AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Kamis, 28 Agustus 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-9.

"Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Penjelasan:



Bukhari dan Muslim sama-sama mengeluarkan hadits ini. Redaksi di atas terdapat dalam riwayat Muslim dalam Kitabul Fadha'il [1737]. Sebab disabdakannya hadits ini diterangkan dalam riwayat Muslim dalam Kitabul Hajj [1337] dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyampaikan khutbah kepada kami. Beliau bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian. Maka berhajilah." Seorang lelaki berkata: "Setiap tahunkah wahai Rasulullah.?" Beliau diam, dan lelaki itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seandainya aku mengatakan Ya, niscaya akan wajib (setiap tahun) dan pasti kalian tidak mampu." Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Diamkanlah apa yang aku diamkan kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi mereka. Maka jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu, lakukanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah."



Dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian." Mengikuti perintah dibatasi dengan kemampuan, namun tidak dengan larangan. Sebab sebuah larangan merupakan sesuatu yang ditinggalkan, dan meninggalkan sesuatu adalah satu hal yang mampu dilakukan. Karena seseorang mampu untuk tidak melakukan. Sedangkan perintah diikat dengan kemampuan, sebab sebuah perintah membebani untuk dilakukan, dan seseorang bisa melakukannya dan bisa pula tidak mampu melakukannya. Sehingga seseorang melakukan apa yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan kemampuannya. Misalnya ketika minuman keras dilarang, orang yang dilarang mampu untuk tidak meminumnya. Shalat diperintahkan untuk dilakukan, seseorang melakukannya sesuai kemampuannya. Yaitu dengan cara berdiri, jika dia tidak mampu maka dia boleh duduk, jika tidak mampu duduk maka boleh sambil berbaring. Satu contoh konkrit yang bisa memperjelas hal ini adalah jika dikatakan kepada seseorang: "Jangan engkau masuk melalui pintu ini!" maka dengan mudah dia tidak memasukinya, karena meninggalkan. Tapi jika dikatakan kepadanya: "Angkatlah batu besar ini!" Bisa jadi dia mampu dan bisa pula tidak mampu, karena hal tersebut melakukan.



Meninggalkan larangan berlaku berdasarkan keumumannya tanpa pengecualian, terkecuali dalam keadaan darurat. Seperti memakan bangkai untuk melangsungkan hidup atau mendorong sesuatu yang menyumbat pada kerongkongan dengan meneguk sedikit minuman keras (tanpa ada air minum sedikitpun ditempat hidupnya).



Larangan yang wajib dijauhi adalah larangan yang bersifat haram. Adapun larangan yang bersifat makruh bisa dilakukan, meskipun meninggalkannya lebih utama dari pada melakukannya.



Sebuah perintah dilaksanakan oleh seorang mukallaf sebatas kemampuannya. Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang diluar batas kemampuannya. Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu dengan sempurna, maka dia boleh melakukannya kurang dari sempurna. Seperti jika seseorang tidak mampu shalat dengan berdiri, maka dia boleh shalat sambil duduk. Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu yang wajib dengan sempurna, maka dia boleh melakukannya sebatas kemampuannya. Seperti jika seseorang tidak memiliki air yang cukup untuk berwudhu (tidak ada lagi air disekitarnya), maka dia bisa wudhu dengan air sedikit yang dimilikinya itu, adapun sisanya dia bertayammum. Jika seseorang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah satu sha' dan hanya mampu mengeluarkan separuhnya, maka dia boleh mengeluarkan yang hanya separuhnya itu.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka." Pertanyaan yang dilarang dalam hadits ini adalah hal-hal yang jika ditanyakan pada zamannya akan menyebabkan turun hukum haram disebabkan oleh pertanyaannya. Atau turun hukum mewajibkan sesuatu yang sangat memberatkan dan bisa jadi tidak mampu untuk dilakukan, seperti haji setiap tahun. Adapun pertanyaan yang dilarang setelah beliau meninggal adalah pertanyaan yang mengada-ada, berlebihan dan menyibukkan dari hal yang lebih penting.



Ibnu Rajab berkata dalam Jami'ul 'Ulum Wal Hikam [I/248-249]: "Dalam hal ini manusia terbagi menjadi beberapa bagian: Diantara pengikut Ahli Hadits ada yang menutup pintu pertanyaan sehingga pemahaman dan ilmunya sedikit tentang batasan-batasan dari apa yang diturunkan oleh Allah atas Rasul-Nya, sehingga dia menjadi pembawa ilmu yang tidak alim.



Diantara para fuqaha' Ahli Ra'yi ada yang terlalu luas memperlebar masalah sebelum terjadinya, ada yang biasa terjadi dan ada pula yang tidak biasa terjadi. Mereka sibuk dengan bergelut mencari jawabannya, banyak terjadi perseteruan dan perdebatan karenanya. Hingga timbul perseteruan bathin tanpa henti disebabkan oleh hawa nafsu, permusuhan dan kebencian. Sering ditambah pula dengan niat untuk menang, mencari popularitas dan meraih simpati. Inilah diantara hal yang dicela oleh para ulama rabbani. As-Sunnah telah memberikan petunjuk tentang apa-apa keburukannya dan apa-apa keharamannya.



Adapun para fuqaha Ahli Hadits yang mengamalkan hadits, ambisi utama mereka adalah membahas makna Kitabullah dan tafsirnya dari hadits-hadits yang shahih serta ucapan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan. Mereka membahas pula tentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan mengetahui mana yang kuat dan mana yang lemah. Kemudian dipelajari, difahami dan diamalkan. Kemudian mempelajari ucapan para shahabat dan tabi'in dalam berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, masalah halal dan haram, pokok-pokok sunnah, zuhud, raqa'iq (pelembut hati) dan lainnya. Inilah dia jalan yang ditempuh oleh Imam Ahmad beserta orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan ulama hadits rabbani. Mempelajari semua ini akan mengesampingkan kesibukan yang rasio yang dibuat-buat yang tidak bisa diambil manfa'atnya dan tidak terjadi. Membicarakannya hanya akan menyisakan perseteruan, perdebatan dan banyaknya ucapan tidak karuan, yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya. Imam Ahmad sering jika ditanya tentang suatu masalah yang dibuat-buat tanpa pernah terjadi, dia berkata: "Tidak usah tanya kami masalah-masalah muhdats seperti ini."



Selanjutnya dia berkata: "Barangsiapa yang menempuh jalan penuntut ilmu seperti yang kami sebutkan, maka pada umumnya dia akan mampu menjawab peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. Sebab sudah ada dasarnya pada ushul (pokok) yang telah disebutkan tadi. Menjalani jalan ini harus mengikuti para Imam yang dikenal sebagai ahlinya dan disepakati kelurusan dan keilmuan mereka. Seperti Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid beserta orang-orang yang meniti jalan mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mengaku meniti jalan ini tanpa melalui jalan mereka, maka dia akan jatuh kedalam jurang kebinasaan. Dia akan mengambil apa yang tidak boleh diambil dan meninggalkan apa yang wajib diamalkan. Kesimpulannya adalah meniatkan semua itu karena Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mempelajari apa yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, meniti jalannya, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka Allah akan memberinya taufik, kekuatan, ilham dan ilmu terhadap apa yang sebelumnya tidak dia ketahui. Dan dia termasuk dalam deretan ulama yang dipuji dalam Kitabullah, pada firman Allah Ta'ala:



"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara  hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama."
(QS. Fathir: 28).



Dan dia akan termasuk deretan ulama yang mendalam ilmunya."



Selanjutnya dia berkata: "Kesimpulannya, barangsiapa yang mengikuti perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits ini, meninggalkan apa yang beliau larang dan menyibukkan diri dengannya tanpa yang lainnya, niscaya dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal ini dan sibuk dengan pikiran serta hal-hal yang dianggap baik oleh rasionya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang telah diperingatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu bagaimana Ahli Kitab binasa karena banyak bertanya tentang yang tidak berguna, menyelisihi para nabi mereka dan tidak taat kepada mereka."



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Wajib meninggalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.



2. Wajib melakukan segala apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam.



3. Peringatan terhadap keterjerumusan ke dalam apa yang Ahli Kitab terjerumus kedalamnya dan menjadi sebab kebinasaan mereka.



4. Seseorang tidak diwajibkan lebih dari batas kemampuannya.



5. Barangsiapa yang tidak mampu melakukan sebagian perintah maka cukup baginya untuk melakukan apa yang ia mampu darinya.



6. Mencukupkan diri dengan masalah yang dibutuhkan, tidak mengada-ada ataupun berlebihan dalam bertanya.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

SYARAH HADITS ARBA’IN AN NAWAWI, Hadits ke-8

"Dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Ta'ala."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Aku diperintahkan." Yang memerintahkan Rasulullah adalah Allah, sebab tidak ada yang memerintahkan beliau selain-Nya. Adapun jika seorang shahabat berkata: "Kami diperintah" atau "Kami dilarang", maka yang memerintah dan melarang mereka adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.



Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dan diganti oleh Abu Bakar radhiyallahu 'anhu sebagai khalifah, sebagian bangsa Arab murtad dan menolak menunaikan zakat, Abu Bakar radhiyallahu 'anhu bertekad untuk memerangi mereka. Dengan dasar bahwa diantara hak dua kalimat syahadat adalah menunaikan zakat, tanpa mengetahui hadits yang menambahkan shalat dan zakat setelah dua kalimat syahadat seperti dalam hadits ini. Umar mendebatnya dalam masalah ini. Debat mereka berdua disebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim [20], dia berkata: "Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meninggal, Abu Bakar menjadi Khalifah setelahnya. Murtadlah orang-orang yang murtad dari bangsa Arab. Umar bin Khaththab berkata kepada Abu Bakar: "Kenapa engkau memerangi mereka, sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda:



"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah. Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah maka darah dan harta mereka akan terlindungi dariku kecuali dengan haq dan perhitungan mereka ada pada Allah Ta'ala."



Abu Bakar berkata: "Demi Allah, aku pasti akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Sesunguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak membayar zakat yang dulu mereka bayar kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, niscaya aku pasti akan memerangi mereka karenanya." Umar bin Khaththab berkata: "Demi Allah, sesungguhnya aku mendapati bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melapangkan Abu Bakar untuk berperang. Akupun tahu bahwa dia benar."



Al-Hafidzh berkata dalam Al-Fath [I/76]: "Sebagian meragukan kebenaran hadits ini. Sebab jika hadits di atas diriwayatkan oleh Umar, niscaya dia tidak akan membiarkan ayahnya membantah Abu Bakar tentang memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat. Seandainya mereka mengetahuinya niscaya Abu Bakar tidak mungkin membenarkan Umar berdalil dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: "Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan Laa ilaaha illallaah," lalu berpindah dari hadits ini berdalil dengan qiyash. Yaitu dia berkata: "Aku pasti akan memerangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat." Sebab keduanya bergandengan dalam Al-Qur'an.



Jawaban atas hal ini adalah: Bukanlah sebuah keharusan jika hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Umar lalu dia mengingatnya diwaktu itu. Jika dia mengingatnya, bisa jadi pula dia tidak ada disaat kejadian. Tidak menutup kemungkinan pula jika dia mengingatkan mereka dengan hadits itu setelah itu. Dan Abu Bakar tidaklah berdalil dengan qiyash saja, sebaliknya dia juga mengambil dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam yang dia riwayatkan, yaitu: "Kecuali dengan hak Islam." Abu Bakar berkata: "Zakat adalah hak Islam." Ibnu Umar tidaklah sendiri dalam meriwayatkan hadits diatas, namun diriwayatkan pula oleh Abu Hurairah dengan tambahan shalat dan zakat di dalamnya.



Keumuman memerangi manusia hingga melakukan perkara-perkara yang disebut oleh hadits ini dikecualikan atas Ahli Kitab jika mereka membayar jizyah (upeti) berdasarkan dalil Al-Qur'an, demikian pula selain ahli kitab jika membayar jizyah berdasarkan dalil dari As-Sunnah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Buraidah bin Hushaib yang panjang dalam Shahih Muslim [1731], di awalnya disebutkan: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam jika menunjuk seorang panglima pasukan besar atau kecil, beliau mewasiatkan untuk pribadinya agar bertakwa dan mewasiatkan kepada pasukannya dengan kebaikan..." (Al-Hadits).



Cukup dua kalimat syahadat untuk memeluk Islam. Dua kalimat syahadat merupakan kewajiban pertama bagi seorang yang mukallaf. Ibnu Daqiq al-Id berkata ketika menjelaskan hadits ini: "Hadits ini mengandung dalil yang jelas bagi madzhab para ulama muhaqqiq dan mayoritas salaf dan khalaf bahwa seseorang jika meyakini agama Islam dengan kuat tanpa ada keraguan, maka sudah cukup itu baginya.



Perang atas orang yang menolak zakat dilakukan jika dia menolak dan melawan dengan perang. Adapun jika tidak melawan, maka zakat diambil dengan paksa darinya.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Dan perhitungan mereka ada pada Allah Ta'ala." Yaitu barangsiapa yang menampakkan keislaman dan mengucapkan dua kalimat syahadat, maka harta dan darahnya terlindungi. Jika dia jujur secara lahir dan bathin, maka hal itu akan bermanfa'at baginya di dunia dan di akhirat. Namun jika bathinnya berbeda dengan lahirnya, maka dia seorang munafik dan dia termasuk penghuni neraka paling bawah.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Perintah untuk berperang demi terciptanya dua kalimat syahadat, shalat dan zakat.



2. Dimutlakkannya perbuatan atas ucapan, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Jika mereka melakukan itu" dan apa yang disebut sebelumnya adalah dua kalimat syahadat, dan keduanya adalah ucapan.



3. Penetapan Hisab atas segala perbuatan pada hari kiamat.



4. Barangsiapa yang menolak membayar zakat, maka dia diperangi karenanya sampai dia mau membayarnya.



5. Barangsiapa yang menampakkan keislaman, maka hal itu diterima darinya. Adapun hakikat perkaranya diserahkan kepada Allah.



6. Dua kalimat syahadat saling berkaitan satu sama lain, keduanya harus ada secara bersamaan.



7. Penjelasan tentang keagungan shalat dan zakat. Shalat adalah hak badan, dan zakat adalah hak harta.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Jumat, 22 Agustus 2014

SYARAH HADITS ARBA’IN AN NAWAWI, Hadits ke-7.

Hadits ke-7:



"Dari Abu Ruqayah Tamim ad-Daari radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agama adalah nasihat." Kami berkata: "Kepada siapa?" Beliau bersabda: "Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Penjelasan:



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Agama adalah nasihat." ini merupakan kalimat yang bersifat universal, menunjukkan pentingnya nasihat dalam agama ini. Bahwasanya nasihat adalah asas dan pilarnya. Tercakup di dalamnya perkara-perkara yang disebutkan dalam hadits Jibril, yaitu penafsiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang Islam, Iman dan Ihsan, dan beliau menyebutnya sebagai agama. Beliau bersabda: "Itu adalah Jibril. Dia datang untuk mengajari kalian agama kalian." Serupa dengan kalimat ini sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:



"Haji itu adalah Arafah."



Sebab Wukuf di Arafah merupakan rukun paling agung dalam ibadah haji, haji akan batal jika tidak melakukannya.



Disebutkan dalam Mustakhraj Abu Awanah bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam mengulangi kalimat: "Agama adalah nasihat." sebanyak tiga kali. Namun riwayat di dalam Shahih Muslim tanpa pengulangan. Ketika para shahabat mendengarkan perhatian terhadap nasihat ini serta kedudukannya yang agung ini, mereka bertanya: "Bagi siapa wahai Rasulullah?" Beliaupun menjawab mereka dengan lima perkara yang tersebut dalam hadits. Para ulama telah menjelaskan lima perkara ini. Di antaranya yang paling bagus adalah penjelasan  Abu Amru bin Shalah dalam kitabnya Shiyanatu Shahih Muslim Minal Ikhlal wal Ghalath Wa Himayatuhu Minal Isqath Was Saqath, dia berkata (Halaman 223-224): "Nasihat merupakan kalimat universal, cakupannya adalah seorang yang memberikan nasihat melakukan berbagai kebaikan dengan niat dan perbuatan kepada orang yang dinasihatinya. Sehingga nasihat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah mentauhidkan-Nya, mensifati-Nya dengan sifat-sifat sempurna dan mulia, mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang berlawanan dan bertentangan dengan sifat-sifat sempurna dan mulia, menghindari maksiat kepada-Nya, melaksanakan ketaatan kepada-Nya dengan ikhlas, cinta karena-Nya dan benci karena-Nya, jihad melawan orang-orang yang kafir kepada-Nya dan semisalnya, serta mengajak kepada semua itu.



Adapun nasihat kepada Kitabullah adalah mengimaninya, memuliakannya, mensucikannya, membacanya dengan benar, menjalankan perintah dan menjauhi larangannya, mempelajari maknanya dan perumpamaan-perumpamaan yang dikandungnya, merenungi ayat-ayatnya, menyeru kepadanya, melawan penyelewengan orang-orang yang melampaui batas dan celaan orang-orang yang menyimpang darinya. Adapun nasihat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mirip dengan yang telah disebutkan tersebut. Yaitu mengimaninya beserta apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bawa, memuliakannya, berpegang teguh kepada ketaatan kepadanya, menghidupkan sunnahnya, mempelajari ilmu-ilmu yang dikandung sunnah beliau dan menyebarkannya, memusuhi orang-orang yang memusuhinya, mencintai orang-orang yang mencintainya, berhias dengan akhlaq dan adab-adabnya, mencintai keluarga dan para shahabatnya dan lain-lainnya.



Adapun nasihat kepada para imam kaum muslimin, yaitu para pemimpin mereka adalah tolong-menolong bersama mereka diatas kebenaran dan mentaati mereka di dalamnya, mengingatkan mereka dengan lemah lembut, menghindari pemberontakan terhadap mereka, mendo'akan mereka taufik dan mengajak orang lain untuk melakukan semua itu. Dan nasihat bagi seluruh kaum muslimin -yaitu selain para pemimpin- adalah membimbing mereka menuju maslahat mereka, mengajari mereka ajaran agama dan dunia, menutupi aib mereka, menutupi kekurangan mereka, menolong mereka atas musuh mereka, membela mereka, tidak menipu dan mendengki mereka, mencintai untuk mereka apa yang dicintai untuk diri sendiri, membenci untuk mereka apa yang dibenci untuk diri sendiri dan sejenisnya."



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Penjelasan tentang agungnya kedudukan nasihat dalam agama ini.



2. Keterangan tentang untuk siapakah nasihat.



3. Anjuran untuk memberikan nasihat dalam kelima perkara yang tersebut dalam hadits.



4. Semangat para shahabat untuk mengenal perkara-perkara agama. Yaitu dengan bertanya untuk siapakah nasihat.



5. Agama dimutlakkan atas amal. Sebab dalam hadits ini nasihat disebut sebagai agama.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Jumat, 15 Agustus 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-6

Hadits ke-6:



"Dari Abu Abdillah Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak. Maka siapa yang melindungi dirinya dari perkara syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan dan wilayah larangan Allah adalah segala apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwasanya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Penjelasan:



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Diantara keduanya terdapat perkara-perkara yang syubhat (samar-samar) yang tidak diketahui oleh orang banyak." Di dalamnya terdapat pembagian segala sesuatu menjadi tiga bagian:



Pertama: Hal-hal yang jelas kehalalannya. Seperti biji-bijian, buah-buahan dan hewan ternak jika tidak dihasilkan dengan cara yang haram.



Kedua: Hal-hal yang jelas keharamannya. Seperti minum khamer, makan bangkai dan menikahi mahram. Ini diketahui oleh orang yang berilmu maupun yang awam.



Ketiga: Perkara samar-samar antara halal dan haram. Tidak termasuk perkara yang jelas kehalalannya dan tidak termasuk pula perkara yang jelas keharamannya. Ini tidak diketahui oleh banyak orang, hanya diketahui oleh sebagian mereka.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Maka siapa yang melindungi dirinya dari perkara syubhat berarti dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus kedalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya di sekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka lambat laun dia akan memasukinya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah larangan dan wilayah larangan Allah adalah segala apa yang diharamkan-Nya." Ini termasuk dalam bagian ketiga, yaitu perkara yang samar-samar. Jika dijauhi maka akan mendatangkan keselamatan bagi agama seseorang -yaitu hubungan antara dia dengan Allah- serta keselamatan bagi kehormatannya -yaitu hubungan antara dia dengan manusia- sehingga manusia tidak punya jalan untuk menodai kehormatannya. Jika seseorang menganggap remeh menyentuh perkara syubhat, maka hal itu akan menyeretnya ke dalam perkara haram yang nyata. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah membuat permisalan dalam hal ini. Yaitu seperti seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah larangan. Jika dia jauh dari tempat terlarang tersebut, niscaya dia akan selamat dari masuknya hewan gembalaannya ke dalam daerah terlarang tersebut. Namun jika dia dekat dengan tempat tersebut, niscaya lambat laun gembalaannya akan masuk ke dalamnya tanpa dia sadari.



Yang dimaksud dengan Hima (daerah larangan) adalah tanah subur yang ditutup oleh para raja dan lainnya. Mereka melarang orang lain untuk mendekatinya. Sehingga orang yang menggembala disekitarnya lambat laun akan memasukinya, berarti dia telah menghadapkan dirinya kepada hukuman. Dan daerah larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah perkara-perkara yang telah diharamkan-Nya. Maka seseorang wajib menjauh darinya. Dia wajib pula menjauh dari perkara-perkara tidak jelas yang bisa membawa kepada perkara-perkara yang diharamkan.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Ketahuilah bahwasanya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika dia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika dia buruk, maka buruklah seluruh tubuh; ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." Mudhghah adalah segumpal daging seukuran kunyahan manusia. Ini mengandung penjelasan tentang besarnya kedudukan hati di dalam jasad. Hati adalah raja bagi semua anggota tubuh. Semua anggota tubuh akan baik jika dia baik, dan rusak jika dia rusak.



An-Nawawi rahimahullah berkata: "Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka akan terjerumus dalam perkara yang diharamkan." (Maknanya) memiliki dua kemungkinan:



Pertama: Dia terjerumus ke dalam perkara haram, sedang dia menyangkalnya tidak haram.



Kedua: Artinya dia dekat untuk terjerumus ke dalam perkara haram. Sebagaimana dikatakan: Maksiat merupakan pengantar menuju kekufuran. Sebab jika jiwa telah melakukan penyimpangan, dia akan berpindah menuju kerusakan yang lebih besar. Sehingga dikatakan bahwa hal ini diisyaratkan oleh firman Allah Ta'ala:



"Dan mereka membunh para Nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas."
(QS. Ali Imran: 112).



Maksudnya mereka mulai dengan berbuat maksiat kemudian meningkat hingga membunuh para nabi. Di dalam hadits disebutkan:



"Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebutir telur lalu tangannya dipotong karenanya. Dan dia mencuri tali sehingga tangannya dipotong karenanya."



Artinya dia mulai dengan mencuri telur lalu meningkat hingga mencuri tali.



Nu'man bin Basyir radhiyallahu 'anhu termasuk shahabat generasi belia. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam meninggal ketika umurnya masih delapan tahun. Ketika meriwayatkan hadits ini, dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ." Ini menunjukkan sahnya apa yang diemban oleh seorang anak kecil yang telah mencapai usia tamyiz. Apa yang dia emban waktu kecil lalu dia tunaikan ketika dewasa adalah diterima. Demikian pula seorang kafir jika mengemban sesuatu waktu kafir, lalu dia menunaikannya ketika masuk Islam (maka apa yang ditunaikannya tersebut diterima).



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Keterangan tentang pembagian segala sesuatu dalam syari'at ini menjadi perkara yang jelas kehalalannya, perkara yang jelas keharamannya dan perkara samar-samar antara keduanya.



2. Perkara syubhat ini tidak diketahui oleh banyak orang dan sebagian mereka mengetahui hukumnya dengan dalilnya.



3. Perkara syubhat harus ditinggalkan sampai diketahui kehalalannya.



4. Membuat contoh untuk menetapkan makna yang dimaksud dengan memperumpamakannya dengan sesuatu yang konkrit.



5. Jika seorang insan terjerumus ke dalam perkara syubhat, maka dengan mudah dia akan terjerumus ke dalam perkara haram yang nyata.



6. Penjelasan tentang besarnya kedudukan hati. Semua anggota tubuh tunduk kepadanya. Semuanya baik jika ia baik, dan rusak jika ia rusak.



7. Kerusakan lahiriyah menunjukkan kerusakan bathin.



8. Menjauhi syubhat memberikan perlindungan kepada seseorang atas agamanya dari kekurangan, dan perlindungan terhadap kehormatannya dari aib dan cela.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Kamis, 07 Agustus 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-5

Hadits Ke-5:



"Dari Ummul Mu'minin; Ummu Abdillah; Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal) darinya, maka dia tertolak."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Penjelasan:



Dalam riwayat Muslim: "Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka dia tertolak."



Hadits ini merupakan neraca bagi amal lahiriyah. Bahwasanya sebuah amal tidak dianggap melainkan sejalan dengan syari'at. Sebagaimana hadits (Innamal a'malu binniyyati) merupakan pokok bagi amal bathin. Bahwasanya semua amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas kepada Allah dan pelakunya harus menghayati niatnya.



Jika ibadah-ibadah seperti wudhu', mandi junub, shalat dan lainnya dilakukan dengan tata cara yang menyelisihi syari'at maka semuanya tidak diterima dari pelakunya dan tidak dianggap (sah). Sesungguhnya sesuatu yang diambil dengan akad yang rusak harus dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak bisa dimiliki (oleh pihak kedua). Hal ini ditunjukkan oleh kisah seorang pekerja di mana Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada ayahnya:



"Adapun budak wanita dan kambing-kambing itu dikembalikan kepadamu."
(HR. Bukhari [2695] dan Muslim [1697]).



Hadits ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang membuat sebuah bid'ah yang tidak memiliki asal dalam syari'at maka hal tersebut tertolak, dan pelakunya mendapatkan ancaman. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang kota Madinah:



"Barangsiapa yang membuat perkara baru di dalamnya atau melindungi orang yang membuat perkara baru, maka dia mendapatkan laknat dari Allah dan para malaikat serta manusia semuanya."
(HR. Bukhari [1870] dan Muslim [1366].



Riwayat kedua yang dikeluarkan oleh Muslim lebih umum dari pada riwayat pertama yang sama-sama dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Sebab riwayat pertama tersebut mencakup orang yang melakukan bid'ah, baik dia sendiri yang mengada-adakannya atau ada orang lain sebelumnya yang mengada-adakannya dan dia mengikutinya.



Makna (radd) dalam hadits ini adalah (mardud 'alaih). Ini salah satu bentuk penggunaan mashdar untuk makna isim maf'ul [Radd adalah mashdar (kata dasar) yang artinya penolakan. Sedangkan Mardud 'alaih adalah isim maf'ul (obyek) yang artinya ditolak].



Tidak tercakup oleh hadits ini apa-apa yang menjadi maslahat untuk menjaga agama, atau menjadi media untuk memahami dan mengenal agama. Seperti mengumpulkan Al-Qur'an dalam mushaf, menyusun ilmu bahasa dan nahwu, dan lainnya.



Hadits ini secara mutlak menunjukkan bahwa semua amal yang menyelisihi syari'at adalah tertolak, meskipun tujuan pelakunya baik. Ini diisyaratkan oleh kisah seorang shahabat yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Ied. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam berkata padanya:



"(Daging) kambingmu adalah daging biasa."
(HR. Bukhari [955] dan Muslim [1961]).



Konteks hadits ini menunjukkan bahwa semua amal yang tidak didasari oleh syari'at adalah tertolak. Kemudian makna tersirat hadits ini menunjukkan bahwa setiap amal yang berdasarkan perintah syari'at tidaklah tertolak. Artinya barangsiapa yang amalnya berjalan dibawah hukum-hukum syari'at dan selaras dengannya maka amal tersebut diterima. Sebaliknya barangsiapa yang keluar dari itu maka amalnya tertolak.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Diharamkannya membuat bid'ah dalam agama.



2. Amal yang terbangun diatas bid'ah tidak diterima dari pelakunya.



3. Konsekuensi sebuah larangan adalah rusaknya perkara yang dilarang tersebut.



4. Sebuah amal shalih jika dilakukan tidak sesuai dengan yang disyari'atkan, seperti shalat sunnah pada waktu yang dilarang tanpa ada sebab, puasa pada hari raya dan lainnya, maka amal tersebut bathil dan tidak dianggap.



5. Keputusan seorang hakim tidak bisa merubah apa hakikat yang ada dalam sebuah perkara, berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam : "Tidak didasari oleh perkara kami."



6. Perjanjian yang rusak adalah bathil. Sesuatu yang diambil melalui akad tersebut harus dikembalikan. Sebagaimana dalam kisah lelaki pekerja di atas.




Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.