Bismillaahir
Rahmaanir Rahiim..
Assalamu'alaikum
wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..
Innal
hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi
minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah
wamayyudlil falaa hadiyalah
Asyhadu
alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya
ba'da
Yaa
ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa
antum muslimuun.
Yaa
ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo
minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah
alladzii tasaa aluunabih wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa
Yaa
ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum
a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod
faaza fauzan 'adzhiima.
Fa
inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin
shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa
tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar.
GHIBAH DALAM BERPUASA
Dosa
yang banyak dilakukan umat pada setiap harinya adalah berasal dari lisannya,
betapa banyaknya diantara kita mengeluarkan kata-kata kasar, kotor, mengghibah
saudara sendiri, namimah, bahkan mencela diri sendiri.
Bagaimana
kaitan ghibah dan perkataan kotor terhadap puasa (shaum) yang kita lakukan?
Berikut,
sedikit tulisan tentang ghibah dan perkataan-perkataan kotor/kasar yang bisa
menggugurkan amalan puasa kita.
Puasa
(Shaum) Ramadhan merupakan salah satu rukun dalam rukun Islam, seperti sabda
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:
Dari
Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
“Ketika
kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari
tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih
dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan
tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk
dihadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu menempelkan kedua lututnya dan
meletakkan kedua tangannya pada kedua pahanya seraya berkata: ‘Wahai Muhammad,
beritahukan aku tentang Islam.’ Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam: ‘Islam adalah engkau
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan
bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat,
puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu’….”
Dari
Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhuma dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Islam
dibangun diatas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah
selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat,
menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan’."
[HR.
Tirmidzi dan Muslim].
Dan Menjadi Kewajiban Setiap Mukmin,
Seperti Dalam Firman Alloh ‘Aza wa Jalla:
“Wahai orang-orang yang beriman !
Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kalian, agar kalian bertaqwa.”
[QS. Al-Baqarah : 183].
Tujuan
puasa tidak lain agar kita bertaqwa sesuai ayat tersebut diatas.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, “Alloh ‘Aza wa Jalla berfirman, ‘Setiap
perbuatan anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa; ia (puasa itu) untuk-Ku dan
Aku sendiri yang akan membalasnya’.”
Balasan Puasa Ramadhan
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
(bahwasanya) beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu"
[Hadits
Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759. Makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni
membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam
mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya].
Dari
Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu,
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
(bahwa beliau) bersabda:
“Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya”
[Hadits
Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada
riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]
Bagaimana Orang Yang Berpuasa Namun
Tidak Meninggalkan Ghibahnya dan Kata-kata Dustanya?
Dijelaskan
dalam hadits riwayat Bukhari, Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan berbuat
dengannya, maka Allah tidak berkepentingan dengan amalan puasanya dalam meninggalkan
makan dan minum.”
[HR. Al Bukhari dalam Shahihnya (hadits ke
1903)].
Hadits
ini adalah peringatan dari perkataan dusta dan hal-hal lain yang disebut dalam
hadits ini. Alloh ‘Aza wa Jalla tidak
menerima puasa orang yang melakukan hal-hal tersebut.
“Jika
seseorang berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan berteriak-teriak
(membentak), dan jangan berbuat bodoh. Jika seorang mencelanya, atau
mengajaknya bertengkar, hendaklah dia berkata, ‘Saya sedang berpuasa’.”
[HR.
Ahmad, Muslim dan lainnya].
"Dan
janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di
antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu
merasa jijik, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat, lagi Maha Penyayang."
[QS.
Al-Hujurat: 12].
Ayat
ini melarang ghibah, yaitu menyebut-nyebut seorang muslim dengan sesuatu yang
tidak ia suka, meskipun hal itu benar.
Ibnu
Katsir menjelaskan, ghibah haram berdasarkan ijmak, tidak ada pengecualiannya
selain untuk maslahat yang kuat, seperti jarh-ta'dil, dan nasihat. Seperti
perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam saat ada orang keji meminta izin untuk menemui beliau, "Izinkan
dia masuk, dia adalah seburuk-seburuk anggota kabilah." Juga
kata-kata beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam terhadap Fathimah binti Qais radhiyallahu
'anha, saat itu ia dipinang Mu'awiyah dan Abu Jahm, "Adapun Mu'awiyah, dia
miskin, sementara Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya." Dan untuk hal-hal lain yang termasuk nasihat. Selain
itu, ghibah tetap sebagai sebuah larangan keras. Terdapat nash yang secara
tegas melarang ghibah. Untuk itu, Alloh menyamakan perbuatan yang satu ini
dengan memakan bangkai manusia, seperti yang Alloh ‘Aza wa Jalla sampaikan dalam firman-Nya:
"Apakah
ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu
kamu merasa jijik."
[QS.
Al-Hujurat:12].
Yaitu,
seperti hal nya kita secara tabi'at merasa jijik memakan bangkai manusia, maka
kita harus membenci perbuatan ghibah, karena hukumannya jauh lebih berat.
Peringatan
ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam terkait orang yang menarik kembali hibah yang telah ia
berikan, "Laksana anjing muntah, kemudian ia menjilati kembali
muntahnya." Beliau Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Kami tidak memiliki perumpamaan
buruk."
Alloh
‘Aza wa Jalla berfirman:
"Dan
janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung
jawabannya."
[QS.
Al-Isra: 36].
Ibnu
Abbas menafsirkan, "Janganlah kamu mengatakan (sesuatu yang tidak kamu
ketahui)."
Qatadah
menafsirkan, "Janganlah kamu berkata, 'Aku melihat,' padahal tidak melihat
apa pun, 'Aku mendengar,' padahal tidak mendengar apapun, 'Aku tahu,' padahal
tidak tahu, karena Alloh ‘Aza wa Jalla
akan menanyakan semua itu padamu."
Alloh
‘Aza wa Jalla berfirman:
"Tidak
ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir (mencatat)."
[QS.
Qaf: 18].
Yaitu,
tidaklah seseorang mengatakan sesuatu, melainkan akan dicatat perkataannya itu
oleh malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia.
Ibnu
Abbas menafsirkan, "Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada
di sekitarnya malaikat pengawas yg selalu hadir (mencatat)," malaikat mencatat
segala kebaikan ataupun keburukan yang diucapkan manusia, bahkan malaikat
mencatat kata-kata manusia, "Aku makan, minum, aku pergi, aku datang, aku
melihat," hingga saat hari Kamis tiba, segala amal perbuatan dan perkataannya
diperlihatkan kepada Alloh, Alloh menetapkan kebaikan dan keburukan yang
dicatat, lalu membuang selain itu. Itulah maksud firman Alloh ‘Aza wa Jalla, "Alloh menghapus dan
menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh
Mahfuzh)."
[QS.
Ar-Ra'd: 39].
Hasan
Al-Bashri berkata seraya membaca ayat ini:
"(Ingatlah)
ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk disebelah kanan
dan yang lain disebelah kiri."
[QS.
Qaf: 17].
"Wahai
anak Adam! Lembaran amal dibentangkan untukmu, dua malaikat mulia ditugaskan
untukmu, salah satunya berada di sebelah kananmu, satunya lagi di sebelah
kirimu. Yang berada di sebelah kananmu mencatat kebaikan-kebaikanmu, sementara
yang di sebelah kirimu mencatat keburukan-keburukanmu. Maka berbuatlah
semamumu, entah sedikit ataupun banyak. Setelah kau mati, lembaran amalmu
dilipat dan diletakkan di lehermu saat kau berada di kuburmu, hingga kau muncul
pada hari kiamat. Saat itulah Alloh ‘Aza
wa Jalla berfirman, 'Dan setiap manusia telah Kami kalungkan
(catatan) amal perbuatannya di lehernya, dan pada hari Kiamat kami keluarkan
baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. 'Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu
sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu'."
[QS.
Al-Isra': 13-14].
Setelah
itu Hasan Al-Bashri berkata, "Demi Allah, Dzat yang membuatmu sebagai
penghitung atas dirimu sendiri, telah berlaku adil."
Perlu
diketahui, setiap mukallaf harus menjaga lisan dari seluruh tutur kata, selain
kata-kata yang tampak jelas maslahatnya. Ketika dari sisi maslahat sama saja
antara berbicara atau diam, maka sunnahnya adalah menahan diri untuk berbicara,
karena kata-kata mubah bisa berkembang menjadi kata-kata haram atau makruh.
Kata-kata seperti ini biasanya banyak. Keselamatan tidak setara dengan apa pun
juga.
Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, "Di antara baiknya (tanda) ke-Islaman seseorang adalah
meninggalkan apa pun yang tidak berguna."
Apakah Ghibah Itu?
Nabi
Shallallahu 'alaihi wasallam
menjelaskan tentang makna ghibah dalam sabdanya:
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda, ‘Tahukah kalian apa ghibah itu?' Mereka (para shahabat) menjawab,
'Alloh dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda, 'Engkau menyebut-nyebut saudaramu
dengan sesuatu yang ia tidak suka.' Beliau ditanya, 'Bagaimana jika
saudaraku itu memang seperti yang kukatakan?' Beliau menjawab, 'Jika
kata-katamu terkait saudaramu benar, maka kau telah meng-ghibah-nya, dan jika
kata-katamu terkait saudaramu tidak benar, maka kau telah berdusta terhadapnya.'
[HR.
Muslim].
Hadits
ini menunjukkan, hakikat ghibah adalah menyebut-nyebut seseorang dengan yang
tidak ia sukai. Yaitu apabila perkataan itu benar itulah ghibah, dan jika
perkataan itu tidak benar maka itulah fitnah (dusta).
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah
berkata yang baik atau diamlah."
(Muttafaq
'alaih).
[Shahih:
Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47)].
Hadits
ini secara tegas menunjukkan, tidak sepatutnya berbicara selain kata-kata yang
baik. Inilah kata-kata yang jelas terlihat maslahatnya. Ketika diragukan adanya
maslahat, jangan berbicara (diamlah).
Artinya,
siapa yang beriman secara sempurna, iman yang menyelamatkan dari siksa Alloh ‘Aza wa Jalla dan menghantar menuju
ridha Alloh ‘Aza wa Jalla, berkatalah
yang baik atau diamlah, karena orang yang beriman kepada Alloh dengan
sebenarnya takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha sekuat tenaga
melakukan apa yang Ia perintahkan dan menjauhi larangan-Nya.
Dari
Abu Musa radhiyallahu'anhu, ia
berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah muslim yang paling
baik?' Beliau menjawab, 'Orang yang kaum muslimin selamat dari
(gangguan) lisan dan tangannya'."
(Muttafaq
'alaih).
[Shahih:
Al-Bukhari (11) dan Muslim (42)].
Hadits
ini menunjukkan, siapa yang kaum muslimin terhindar gangguannya, berarti dia
muslimin terbaik. Lisan dan tangan secara khusus disebut, karena umumnya segala
hal berasal dari kedua bagian tubuh ini, karena kata-kata diucapkan dengan
lisan, dan perbuatan dilakukan dengan tangan.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia
mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan
suatu kata-kata tanpa ia pikirkan (baik atau buruk) nya, dan ia pun tergelincir
ke dalam neraka lebih jauh dari (jarak) antara timur dan barat."
(Muttafaq
'alaih).
[Shahih:
Al-Bukhari (6477); Muslim (2988); dan At-Tirmidzi (2315)].
Makna
'yatabayyanu' adalah memikirkan apakah kata-katanya baik atau buruk.
Hadits
ini menunjukkan, tidak sepatutnya banyak berbicara, jangan berbicara selain
dalam hal-hal yang berguna, dan harus menjaga ucapan saat marah, karena bisa
jadi saat marah seseorang mengucapkan kata-kata yang membahayakan dirinya
sendiri dalam hal agama dan dunia.
Disebutkan
dalam hadits Abu Dzar dari Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam dalam hadits yang beliau riwayatkan dari lembaran-lembaran
Ibrahim 'alaihissalaam, "Orang
berakal harus mengetahui zamannya, menata urusannya, dan menjaga lisannya.
Siapa yang meyakini tutur kata termasuk bagian dari amal, ia akan sedikit
berbicara, kecuali untuk hal-hal yang berguna."
Dari
(Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu),
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata dari
(kata-kata) yang diridhai Alloh‘Aza wa Jalla tanpa ia pedulikan, dan Alloh
mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu
kata dari (kata-kata) yang dimurkai Alloh ‘Aza wa Jalla tanpa ia pedulikan, dan
karena itu ia pun jatuh ke dalam neraka Jahanam."
[Shahih:
Al-Bukhari (6478)].
Dari
Abu Abdurrahman, Bilal bin Harits Al-Muzanni radhiyallahu'anhuma, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seseorang mengucapkan suatu
kata-kata dari keridhaan Alloh ‘Aza wa Jalla, ia tidak mengira (kata-katanya)
sampai sedemikian rupa, dan karenanya Alloh mencatat ridha-Nya untuknya hingga
hari ia bertemu dengan-Nya. Dan sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata
dari murka Alloh ‘Aza wa Jalla, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian
rupa, dan karenanya Alloh mencatat murka-Nya untuknya hingga hari ia bertemu
dengan-Nya."
[HR.
Malik dalam Al-Muwaththa', dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits
ini hasan shahih."].
[Shahih:
Imam Malik (2/985); Ahmad (3/469); At-Tirmidzi (2319); dan Ibnu Majah (3969),
Lihat 'Shahih Ibn Majah (3205)].
Ibnu
Abdilbarr berkata, "Aku tidak mengetahui perbedaan pendapat terkait sabda
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
dalam hadits ini, 'Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata di hadapan
sultan zalim, dengan kata-kata itu seseorang membuat si sultan tersebut senang,
sehingga ia membuat Alloh ‘Aza wa Jalla
murka, ia hiasi kebathilan yang hendak dilakukan sultan, seperti menumpahkan
darah, mendzalimi muslim, atau semacamnya yang diinginkan si sultan, sehingga
ia menjauh dari Alloh dan meraih murka-Nya. Demikian hal nya kata-kata yang
disukai Alloh ‘Aza wa Jalla, yang
diucapkan di hadapan sultan untuk mengalihkan sultan dari keinginannya dan
mencegah kemaksiatan yang ia inginkan. Kata-kata ini juga menggapai keridhaan
Alloh ‘Aza wa Jalla yang tidak ia
sangka-sangka.
Dari
Sufyan bin Abdullah radhiyallahu'anhuma,
ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sampaikan suatu hal kepadaku
untuk kujadikan pegangan.' Beliau bersabda, 'Katakan, 'Rabbku Alloh,'
kemudian ber-istiqamahlah.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa yang
paling engkau khawatirkan padaku?' Beliau memegang lisannya sendiri lalu
menjawab, 'Ini'."
[HR.
At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih."].
[Shahih:
At-Tirmidzi (2410). Lihat 'Shahih At-Tirmidzi' (1964)].
Istiqamah
adalah menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan. Hadits ini
bersumber dari firman Alloh ‘Aza wa Jalla
:
"Sesungguhnya
orang-orang yang berkata, 'Rabb kami adalah Alloh,' kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan
berkata), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan
bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan
kepadamu'."
[QS.
Fushshilat: 30].
Hadits
tersebut diatas menunjukkan, hal terbesar yang membinasakan manusia adalah
lisan.
Al-Aquli
berkata, "Kekhawatiran dikaitkan dengan lisan karena lisan adalah kendali
manusia."
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, ia
berkata, "Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, 'Janganlah kalian memperbanyak perkataan
selain dzikir kepada Alloh, karena banyaknya perkataan selain dzikir kepada
Alloh ‘Aza wa Jalla mengeraskan hati, dan manusia yang paling jauh dari Alloh ‘Aza
wa Jalla adalah yang berhati keras'."
[HR.
At-Tirmidzi].
Dzikir
adalah pujian untuk Alloh ‘Aza wa Jalla
dan berdo'a kepada-Nya, dan dzikir yang paling mulia adalah Al-Qur'an.
Kerasnya
hati adalah hati tidak tersentuh oleh nasihat, tidak menjalankan kebaikan dan
tidak berhenti melakukan keburukan.
Dari
Mu'adz radhiyallahu'anhu, ia berkata,
"Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang
memasukkanku ke syurga dan menjauhkanku dari neraka?' Beliau bersabda, 'Kau
menanyakan tentang sesuatu yang besar. Sungguh, itu mudah bagi yang diberi
kemudahan Alloh; engkau beribadah kepada Alloh tanpa menyekutukan-Nya dengan
apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke
Baitullah.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku tunjukkan pintu-pintu
kebaikan kepadamu? Puasa itu perisai, sedekah itu memadamkan kesalahan, seperti
air memadamkan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam.' Setelah
itu beliau membaca, 'Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdo'a kepada
Rabbnya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian
dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui
apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.' (QS.
As-Sajdah: 16-17) Setelah itu beliau bertanya, 'Maukah aku beritahukan padamu
asas, tiang, dan puncak urusan (agama)?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai
Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Asas urusan (agama) adalah Islam, tiangnya
adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.' Setelah itu beliau
bersabda, 'Maukah aku beritahukan padamu tiang semua itu?' Aku menjawab,
'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau kemudian memegang lisan dan bersabda, ‘Tahanlah
(lisan) mu!' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kita dihukum
karena apa yang kita bicarakan?' Beliau menjawab, 'Semoga ibumu kehilanganmu!’
(secara tekstual berarti do'a kematian, namun ini bukan yang dimaksud. Yang
dimaksud adalah untuk mengingatkan dari kelalaian dan membesarkan suatu hal),
manusia ditelungkupkan di neraka di atas wajah-wajah mereka tidak lain
disebabkan oleh hasil dari lisan mereka'."
[HR.
At-Tirmidzi dan berkata, "Hadits ini hasan shahih."].
1.
Amal perbuatan adalah sebab masuk syurga.
2.
Seluruh pertolongan berada di tangan Alloh 'Aza wa Jalla. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
menyampaikan bahwa menjalankan kewajiban-kewajiban Islam berujung pada masuk
syurga, selanjutnya beliau menunjukkan pintu-pintu kebaikan di antara amalan-amalan
nafilah.
3.
Jihad adalah amalan terbaik setelah amalan-amalan fardhu, dan menahan lisan
selain untuk mengatakan yang baik-baik adalah asas kebaikan.
Dari
'Aisyah radhiyallahu'anha, ia
berkata, "Aku berkata kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam, 'Shafiyah itu begini dan begitu.' Sebagian perawi
mengatakan, 'Maksud 'Aisyah; Shafiyah itu pendek.' Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda, 'Sungguh,
kau telah mengucapkan kata-kata yang andai dicampurkan dengan air lautan, tentu
akan mengotorinya!' Aisyah berkata, 'Aku meniru (perbuatan atau ucapan)
seseorang di hadapan beliau, lalu beliau bersabda, 'Aku tidak suka meniru (perbuatan
atau ucapan) seseorang meskipun aku diberi ini dan itu'."
[HR.
Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan
shahih"].
[Shahih:
Ahmad (6/189); Abu Dawud (4875); dan At-Tirmidzi (2502). Lihat Shahih
At-Tirmidzi (2024)].
Hadits
ini merupakan larangan keras menggunjing orang lain.
Alloh
‘Aza wa Jalla berfirman:
"Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain
(Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."
[QS.
An-Najm: 3-4].
Kata-kata
'Aisyah, "Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang dihadapan
beliau," maksudnya 'Aisyah meniru gerakan seseorang yang tidak ia suka.
Al-Aquli
menjelaskan, sabda beliau, "Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan)
seseorang," maksudnya aku tidak ingin meniru seperti tindakannya. Dalam
bahasa Arab, meniru tindakan dan ucapan seseorang disebut 'hakahu'. Kata ini umumnya digunakan untuk
hal buruk. Dalam ghibah, perbuatan ini haram, misalnya menirukan cara berjalan
orang pincang, membungkuk, atau kondisi-kondisi lain yang ditiru.
Dari
Anas radhiyallahu'anhu, ia berkata,
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, 'Saat aku di-mi'rija-kan (dibawa naik ke
langit) aku melintasi suatu kaum. Mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga.
Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar wajah dan dada mereka. Aku kemudian
bertanya, 'Siapa mereka itu, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Mereka adalah
orang-orang yang memakan daging orang, dan membicarakan harga diri orang lain!’”
[HR.
Abu Dawud].
[Shahih:
Ahmad (3/224) dan Abu Dawud (4878). Lihat Ash-Shahihah (553) dan Shahih
Al-Jami' 5213)].
Imam
Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam ditanya, "Wahai Rasulullah, si fulan dan fulanah
berpuasa, keduanya sudah tidak kuat.' Beliau berkata, 'Panggil keduanya!'
Beliau kemudian berkata kepada salah satunya, 'Muntahlah!' Ia kemudian
memuntahkan daging, darah segar, dan nanah.' Yang satunya lagi juga seperti
itu. Setelah itu beliau bersabda, 'Keduanya menahan diri dari apa yang Allah
halalkan, namun keduanya tidak bisa menjaga diri dari apa yang Allah haramkan.
Salah satunya mendatangi yang lain, lalu keduanya terus memakan daging orang
hingga perut mereka berdua penuh dengan nanah'."
Wallohu
Ta’ala A’alam
Semoga
kita terhindar dari perkataan yang bisa menhilangkan pahala amalan shaum
ramadhan dan sesudahnya.
Barakallahu
fiik.
Semoga
bermanfa’at
Wassalamu’alaykum wa Rahmatulloh wa Barakatuh.