"Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu
'anhu dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa yang aku larang
hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah
kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum
kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan penentangan mereka
terhadap nabi-nabi mereka."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Penjelasan:
Bukhari dan Muslim sama-sama mengeluarkan hadits ini.
Redaksi di atas terdapat dalam riwayat Muslim dalam Kitabul Fadha'il [1737]. Sebab disabdakannya hadits ini diterangkan
dalam riwayat Muslim dalam Kitabul Hajj
[1337] dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyampaikan khutbah kepada
kami. Beliau bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah
telah mewajibkan haji atas kalian. Maka berhajilah." Seorang
lelaki berkata: "Setiap tahunkah wahai Rasulullah.?" Beliau diam, dan
lelaki itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seandainya
aku mengatakan Ya, niscaya akan wajib (setiap tahun) dan pasti kalian tidak
mampu." Kemudian beliau Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
"Diamkanlah apa yang aku diamkan kalian. Sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi
mereka. Maka jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu, lakukanlah semampu
kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah."
Dalam sabda beliau Shallallahu
'alaihi wasallam: "Apa yang aku larang hendaklah kalian
menghindarinya, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan
semampu kalian." Mengikuti perintah dibatasi dengan kemampuan,
namun tidak dengan larangan. Sebab sebuah larangan merupakan sesuatu yang
ditinggalkan, dan meninggalkan sesuatu adalah satu hal yang mampu dilakukan.
Karena seseorang mampu untuk tidak melakukan. Sedangkan perintah diikat dengan
kemampuan, sebab sebuah perintah membebani untuk dilakukan, dan seseorang bisa
melakukannya dan bisa pula tidak mampu melakukannya. Sehingga seseorang
melakukan apa yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan kemampuannya. Misalnya
ketika minuman keras dilarang, orang yang dilarang mampu untuk tidak
meminumnya. Shalat diperintahkan untuk dilakukan, seseorang melakukannya sesuai
kemampuannya. Yaitu dengan cara berdiri, jika dia tidak mampu maka dia boleh
duduk, jika tidak mampu duduk maka boleh sambil berbaring. Satu contoh konkrit
yang bisa memperjelas hal ini adalah jika dikatakan kepada seseorang:
"Jangan engkau masuk melalui pintu ini!" maka dengan mudah dia tidak
memasukinya, karena meninggalkan. Tapi jika dikatakan kepadanya:
"Angkatlah batu besar ini!" Bisa jadi dia mampu dan bisa pula tidak
mampu, karena hal tersebut melakukan.
Meninggalkan larangan berlaku berdasarkan keumumannya tanpa
pengecualian, terkecuali dalam keadaan darurat. Seperti memakan bangkai untuk
melangsungkan hidup atau mendorong sesuatu yang menyumbat pada kerongkongan
dengan meneguk sedikit minuman keras (tanpa ada air minum sedikitpun ditempat
hidupnya).
Larangan yang wajib dijauhi adalah larangan yang bersifat
haram. Adapun larangan yang bersifat makruh bisa dilakukan, meskipun meninggalkannya
lebih utama dari pada melakukannya.
Sebuah perintah dilaksanakan oleh seorang mukallaf sebatas
kemampuannya. Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang diluar batas
kemampuannya. Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu dengan sempurna,
maka dia boleh melakukannya kurang dari sempurna. Seperti jika seseorang tidak
mampu shalat dengan berdiri, maka dia boleh shalat sambil duduk. Jika seseorang
tidak mampu melakukan sesuatu yang wajib dengan sempurna, maka dia boleh
melakukannya sebatas kemampuannya. Seperti jika seseorang tidak memiliki air
yang cukup untuk berwudhu (tidak ada lagi air disekitarnya), maka dia bisa
wudhu dengan air sedikit yang dimilikinya itu, adapun sisanya dia bertayammum.
Jika seseorang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah satu sha' dan hanya mampu mengeluarkan separuhnya, maka dia boleh
mengeluarkan yang hanya separuhnya itu.
Sabda beliau Shallallahu
'alaihi wasallam: "Sesungguhnya kehancuran orang-orang
sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan penentangan mereka
terhadap nabi-nabi mereka." Pertanyaan yang dilarang dalam hadits
ini adalah hal-hal yang jika ditanyakan pada zamannya akan menyebabkan turun
hukum haram disebabkan oleh pertanyaannya. Atau turun hukum mewajibkan sesuatu
yang sangat memberatkan dan bisa jadi tidak mampu untuk dilakukan, seperti haji
setiap tahun. Adapun pertanyaan yang dilarang setelah beliau meninggal adalah
pertanyaan yang mengada-ada, berlebihan dan menyibukkan dari hal yang lebih
penting.
Ibnu Rajab berkata
dalam Jami'ul 'Ulum Wal Hikam
[I/248-249]: "Dalam hal ini manusia terbagi menjadi beberapa bagian:
Diantara pengikut Ahli Hadits ada yang menutup pintu pertanyaan sehingga
pemahaman dan ilmunya sedikit tentang batasan-batasan dari apa yang diturunkan
oleh Allah atas Rasul-Nya, sehingga dia menjadi pembawa ilmu yang tidak alim.
Diantara para fuqaha' Ahli Ra'yi ada yang terlalu luas
memperlebar masalah sebelum terjadinya, ada yang biasa terjadi dan ada pula
yang tidak biasa terjadi. Mereka sibuk dengan bergelut mencari jawabannya,
banyak terjadi perseteruan dan perdebatan karenanya. Hingga timbul perseteruan
bathin tanpa henti disebabkan oleh hawa nafsu, permusuhan dan kebencian. Sering
ditambah pula dengan niat untuk menang, mencari popularitas dan meraih simpati.
Inilah diantara hal yang dicela oleh para ulama rabbani. As-Sunnah telah
memberikan petunjuk tentang apa-apa keburukannya dan apa-apa keharamannya.
Adapun para fuqaha Ahli Hadits yang mengamalkan hadits,
ambisi utama mereka adalah membahas makna Kitabullah dan tafsirnya dari
hadits-hadits yang shahih serta ucapan para shahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan kebaikan. Mereka membahas pula tentang sunnah
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
dan mengetahui mana yang kuat dan mana yang lemah. Kemudian dipelajari, difahami
dan diamalkan. Kemudian mempelajari ucapan para shahabat dan tabi'in dalam
berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, masalah halal dan haram,
pokok-pokok sunnah, zuhud, raqa'iq (pelembut hati) dan lainnya. Inilah dia jalan
yang ditempuh oleh Imam Ahmad beserta orang-orang yang sejalan dengannya dari
kalangan ulama hadits rabbani. Mempelajari semua ini akan mengesampingkan
kesibukan yang rasio yang dibuat-buat yang tidak bisa diambil manfa'atnya dan
tidak terjadi. Membicarakannya hanya akan menyisakan perseteruan, perdebatan
dan banyaknya ucapan tidak karuan, yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya.
Imam Ahmad sering jika ditanya tentang suatu masalah yang dibuat-buat tanpa
pernah terjadi, dia berkata: "Tidak usah tanya kami masalah-masalah
muhdats seperti ini."
Selanjutnya dia berkata: "Barangsiapa yang menempuh
jalan penuntut ilmu seperti yang kami sebutkan, maka pada umumnya dia akan
mampu menjawab peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. Sebab sudah ada dasarnya
pada ushul (pokok) yang telah disebutkan tadi. Menjalani jalan ini harus
mengikuti para Imam yang dikenal sebagai ahlinya dan disepakati kelurusan dan
keilmuan mereka. Seperti Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid beserta
orang-orang yang meniti jalan mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mengaku
meniti jalan ini tanpa melalui jalan mereka, maka dia akan jatuh kedalam jurang
kebinasaan. Dia akan mengambil apa yang tidak boleh diambil dan meninggalkan
apa yang wajib diamalkan. Kesimpulannya adalah meniatkan semua itu karena Allah
dan mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mempelajari apa yang diturunkan-Nya
kepada Rasul-Nya, meniti jalannya, mengamalkannya dan mendakwahkannya.
Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka Allah akan memberinya taufik,
kekuatan, ilham dan ilmu terhadap apa yang sebelumnya tidak dia ketahui. Dan
dia termasuk dalam deretan ulama yang dipuji dalam Kitabullah, pada firman
Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama."
(QS. Fathir: 28).
Dan dia akan termasuk deretan ulama yang mendalam
ilmunya."
Selanjutnya dia berkata: "Kesimpulannya, barangsiapa
yang mengikuti perintah Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam dalam hadits ini, meninggalkan apa yang beliau larang dan
menyibukkan diri dengannya tanpa yang lainnya, niscaya dia akan mendapatkan
keselamatan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal ini
dan sibuk dengan pikiran serta hal-hal yang dianggap baik oleh rasionya, maka
dia telah terjerumus dalam perkara yang telah diperingatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu
bagaimana Ahli Kitab binasa karena banyak bertanya tentang yang tidak berguna,
menyelisihi para nabi mereka dan tidak taat kepada mereka."
Diantara kandungan
hadits ini adalah:
1. Wajib meninggalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah
Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.
2. Wajib melakukan segala apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala
dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam.
3. Peringatan terhadap keterjerumusan ke dalam apa yang Ahli
Kitab terjerumus kedalamnya dan menjadi sebab kebinasaan mereka.
4. Seseorang tidak diwajibkan lebih dari batas kemampuannya.
5. Barangsiapa yang tidak mampu melakukan sebagian perintah
maka cukup baginya untuk melakukan apa yang ia mampu darinya.
6. Mencukupkan diri dengan masalah yang dibutuhkan, tidak
mengada-ada ataupun berlebihan dalam bertanya.
Sumber:
Kitab "Fathul
Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni
Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh
'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan
Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul
Ilmi", Cileungsi-Bogor.