan hari berkurban



Sebagian besar kaum muslimin lalai dari hari yang agung ini. Padahal sebagian besar ulama' berpendapat bahwa hari tersebut merupakan hari yang paling mulia secara mutlak bahkan dari hari Arafah sekalipun. Berkata Ibnu Qayyim -Rahimahullah- "Sebaik-baik hari di sisi Allah adalah Yaum Nahr (hari berkurban), ia merupakan hari haji akbar."
Sebagaimana dalam Sunan Abu Daud, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah adalah Yaum Nahr, kemudian hari Qor."
Hari Qor adalah hari berdiam di Mina, yaitu hari ke sebelas bulan Dzulhijjah.
Ada pula yang berpendapat, hari Arafah lebih utama. Karena puasa pada hari tersebut dapat menghapus dosa selama dua tahun, tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka dari hari Arafah, dan Allah mendekat kepada hamba-hamba-Nya. Kemudian Allah berbangga kepada para malaikat dengan banyaknya orang-orang yang wukuf.
Terlepas dari hari apapun yang lebih baik, hari nahr ataupun hari arafah, hendaklah kaum muslimin bersemangat untuk meraih keutamaannya baik yang sedang berhaji ataupun tidak. Untuk memperoleh keutamaannnya dan memanfaatkan kesempatan tersebut (untuk beribadah).



Bagaimana menyambut hari-hari yang penuh kebaikan ini?
Selayaknya setiap muslim menyambut hari-hari yang penuh kebaikan ini yang secara umum adalah dengan taubat nasuha (taubat yang sungguh-sungguh), serta meninggalkan segala perbuatan dosa dan maksiat. Karena sesungguhnya dosa dapat menghalangi seseorang dari memperoleh keutamaan Rabb-nya, dan menutup hatinya dari Tuhannya. Juga dituntut untuk menyambut hari-hari yang penuh kebaikan dengan usaha dan keinginan kuat dan sungguh-sungguh untuk mendapatkan keberuntungan dengan apa yang diridhai Allah Azza wajalla. Maka barang siapa yang benar dengan tekadnya kepada Allah, maka Allah akan memberikan petunjuk kepadanya.



"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami."
(QS. Al Ankabut: 69).



Allah juga berfirman:



"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa."
(QS. Ali Imran: 133).



Allah Ta'ala berfirman:



"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada kami."
(QS. Al-Anbiya': 90).



Hukum-hukum seputar hari raya Idul Adha


Allah Ta'ala berfirman:



"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati."
(QS. Al Hajj: 32).



Beberapa point ringkas tentang adab dan hukum yang berkaitan dengan hari raya Idul Adha:



1. Takbir
Disyariatkan untuk bertakbir mulai dari terbitnya fajar pada hari Arafah hingga waktu Ashar pada akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah, sebagaimana firman Allah:



"Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang."
(QS. Al Baqarah: 203).



Bentuk takbir yang artinya:



"Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tidak ada Ilah (Sembahan) yang haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah."



Disunnahkan bagi kaum laki-laki untuk mengeraskan takbirnya di masjid, di pasar dan di rumah. Hal itu dilakukan tiap selesai shalat sebagai bentuk syi'ar atas pengagungan terhadap Allah, menampakkan ibadah dan rasa syukur kepada-Nya.



2. Menyembelih hewan kurban
Penyembelihan hewan kurban dilakukan setelah selesai shalat Ied, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka hendaknya ia mengulangi penyembelihan, dan barang siapa yang belum menyembelih maka menyembelihlah."
(HR. Bukhari dan Muslim).



"Barangsiapa menyembelih sebelum shalat (Idhul Adha), maka sembelihannya untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih sesudah shalat dan dua khutbah, maka sungguh dia telah menyempurnakan (ibadah kurban) dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin."
(Dari Anas bin Malik).



Waktu yang diperbolehkan untuk menyembelih adalah empat hari. Yaitu satu hari pada hari nahr (Idul Adha) dan tiga hari tasyriq, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Semua hari tasyriq adalah waktu menyembelih kurban."
(Lihat Silsilah Ash Shahihah, Nomor 2467).



3. Mandi dan memakai wewangian (bagi laki-laki).
Dan memakai pakaian yang paling baik tanpa berlebih-lebihan, tidak isbal (memanjangkan celana/sarung sampai di bawah mata kaki), dan tidak mencukur jenggot. Adapun kaum wanita, mereka disyari'atkan untuk keluar menuju lapangan tempat shalat tanpa tabarruj (berhias) dan tanpa memakai wewangian. Hendaklah seorang muslimah tidak pergi menuju ketaatan kepada Allah dan shalat dengan berhias dengan kemaksiatan, yang berupa tabarruj, menampakkan wajah, dan memakai wewangian di hadapan laki-laki asing.



4. Memakan sebagian dari daging sembelihan.



Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada hari raya kurban tidak makan hingga ia kembali dari masjid dan beliau makan dari sembelihannya.



5. Pergi ke masjid (lapangan tempat shalat) dengan berjalan kaki jika memungkinkan.
Yang sesuai sunnah adalah sholat ied dilaksanakan di lapangan kecuali jika ada udzur seperti hujan, maka shalat ied dilaksanakan di dalam masjid sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.



6. Shalat bersama kaum muslimin dan disunnahkan untuk menyimak khuthbah.
Hukum shalat ied sebagaimana pendapat yang dikuatkan oleh para pentahqqiq dari kalangan ulama' seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah wajib sebagaimana firman Allah ta'ala dalam surat Al Kautsar ayat 2:



"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah."



Hukum wajib tersebut tidak gugur kecuali jika ada udzur yang benarkan oleh syari'at, karena kaum wanita pun diperintahkan untuk turut keluar menyaksikan shalat ied bersama kaum muslimin, meskipun wanita yang sedang haid dan para budak. Adapun wanita yang haid diperintahkan untuk mengambil tempat yang agak jauh dari tempat shalat.



7. Menempuh jalan yang berbeda
Disunnahkan bagi orang yang melaksanakan shalat ied agar pergi menuju masjid, tempat dilaksanakan shalat ied dari satu jalan dan pulang melewati jalan yang lain, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.



8. Mengucapkan selamat lebaran
Boleh mengucapkan selamat lebaran dengan ucapan semisal:



"Semoga Allah menerima amalan kami dan kalian."



Dan berhati-hatilah wahai saudaraku semuslim, jangan sampai terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan oleh sebagian orang.
Diantara kesalahan-kesalahan itu adalah:



1. Mengumandangkan takbir secara bersama-sama, dengan dikumandangkan secara serempak atau takbir dipimpin satu orang lalu diikuti oleh yang lain.



2. Mengisi hari lebaran dengan kegiatan yang melalaikan  yang haram: seperti mendengarkan lagu, menonton film, bercampur baurnya kaum laki-laki dengan wanita yang bukan mahram, dan kegiatan-kegiatan lain yang termasuk kemungkaran.



3. Memotong rambut atau kuku sebelum menyembelih kurban, sebagaimana larangan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang hal itu.



4. Boros dan berlebih-lebihan. Yaitu berbuat boros untuk hal yang sebenarnya tidak dibutuhkan dan tidak ada manfaat. Sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam Surat Al An'am:141:



"Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan."



Hukum-hukum seputar berkurban dan pensyari'atannya



Allah telah mensyari'atkan untuk berkurban, sebagaimana firman Allah Ta'ala:



"Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu; dan berkorbanlah."
(QS. Al Kautsar: 2).



"Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah."
(QS. Al Hajj: 36).



Hukum berkurban adalah sunnah muakkadah, dan dibenci meninggalkannya bagi orang yang mampu.
Sebagaimana hadits Anas -Radhiyallahu 'anhu- yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor domba jantan berwarna putih campur hitam dan bertanduk, Beliau menyembelih sendiri dengan tangannya, dengan membaca basmallah dan bertakbir.



Hewan apa saja yang boleh dijadikan kurban?



Hewan yang boleh dijadikan sebagai hewan kurban adalah unta, sapi dan kambing. Sebagaimana firman Allah:



"Supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka."
(QS. Al Hajj: 34).



Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Empat hewan yang tidak boleh dijadikan sebagai kuban: hewan yang juling matanya dan jelas julingnya, yang sakit dan jelas sakitnya, pincang yang tampak jelas, dan yang sangat kurus yang tidak punya sumsum tulang."
(HR. At Tirmidzi).



Waktu untuk menyembelih



Waktu untuk menyembelih dimulai setelah melaksanakan shalat ied. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:



"Siapa yang menyembelih sebelum shalat maka sembelihannya hanyalah daging sembelihan biasa yang diberikan untuk keluarganya, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat dan dua khuthbah maka telah sempurna penyembelihannya dan sesuai sunnah."
(HR. Muttafaq 'Alaih).



Disunnahkan seorang muslim yang berkurban untuk menyembelihnya sendiri dan mengucapkan:



"Dengan menyebut nama Allah dan Allah Maha Besar, Ya Allah ini adalah (penyembelihan) dari Fulan." (menyebutkan namanya atau nama yang mewasiatkan kepadanya).
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi).



Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika menyembelih seekor domba beliau mengucapkan:



"Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Yaa Allah ini adalah (kurban) dariku dan dari siapa yang tidak berkurban dari umatku."
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi).



Adapun bagi yang tidak mampu menyembelih sendiri maka hendaknya dia melihat dan hadir saat penyembelihan hewan kurban berlangsung.



Pembagian Daging Kurban



Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk ikut memakan daging sembelihannya, menghadiahkan sebagiannya kepada kerabat dan tetangga serta bersedekah kepada orang-orang fakir.



Allah berfirman:



"Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir."
(QS. Al-Haj: 28).



Allah Ta'ala juga berfirman:



"Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta."
(QS. Al-Haj: 36).



Sebagian salaf menyukai membagi daging kurban menjadi tiga bagian: sepertiga untuk keluarganya, sepertiga lagi diberikan sebagai hadiah untuk orang-orang kaya, dan sepertiga sisanya untuk bersedekah kepada kaum fakir. Dan tidak boleh bagi pemotong hewan diberi daging korban sebagai upah.



Hal-hal yang harus dijauhi oleh orang yang hendak berkurban
Ketika memasuki bulan Dzulhijjah, seorang yang hendak berkurban diharamkan mencabut rambut, kuku atau kulit hingga ia melaksanakan ibadah kurban. Sebagaimana hadits Ummu Salamah -Radhiyalahu 'anha- bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Jika telah masuk sepuluh Dzulhijjah, dan salah seorang diantara kalian telah berniat untuk berkurban, maka hendaknya ia menahan diri dari (mencabut atau memotong) rambut dan kukunya." (HR. Ahmad dan Muslim).



Dalam redaksi lain, beliau bersabda:



"Maka hendaklah dia tidak menyentuh (mencabut) rambutnya dan kulitnya sedikitpun hingga dia usai berkurban."



Maka jika dia berniat berkurban di tengah hari-hari sepuluh itu, hendaknya dia menahan dirinya dari hal-hal tersebut sejak dia berniat. Dan dia tidak berdosa atas apa yang dia lakukan sebelum berniat.
Adapun bagi keluarga orang yang hendak berkurban, boleh untuk mencabut atau memotong rambut, kuku dan kulit mereka pada bulan Dzulhijjah.
Jika seorang yang hendak berkurban mencabut atau memotong rambut, kuku, atau kulit nya, maka hendaknya ia bertaubat kepada Allah Ta'ala, jangan mengulanginya lagi dan tidak ada kafarah baginya. Perbuatan tersebut tidak menghalangi dirinya untuk tetap melaksanakan ibadah kurban. Dan jika ia melakukan perbuatan tersebut karena lupa atau tidak tahu atau rambutnya rontok tanpa menyengaja maka tidak ada dosa baginya.
Dan jika ia dalam kondisi butuh untuk melakukan hal tersebut maka tidak mengapa ia lakukan dan tidak ada dosa baginya. Misalnya: kukunya patah sehingga harus dipotong, atau rambutnya terurai menutupi mata sehingga harus dipotong, atau harus dipotong saat mengobati luka, dan sebagainya.



Wallahu 'alam



sumber: Islamhouse.com dan berbagai sumber.

Kamis, 02 Oktober 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-1

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu dia berkata, ''Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihiwasallam bersabda: ''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima atau tidaknya) disebabkan oleh niat. Dan sesungguhnya setiap orang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannnya. Maka barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka (balasan dan pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya karena duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya maka (balasan) hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.''
(Diriwayatkan oleh dua imam para ahli hadits: Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi di dalam kedua kitab Shahih mereka yang merupakan kitab paling shahih yang pernah disusun).



Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Ashabus Sunan dan lainnya. Hadits ini diriwayatkan dari Umar oleh Alqamah bin Waqqash al-Laitsi seorang. Kemudian diriwayatkan darinya oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi seorang. Kemudian diriwayatkan darinya oleh Yahya bin Sa'id al-Anshari seorang. Kemudian diriwayatkan darinya oleh banyak rawi. Sehingga hadits ini merupakan salah satu hadits Gharib (Hadits Gharib adalah salah satu jenis hadits Ahad, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dalam setiap tingkatan rawinya) dalam shahih Bukhari, dan merupakan hadits pembuka. Semisalnya hadits yang menjadi penutup kitabnya, yaitu hadits Abu Hurairah:



''Dua kata yang dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih.....''
(Al-Hadits).



Juga merupakan salah satu hadits Gharib dalam Shahih Bukhari.



An-Nawawi membuka Hadits-hadits Arba'innya dengan hadits ini. Sejumlah para ulama selainnya pun mengawali kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Diantaranya Imam Bukhari dimana dia mengawali kitabnya dengan hadits ini. Abdul Ghani al-Maqdisi mengawali kitabnya Umdatul Ahkam dengan hadits ini. Al-Baghawi mengawali kitabnya Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah dengan hadits ini. As-Suyuthi mengawali kitabnya Al-Jami' Ash-Shaghir dengan hadits ini. An-Nawawi di awal kitabnya Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab meletakkan satu fasal dimana dia berkata [I/35], ''Pasal tentang ikhlas dan menghadirkan niat dalam setiap amal yang zhahir maupun batin.'' Lalu dia menyebutkan tiga ayat Al-Qur'an kemudian hadits ini (innamal 'amaalu binniyyaati). Lalu berkata, ''Hadits shahih yang disepakati keshahihannya serta disepakati keagungan kedudukannya. Hadits ini merupakan salah satu kaidah iman, pondasi pertamanya dan rukun yang paling urgen.



Asy-Syafi'i rahimahullahu berkata, ''Hadits ini masuk pada tujuh puluh bab dalam ilmu fiqh.'' Beliau juga berkata, ''Hadits ini sepertiga ilmu.'' Hal yang sama juga diucapkan oleh ulama lainnya. Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah keseluruhannya. Ada yang berpendapat tiga hadits. Ada yang berpendapat empat hadits. Ada yang berpendapat dua hadits. Dan ada yang berpendapat satu hadits saja. Aku telah mengumpulkan semuanya dalam Al-Arba'in dan mencapai empat puluh hadits. Seorang yang taat beragama harus mengetahuinya. Karena semuanya shahih dan mengumpulkan kaidah Islam, dalam masalah furu', zuhud, adab, akhlaq mulia dan lainnya. Sesungguhnya aku memulai dengan hadits ini demi meneladani para imam kita yang telah mendahului kita dari kalangan ulama, semoga Allah meridhai mereka.



Sesungguhnya hadits ini dijadikan pembuka oleh Imam Ahli Hadits Abu Abdillah al-Bukhari dalam shahihnya tanpa ada yang menentang. Telah dinukil pula dari sejumlah Salaf bahwa mereka menyukai untuk mengawali setiap kitab dengan hadits ini. Sebagai pengingat bagi penuntut ilmu agar memperbaiki niat dan keinginannya hanya untuk mengharap Wajah Allah Ta'ala dalam setiap amalnya, yang tampak maupun yang sembunyi. Telah diriwayatkan kepada kami dari Imam Abu Sa'id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu bahwa dia berkata, ''Jika aku menyusun sebuah kitab, aku mengawali setiap babnya dengan hadits ini.'' Telah diriwayatkan pula kepada kami darinya, bahwa dia berkata, ''Barangsiapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka hendaklah dia memulai dengan hadits ini.'' Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Khaththab al-Khaththabi asy-Syafi'i al-Imam rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Ma'alim, ''Para ulama terdahulu kami menyukai untuk meletakkan hadits (innamal 'amaalu binniyyaati) diawal setiap perkara yang dimulai dari perkara-perkara agama ini. Karena umumnya kebutuhan kepada hadits ini dalam segala jenis perkara agama.''



Ibnu Rajab berkata dalam Jami'ul Ulum Wal Hikam [I/61], ''Para ulama sepakat atas keabsahan dan keharusan untuk menerimanya. Hadits ini dijadikan oleh Bukhari sebagai pembuka kitabnya Ash-Shahih. Dia posisikan hadits ini layaknya khutbah bagi kitabnya. Sebagai isyarat bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena Allah adalah batil, tidak memiliki manfa'at di dunia maupun di akhirat.''



Ibnu Rajab berkata, ''Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros agama ini. Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i bahwa dia berkata, ''Hadits ini sepertiga ilmu. Masuk pada tujuh puluh bab dalam ilmu fiqh.'' Diriwayatkan pula dari Imam Ahmad bahwa dia berkata: ''Pokok Islam terdapat pada tiga hadits:



Hadits Umar radhiyallahu'anhu:



''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima da tidaknya) disebabkan oleh niat.''



Hadits Aisyah radhiyallahu'anha:



''Barangsiapa yang membuat-buat dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya maka hal tersebut tertolak.''



Dan hadits An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu:



''Perkara halal itu jelas dan perkara haram itu jelas.''



Dia juga berkata [I/71] meluruskan ucapan Imam Ahmad, ''Sesungguhnya semua perkara agama kembali kepada: menjalankan perintah, meninggalkan larangan dan tidak mendekati perkara yang samar (syubhat)”. Semua ini dikandung oleh hadits An-Nu'man bin Basyir. Kemudian hal ini hanyalah akan sempurna dengan dua perkara:



Pertama: Amal tersebut secara zhahir harus menepati sunnah. Inilah yang dikandung oleh hadits Aisyah: ''Barangsiapa yang membuat-buat dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya maka hal tersebut tertolak.''



Kedua: Amal tersebut secara batin harus ditujukan untuk Allah 'Aza Wa Jalla, sebagaimana dikandung oleh hadits Umar, ''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima dan tidaknya) disebabkan oleh niat.''



Ibnu Rajab [I/61-63] menyebutkan beberapa penukilan dari sebagian ulama tentang hadits-hadits yang berkisar padanya perkara-perkara Islam. Bahwa diantara mereka ada yang berpendapat dua hadits. Ada yang berpendapat empat hadits. Ada yang berpendapat lima hadits. Hadits-hadits yang disebutkan selain dari tiga hadits diatas adalah:



''Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya....''



''Diantara bentuk kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.''



''Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.''



''Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.''



''Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain.''



''Jika aku memerintahkan kalian dengan sebuah perkara maka lakukanlah semampu kalian.''



''Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia akan mencintaimu.''



''Agama ini adalah nasihat.''



Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam:



''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima dan tidaknya) disebabkan oleh niat.''



''(Innamaa) merupakan kata yang digunakan untuk membatasi sesuatu. Alif Lam pada kata (l'amaalu) ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah amal-amal yang khusus bersifat ibadah. Ada juga yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah amal secara umum. Sehingga jika termasuk ibadah maka pelakunya akan mendapatkan pahala. Dan jika termasuk kebiasaan (bukan ibadah) seperti makan, minum dan tidur maka pelakunya akan mendapat pahala jika dia meniatkannya untuk memperoleh kekuatan ketika beribadah. Alif dan Lam pada kata (Nniyyaati) merupakan Badal dari Dhamir (kata ganti) Ha. Sehingga redaksinya menjadi:



''A'amaalu biniyyaatiha.''



''Bahwasanya setiap amal itu (diterima tidaknya) disebabkan oleh niatnya.''



Niat secara bahasa berarti maksud. Niat berfungsi untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Seperti membedakan ibadah fardhu yang satu dengan ibadah fardhu yang lainnya. Atau membedakan antara ibadah yang fardhu dengan ibadah yang sunnah. Niat juga membedakan antara mandi junub dengan mandi untuk tujuan kesegaran dan kebersihan.



Sabda Beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Dan sesungguhnya setiap orang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannya.'' Ibnu Rajab [I/65] berkata, ''Ini memberitahukan bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang diniatkannya. Jika dia meniatkan kebaikan maka dia mendapatkan kebaikan. Jika dia meniatkan keburukan maka dia mendapatkan keburukan. Kalimat ini bukanlah pengulangan murni bagi kalimat yang pertama. Sebab kalimat pertama menunjukan bahwa sebuah amal akan menjadi benar atau rusak tergantung pada niat yang mendorong amal tersebut dilakukan. Sedang kalimat kedua menunjukan bahwa pahala seseorang atas amal perbuatannya bergantung pada niatnya yang benar. Demikian pula dosa yang ia dapat sesuai dengan niatnya yang rusak. Bisa jadi niatnya sesuatu yang mubah (seseorang tidak mendapatkan pahala ketika mengerjakannya dan tidak mendapatkan dosa ketika meninggalkannya) sehingga amalnya merupakan sesuatu yang mubah. Dia tidak mendapatkan pahala ataupun dosa karenanya. Maka amal itu sendiri: baiknya, rusaknya dan mubahnya sesuai dengan niat yang menjadi faktor pendorong dilakukannya amal tersebut. Kemudian pahalanya, dosanya dan keabsahannya sesuai dengan niat yang menyebabkan amal tersebut baik, rusak atau mubah.''



Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Maka barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka (balasan dan pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya karena duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya maka (balasan) hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.''



Hijrah artinya meninggalkan. Hijrah bisa berupa meninggalkan tempat yang tidak aman menuju tempat yang aman. Seperti hijrah dari Makkah ke Habasyah (Ethiopia). Hijrah bisa pula berupa meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam. Seperti hijrah dari Makkah ke Madinah, namun hijrah ke Madinah telah ditutup oleh peristiwa Fathu Makkah. Adapun hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam tetap berlaku sampai hari kiamat.



Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Maka barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka (balasan dan pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.'' Di sini syarat dan balasannya memiliki redaksi yang sama, yang seharusnya beda. Sesungguhnya maknanya adalah: Barangsiapa yang niat dan tujuan hijrahnya adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, maka pahala dan balasan hijrahnya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat dan balasan (jika terpenuhinya syarat tersebut) redaksinya berbeda. Ibnu Rajab [I/72] berkata, ''Ketika beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam menyebutkan bahwa semua amal tergantung niat, dan bahwasanya bagian yang didapat oleh seseorang dari amalnya adalah niatnya yang baik atau yang buruk. Kedua kalimat ini merupakan kalimat yang universal serta menjadi kaidah umum, tidak ada sesuatu yang keluar dari ruang lingkupnya. Setelah itu beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam menyebutkan satu contoh amal yang bentuknya satu, namun berbeda dari segi keshalihan dan kerusakan, mengikuti perbedaan niat. Seolah beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda, ''Semua amal berdasarkan contoh ini.''



Ibnu Rajab juga berkata [I/73], ''Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam memberitahukan bahwa hijrah ini tidaklah sama, sesuai dengan perbedaan niat dan tujuannya. Barangsiapa yang hijrahnya menuju negeri Islam karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta berkeinginan untuk mempelajari agama Islam dan menampakkan agamanya yang tidak bisa dia lakukan di negeri syirik, maka orang ini telah hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya secara hakiki. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebanggaan ketika dia mendapatkan apa yang dia niatkan, yaitu hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah jawaban syarat pada hadits ini diungkapkan hanya dengan mengulangi redaksi syaratnya. Karena teraihnya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya merupakan puncak dari apa yang dicari, baik di dunia maupun di akhirat.



Barangsiapa yang hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam demi materi duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya di negeri Islam, maka hijrahnya menuju apa yang dia jadikan tujuan. Orang pertama merupakan saudagar sedang orang kedua adalah seorang pelamar wanita, bukan seorang yang hijrah.



Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Maka hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.'' mengandung celaan dan hinaan terhadap tujuannya yang berupa perkara duniawi, sebab redaksinya tidak disebut secara gamblang. Selain itu sesungguhnya hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya adalah satu, tidak berbilang. Karena itu jawaban syarat diulangi dengan lafazh yang sama dengan syaratnya. Sedangkan hijrah karena perkara duniawi tidaklah terbatas. Terkadang seseorang hijrah untuk tujuan duniawi yang mubah dan bisa juga haram. Hal-hal duniawi yang menjadi tujuan hijrah tidaklah terbatas, karena itulah beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda: ''Maka (balasan) hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.'' Yakni apapun itu.



Ibnu Rajab [I/74-75] berkata, ''Telah populer cerita tentang Muhajir Ummi Qais (lelaki yang hijrah karena ingin menikahi wanita bernama Ummu Qais). Dialah yang menjadi sebab sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Dan barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya karena duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya.'' Ini disebutkan oleh banyak ulama dari generasi belakangan dalam kitab-kitab mereka. Kami tidak mendapati hal tersebut memiliki dalil dengan sanad yang shahih. Wallahu 'alam.''



Niat tempatnya didalam hati, melafalkannya adalah bid'ah. Tidak boleh melafalkan niat dalam ibadah apapun, kecuali dalam haji dan umrah. Dia boleh menyebut dalam talbiyahnya apakah dia meniatkan qiran atau ifrad atau tamattu'. Di sana dia berkata, ''Labbaika 'umratan wa hajjan, atau Labbaika hajjan atau Labbaika 'umratan'' karena terdapat sunnah yang kuat khusus dalam masalah ini tanpa yang lainnya.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Sebuah amal tidaklah terwujud melainkan dengan niat.



2. Setiap amal ditimbang dengan niatnya.



3. Balasan seseorang atas amalnya sesuai dengan niatnya.



4. Seorang alim membuat contoh untuk memberi penjelasan.



5. Keutamaan hijrah, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam menjadikannya sebagai contoh. Telah disebutkan dalam Shahih Muslim [192] dari Amru bin Ash radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam, beliau bersabda:



''Tahukah engkau bahwa Islam menghapus apa yang sebelumnya? Hijrah menghapus apa yang sebelumnya? Dan haji menghapus apa yang sebelumnya?''



6. Seorang insan akan mendapat pahala atau dosa dan atau terhalang dari sesuatu sesuai dengan niatnya.



7. Setiap amal dihukumi mengikuti tujuannya. Bisa jadi sesuatu yang hukum asalnya mubah menjadi ibadah ketika diniatkan oleh seseorang untuk kebaikan. Seperti makan dan minum jika diniatkan agar kuat dalam beribadah.



8. Sebuah amal yang sama bisa membuat seseorang mendapat pahala dan bisa pula menyebabkannya terhalang dari kebaikan.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

HAKIKAT BERKURBAN

Udh-hiyah atau Dhahiyah atau kurban, adalah nama setiap hewan yang disembelih seperti onta, sapi, dan kambing, pada hari raya Kurban atau hari Tasyriq dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.



Landasan Hukum Kurban



Allah telah mensyari'atkan pelaksanaan kurban melalui firman-Nya:



"Sesungguhnya Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah)."
(QS. Al-Kautsar: 1-3).



Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga mempraktikan ibadah kurban. Begitu pula kaum muslimin. Mereka semua sepakat tentang pensyari'atan berkurban.



Keutamaan Berkurban



Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Tidak ada amalan manusia pada hari raya Kurban yang dicintai Allah melebihi amalan mengalirkan darah (menyembelih hewan). Sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada Hari Kiamat beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulu, dan kuku-kukunya. Sungguh, sebelum darah kurban itu mengalir ke tanah, pahalanya telah diterima di sisi Allah. Oleh sebab itu, tenangkanlah jiwa kalian dengan berkurban." [At-Tirmidzi berkata, "Hadits hasan." Namun, Syaikh Al-Albani mendha'ifkannya dalam Dha'if Sunan At-Tirmidzi (1493) dan Dha'if Al-Jami' Ash-Shaghir (11896)].



Hukum Berkurban



Hukum berkurban adalah sunnah muakkadah (sangat dianjurkan), dan makruh bagi orang yang mampu jika tidak mengerjakannya. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkurban dengan dua ekor kambing yang bertanduk dan gemuk. Beliau menyembelihnya sendiri seraya menyebut nama Allah dan bertakbir.



Kapan Kurban Diwajibkan?



Kurban tidak diwajibkan kecuali dalam dua keadaan berikut:



1. Ketika seseorang telah menadzarkannya. Dalilnya adalah sabda Nabi:



"Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya." [HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, dan lain-lain; dari Aisyah].



2. Ketika seseorang berkata, "Ini untuk Allah" atau "Ini adalah hewan kurban." Menurut Malik, jika seseorang membeli seekor hewan dengan niat akan dijadikan sebagai hewan kurban, maka ia wajib melaksanakannya.



Hikmah Pensyari'atan Kurban



Ibadah kurban telah disyari'atkan oleh Allah untuk menghidupkan kembali memori tentang kisah Nabi Ibrahim, di samping untuk membantu sesama manusia pada hari raya kurban.



Jenis Hewan Kurban



Jenis hewan yang bisa dijadikan sebagai hewan kurban adalah onta, sapi, dan kambing. Tidak ada hewan lain selain ketiga jenis hewan ini. Sesuai dengan firman Allah:



"...Agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak." [QS. Al-Hajj: 34].



Hewan kurban berupa domba yang dianggap layak adalah yang sudah berumur setengah tahun, kambing berumur satu tahun, sapi berumur dua tahun, dan onta berumur lima tahun. Semua hewan ini tidak dibedakan antara jantan atau betina. Semuanya sama. Diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Janganlah kalian berkurban kecuali dengan yang hewan yang sudah berumur (musinnah). Jika itu menyulitkanmu, sembelihlah domba yang jadza'." [Domba yang jadza', adalah domba yang berumur setahun dan belum masuk tahun kedua].



Yang dimaksud musinnah adalah onta yang berumur lima tahun atau lebih, sapi yang berumur dua tahun atau lebih, kambing yang berumur satu tahun atau lebih, dan domba yang berumur enam bulan atau lebih. Musinnah juga disebut dengan nama tsaniyyah. Tidak mengapa berkurban dengan kambing yang dikebiri, karena dagingnya lebih enak dan lezat.



Hewan yang Tidak Boleh Dijadikan Hewan Kurban



1. Yang sakit dan penyakitnya terlihat jelas.
2. Yang picak dan kepicakannya terlihat jelas.
3. Yang sangat pincang.
4. Yang kurus sekali hingga tidak ada tulang sumsumnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Ada empat penyakit yang tidak layak untuk hewan kurban: yang picak dan jelas kepicakannya, yang sakit dan terlihat jelas penyakitnya, yang pincang sekali, dan yang kurus sekali hingga tidak ada tulang sumsumnya." [HR. At-Tirmidzi, dan dia berkata; Hadits hasan shahih]



5. Yang cacat ('adhba'),, yaitu yang sebagian besar telinga dan tanduknya hilang. Termasuk hewan cacat adalah hatma' (ompong gigi depannya atau seluruhnya), 'ashma' (kulit tanduknya pecah), 'umya' dan tawla' (dibiarkan berkeliaran tanpa digembalakan), dan jarba' (banyak kudisnya). Tetapi, tidaklah mengapa berkurban dengan hewan yang tak bersuara ('ajma'), yang buntutnya terputus (batra'), yang bunting, dan yang sebagian kecil telinganya hilang atau yang dilahirkan dalam keadaan tidak bertelinga.



Waktu Penyembelihan Kurban



Penyembelihan kurban disyaratkan tidak dilakukan kecuali setelah terbitnya matahari pada hari raya kurban. Setelah shalat dilakukan, penyembelihan bisa dilakukan kapan saja di tiga hari Tasyriq, baik pada waktu malam maupun siang. Waktu penyembelihan berakhir dengan berakhirnya tiga hari ini. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Barangsiapa menyembelih sebelum shalat (Idhul Adha), maka sembelihannya untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih sesudah shalat dan dua khutbah, maka sungguh dia telah menyempurnakan (ibadah kurban) dan sesuai dengan sunnah kaum muslimin."
(Dari Ana bin Malik).



Satu Hewan Kurban untuk Satu Keluarga



Jika seseorang menyembelih seekor kambing atau domba, maka itu sudah cukup untuk dirinya dan keluarganya. Salah seorang shahabat pernah menyembelih seekor kambing yang diperuntukkan bagi dirinya dan keluarganya.



Bergabung dalam Berkurban



Dibolehkan bergabung dalam berkurban jika hewan yang akan dikurbankan berupa onta atau sapi. Sapi (juga kerbau) berlaku untuk tujuh orang bila mereka semua memang berniat berkurban dan mendekatkan diri kepada Allah. Diriwayatkan dari Jabir, dia berkata, "Kami menyembelih kurban berupa seeokor onta bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam di Hudaibiyah untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang pula."
(HR. Muslim).



Pembagian Daging Kurban



Disunnahkan bagi orang yang berkurban untuk memakan daging kurbannya, menghadiahkannya kepada kerabat, dan membagikannya kepada kaum fakir. Sesuai sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:



"Makanlah, berilah makan (orang-orang fakir), dan simpanlah."
(HR. Muslim dan selainnya).



Menurut kalangan ulama, yang lebih utama adalah memakan, menyedekahkan, dan menyimpan daging kurbannya masing-masing sebanyak sepertiga. Daging kurban boleh disalurkan hingga ke negara lain, namun tidak boleh dijual kulitnya dan tidak boleh memberi uang kepada tukang potong daging sebagai upah.



Orang yang Berkurban Menyembelih Sendiri Kurbannya



Disunnahkan bagi orang yang berkurban dan mahir menyembelih untuk menyembelih sendiri hewan kurbannya. Disunnahkan pula baginya untuk membaca do'a:



"Dengan menyebut nama Allah. Allah MahaBesar. Ya Allah, kurban ini dari...(nama yang berkurban disebutkan)."



Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyembelih kurban seekor kambing kibasy dan membaca do'a, "Dengan menyebut nama Allah. Allah MahaBesar. Ya Allah, sesungguhnya (kurban) ini dariku dan dari umatku yang belum mampu berkurban."
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Jika orang yang berkurban tidak mahir menyembelih, hendaknya dia menghadiri dan menyaksikan penyembelihannya.



Wallahu’alam

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-16

"Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: "Wasiatkanlah aku." Beliau bersabda: "Jangan engkau marah." Dia meminta hal itu berkali-kali, beliau bersabda: "Jangan engkau marah."
(HR. Bukhari).



Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath [X/520]: "Al-Khaththabi berkata: "Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Jangan engkau marah" adalah: jauhilah semua penyebab kemarahan, jangan mendekati hal-hal yang bisa menyebabkan kemarahan. Adapun kemarahan itu sendiri tidaklah mudah untuk dilarang, sebab kemarahan adalah perkara alami yang tetap menjadi tabi'at."



Dia juga berkata: "Ibnut Tin berkata: Dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam "Jangan engkau marah", beliau mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. Sebab kemarahan mengakibatkan terputusnya hubungan dan menghilangkan persahabatan. Bahkan bisa menyebabkan seseorang menyakiti orang yang dimarahinya, sehingga agamanya menjadi berkurang."



Allah memuji orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahukan bahwa:



"Orang yang kuat itu bukanlah orang yang jago bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang menguasai dirinya ketika marah."
(Bukhari [6114]).



Seseorang wajib menahan amarahnya, dan hendaklah dia berlindung kepada Allah dari syaitan. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Bukhari [6115]. Hendaknya pula dia duduk atau berbaring, sebagaimana datang pada riwayat Abu Daud [4782] dari Abu Dzar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, maka hendaknya dia duduk. Jika belum hilang marahnya maka hendaklah dia berbaring."
(Hadits ini Shahih, para rawinya adalah rawi Muslim).



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Semangat para shahabat untuk meraih kebaikan. Ini ditunjukkan oleh shahabat yang meminta wasiat ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.



2. Peringatan atas hal-hal yang menyebabkan kemarahan beserta akibatnya.



3. Diulang-ulangnya wasiat untuk melarang amarah menunjukkan pentingnya wasiat tersebut.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.