AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Selasa, 25 November 2014

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Hukum Mendatangi & Meminta Kepada Dukun, Ahli Nujum, Peramal, dan Sejenisnya.

PEMBAHASAN KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Hukum Mendatangi & Meminta Kepada Dukun, Ahli Nujum, Peramal, dan Sejenisnya.
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


303. Bab Larangan Mendatangi Para Dukun, Ahli Nujum, Peramal, Orang-orang yang Meramal dengan Pasir, Batu-batu Kerikil, Biji-biji Gandum, dan Semacamnya.



1/1668.
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditanya oleh sejumlah orang tentang para dukun, beliau menjawab, 'Mereka bukan apa-apa.' Mereka berkata, 'Wahai Rasulullah, mereka kadang mengatakan sesuatu kepada kami, lalu terjadi seperti yang mereka katakan.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, Kata-kata itu adalah kebenaran yang dihafal oleh jin lalu ia bisikan ketelinga temannya, lalu ia campurkan dengan seratus kebohongan'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al Bukhari (5762) dan Muslim (2228)].



Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya para malaikat turun di awan lalu menyebutkan urusan yang telah ditentukan di langit, kemudian setan mencuri dengar, ia mendengar perihal tersebut lalu ia bisikkan kepada para dukun, lalu mereka campurkan seratus kebohongan padanya dari karangan-karangan mereka sendiri."



Penjelasan:



Dukun adalah orang yang memberitahukan hal-hal gaib. Nujum adalah sejenis perdukunan. Ramalan adalah sejenis praktik nujum. Para peramal dengan media pasir dan batu-batu kerikil termasuk golongan dukun. Syariat mendustakan mereka; melarang membenarkan dan mendatangi mereka.



Al-Khattabi berkata, "Seperti diketahui melalui bukti percobaan, para dukun adalah orang-orang yang memiliki pikiran tajam, jiwa yang buruk dan watak-watak jahat. Mereka selalu berlindung kepada jin dalam segala urusan, menanyakan tentang berbagai peristiwa kepada mereka, lalu jin membisikkan kata-kata kepada mereka."



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Mereka bukan apa-apa," yaitu kata-kata mereka tidak bisa dijadikan pedoman.



Hadits ini mengandung beberapa faedah:



1. Setan-setan senantiasa mencuri dengar berita langit, tapi hanya sedikt sekali dan jarang, bahkan nyaris tidak ada jika dibandingkan dengan yang mereka lakukan di masa Jahiliyah.



2. Larangan mendatangi para dukun.



Al-Qurthubi berkata, "Siapapun yang memiliki wewenang untuk mengatasi perdukunan, wajib menghukum orang yang melakukan praktik-praktik semacam ini, mengingkari mereka dengan keras dan mengingkari orang-orang yang datang kepada mereka. Janganlah terpedaya dengan kebenaran kata-kata mereka dalam sebagian urusan. Jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang yang mendatangi mereka. Sesungguhnya, ilmu mereka tidaklah mendalam, bahkan termasuk orang-orang bodoh. Mendatangi dukun dan peramal juga termasuk perbuatan terlarang."



2/1669.
Dari Shafiyah binti Abu Ubaid, dari salah seorang istri Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau berkata, "Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya sesuatu kepadanya lalu membenarkannya, shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari."
(HR. Muslim).
[Shahih Muslim (2230)].



Penjelasan:



Al-Khattabi dan lainnya menjelaskan, "Al-'Arrafu adalah orang yang berusaha mengetahui tempat barang yang dicuri, tempat barang hilang, dan lainnya."



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari." Pensyarah menjelaskan, "Lantaran tidak ada pahalanya, meski cukup untuk menggugurkan kewajiban dari yang bersangkutan."



3/1670.
Dari Qabishah bin Mukhariq Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Ilyafah (garis), thiarah (merasa sial terhadap sesuatu), dan tharq (meramal dengan burung) termasuk perdukuna'."
(HR. Abu Dawud dengan sanad hasan).
[Dhaif: Ahmad (3/477), Abu Dawud (3907), Dhaif Al-Jami' (3900)].



Penjelasan:



Abu Dawud menjelaskan, "Ath-tharq adalah meramal, yakni meramal dengan perantara burung yang dilepas untuk menentukan hari baik dan buruk. Jika burung yang dilepas terbang ke kanan, berarti hari baik (keberuntungan) dan jika terbang ke kiri, berarti hari buruk (sial)."



Abu Dawud berkata, "Iyafah adalah garis."



Al-Jauhari menjelaskan dalam Ash-Shihah, "Al-Jibt adalah ungkapan untuk berhala, dukun, tukang sihir, dan semacamnya."



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam (minal jibti), pensyarah menjelaskan, "Maksudnya adalah termasuk kekufuran. Jika seseorang menghalalkan praktik sihir dan perdukunan padahal telah diingatkan, maka ia kafir."



4/1671.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Barangsiapa mempelajari sebagian ilmu nujum, maka ia telah mempelajari sebagian dari sihir. Ilmu sihirnya bertambah seiring bertambahnya ilmu nujum'."
(HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).
[Shahih: Ahmad (1/227), Abu Dawud (3905), Shahih Al-Jami' (6074)].



Penjelasan:



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Barangsiapa mempelajari sebagian ilmu nujum," pensyarah menjelaskan, "Maksudnya adalah mempelajari alur peristiwa-peristiwa yang terjadi. Adapun ilmu tentang waktu dan arah kiblat bukanlah yang dimaksudkan dalam pembahasan ini."



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Ia mempelajari sebagian dari sihir," yaitu sebagian dari sihir. Artinya, ilmu nujum termasuk dosa besar, dan bisa jadi kekufuran.



"Ilmu sihirnya bertambah seiring bertambahnya ilmu nujum." Maksudnya, sihirnya semakin bertambah seiring bertambahnya ilmu nujum yang ia pelajari.



Al-Khattabi berkata, "Ilmu nujum yang dilarang adalah ilmu tentang berbagai peristiwa yang belum terjadi yang dinyatakan oleh para ahli nujum, dan akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti waktu hembusan angin, turunnya hujan, perubahan suhu panas, dan lainnya yang mereka klaim mereka ketahui melalui pergerakan bintang. Mereka mengklaim bahwa pergerakan bintang berpengaruh terhadap kejadian-kejadian di masa yang akan datang. Pernyataan-pernyataan seperti ini namanya menerka hal ghaib tanpa dasar dan mempelajari ilmu yang hanya diketahui Allah, karena tidak ada yang mengetahui hal ghaib selain Allah semata.



Terkait ilmu astronomi yang diketahui melalui pengamatan dan pengetahuan, seperti ilmu untuk mengetahui waktu condongnya matahari kebarat atau untuk mengetahui arah kiblat, tidak termasuk ilmu yang dilarang. Sebab, ilmu ini mengacu pada pengamatan bayangan untuk mengetahui kapan matahari condong ke barat, dan posisi bintang untuk mengetahui arah kiblat." Demikian penjelasan Al-Khattabi secara ringkas.



5/1672.
Dari Mu'awiyah bin Hakam Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku belum lama meninggalkan kejahiliyaan, dan Allah Ta'ala mendatangkan Islam. Diantara kami ada sejumlah orang yang sering mendatangi dukun?" Beliau bersabda, "Jangan kau datangi mereka." Aku berkata, "Di antara kami ada sejumlah orang yang merasa sial." Beliau bersabda, 'Itu adalah sesuatu yang mereka rasakan di dalam dada. Jangan sampai rasa sial menghalangi mereka untuk melakukan sesuatu." Aku berkata, "Diantara kami ada sejumlah orang yang (meramal dengan membuat) garis." Beliau bersabda, "Dulu, ada seorang nabi yang meramal dengan membuat garis, maka siapa yang garisnya sesuai dengan garis (nabi tersebut) berarti benar."
(HR. Muslim)
[Shahih Muslim (537)].



Penjelasan:



Hadits ini menunjukkan keharaman mendatangi dukun.



Perkataan Mu'awiyah, "Diantara kami ada sejumlah orang yang merasa sial." Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Itu adalah sesuatu yang mereka rasakan didalam dada." Pensyarah menjelaskan, "Maksudnya, sesuatu yang bersifat naluri sesuai watak manusia. Orang tidak diperintahkan untuk menghilangkan perasaan ini, yang diperintahkan adalah agar tidak melakukan sesuatu berdasarkan arahan perasaan tersebut, seperti yang beliau sampaikan, "Jangan sampai rasa sial menghalangi mereka untuk melakukan sesuatu, "yaitu jangan sampai perasaan tersebut menghalangi untuk melakukan sesuatu dimana mereka keluar rumah untuk tujuan tersebut, karena yang melakukan adalah Allah, yang lain sama sekali tidak berpengaruh.



Perkataan Mu'awiyah, "Di antara kami ada sejumlah orang yang (meramal dengan membuat) garis." Beliau bersabda, "Dulu ada seorang nabi yang meramal dengan membuat garis, maka siapa yang garisnya sesuai dengan garis (nabi tersebut), berarti benar."



Di dalam An-Nihayah, Ibnu Abbas menjelaskan, "Al-Khat adalah garis yang dibuat peramal. Ini adalah ilmu warisan orang-orang terdahulu. Orang yang punya keperluan mendatangi peramal lalu memberikan upah kepadanya. Si peramal kemudian berkata kepada orang tersebut, 'Duduklah, aku akan membuatkan garis ramalan untukmu.' Di depan si peramal terdapat anak kecil yang membawa celak mata, setelah itu si peramal pergi ke tanah lunak dan membuat banyak sekali garis-garis, setelah itu ia kembali dari awal dan menghapus garis-garis tersebut dua garis demi dua garis, sementara itu si anak kecil komat-kamit mengharap nasib baik, 'Wahai dua anak Iyan, segeralah beri kami penjelasan!' Jika tersisa dua garis berarti menandakan keberhasilan, dan jika tersisa satu garis berarti menandakan kegagalan'."



Al-Harbi menjelaskan, "Al-Khat adalah seorang peramal yang membuat tiga garis, kemudian garis-garis tersebut diberi gandum atau biji-bijian lalu berkata, 'Akan terjadi begini dan begitu.' Ini semacam praktik perdukunan."



Saya jelaskan, Al-Khat yang disebut dalam hadits ini adalah ilmu yang sudah dikenal dan masih digunakan hingga sekarang. Ada banyak buku yang ditulis tentang ilmu ini. Di dalamnya ada banyak istilah dan simbol. Dengan ilmu ini, mereka biasanya mengungkapkan isi hati orang, dan sering kali benar. Demikian penjelasan dalam An-Nihayah.



Al-Khattabi berkata, "Perdukunan ada banyak macamnya, diantaranya ada yang dipelajari dari jin," dan seterusnya sampai pada perkataan, "Yang ketiga adalah perdukunan yang bertumpu pada dugaan dan terkaan. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan ramalan jenis ini penambah semangat bagi sebagian orang disertai banyak kedustaan. Yang keempat adalah perdukunan yang bertumpu pada pengalaman dan kebiasaan. Kejadian-kejadian sebelumnya dijadikan pertanda untuk suatu peristiwa yang akan terjadi. Jenis perdukunan terakhir mirip ilmu sihir. Sebagian diantara mereka ada yang menggunakan cara menerbangkan burung, perbintangan, dan lainnya. Semua ini tercela secara syar'i."



Al-Khattabi juga berkata, "Adapun sabda beliau, 'Maka siapa yang garisnya sesuai dengan garis (nabi tersebut), berarti benar,' mungkin maknanya adalah larangan melakukan ramalan seperti ini, karena ramalan ini adalah mukjizat nabi tersebut, tidak boleh dilakukan seorangpun setelahnya demi mengharap kebenaran ramalan."
Wallahu a'lam.



6/1673.
Dari Abu Mas'ud Al-Badri Radhiyallahu 'anhu, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang harga (penjualan) anjing, mahar pelacur, dan upah dukun."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (2237), Muslim (1567)].



Penjelasan:



Perkataan Abu Mas'ud, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang harga (penjualan) anjing," Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Secara tekstual, haram menjual anjing. Larangan ini berlaku secara umum untuk semua anjing, baik terlatih maupun tidak, yang boleh dipelihara atau tidak. Konsekuensinya, orang yang membunuh anjing tidak diwajibkan membayar nilai anjing tersebut." Jumhur juga berpendapat demikian.



Atha' dan An-Nakha'i berpendapat, "Diperbolehkan menjual anjing pemburu saja, bukan yang lain, berdasarkan riwayat An-Nasa'i dari Jabir, ia berkata, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melarang harga (penjualan) anjing, kecuali anjing pemburu'."



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Mahar pelacur," yaitu upah yang diberikan atas perzinaan. Disebut mahar sebagai majaz. Upah ini haram hukumnya karena sebagai kompensasi perbuatan haram.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Upah dukun," yaitu upah yang diberikan kepada dukun atas praktik perdukunan yang ia lakukan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Upah dukun hukumnya haram berdasarkan ijmak, karena ada unsur menerima kompensasi untuk suatu kebatilan. Termasuk dalam pengertian ini adalah praktik nujum, meramal dengan kerikil, dan yang lainnya yang dilakukan para peramal untuk mengetahui hal ghaib."



Perdukunan adalah kalimat untuk mengetahui hal ghaib, seperti memberitahukan sesuatu yang akan terjadi di muka bumi disertai serangkaian sebab-sebabnya. Pengakuan tentang hal ghaib ini pada dasarnya berasal dari perkataan para malaikat yang didengar jin, lalu ia bisikkan ke telinga dukun.



Dukun adalah sebuah istilah untuk peramal, ahli nujum, dan orang yang meramal dengan pasir. Juga diperuntukkan kepada mereka yang melakukan praktik lain dan berusaha memenuhi segala keperluan orang yang datang.



Al-Khattabi berkata, "Para dukun adalah orang-orang yang memiliki pikiran tajam, jiwa yang buruk dan watak jahat. Setan-setan berhubungan dengan mereka secara harmonis karena adanya kecocokan dalam hal-hal tersebut, dan membantu mereka dengan segenap kemampuan yang dimiliki."
Wallahu a'lam.




Sumber:
‘KITAB RIYADHUS SHALIHIN’, Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.
Penerbit: UMMUL QURA; Jakarta.

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Menjaga Rahasia.

PEMBAHASAN KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Menjaga Rahasia.
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


85. Bab Menjaga Rahasia



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



"Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."
(QS. Al-Isra': 34).



Ayat ini disebutkan dalam pembahasan menjaga rahasia dikarenakan ia termasuk perkara yang biasa diadakan perjanjian untuk merahasiakannya baik secara lafal ataupun isyarat yang menunjukkan maksud suatu keadaan.



1/685.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.
(HR. Muslim)
[Shahih Muslim (1437)].



Penjelasan:



Hadits ini sebagai ancaman keras bagi orang yang menceritakan detail-detail aktivitas yang terjadi antara dirinya dan istrinya pada saat bersetubuh.



2/686.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu'anhu, ketika Hafshah menjanda, Umar radhiyallahu'anhu berkata, "Aku menemui Utsman bin Affan dan aku tawarkan Hafshah kepadanya. Kukatakan, 'Kalau engkau mau, akan aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.' Utsman menjawab, 'Aku akan mempertimbangkan urusanku dulu.' Aku pun menunggu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, 'Sepertinya aku belum akan menikah pada masa sekarang ini'. "Umar berkata, "Lalu aku menemui Abu Bakar dan kukatakan kepadanya, 'Kalau engkau mau, akan aku nikahkan engkau dengan Hafshah binti Umar.' Abu Bakar diam dan tidak memberi suatu jawaban pun kepadaku. Kemarahanku kepadanya jauh lebih memuncak daripada kepada Utsman. Aku pun menunggu beberapa malam, hingga kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meminangnya.



Maka aku pun menikahkan Hafshah dengan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku dan berkata, 'Sepertinya engkau marah kepadaku pada saat engkau menawarkan Hafshah kepadaku namun aku tidak memberi suatu jawaban apapun.' Aku menjawab, 'Benar.' Abu Bakar berkata, 'Sebenarnya tidak ada yang menghalangiku untuk memberi jawaban kepadamu mengenai apa yang engkau tawarkan kepadaku, hanya saja aku telah mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sering menyebut-nyebut Hafshah, dan aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Seandainya beliau Shallallahu 'alaihi wasallam meninggalkannya, pasti aku akan menerima tawaranmu'."
(HR. Al-Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari (4005, 5122, 5129, 5145)].



Penjelasan:



1. Bolehnya seseorang menawarkan/mengenalkan anak perempuannya kepada orang yang memiliki kebaikan.



2. Anjuran untuk menyembunyikan rahasia dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menyembunyikannya.



3/687.
Dari Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Suatu saat, semua istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sedang berada di sisi beliau. Lalu datanglah Fatimah dengan berjalan kaki yang mana cara jalannya tidak berbeda sedikitpun dengan cara jalannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Tatkala melihatnya, beliau pun menyambutnya dengan mengucapkan, 'Selamat datang wahai putriku!' sesudah itu, beliau mempersilahkannya duduk di sebelah kanan atau di sebelah kiri beliau. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam membisikkan sesuatu kepada Fatimah hingga ia menangis tersedu-sedu. Tatkala melihat kesedihan Fatimah, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun membisikkan sesuatu lagi kepadanya hingga ia tertawa. Lalu aku (Aisyah) bertanya kepada Fatimah, 'Wahai Fatimah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam memberikan keistimewaan kepadamu di hadapan para istri beliau dengan membisikkan suatu rahasia, kemudian kamu menangis.'
Sesudah Rasulullah bangkit berlalu, aku pun bertanya kepada Fatimah, 'Apa yang dikatakan Rasulullah kepadamu?' Fatimah menjawab, 'Aku tidak ingin menyebarkan rahasia Rasulullah.' Sesudah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat, aku berkata, 'Aku hanya bermaksud menanyakan rahasia yang ada padamu saat dulu kamu tidak mau menceritakan kepadaku apa yang disampaikan Rasulullah.' Fatimah menjawab, 'Kalau sekarang aku akan memberitahukannya. Dulu, pada saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam membisikkan sesuatu kepadaku, yang pertama kali beliau membisikkan bahwa Jibril dan beliau biasanya bertadarus Al-Qur'an satu atau dua kali dalam setiap tahun, dan sekarang beliau bertadarus kepada Jibril sebanyak dua kali. 'Sungguh, aku (Rasulullah) diperlihatkan bahwa ajalku telah dekat. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Sebab sebaik-baik pendahulumu adalah aku'. Hingga karenanya aku pun menangis, seperti yang kamu lihat dulu. Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam melihat kesedihanku, maka beliau pun membisikku lagi, 'Hai Fatimah, maukah engkau bila menjadi pemimpin para istri orang-orang Mukmin atau pemimpin para wanita umat ini? Maka saya pun tertawa seperti yang dulu kamu lihat."
(Muttafaq Alaih, dan lafal ini milik Muslim).
[Shahih: Al-Bukhari (3623, 3624, 3625, 3715, 4433, 6285) dan Muslim (2450)].



Penjelasan:



1. Mendahulukan sikap ramah sebelum memberitahukan sebuah perkara.



2. Pahala kesabaran itu sesuai dengan kadar besarnya musibah.



3. Lemah lembut Allah Subhanahu wa Ta'ala berupa mengganti yang pecah dengan yang kuat, kesedihan dengan kegembiraan, dan kesulitan dengan kemudahan.



4. Kewajiban menjaga rahasia.



4/688.
Dari Tsabit, dari Anas radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah mendatangiku ketika aku sedang bermain dengan beberapa anak muda. Lalu beliau mengucapkan salam kepada kami dan menyuruhku untuk suatu keperluan, hingga aku terlambat pulang ke rumah ibuku. Setibanya aku di rumah, ibuku bertanya, 'Apa yang menahanmu (hingga terlambat)? Aku pun menjawab, Tadi Rasulullah menyuruhku untuk suatu keperluan.' Ibuku bertanya, 'Apa keperluan beliau?' Aku menjawab, 'Itu rahasia.' ibuku berkata, 'Kalau begitu, jangan kamu beritahukan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam itu kepada seorangpun'." Anas berkata, "Demi Allah, kalau aku boleh memberitahukan rahasia tersebut kepada seseorang, pasti aku pun akan memberitahukannya pula kepadamu, wahai Tsabit!"
(HR Muslim, dan Al-Bukhari meriwayatkan sebagiannya secara ringkas).
[Shahih: Muslim (2482), Al-Bukhari (6289) dengan lafal yang berbeda namun semakna)].



Penjelasan:



1. Bagusnya akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.



2. Menjaga rahasia itu hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi. Adakalanya, ia boleh diberitahukan sesudah wafatnya orang yang memberikan rahasia itu, sebagaimana dalam hadits 'Aisyah dan Fatimah, namun adakalanya tidak boleh diberitahukan.



Adapun lafal Al-Bukhari yang diriwayatkan dari Anas ialah, "Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah membisikkan suatu rahasia kepadaku, lalu aku tidak memberitahukannya kepada seorang pun sepeninggal beliau Shallallahu 'alaihi wasallam. Ibuku, Ummu Sulaim, pun pernah menanyakan rahasia tersebut kepadaku, namun aku tidak memberitahukannya."





Sumber:
‘KITAB RIYADHUS SHALIHIN’, Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.
Penerbit: UMMUL QURA; Jakarta.

Jumat, 21 November 2014

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Keutamaan Shalat Berjama'ah.

PEMBAHASAN KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Keutamaan Shalat Berjama'ah.
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


191. Bab Keutamaan Shalat Berjama'ah



1/1064.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Shalat jama'ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian."
(Muttafaq 'alaih)
[Shahih: Al-Bukhari (645) dan Muslim (650)].



2/1065.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Pahala shalat seseorang dengan berjama'ah dilipatgandakan di atas pahala shalatnya di rumah dan di pasar sebanyak dua puluh lima derajat. Karenanya, jika seseorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian pergi ke masjid semata-mata untuk mengerjakan shalat, maka ia tidak melangkahkan satu langkahpun, kecuali dengan tiap langkahnya itu akan diangkat satu derajat baginya, dan dihapus satu dosa darinya. Jika ia telah shalat, maka para malaikat akan bershalawat (memohonkan rahmat dan ampunan) kepadanya, selama dia masih ditempat shalatnya dan belum berhadats. Para malaikat berdoa'a, 'Ya Allah, ampunilah dia, rahmatilah dia.' Dan dia senantiasa berada dalam pahala shalat selama dia menanti pelaksanaan shalat."
(Muttafaq 'alaih, dengan lafal Al-Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari (648) dan Muslim (649)].



Penjelasan hadits:



Mengenai sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, "Shalat jama'ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian," Imam At-Tirmidzi berkata, "Mayoritas yang meriwayatkan hadits seperti ini berkata, 'Dua puluh lima derajat,' kecuali Ibnu Umar yang berkata, 'Dua puluh tujuh derajat'." Selesai.



Kedua pendapat tersebut dapat digabungkan, karena menyebutkan yang sedikit tidak menafikan yang banyak, dan karunia Allah amat luas. Ada yang mengatakan, tujuh khusus untuk shalat jahriyah dan lima untuk shalat sirriyah, karena dalam shalat jahriyah diharuskan diam ketika imam membaca, dan ia harus mengucapkan aamiin, ketika imam mengucapkan aamiin.



Dalam hadits Abu Hurairah terdapat isyarat mengenai beberapa sebab untuk mendapatkan peningkatan derajat, yaitu sabda beliau, "Hal itu jika seseorang diantara kalian berwudhu, lalu memperbagus wudhunya, kemudian pergi ke masjid semata-mata karena untuk mengerjakan shalat, maka orang tersebut tidak melangkahkan satu langkahpun, kecuali dengan tiap langkahnya itu akan diangkat satu derajat baginya, dan dihapus satu dosa darinya."



Dalam hadits tersebut terdapat isyarat untuk berkumpul dan saling tolong-menolong dalam ketaatan, ramah dengan tetangga dan menghindari sifat nifak dan buruk sangka.



Hadits tersebut juga menerangkan bahwa para malaikat bershalawat (mendo'akan), mohon ampunan untuknya dan sebagainya.
Wallahu a'lam.



3/1066.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Seorang buta (tuna netra) datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penunjuk jalan yang akan menuntunku ke masjid.' Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat di rumah dan beliau pun memberikan keringanan tersebut. Ketika orang itu berpaling, beliau Shallallahu 'alaihi wasallam kembali bertanya, 'Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?' Lelaki buta itu menjawab, 'Benar.' Beliau bersabda, 'Kalau begitu, penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)'."
(HR Muslim).
[Shahih: Muslim (653)].



4/1067.
Dari Abdullah -ada yang mengatakan Amru bin Qais- yang terkenal dengan sebutan Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu 'anhu, sang muazin, ia berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya di kota Madinah banyak binatang berbisa dan binatang buas." Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apakah kamu mendengar seruan adzan 'Hayya 'alash shalaah, Hayya 'alal falaah?' Kalau begitu, datangilah!"
(HR Abu Dawud dengan sanad hasan).
[Shahih: Abu Dawud (553), An-Nasa'i (2/109), dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani, lihat Al-Misykah (1078)].



Penjelasan hadits:



Hadits ini menjadi dalil wajibnya menghadiri shalat berjama'ah bagi siapa saja yang mendengar seruan adzan. Di dalam hadits ini juga terdapat penekanan untuk melaksanakan shalat berjama'ah dan menolerir sedikit rasa letih demi mendapatkannya. Sebab, umumnya orang yang rumahnya dekat masjid, lebih sedikit kemungkinannya untuk mendapatkan bahaya.



Adapun kisah Utban dalam Ash-Shahih, ia meminta keringanan ketika ada penghalang yang merintangi perjalanannya dari rumah menuju masjid dan penglihatannya juga lemah.



5/1068.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku ingin memerintahkan seseorang mengumpulkan kayu bakar kemudian aku perintahkan seseorang untuk adzan dan aku perintahkan seseorang untuk memimpin orang-orang shalat. Kemudian aku akan mendatangi orang-orang (yang tidak ikut shalat berjama'ah) lalu aku bakar rumah-rumah mereka."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (644) dan Muslim (6510)].



Penjelasan hadits:



1. Hadits ini menunjukkan wajibnya shalat berjama'ah.



2. Hadits ini lebih mengutamakan ancaman daripada hukuman. Rahasianya, bahwa jika kerusakan dapat hilang dengan sedikit teguran, maka itu sudah cukup daripada mencegahnya dengan hukuman yang keras.



3. Hadits ini menjelaskan bolehnya menghukum para pelaku kejahatan atas bahaya yang ia perbuat.



4. Hadits ini juga menjelaskan adanya rukhshah bagi imam untuk meninggalkan shalat berjama'ah demi tujuan seperti itu.



Al-Bukhari meriwayatkannya dalam Bab Wajibnya Shalat Berjama'ah, "Al-Hasan berkata, 'Jika ibunya melarang untuk shalat Isya' berjama'ah hanya karena rasa kasihan, ia tidak boleh menaati ibunya.' Kemudian ia menyebutkan hadits tersebut dan di akhir hadits ditambah, 'Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seseorang di antara kalian mengetahui bahwa ia akan memperoleh sepotong mentega, atau dua potong daging yang bagus, pasti mereka akan mengikuti shalat Isya' berjama'ah'."



6/1069.
Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Siapa yang senang berjumpa Allah kelak sebagai seorang muslim, hendaklah ia menjaga semua shalat di mana pun ia mendengar panggilan shalat, sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada nabi kalian sunnah-sunnah petunjuk, dan sesungguhnya semua shalat termasuk di antara sunnah-sunnah petunjuk itu. Jika kalian shalat di rumah kalian sebagaimana seseorang yang tidak hadir di masjid karena shalat di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah nabi kalian, sekiranya kalian tinggalkan sunnah nabi kalian, sungguh kalian akan sesat. Sungguh menurut pendapat kami, tidaklah seseorang meninggalkan shalat, melainkan dia seorang munafik yang jelas kemunafikannya, karena dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan di shaff (barisan) shalat yang ada."
(HR Muslim).
[Shahih: Muslim (453)].



Penjelasan hadits:



Dalam riwayat Muslim lainnya disebutkan, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah mengajari kami sunnah-sunnah petunjuk, dan di antara sunnah petunjuk adalah shalat wajib di masjid yang dikumandangkan adzan darinya."



As-Sunnah artinya jalan. Jadi, sunnah yang dimaksud disini bukanlah suatu amalan yang pahalanya di bawah wajib sebagaimana definisi menurut istilah fiqih.



Hadits ini menjelaskan wajibnya shalat berjama'ah di masjid dan barang siapa yang meninggalkannya, dia tersesat.



7/1070.
Dari Abu Darda' radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Tidaklah ada tiga orang di suatu desa atau lembah, dan mereka tidak melaksanakan shalat berjama'ah, melainkan syaitan telah menguasai mereka. Oleh karena itu, hendaklah kalian berjama'ah, karena sesungguhnya serigala hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya)."
(HR Abu Dawud dengan sanad hasan).
[Hasan: Abu Dawud (457), An-Nasa'i (2/106), dan di hasankan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' (5701)].



Penjelasan hadits:



Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyerupakan penguasaan setan yang menguasai dan mengatur orang yang menyendiri dari jama'ah dengan penguasaan serigala atas kambing yang sendirian.




Sumber:
‘KITAB RIYADHUS SHALIHIN’, Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.
Penerbit: UMMUL QURA; Jakarta.