Bismillaahir rahmaanir rahiim..
Assalamu'alaykum wa rahmatullaah wa barakaatuh.
"Innal hamdalillaah
nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa
wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah."
"Asyhadu alaa ilaha
illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiy ya
ba'da."
"Segala puji hanya milik
Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya, kita
memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari
kejelekan-kejelekan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa
yang diberi hidayah oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang
dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla maka
tidak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya."
"Aku bersaksi bahwa tidak
ada yang patut disembah dengan haq (benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla saja,
dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan tidak ada Nabi
setelahnya"
Qola Ta'ala fii Kitabul Karim: "Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaaha
haqqo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimun."
Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati
kecuali dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).
Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa
hidah wa kholaqo minhaa dzaujaha wa batstsa minhuma rijaalan katsiiran wanisaa
a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum
roqiibaa."
Dan AllahTa'ala berfirman: "Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang
satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).
Wa qola Ta'ala: "Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaulan sadiida
yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa
rasullahuu waqod faaza fauzan 'adzhiima."
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang
benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal-amal kalian dan
mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).
Amma ba'du,
"Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin
shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa
tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar."
Amma ba'du: "Sesungguhnya sebenar-benar perkataan
adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan
setiap yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan
setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka."
"Pembahasan KITAB
RIYADHUSH SHALIHIN"
1. Bab Ikhlas dan
Menghadirkan Niat Dalam Semua Perbuatan dan Ucapan, Baik yang Jelas ataupun
Samar-samar.
Ikhlas ialah
bertujuan hanya semata-mata karena Allah 'Aza
wa Jalla, yakni seorang hamba dalam melakukan ketaatan bertujuan
mendekatkan diri kepada Allah tanpa tujuan lain.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas
menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus
(benar)."
(QS. Al-Bayyinah: 5)
Maksudnya, ahli kitab dan lainnya tidak diperintahkan
melainkan untuk menyembah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya,
melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat.
(Hunafa) ialah
orang-orang yang cenderung kepada agama Islam serta menjauhi agama-agama
lainnya. "Dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar),"
maksudnya agama Islam.
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan
sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu."
(QS. Al-Hajj:37)
Maksudnya, daging-daging serta darah-darah hadiah dan kurban
tidak sampai kepada Allah. Akan tetapi yang sampai kepada-Nya ialah niat dan
keikhlasan kalian.
Ibnu Abbas berkata, "Dahulu
orang-orang jahiliyah melumuri Baitullaah dengan darah unta, lantas kaum
muslimin hendak melakukan hal ini, maka turunlah ayat tersebut."
Allah 'Aza wa Jalla
berfirman:
"Katakanlah, 'Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau
kamu tampakkan, Allah pasti mengetahuinya'."
(QS. Ali Imran: 29)
Maksudnya, Dia-lah Zat Yang Maha Mengetahui hal-hal yang
tersembunyi di dalam hati dan sesuatu yang terkandung di dalamnya meliputi
ikhlas dan riya'.
Berikut ini adalah hadits-hadits dalam Kitab Riyadhush
Shalihin yang terkait dengan ke-Ikhlasan:
1/1.
Dari Amirul Mukminin Abu Hafs, Umar bin Al-Khattab bin
Nufail bin Abdul 'Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin 'Adi bin
Ka'ab bin Luai bin Ghalib Al-Qurasyi Al-'Adawi radhiyallahu 'anhu berkata, "Saya
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya semua amal perbuatan itu
disertai dengan niat-niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang itu
(tergantung) pada yang telah ia niatkan. Maka, barang siapa yang hijrahnya itu
karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itupun menuju kepada Allah dan
Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya demi harta dunia yang hendak
diperolehnya ataupun untuk seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnyapun
menuju kepada niat yang dimaksud dalam hijrahnya itu'."
Hadits ini disepakati keshahihannya.
[Shahih:
Al-Bukhari (2529, 3898, 5070, 6689, 6953); Muslim (1907)].
(HR. Dua imam ahli hadits yaitu Abu Abdillah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fi Al-Bukhari, dan Abu
Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi -semoga Allah
merahmati keduanya- dalam kedua kitab shahih masing-masing yang kedua kitab ini
adalah kitab paling shahih).
Hadits ini merupakan hadits agung, mulia, dan banyak
faedahnya.
Abdur Rahman bin Mahdi radhiyallahu
'anhu berkata, "Selayaknya bagi
setiap penyusun kitab memulai tulisannya dengan hadits ini untuk mengingatkan
para penuntut ilmu agar meluruskan niat."
Imam Syafi'i rahimahullah
berkata, "Hadits ini mencakup 70 bab
ilmu."
Al-Bukhari rahimahullah
berkata, "Bab hadits yang
menjelaskan bahwa perbuatan tergantung pada niat dan keikhlasan dan bagi setiap
orang tergantung apa yang telah ia niatkan, maka termasuk dalam bab ini ialah;
iman, wudhu, shalat, zakat, haji, puasa, dan beberapa hukum lainnya."
Kosakata asing:
Kata 'innama'
berfungsi sebagai hashr. Maksudnya, amal perbuatan tidak akan diterima tanpa
disertai dengan niat.
Ibnu Abdis Salam berkata, "Kalimat pertama (innamal a'malu binniyyati) untuk menjelaskan
(syarat) amal perbuatan yang diterima. Kalimat kedua (wa Innama lukulli imriin
ma nawa) untuk menjelaskan konsekuensi dari niat."
Niat adalah tujuan. Tempatnya di dalam hati.
"Fa mankanat
hijratuhu ilallah wa rasulihi fa hijratuhu ilallahi wa rasulihi."
Maksudnya, orang yang hijrahnya diniatkan dan tujukan karena
Allah dan Rasul-Nya, maka secara hukum dan secara syar'i hijrahnya karena Allah
dan Rasul-Nya.
Ibnu Daqiq Al-Id berkata, "Ulama meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki melakukan hijrah dari
Makkah ke Madinah dengan tidak menginginkan keutamaan hijrah. Justru ia
berhijrah bertujuan agar dapat menikahi seorang perempuan yang bernama Ummu
Qais. Oleh karena itu, di dalam hadits ini terdapat penyebutan perempuan secara
khusus bukan hal-hal yang diniatkan lainnya."
Penjelasan hadits:
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan, "Barang siapa yang dalam hijrahnya ia
berniat meninggalkan negeri kafir sekaligus menikahi seorang perempuan, maka
niat ini tidaklah buruk dan juga tidak dibenarkan. Akan tetapi, niat ini kurang
utama jika dibandingkan dengan orang yang hijrahnya memang murni (karena
Allah)."
Wallahu a'lam.
2/2.
Dari Ummul Mukminin, Ummi Abdillah, 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Ada
sepasukan tentara yang hendak memerangi Ka'bah. Ketika mereka berada di suatu
padang pasir dari tanah lapang, lalu dibenamkanlah orang pertama sampai yang
terakhir dari mereka semuanya." 'Aisyah berkata, "Wahai Rasulullah! bagaimanakah
semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedang di antara
mereka ada pedagang di pasar dan adapula orang yang tidak termasuk golongan
mereka?" Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, "Semuanya dibenamkan dari yang pertama
sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan dari
masing-masing kuburnya sesuai niatnya masing-masing."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih:
Al-Bukhari (2118); Muslim (2884)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat peringatan untuk tidak berteman
dan duduk-duduk bersama dengan orang-orang zalim. Karena azab akan menimpa
mereka serta orang-orang yang bersama mereka. Meskipun ketika dihisab nanti
akan diperlakukan sesuai dengan niat baik dan buruk (mereka masing-masing). Di
dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar secara marfu' disebutkan, "Apabila
Allah telah menurunkan azab kepada suatu kaum, maka azab tersebut akan mengenai
semua orang yang berada di dalamnya, kemudian mereka akan dibangkitkan sesuai
niat mereka."
3/3.
Dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha berkata bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada hijrah setelah pembebasan
Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Oleh karena itu, apabila kalian
semua diminta untuk berangkat (berjihad), maka berangkatlah."
(Muttafaqun 'alaih).
Penjelasan hadits:
Maknanya, tiada hijrah lagi dari Mekkah, sebab saat itu
Mekkah telah menjadi daerah Islam.
Al-Khaththabi dan lainnya berkata, "Pada masa awal Islam, hijrah merupakan kewajiban atas orang yang telah
masuk Islam lantaran minimnya umat Islam di Madinah dan kebutuhan umat Islam
untuk berkumpul. Ketika Allah telah membebaskan kota Mekkah, orang-orang
berbondong-berbondong masuk Islam, maka kewajiban hijrah ke Madinah menjadi
gugur. Sedangkan yang masih ada adalah kewajiban jihad dan niat bagi orang yang
akan melakukannya atau diserang musuh."
Al-Mawardi berkata, "Apabila
seseorang mampu menampakkan agama Islam di suatu negeri kafir, maka menetap di
tempat tersebut lebih utama dari pada meninggalkannya, karena diharapkan orang
lain dapat masuk Islam (karenanya)."
Al-Hafizh berkata, "Hikmah
diwajibkan hijrah bagi orang yang masuk Islam ialah agar selamat dari gangguan
orang-orang kafir, karena orang-orang kafir menyiksa orang yang masuk Islam
agar mereka keluar dari agamanya."
4/4.
Dari Abu Abdillah, Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallahu 'anhuma berkata, "Kami beserta Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam dalam suatu peperangan, kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang ketika kalian menempuh
suatu perjalanan dan menyeberangi suatu lembah, melainkan orang-orang tersebut
(dianggap) bersama kalian. Mereka terhalang sakit'."
Dalam riwayat lain
disebutkan, "Melainkan mereka yang tertinggal itu bersekutu dengan kalian
dalam memperoleh pahala."
[HR. Muslim].
[Shahih: Muslim
(1911)].
Imam Bukhari meriwayatkan:
Dari Anas radhiyallahu
'anhu ia berkata, "Kami kembali
dari perang Tabuk bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau
bersabda, 'Sesungguhnya ada beberapa
kaum yang kita tinggalkan di Madinah. Kita tidak melintasi lereng ataupun
lembah, melainkan mereka itu (dianggap) bersama-sama dengan kita. Mereka
terhalang oleh suatu uzur'."
[Sahih:
Al-Bukhari (4433)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang niatnya
benar dan bertekad hendak melakukan kebaikan, tetapi ia tidak melakukannya
karena ada uzur, maka ia mendapatkan pahala semisal pahala orang yang melakukan
amalan tersebut.
5/5.
Dari Abu Yazid, Ma'an bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu 'anhuma. Ia, ayahnya, dan
kakeknya termasuk golongan shahabat. Ia berkata, "Ayahku, Yazid mengeluarkan beberapa dinar yang digunakan untuk
bersedekah, lalu dinar-dinar itu ia letakkan di sisi seseorang di dalam masjid.
Lantas saya datang dan mengambilnya, kemudian saya menemui ayahku dengan
membawa dinar-dinar tadi. Lalu ayahku berkata, 'Demi Allah, bukan engkau yang
kuhendaki.' Selanjutnya hal itu saya adukan kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, 'Bagimu
apa yang engkau niatkan wahai Yazid! Sedangkan bagimu apa yang engkau ambil,
wahai Ma'n!'."
[HR. Bukhari]
[Shahih:
Al-Bukhari (1422); Ad-Darimi (1638)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang berniat
sedekah kepada orang yang membutuhkan, maka ia akan mendapatkan pahalanya
meskipun yang mengambil sedekah tersebut ialah orang yang wajib dinafkahinya
atau bukan orang yang berhak menerima sedekah sebagaimana dalam kisah seseorang
yang bersedekah kepada tiga orang.
6/6.
Dari Abu Ishaq, Sa'ad bin Abi Waqqash, Malik bin Uhaib bin
Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Luai Al-Qurasyi
Az-Zuhri radhiyallahu 'anhu -beliau
adalah salah satu dari sepuluh orang radhiyallahu
'anhuma yang diberi kesaksian akan masuk surga-, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam datang kepadaku untuk menjengukku pada tahun Haji Wada' karena sakit
berat yang menimpa diriku, lalu saya berkata, 'Ya Rasulullah! Sesungguhnya
sakit yang ada pada diriku telah mencapai keadaan yang engkau ketahui,
sedangkan saya seorang yang berharta dan tidak ada yang mewarisi hartaku
melainkan seorang puteriku saja. Oleh karena itu, apakah boleh jika saya
menyedekahkan dua pertiga hartaku?' Beliau menjawab, 'Jangan.' Saya berkata lagi, 'Jika separuhnya, wahai Rasulullah?'
Beliau menjawab, 'Jangan juga.' Saya
melanjutkan, 'Sepertiga, bagaimana wahai Rasulullah?'
Beliau lalu bersabda, 'Ya, baiklah. Sebenarnya sepertiga itu
sudah banyak atau sudah besar jumlahnya. Sesungguhnya jikalau engkau meninggalkan
para ahli warismu dalam keadaan kaya harta, maka itu adalah lebih baik daripada
engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga meminta-minta pada
orang lain. Sesungguhnya tiada sesuatu nafkah yang engkau berikan dengan niat
untuk mendapatkan keridhaan Allah, melainkan engkau pasti akan mendapatkan
pahalanya sekalipun makanan yang engkau berikan ke dalam mulut istrimu'."
Abu Ishaq melanjutkan riwayatnya, "Saya berkata lagi, 'Apakah saya ditinggalkan (di Mekkah) setelah
kepulangan shahabat-shahabatku itu?' Beliau menjawab, 'Sesungguhnya engkau tidak akan tertinggal. Kemudian apabila engkau
melakukan suatu amal kebaikan yang engkau maksudkan untuk mendapatkan keridhaan
Allah, melainkan derajat dan kedudukanmu akan bertambah. Barangkali sekalipun engkau
ditinggalkan, tetapi nantinya akan ada beberapa kaum yang dapat mengambil
kemanfaatan darimu dan ada kaum lainnya yang mendapat mudarat lantaran dirimu.
Ya Allah, sempurnakanlah pahala untuk shahabat-shahabatku dalam hijrah mereka
itu, dan janganlah Engkau balikkan mereka pada tumit-tumit mereka (murtad).
Akan tetapi, yang miskin lagi rugi itu ialah Sa'ad bin Khaulah'."
Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam merasa sangat kasihan padanya sebab matinya di Mekkah.
[Muttafaqun 'alaih]
[Shahih: Al-Bukhari
(1295); Muslim (1628)].
Penjelasan dan
intisari hadits:
1. Disyari'atkan menjenguk orang sakit.
2. Kewajiban infak terhadap orang yang menjadi tanggungannya
untuk dinafkahi. Motivasi untuk berbuat ikhlas dalam melakukan hal tersebut.
3. Orang yang meninggalkan sedikit harta, maka sebaiknya ia
tidak melakukan wasiat dan menyisakan hartanya untuk para ahli warisnya.
Sedangkan orang yang meninggalkan harta yang banyak, maka ia boleh melakukan
wasiat sepertiga hartanya atau kurang dari itu.
Wallahu a'lam.
7/7.
Dari Abu Hurairah, Abdur Rahman bin Shakhr radhiyallahu 'anhu berkata bahwa
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada tubuh-tubuh kalian dan tidak pula kepada bentuk rupa
kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian."
[HR. Muslim]
[Shahih: Muslim
(2564); Ibnu Majah (4143)].
Penjelasan hadits:
Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memperhatikan
akan kondisi hati dan sifat-sifatnya, meluruskan tujuan hati, dan
membersihkannya dari setiap sifat tercela, karena perbuatan hati itulah yang
meluruskan amal perbuatan yang bersifat syar'i. Kesempurnaan hal ini dengan
melakukan muraqabah kepada Allah 'Aza wa Jalla (merasa selalu diawasi
oleh Allah).
8/8.
Dari Abu Musa, Abdullah bin Qais Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam ditanya tentang seseorang yang berperang karena ingin menunjukkan
keberanian, ada lagi yang berperang karena kesombongan, dan ada pula yang
berperang karena riya'. Manakah diantara semua itu yang termasuk berperang
fisabilillah? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Barangsiapa yang berperang dengan tujuan
agar kalimat Allah menjadi luhur, maka itulah perang fisabilillah'."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih:
Al-Bukhari (123, 281); Muslim (1904)].
Penjelasan hadits:
Ibnu Abbas berkata, "Yang
dimaksud kalimat Allah ialah La Ilaha Illallah."
Intisari hadits:
1. Setiap amalan akan dihitung kebaikan jika diniatkan untuk
kebaikan.
2. Celaan terhadap sikap rakus kepada dunia dan berperang
demi kepentingan pribadi, bukan didasari ketaatan.
3. Keutamaan jihad akan diberikan kepada para mujahid yang
meniatkan berperang untuk membela agama Allah.
Ibnu Abu Jamrah menjelaskan, "Apabila motivasi utama ialah bermaksud meninggikan kalimat Allah,
maka niatan lebih dari itu tidak ada masalah."
Al-Hafizh berkata, "Perang
dapat terjadi dikarenakan lima faktor, yaitu mencari harta rampasan,
memperlihatkan keberanian, riya', sombong, dan marah. Masing-masing dari semua
itu ada yang tercela dan ada yang terpuji. Oleh karena itu, tidak dapat dijawab
dengan menetapkan atau meniadakan."
9/9.
Dari Abu Bakrah, Nufai' bin Haris As-Tsaqafi radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah
bersabda, "Apabila dua orang muslim berhadap-hadapan dengan membawa
pedangnya masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh akan masuk
neraka." Saya bertanya, "Ini
yang membunuh (sudah jelas), tetapi bagaimanakah dengan orang yang
terbunuh?" Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam menjawab, "Karena sesungguhnya orang yang
terbunuh itu juga ingin sekali membunuh kawannya."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih:
Al-Bukhari (31, 6875, 7083); Muslim (2888)].
Penjelasan hadits:
Kandungan hadits ini ialah adanya siksa bagi orang yang
berazam dan mempersiapkan diri untuk melakukan kemaksiatan.
10/10.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Shalatnya seorang lelaki dengan berjama'ah
itu melebihi shalatnya di pasar atau rumahnya dengan terpaut dua puluh sekian
tingkat derajatnya. Hal ini karena apabila seseorang berwudhu dan melakukannya
dengan baik, kemudian mendatangi masjid, tidak ada yang mendorongnya ke masjid
melainkan untuk shalat dan tidak ada keinginan lain kecuali shalat, maka setiap
kali ia melangkahkan kakinya selangkah kecuali dinaikkan baginya satu derajat
dan dilebur darinya satu kesalahan sampai ia masuk ke dalam masjid.
Apabila ia telah masuk ke dalam masjid, maka ia memperoleh pahala
sebagaimana dalam keadaan shalat, selama memang shalat itu yang menyebabkan ia
bertahan di dalam masjid, dan para malaikat mendo'akan salah seorang di antara
kalian agar mendapatkan rahmat selama ia masih berada di tempat shalat. Para
malaikat itu berdo'a, "Ya Allah, kasihanilah orang ini! Ya Allah,
ampunilah dia! Ya Allah, terimalah taubatnya!" Hal ini berlangsung selama
orang tersebut tidak berbuat buruk dan selama ia belum berhadats'."
[Muttafaqun 'alaih].
Lafal ini milik Imam Muslim.
[Shahih:
Al-Bukhari (647); Muslim (272, 649)].
Kosakata asing:
'Yanhazuhu'
artinya, mengeluarkannya dan menggerakkannya.
'Laa yuriidu illash
sholata', maksudnya (menginginkan untuk) shalat berjama'ah. Di dalam
kalimat ini terdapat isyarat agar memperhatikan keikhlasan.
Penjelasan hadits:
Hadits ini isyarat untuk (melakukan) sebab-sebab yang dapat
mengangkat derajat, yaitu pada sabda Nabi, "Hal ini ketika ia berwudhu, melakukan
wudhu dengan baik, kemudian ia berangkat ke masjid. Ia tidak keluar dari
rumahnya melainkan untuk shalat. Maka, ia tidak melangkahkan kaki satu langkah
melainkan diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu
keburukan."
Hadits ini juga menunjukkan anjuran berkumpul dan tolong
menolong dalam melakukan ketaatan, bersikap ramah terhadap para tetangga,
berlepas diri dari sifat kemunafikan, dan buruk sangka.
Hadits ini menunjukkan bahwa para malaikat mendo'akan dan
memintakan ampun untuknya dan untuk yang lainnya juga.
11/11.
Dari Abul Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib, radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda, "Sesungguhnya Allah 'Aza wa Jalla mencatat semua kebaikan dan
keburukan, kemudian menjelaskan hal tersebut; barang siapa yang berkehendak
mengerjakan kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka Allah yang Maha
Suci dan Maha Tinggi mencatatnya sebagai suatu kebaikan yang sempurna di
sisi-Nya, dan barang siapa berkehendak mengerjakan kebaikan kemudian jadi
melakukannya, maka Allah mencatatnya sebagai sepuluh kebaikan di sisi-Nya
hingga berlipat menjadi tujuh ratus kali lipat bahkan lebih, menjadi sangat
banyak sekali.
Selanjutnya barang siapa yang berkehendak mengerjakan keburukan
kemudian tidak jadi melakukannya, maka Allah 'Aza wa Jalla mencatatnya sebagai
suatu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, dan barang siapa yang berkehendak
mengerjakan keburukan kemudian jadi melakukannya, maka Allah 'Aza wa Jalla
mencatatnya sebagai satu keburukan saja di sisi-Nya."
[Muttafaqun 'alaih].
[Shahih:
Al-Bukhari (6491); Muslim (131)].
Penjelasan hadits:
Ini merupakan hadits yang mulia dan agung. Melalui hadits
ini Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan
kadar keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah 'Aza wa Jalla kepada para makhluk-Nya, yaitu melipatgandagakan
kebajikan dan meminimalkan keburukan. Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya,
setelah sabda Nabi, "Jika seseorang hendak melakukan keburukan, lalu ia melakukannya,
maka Allah mencatatnya satu keburukan." Beliau menambahkan:
"Atau Allah akan menghapusnya. Tidak akan binasa atas Allah
melainkan orang yang binasa."
Ibnu Mas'ud berkomentar, "Celakalah
bagi orang yang hitungan satunya (keburukannya) dapat mengalahkan hitungan
sepuluhnya (kebaikannya)."
Ulama mengatakan, "Sesungguhnya
keburukan terkadang dapat menjadi besar disebabkan kemuliaan waktu dan tempat.
Terkadang keburukan dilipatgandakan lantaran kemuliaan pelakunya dan sangat
kuat pengetahuannya." Sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla, "Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa
di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabya akan
dilipatgandakan dua kali lipat, dan yang demikian itu, mudah bagi Allah. Dan
barang siapa di antara kamu (istri-istri Nabi) tetap taat kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mengerjakan kebaikan, niscaya Kami berikan pahala kepadanya dua
kali lipat dan Kami sediakan rizki yang mulia baginya."
(QS. Al-Ahzab: 30-31).
12/12.
Dari Abu Abdur Rahman, Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhuma meriwayatkan, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Ada tiga
orang dari golongan umat sebelum kalian sedang bepergian hingga mereka terpaksa
menginap di sebuah gua, kemudian mereka masuk ke dalamnya. Tiba-tiba sebongkah
batu besar jatuh dari gunung lalu menutup mulut gua itu. Mereka berkata, 'Tidak
ada yang dapat menyelamatkan kita dari batu besar ini melainkan jika kita
berdo'a kepada Allah 'Aza wa Jalla dengan perantaraan amal salih kita.'
Lalu salah seorang dari mereka berdo'a, 'Ya Allah, saya mempunyai dua
orang tua yang sudah tua renta dan lanjut usia. Saya tidak pernah memberi minum kepada siapapun sebelum
keduanya itu, baik kepada keluarga ataupun hamba sahaya. Kemudian pada suatu
hari, saya terlalu jauh mencari kayu bakar, sehingga mereka berdua sudah tidur
sebelum saya pulang. Selanjutnya saya pun memerahkan susu sebagai minuman untuk
keduanya, dan saya mendapati mereka berdua telah tidur. Saya enggan
membangunkan mereka dan saya enggan memberikan minuman itu kepada orang lain
sebelum mereka berdua, baik pada keluarga atau hamba sahaya.
Saya tetap berdiam. Sementara gelas minuman masih di tangan saya. Saya
menunggu mereka bangun sampai fajar menyingsing dan anak-anak menangis di dekat
tumit saya karena lapar. Setelah keduanya bangun lalu mereka meminum minuman
mereka. Ya Allah, jika saya mengerjakan yang demikian itu dengan niat
benar-benar mengharapkan ridha-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami
hadapi dari batu besar yang menutup ini.'
Maka batu besar itu tiba-tiba membuka sedikit, tetapi mereka masih
belum bisa keluar dari gua.
Yang lain berdo'a, 'Ya Allah, sesungguhnya saya mempunyai seorang
sepupu perempuan. Ia merupakan orang yang paling kucintai -di dalam sebuah
riwayat lain disebutkan. 'Saya mencintainya sebagaimana orang-orang lelaki
sangat mencintai perempuan'- kemudian saya merayunya, tetapi ia menolak keinginanku.
Hingga ia mengalami paceklik ia mendatangiku, lalu saya memberikan seratus dua
puluh dinar padanya dengan syarat ia mau berduaan denganku di tempat sepi. Ia
pun mau melakukannya. Sehingga, setelah saya dapat menguasai dirinya -dalam
sebuah riwayat lain disebutkan, 'Setelah saya dapat duduk di antara kedua
kakinya- ia berkata, 'Takutlah kepada Allah dan janganlah engkau merenggut
kesucianku melainkan dengan haknya.' Lantas saya berpaling darinya, padahal ia
adalah perempuan yang paling kucintai, dan saya biarkan emas yang telah saya
berikan untuknya. Ya Allah, jikalau saya melakukan hal ini dengan niat untuk
mengharapkan ridha-Mu, maka lapangkanlah kesukaran yang sedang kami hadapi
ini.'
Lantas batu besar itu kemudian terbuka lagi, namun mereka masih juga
belum bisa keluar dari gua.
Orang yang ketiga berdo'a, 'Ya Allah, saya mengupah beberapa buruh dan
semuanya telah kuberikan upahnya masing-masing, kecuali seorang lelaki. Ia
meninggalkan upahnya dan pergi. Upahnya itu saya kembangkan sehingga nilainya
bertambah banyak. Pada suatu waktu ia mendatangi saya, kemudian ia berkata,
'Hai hamba Allah, tolong berikan upahku yang dulu itu.' Saya berkata, 'Semua
yang engkau lihat ini adalah berasal dari hasil upahmu itu, baik yang berupa
unta, sapi, kambing, dan hamba sahaya.' Ia berkata, 'Hai hamba Allah, janganlah
engkau bercanda denganku.' Saya menjawab, 'Saya tidak bercanda.' Kemudian orang
itu pun mengambil segala yang dimilikinya. Semuanya digiring dan tidak seekor
pun ia tinggalkan. Ya Allah, jika apa yang saya lakukan ini dengan niat
mengharapkan ridha-Mu, maka lapangkanlah kami dari kesukaran yang sedang kami
hadapi ini.'
Batu besar itu lalu membuka lagi dan mereka pun dapat keluar dari gua
itu'."
[HR. Al-Bukhari dan Muslim].
[Shahih:
Al-Bukhari (2215, 2272, 2333, 3465, 5974); Muslim (2743)].
Penjelasan dan
intisari hadits:
1. Keutamaan ikhlas dalam beramal dan ikhlas dapat
memudahkan pelakunya saat menghadapi kesulitan.
2. Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua serta melayani
keduanya, dan lebih mendahulukan keduanya dari pada anak dan keluarganya
sekaligus rela menanggung beban lantaran kedua orang tua.
3. Menjaga dan menahan diri dari perbuatan yang haram
semaksimal mungkin.
4. Keutamaan menepati janji dan menjaga amanat serta
bersikap toleran dalam bertransaksi.
Wallahu Ta'ala a'lam.
Wassalamu'alaykum wa
rahmatullah wa barakatuh.
Sumber:
Kitab 'RIYADHUSH SHALIHIN' - Imam
An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu
Mubarak.
Takrij: Syaikh Nasiruddin
Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah
UMMUL QURA.
Penerbit: Ummul Qura - Jkt.