Ikhwan wa Akhwat Fillah..
Allah telah memuliakan beberapa hari, malam, dan bulan atas
sebagian yang lainnya. Semua ini sesuai dengan hikmah ilahiyah yang sangat
dalam. Tujuannya, agar para hamba lebih giat melaksanakan kebaikan dan
memperbanyak amal shalih di dalamnya. Tetapi, syetan dari jenis manusia dan jin
senantiasa berusaha menghalangi mereka dari jalan yang lurus dan mengintai
mereka dari segala penjuru agar tidak jadi melaksanakan kebaikan-kebaikan.
Syetan juga menipu umat manusia dengan menanamkan keyakinan bahwa saat-saat
yang utama dan penuh rahmat tersebut adalah kesempatan mereka untuk berleha-leha dan bersantai serta
menuruti nafsu dan syahwat.
Syetan juga menggoda kelompok yang lain -biasanya dari
kalangan juhal yang terlihat agamis, para pemimpin, dan tokoh masyrakat- dengan
ditakut-takuti akan kehilangan kesempatan memperoleh pahala yang besar sehingga
mereka berlomba-lomba menciptakan ibadah baru (bid'ah) yang tidak pernah Allah
turunkan perintah tentangnya.
Hassan bin 'Athiyah berkata, "Tidaklah suatu kaum
membuat kebid'ahan dalam agama mereka kecuali Allah mencabut perkara sunnah
dari mereka yang semisal, dan tidak akan mengembalikannya kepada mereka hingga
hari kiamat." (Al-Hilyah: 6/73)
Bahkan Ayyub Al-Syakhtiyani mengatakan, "Tidaklah
pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh
dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)
Di antara perkara yang paling nampak dari kebid'ahan dari
musim tersebut adalah perbuatan bid'ah yang telah dikerjakan oleh sebagian ahli
ibadah di pelosok negeri pada bulan Rajab. Berikut ini kami tampilkan beberapa
persoalan yang sudah diperbincangkan para ulama untuk mengingatkan umat dari
mengada-adakan perkara baru dalam berislam.
"Tidaklah pelaku bid'ah bersungguh-sungguh dalam
kebid'ahannya kecuali akan menambah jauh dari Allah," (Al-Hilyah: 3/9)
Apakah Rajab memiliki keutamaan khusus dibandingkan bulan
lainnya..??
Ibnul Hajar rahimahullah berkata, "Tidak ada hadits
shahih yang bisa dijadikan hujjah (argument) untuk menunjukkan keutamaan bulan
Rajab baik dengan puasanya, berpuasa pada hari-hari tertentu daripadanya dan
qiyamullail yang khusus di dalamnya. Telah ada orang yang mendahuluiku dalam
memastikan hal itu yaitu Imam Abu Ismail Al-Harawi al-Haafidz, kami telah
meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, begitu juga kami telah meriwayatkan
pula dari yang selainnya." (Tabyin al-'Ajab bimaa Warada fii Fadhli Rajab,
Ibnul Hajar, hal. 6. Lihat pula Al-Sunan al-Mubtadi'aat, Imam al-Syuqairi, hal.
125)
Beliau berkata lagi, "Adapun hadits yang menerangkan
tentang keutamaan Rajab, atau keutamaan shiyamnya, atau puasa pada sebagian
hari darinya sangatlah jelas, yaitu ada dua macam: Dhaif dan maudlu'. . .
" (Al-Tabyiin, hal. 8)
Puasa di Bulan Rajab
Pada dasarnya berpuasa di seluruh bulan dalam setahun
disyari’atkan kecuali ramadhan atau pada waktu-waktu yang dilarang untuk
berpuasa, seperti : dua hari raya, hari-hari tasyriq, hari jum’at. Sedangkan
berpuasa di bulan ramadhan adalah diwajibkan.
Seseorang diperbolehkan berpuasa senin kamis, tiga hari
dalam sebulan, atau puasa Daud pada bulan manapun dalam setahun termasuk
didalamnya bulan rajab. Hal demikian berdasarkan keumuman dalil-dalil yang
menerangkan tentang puasa-puasa sunnah, diantaranya :
1. Diriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi shallallahu
'alaihi wasallam sering berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. Ahmad dengan
sanad shahih)
2. Dari Abu Dzar al Ghifari berkata bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam pernah memerintahkan kami agar berpuasa sebanyak tiga hari
pada setiap bulan, yaitu apa yang dinamakan dengan hari putih; tanggal ketiga
belas, keempat belas dan kelima belas.’ Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda,”Itu semua seperti berpuasa sepanjang waktu.” (HR. An Nasai dan
dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
3. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amar bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam telah bersabda,”Puasa yang paling disukai Allah adalah puasa
Daud dan shalat yang paling disukai Allah adalah shalat Daud. Dia tidur
sepanjang malam, bangun sepertiganya, lalu tidur seperenamnya dan ia berpuasa
satu hari lalu berbuka satu hari.” (HR. Ahmad)
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Nawawi bahwa tidak
ada pelarangan tentang berpuasa di bulan rajab dan juga tidak ada
penganjurannya karena bulan rajabnya itu sendiri akan tetapi berpuasa pada
dasarnya disunnahkan. Didalam sunnan Abu Daud bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam menganjurkan berpuasa di bulan-bulan haram dan rajab adalah
salah satunya. (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi juz VIII hal 56)
Dan tidak didapat riwayat shahih yang menjelaskan tentang
berpuasa rajab dikarenakan keutamaan yang ada didalam bulan itu. Diantara
hadits-hadits itu adalah :
1. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,”Rajab adalah bulan Allah, sya’ban adalah bulanku dan
ramadhan adalah bulan umatku. Barangsiapa yang berpuasa rajab dengan keimanan
dan penuh harap maka wajib baginya keridhoan Allah yang besar, akan ditempatkan
di firdaus yang tertinggi. Barangsiapa yang berpuasa dua hari dari bulan rajab
maka baginya pahala yang berlipat dan setiap takarannya sama dengan berat
gunung-gunung di dunia dan barangsiapa berpuasa tiga hari dari bulan rajab maka
Allah akan menjadikan puasa itu sebuah parit yang lebarnya satu tahun
perjalanan diantara dirinya dengan neraka…” Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits
ini maudlu’ (palsu).
2. Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa yang berpuasa tiga hari dari bulan rajab
maka Allah tetapkan baginya puasa sebulan. Barangsiapa berpuasa tujuh hari dari
bulan rajab maka Allah tutupkan baginya tujuh pintu-pintu neraka. Barangsiapa
yang berpuasa delapan hari dari bulan rajab maka Allah bukakan baginya delapan
pintu-pintu surga dan barangsiapa yang berpuasa setengah bulan rajab maka Allah
tetapkan baginya keredhoan-Nya dan barangsiapa yang ditetapkan baginya
keridhoan-Nya maka Dia tidak akan mengadzabnya. Dan barangsiapa yang berpuasa
selama bulan rajab maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah.” Ibnul
Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak benar karena diantara para perawinya
terdapat Aban. Ahmad, Nasai dan Dauquthni mengatakan bahwa hadits ini tidaklah
diambil karena didalamnya terdapat Amar bin al Azhar. Ahmad mengatakan bahwa
hadits ini maudlu’ (palsu). (Al Maudlu’at juz II hal 205 – 206)
Tentang permasalahan ini, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan
didalam kitabnya “Tabyiinul ‘Ajb” hal 23 bahwa tidak terdapat riwayat tentang
keutamaan dari bulan rajab, tidak puasa di bulan itu, tidak berpuasa sedikit
saja dari bulan itu dan tidak pula mengerjakan qiyamullail yang dikhususkan di
bulan itu.
Ibnul Qayyim mengatakan didalam kitab “al Muniful Manar” hal
151 bahwa seluruh hadits yang menyebutkan bulan rajab, melakukan shalat
disebagian malam-malam di bulan itu maka ia adalah pendusta dan pembohong.”
(Silsilatul Ahaditsil Wahiyah juz II hal 222)
Ibnu Rajab berkata, "Adapun puasa, tidak ada keterangan
yang sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya tentang
keutamaan puasa khusus pada bulan Rajab." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 228)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata mengenai
hadits-hadits tentang kekhususan berpuasa di bulan Rajab, “Seluruh
hadits-haditsnya lemah, bahkan maudlu' (palsu), tidak ada seorang ulama pun
yang bersandar padanya. Hadits-hadits tentang keutamaanya bukan saja dhaif tapi
umumnya termasuk maudlu' dan dusta." . .
Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, dari Ibnu Majah, dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa Beliau melarang puasa di bulan Rajab,
namun dalam isnadnya masih perlu diteliti. Tapi terdapat riwayat shahih bahwa
Umar bin Khathab pernah memukul tangan manusia agar mengambil makanan pada
bulan Rajab dan berkata, "Jangan kalian serupakan dengan Ramadlan . .
sedangkan menghususkan I'tikaf pada tiga bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadlan
saya tidak mengetahui ada perintahnya. Tapi siapa berpuasa yang masyru' dan
ingin beri'tikaf dalam puasanya itu, boleh-boleh saja. Dan jika beri'tikaf
tanpa puasa terdapat dua pendapat yang masyhur menurut ahli ilmu." (Majmu'
Fatawa: 25/290-292)
Bagaimana dengan Shalat Raghaib….??
Terdapat satu riwayat dari Anas, dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam yang menerangkan sifat shalat Raghaib, hanya saja status
riwayat tersebut maudhu' (palsu). Ringkas dari riwayat tersebut sebagai
berikut:
"Tidak ada seorang pun yang berpuasa pada hari Kamis
(yakni Kamis pertama dari bulan Rajab) lalu shalat antara Isya' dan pertengahan
malam, yakni pada malam Jum'at sebanyak 12 rakaat, pada setiap rakaatnya dia
membaca surat Al-Fatihah sekali, surat Al-Qadar 3 kali, dan surat Al-Ikhlash sebanyak dua belas kali; dia
memutus setiap dua rakaat dengan salam. Dan apabila selesai dari shalatnya dia
membaca shalawat atasku (Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) 70 kali, lalu
membaca dalam sujudnya, yang artinya :
"Engkau Dzat yang Mahasuci (dari kekurangan dan hal
tidak layak bagi kebesaran-Mu), Mahaagung, Rabb para malaikat dan Jibril."
Lalu mengangkat kepalanya dan membaca sebanyak 70 kali,
bacaan :
رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَتَجَاوَزَ عَمَّا تَعْلَمُ، إِنَّكَ
أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْأَعْظَمُ
Lalu sujud untuk yang kedua kalinya sambil membaca seperti
yang dibaca pada sujud pertama, kemudian dia meminta hajatnya kepada Allah,
pasti hajatnya akan dikabulkan." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah satu orang
atau satu umat yang shalat dengan shalat ini kecuali Allah akan mengampuni
seluruh dosanya, walaupun seperti buih di lautan, sebanyak bilangan pasir,
seberat gunung, sebanyak daun pepohonan, dan di hari kiamat dia mendapat hak
untuk memberikan syafaat bagi 700 orang dari keluarganya yang seharusnya masuk
ke dalam neraka." (Lihat: Ihya' Ulumid Dien, oleh Imam Al-Ghazali: 1/202
dan Tabyin al-'Ajab, Ibnul Hajar, hal. 22 dan 24)
Para ulama telah
membicarakan tentang shalat Raghaib tersebut. Seperti Imam al-Nawawi
rahimahullah yang menyebutkannya sebagai perkara bid'ah yang buruk dan sangat
munkar, karenanya wajib ditinggalkan dan dijauhi, sedangkan pelakunya wajib
diingkari." (Fatawa al-Imam al-Nawawi, hal. 57)
Ibnu Nuhaas rahimahullah berkata, "Dia adalah bid'ah,
hadits yang menerangkannya adalah maudlu' (palsu) berdasarkan kesepakat ulama
ahli hadits." (Tambih al-Ghafilin, hal. 497)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Adapun Shalat
Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia perkara yang diada-adakan dan tidak
disunnahkan baik terhadap jama'ah atau perorangan. Sungguh telah disebutkan
dalam Shahih Muslim, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang untuk
menghususkan malam Jum'at dengan shalat malam dan pagi harinya dengan berpuasa.
Sedangkan atsar yang menyebutkan tentangnya adalah dusta dan palsu dengan
kesepakatan ulama, dan tiada seorangpun dari ulama salaf dan para imam yang
menyebutkan dasarnya." (Majmu' Fatawa Libni Taimiyyah: 23/132, 134, dan
135)
Imam al-Thurthusyi telah menyebutkan awal munculnya shalat
ini, sebagaimana yang beliau sandarkan kepada Abu Muhammad al-Maqdisi, bahwa
pada awalnya di Baitul Maqdis tidak didapati shalat model ini (shalat Raghaib)
yang dikerjakan pada bulan Rajab dan Sya'ban. Perkara ini pertama kali terjadi
pada tahun 448 Hijriyah. Pada saat itu ada seorang laki-laki yang dikenal
dengan Ibnu Abil Hamra' yang memiliki bacaan bagus. Dia shalat di Masjid
al-Aqsha pada malam nisfu Sya'ban . . .
sampai ucapan dari Abu Muhammad, "Adapun shalat Rajab tidak
didapati di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 Hijriyah, yang sebelum itu
kami tidak pernah melihat dan mendengar di sana." (Al-Haqadits wa al-Bida': hal.
103)
Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu'aat, Al-Hafidz Abul Khuthab, Abu
Syamah, Ibnul Haajj, Ibnu Rajab, dan yang lainnya telah memastikan kemaudhu'an
(palsunya) riwayat tentang shalat Raghaib. (Lihat Al-Baa'its 'ala Inkaril Bida'
wal Hawadits, hal. 61, 62, 105; Lathaif al-Ma'arif, hal. 228 dan lainnya)
Walau demikian, banyak para tokoh dan pemimpin muslim yang
tetap melestarikan ibadah bid'ah ini dengan alasan untuk menjaga perasaan orang
awam dan supaya mereka tetap mau meramaikan masjidnya. Padahal siapa yang
meyakini keabsahan shalat ini atau menganjurkannya maka dia telah menipu orang
awam yang seharusnya dia beri petunjuk tentang hakikat yang sebenarnya dan juga
telah berlaku mendustakan syariat.
Adapun Shalat Raghaib: tidak ada dasarnya, bahkan dia
perkara yang diada-adakan dan tidak disunnahkan baik terhadap jama'ah atau
perorangan. (Ibnu Taimiyah)
Isra' dan Mi'raj
Di antara Mu'jizat yang dialami Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam adalah di-Isra'kannya beliau dari masjidl Haram menuju masjid
al-Aqsha, kemudian di-Mi'rajkan menuju langit ke tujuh. Hampir di seluruh
negeri muslim, terdapat perayaan peringatan malam Isra'-Mi'raj yang
dilaksanakan pada malam ke-27 dari bulan Rajab, padahal peristiwa Isra' Mi'raj
tidaklah terjadi pada malam tersebut.
Ibnul Hajar berkata, "Sebagian ahli kisah menuturkan
peristiwa Isra' terjadi pada bulan Rajab." Beliau berkata, "Dan itu
bohong," (Tabyin al-Ajab, hal. 6). Ibnu Rajab berkata, "Telah
diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih, dari al-Qasim bin Muhammad bahwa
Isranya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi pada tanggal 27 Rajab, dan
(kesimpulan ini) telah diingkari oleh Ibrahim al Harbi dan lainnya." (Zaad
al-Ma'ad, Ibnul Qayyim: 1/275)
Ibnul Hajar telah menyebutkan dalam Fathul Baari (7/242-243)
beberapa pendapat tentang bulan terjadinya Mi'raj: Rajab, Rabi'ul Awal,
Ramadlan, atau Syawal.
Ibnu Taimiyah juga pernah menyebutkan bahwa tidak ada dalil
pasti yang menerangkan tentang bulannya dan tanggalnya. Pendapat dalam hal itu
sangat banyak dan beragam, tidak ada yang dikuatkan. (Lihat Lathaif al-Ma'ruf,
Ibnu Rajab, hal. 233)
Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj,
maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan
perilaku tertentu. Sebabnya, karena tidak ada keterangan bahwa Nabi, atau para
sahabat, atau Tabi'in mengistimewakan malam tersebut atas yang lainnya. Apalagi
dengan mengadakan perayaan untuk memperingatinya, padahal perayaan tersebut
termasuk bid'ah yang munkar.
Dan seandainya diketahui kepastian malam Isra' dan Mi'raj,
maka tidak disyariatkan bagi seseorang mengistimewaknnya dengan ibadah dan
perilaku tertentu.
Menyembelih di bulan Rajab
Pada dasarnya, menyembelih hewan untuk Allah pada bulan
Rajab secara umum tidak dilarang, sebagaimana menyembelih pada bulan selainnya.
Tapi, orang-orang jahiliyah biasa melakukan korban (penyembelihan) yang disebut
dengan 'Athirah. Karenanya para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, namun
mayoritas mereka menyatakan bah hal itu telah dibatalkan oleh Islam berdasarkan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam Shahihain, dari Abu Hurairah
radliyallah 'anhu, "Tidak ada Fara' (anak pertama dari unta atau kambing
yang disembelih sebagai persembahan bagi berhala) dan 'Athirah (hewan yang
disembelih pada sepuluh hari pertama dari bulan Rajab sebagai persembahan bagi
berhala, juga dikenal dengan Rajabiyah)."
Sebagian yang lain berpendapat tetap menggapnya sebagai
sunnah. Dasarnya, beberapa hadits yang menunjukkan dibolehkannya. Hal ini
dijawab, bahwa hadits Abu Hurairah radliyallah 'anhu lebih shahih dan kuat,
maka ia yang lebih layak diamalkan. Bahkan ada sebagian ulama, seperti Ibnul
Mundzir menyatakan hadits-hadits tersebut telah dinaskh (dihapus), karena masuk
Islamnya Abu Hurairah yang belakangan. Maka dibolehkannya menyembelih hewan
dalam rangka ta'abbudan (ibadah) pada awal Islam, lalu dinaskh, dan ini adalah
pendapat yang lebih rajih. (Lihat Lathaif al-Ma'arif, hal. 227 dan Al-I'tibaar
fin Naasikh wal Mansukh minal Atsar, Imam Al-Hazimi, hal. 388-390)
Imam Al-Hasan al-Bashri berkata, "Di dalam Islam tidak
ada 'Athirah, sesungguhnya 'Athirah pada zaman jahiliyah, salah seorang mereka
berpuasa dan ber'Athirah." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)
Ibnu Rajab menyerupakan penyembelihan di bulan Rajab dengan
mengadakan hari tertentu dari bulan Rajab untuk berpesta dengan makan manisan
dan semisalnya. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma, dia
tidak suka Rajab dijadikan hari raya." (Lathaif al-Ma'arif, hal. 227)
Umrah di bulan Rajab
Sebagain orang sangat bersemangat melakukan umrah pada bulan
Rajab dengan keyakinan bahwa umrah pada bulan itu memiliki keistimewaan yang
lebih. Keyakinan ini tidak memiliki dasar dalil. Imam Bukhari telah
meriwayatkan dari Ibnu Umar radliyallahu 'anhuma, berkata: "Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melakukan umrah sebanyak empat
kali, salah satunya di bulan Rajab."
Maka Aisyah berkata, "Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman,
Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia
ikut serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab."
(HR. Bukhari dalam Shahihnya no. 1776)
Hal ini menunjukkan bahwa Aisyah sepakat dengan Ibnu Umar
tentang jumlah umrahnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yaitu empat kali.
Namun beliau tidak sepakat dengan Ibnu Umar tentang penetapan bulan umrahnya
shallallahu 'alaihi wasallam. Aisyah menganggap Ibnu Umar lupa, karenanya
beliau radliyallah 'anha menyatakan bahwa Ibnu Umar senantiasa ikut serta
menemani Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam umrahnya, namun beliau tidak
pernah berumrah pada bulan Rajab.
Ibnul 'Aththar berkata, "Kabar yang sampai kepadaku
tentang penduduk Makkah (semoga Allah menambah kemuliaan Makkah) tentang
kebiasaan mereka memperbanyak (menyeringkan) umrah pada bulan Rajab, dan
kebiasaan ini adalah persoalan yang saya tidak mengetahui dasar
(dalil)nya." (Al-Musajalah Baina Al-'Izz bin Abdissalam wa Ibnus Shalah,
hal. 56. Lihta juga : Fatawa al-Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 6/131)
Al-Allamah Ibnu Bazz (dalam Fatawa Islamiyah, dikoleksi
Prof. Muhammad: 2/303-304) menuturkan tentang waktu yang paling afdhal untuk
melaksanakan umrah: Bulan Ramadlan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam, "Umrah di Bulan Ramadlan menyamai haji," setelah itu, Umrah
di bulan Dzul Qa'dah, karena seluruh umrah beliau shallallahu 'alaihi wasallam
dilaksanakan pada bulan Dzul Qa'dah. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu." (QS. Al-Ahzab: 21)
"Semoga Allah merahmati Abu Abdirrahman, Tidaklah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan umrah kecuali dia ikut
serta, dan sama sekali beliau tidak pernah umrah di bulan Rajab." (HR.
Bukhari dari perkataan Aisyah)
"Perkataan tidak bisa tegak tanpa amal. Perkataan dan
amal tidak bisa tegak tanpa niat. Dan perkataan, amal, dan niat tidak bisa
tegak kecuali sesuai dengan sunnah." (Al-Ibanah al-Kubra, Ibnu Baththah:
1/333)
Wallahu’alam bishowab.