AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Jumat, 26 September 2014

HAKIKAT SUNNAH DAN BID'AH

Pertama, Sunnah



Sunnah secara bahasa adalah jalan yang dilalui.
Namun secara umum, sunnah adalah jalan yang terpuji, meski terkadang sunnah juga digunakan untuk yang selain itu, sebagaimana disebutkan didalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:



"Barangsiapa yang memulai dalam Islam sunnah (jalan) kebaikan, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang melakukakannya setelah dia dengan tanpa ada pengurangan sedikitpun terhadap pahalanya. Dan barangsiapa memulai dalam Islam sunnah (jalan) kejelekan, maka baginya dosanya dan dosa orang yang melakukannya setelah dia dengan tanpa ada pengurangan sedikitpun dari dosanya."
(HR. Muslim).



Sunnah juga dapat berarti tabi'at, hukum Allah Ta'ala dan aturannya sebagaimana hal ini disebutkan dalam firman-Nya:



"Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah."
(QS. Al-Ahdzab: 62).



Adapun sunnah menurut syara' adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan termasuk juga sifat-sifat fisik dan perilaku beliau. [As-Sunnah An-Nabawiyyah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami karya Syaikh abdul Munshif  Mahmud Abdul Fatah 7].



Dari makna ini, berarti bahwa sunnah mencakup yang wajib, mandub (sama dengan istilah sunnat dalam ilmu Fikih, yaitu dilakukan dapat pahala dan ditinggalkan tidak berdosa) dan mubah; baik dalam perbuatan, perkataan maupun keyakinan (akidah). Artinya sunnah itu:



(1) Ada yang dikerjakan sebagai sebuah kewajiban, seperti penjelasan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ibadah dan akidah.



(2) Ada yang ditunaikan sebagai sesuatu yang mandub hukumnya, seperti puasa sunnah, shalat tahajud, shalat dhuha, shalat tarawih, shalat idul fitri dan idul adha dan ketaatan-ketaatan lain yang tidak termasuk perkara wajib yang dikerjakan sebagai penambah pahala.



(3) Ada pula yang bersifat mubah. Seperti perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang berhubungan dengan tabi'at kemanusiaan pada umumnya, seperti makan, minum, duduk, tidur, duduk untuk makan, bagaimana cara makan, bagaimana mengendarai kendaraan. Dan semua itu serta perbuatan-perbuatan yang lain yang semacamnya adalah perkara mubah bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan bagi umat beliau.



Perbuatan-perbuatan di atas (yang mubah) pengamalan dan penerapannya tidak dapat dikategorikan kedalam perkara wajib, sunnah, haram atau makruh, karena ia terkait dengan tabi'at manusiawi (jibillah). Dan sudah diketahui bersama bahwa perbuatan semacam itu berubah dari satu zaman ke zaman berikutnya seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.



Dan Islam adalah agama yang mudah, dan didalamnya tidak ada sesuatu yang memberatkan kehidupan manusia atau bertentangan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Sehingga tidaklah benar jika Islam diklaim sebagai agama yang statis (jumud) bahkan yang kita lihat, Islam adalah agama yang menyerukan kepada kemajuan dan peningkatan, untuk memuliakan anak Adam, khususnya orang-orang yang beriman. [As-Sunnah wa Al-Bid’ah Baina At-Ta’shil wa At-Tathbiq, karya Dr. Fuad Mukhaimar 1/11].



Pembagian Sunnah, menurut perbuatan (bukan menururt hukum)



Sunnah terbagi menjadi 2 (dua) bagian:



Pertama, Sunnah Fi'liyah (yang berupa perbuatan)



Yaitu apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Sunnah fi'liyah terdiri dari 3 (tiga) macam:



1. Perbuatan yang termasuk dalam tabi'at manusiawi (jibillah).
Hukum dari perbuatan Nabi yang masuk dalam kategori ini adalah mubah; seperti makan, minum, berjalan, tidur dan perbuatan-perbuatan yang lain yang mubah (boleh) dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan oleh seluruh umatnya. Dan inilah yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama.



2. Perbuatan yang khusus dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam; seperti kewajiban melakukan shalat tahajud dimalam hari, kewajiban bermusyawarah, diperbolehkannya wishal dalam berpuasa, boleh menikahi lebih dari empat wanita, boleh masuk Mekkah dengan tanpa berpakaian ihram, dan perbuatan-perbuatan lain yang khusus diperbolehkan kepada beliau yang kita tidak boleh mengikutinya.



3. Perbuatan beliau yang berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum Allah; seperti memberikan penjelasan dan penguraian terhadap perintah dan larangan-larangan Allah. Begitu juga dalam menjelaskan perintah dan larangan beliau sendiri Shallallahu 'alaihi wasallam.



Jenis ini adalah petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wasallam yang tunduk pada hukum taklifi; yaitu wajib, sunnah, haram, atau pembatasan terhadap maksud Allah.
Contohnya adalah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tentang maksud firman Allah:



"Dan dirikanlah shalat."
(QS. Al-Baqarah: 43).



Perintah dalam ayat di atas masih bersifat umum dan masih dalam bentuk yang global dimana tidak dijelaskan jenis shalat, tata cara dan juga jumlah raka'atnya. Shalat yang dimaksud apakah yang wajib atau yang sunnah? Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu menjelaskannya berdasar arahan Allah Ta'ala kepada beliau melalui malaikat Jibril, yang tertuang dalam banyak hadits yang menjelaskan tentang bagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan shalat. Hal ini sebagaimana dalam satu hadits riwayat Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad:



"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku mengerjakan shalat."



Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa shalat fardhu dalam sehari semalam itu sebanyak lima kali. Shalat-shalat tersebut adalah wajib, kecuali jika seorang muslim juga berkenan untuk melakukan shalat-shalat sunnat, seperti shalat Dhuha, shalat malam, shalat tarawih pada malam Ramadhan dan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.



Begitu juga Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan bagaimana harus memotong tangan seorang pencuri sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:



"Maka potonglah kedua tangannya."
(QS. Al-Maidah: 38).



Beliau memberikan penjelasan bahwa memotongnya adalah dengan memotong pergelangan tangan, bukan dari sikunya atau dari lengannya.



Contoh lain penjelasan dan uraian Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam adalah dalam masalah hukum zakat, puasa dan haji. Dalam masalah haji, beliau bersabda:



"Ambillah dariku manasik (cara melakukan haji) kalian."



Sudah dimaklumi bersama bahwa Al-Qur'an tidak menjelaskan urutan pelaksanaan haji dan umrah, disamping tidak pula menyebutkan tata cara melakukannya. Dan yang menjelaskannya adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu beliau memerintahkan kepada para shahabat dan seluruh kaum muslimin untuk mengikutinya ketika melaksanakan haji.



Begitu juga dalam hal pelaksanaan puasa dan zakat, yang penjelasan terperincinya terdapat dalam kitab-kitab fikih dan hadits.



4. Yang termasuk Sunnah Fi'liyah Nabi berikutnya adalah perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk tabi'at kemanusiaan, bukan pula perbuatan yang khusus dilakukan beliau dan tidak pula perbuatan beliau yang berfungsi untuk menjelaskan syara'.



Perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ada kalanya nampak sebagai sebuah ibadah (taqarrub) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, seperti mencopot sandal ketika akan menunaikan shalat, memotong rambut ketika berada di Hudaibiyah ketika beliau memerintahkan para shahabat untuk memotong rambut akan tetapi mereka tidak melaksanakannya, sehingga beliau memotong rambutnya sendiri. Perbuatan-perbuatan ini ada yang mengatakan hukumnya wajib, ada yang mengatakan sunnah, dan ada pula yang mengatakannya mubah. Tetapi ada pula yang tawaqquf (tidak memberikan kesimpulan hukum). Dan para ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyimpulkan hukum-hukum perbuatan beliau tersebut, dan ini dapat dilihat dalam kitab Al-Ibda' karya Syaikh Ali Mahfuzh.



Jika perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam belum jelas sebagai sebuah ibadah kepada Allah, maka ada empat pendapat dalam masalah ini. Imam Asy-Syaukani lebih memilih bahwa hukum perbuatan itu adalah sunnah, dengan alasan bahwa semua perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah lepas dari ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan tingkatan hukum ibadah yang paling rendah adalah mandub (sunnat), sementara untuk menghukuminya lebih tinggi dari mandub, tidak ada dalil yang mendukung. Maka tidak ada pilihan lain selain berpegang pada hukum mandub tersebut. Contoh paling dekat untuk itu adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memakai jubah. Perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam ini bisa saja untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan hukumnya adalah sunnah, atau sekedar untuk menunjukkan bahwa ia tidak haram dan dibolehkan pemakaiannya.



Contoh lainnya adalah kadangkala Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memakai pakaian luar (sejenis mantel), dan kadang pula beliau tidak memakainya. Jika seorang muslim memakainya dengan niat menyerupai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, maka ia mendapatkan pahala. Akan tetapi ia tidak diharuskan untuk itu dengan alasan ibadah.
Wallahu a'lam.



Kedua, Sunnah Tarkiyah (meninggalkan satu perbuatan).



Adalah perbuatan yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam meski terdapat alasan dan tuntutan, serta tidak ada hal yang menghalanginya.



Seperti meninggalkan adzan dan iqamah untuk shalat Idul Fitri dan Idul Adha, tidak selalu harus mandi setiap kali akan melakukan shalat, tidak mengumandangkan adzan dan iqamah ketika akan melaksanakan shalat tarawih, tidak membaca ayat-ayat Al-Qur'an kepada orang-orang yang meninggal, tidak melakukan shalat sunnah pada malam nisfu sya'ban, tidak mengeluarkan zakat terhadap sayur-sayuran, dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meski ada alasan dan tuntutan untuk itu. Perbuatan-perbuatan tersebut harus tetap ditinggalkan, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pun meninggalkannya. Karena itu, jika ia dilakukan, maka ia adalah bid'ah. Maka meninggalkannya menjadi wajib.



Hal itu karena Allah telah mewajibkan kita untuk mengikuti perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang perbuatan tersebut mengandung unsur taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), jika perbuatan itu tidak termasuk kekhususan beliau. Kita juga harus meninggalkan apa yang beliau tinggalkan. Karena itu, meninggalkan perbuatan yang ditinggalkan beliau adalah sunnah.



Di samping karena seorang hamba tidak mungkin melakukan satu perbuatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, maka ia tidak pula mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan apa yang beliau tinggalkan. [As-Sunnah wa Al-Bid’ah Baina At-Ta’shil wa At-Tathbiq].



Kedua, Bid’ah



Imam Asy-Syathibi berkata, "Bid'ah adalah jalan dalam agama yang dibuat-buat, yang menyerupai syari'at, yang dilakukan dengan tujuan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah." [Al-I’tisham 1/37].



Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa obyek bid'ah adalah dalam bidang agama dan bukan dalam bidang keduniawian. Yaitu bahwasanya bid'ah adalah jalan menuju agama yang dibuat-buat. Dalil yang menunjukkan ini adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam:



"Barangsiapa yang membuat-buat (hal baru) dalam urusan kita ini (agama kita) yang tidak ada padanya (pada agama), maka ia ditolak."
Yakni dikembalikan kepada pembuat dan pelakunya.



Para ulama berkata, "Ada dua hadits yang satu dengan yang lain saling menyempurnakan; yaitu satu hadits yang sangat penting karena hadits ini adalah parameter bathin, yaitu:



Innamal a'maalu binniyyaati



"Sesungguhnya setiap amal (perbuatan) tergantung niat."



Dan hadits yang tidak kalah pentingnya karena hadits ini adalah parameter zhahir yaitu:



"Barangsiapa yang membuat-buat (hal baru dalam urusan kita ini (agama kita) yang tidak ada padanya (pada agama), maka ia ditolak."



Maka suatu amal agar dapat diterima harus memenuhi dua hal yaitu:



Pertama, diniatkan untuk Allah Ta'ala
Kedua, caranya sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh syara'.
Dari itu, ketika Al-Fudhail bin Iyadh ditanya tentang firman Allah Ta'ala:



"Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya."
(QS. Al-Mulk: 2)



Apakah amal (perbuatan) yang paling baik?



Al-Fudhail menjawab, "Perbuatan yang paling ikhlas dan yang paling benar."



Dikatakan kepadanya, "Wahai Abu Ali, apakah perbuatan yang paling ikhlas dan yang paling benar itu?"



Ia menjawab, "Bahwasanya amal jika dilakukan dengan ikhlas akan tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Dan jika ia benar namun dilakukan dengan tidak ikhlas, maka ia juga tidak diterima, sampai ia dilakukan dengan ikhlas dan benar. Dan orang yang ikhlas adalah yang amalnya karena Allah, sedang orang yang benar adalah orang yang amalnya sesuai dengan sunnah." [Ibnul Qayyim menyingkat agama dalam dua kalimat agungnya, “Iyyaka Uridu Bima Turidu.” Yang maksudnya “Hanya kepada-Mulah yang aku inginkan (Ikhlash) dan dengan apa yang Engkau inginkan (mengikuti apa yang berasal dari Allah)”].



Jadi, bid'ah tidaklah ada kecuali dalam masalah agama.



Maka sangat mengherankan banyak orang yang membuat hal baru dalam masalah agama -padahal agama Islam telah sempurna-, namun pemikiran mereka itu lumpuh, dan akal mereka tidak berfungsi untuk berkreasi dalam masalah keduniawian. Padahal mereka sangat membutuhkannya.



Bid'ah terbagi menjadi dua bagian:



1. Bid'ah Hakiki



Yang dimaksud dengan bid'ah hakiki adalah hal baru yang ada dalam agama dengan tidak berdasar pada dasar-dasar yang telah ada dalam agama atau pada cabang-cabang agama. Artinya, hal baru tersebut tidak berdasarkan dalil syara', baik dari Al-Qur'an, As-Sunnah ataupun ijma'.



Hal baru ini murni buatan manusia dan dimasukkan ke dalam agama dengan tujuan tertentu oleh pelakunya. Tujuannya bisa benar dan bisa juga salah. Contohnya seperti membangun kuburan, memasang kubah di atasnya, dan menghias masjid. Semua itu adalah bid'ah hakiki karena tidak ada dasar rujukannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah atau ijma'. Bahkan syara' mengharamkan, melarang dan memberikan ancaman jika melakukannya.



Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang membangun diatas kuburan dan mengeluarkan perintah untuk meruntuhkannya, sebagaimana beliau juga melarang menghias masjid.



2. Bid'ah Idhafiyah



Adapun bid'ah idhafiyah adalah apa yang dibuat-buat dalam agama yang ada dalilnya dari Al-Qur'an, As-Sunnah atau ijma' yang mana keberadaannya disandarkan kepada salah satu dari ketiganya itu, akan tetapi ia merupakan bid'ah dilihat dari sisi bahwa ia adalah tambahan terhadap apa yang telah disyari'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya.



Contohnya adalah dzikir dengan berkelompok secara bersama-sama.
Dzikir adalah sesuatu yang disyari'atkan oleh Allah dalam Kitab-Nya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:



"Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang."
(QS. Al-Ahzab: 41-42)



Namun bentuk dan pelaksanaan dzikir dengan cara berkelompok dan dilakukan dengan bersama-sama adalah bid'ah yang diada-adakan, karena pelaksanaan seperti ini tidak pernah diajarkan dan tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, pada masa para shahabat, dan tidak pula pada masa tabi'in. Sehingga dzikir dengan berkelompok dan dilaksanakan dengan bersama-sama adalah salah satu bid'ah idhafiyah yang mempunyai dua sisi: satu sisi yang mengikutkannya pada selain bid'ah, dan sisi lain yang mengikutkannya dengan bid'ah yang harus ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan.



Bid'ah idhafiyah lebih banyak ditemukan dari pada bid'ah hakiki, meski bid'ah hakiki pun tidak sedikit jumlahnya. Dan perlu ditambahkan bahwa bid'ah dapat menyebabkan pembuat dan pelakunya terjerumus kedalam kemusyrikan.



Dikutip dari: “Buku Pintar Sunnah & Bid’ah”, karya: Syaikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh: H.Masturi Irham, Lc. & H.Moh. Asmui Taman, Lc. Dengan Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jl. Cipinang Muara Raya 63 Jakarta-Timur, 13420.