AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Sabtu, 11 Juli 2015

GHIBAH dan SHAUM

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim..
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah


Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da


Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.


Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa


Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod faaza fauzan 'adzhiima.


Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar.


GHIBAH DALAM BERPUASA


Dosa yang banyak dilakukan umat pada setiap harinya adalah berasal dari lisannya, betapa banyaknya diantara kita mengeluarkan kata-kata kasar, kotor, mengghibah saudara sendiri, namimah, bahkan mencela diri sendiri.


Bagaimana kaitan ghibah dan perkataan kotor terhadap puasa (shaum) yang kita lakukan?

Berikut, sedikit tulisan tentang ghibah dan perkataan-perkataan kotor/kasar yang bisa menggugurkan amalan puasa kita.


Puasa (Shaum) Ramadhan merupakan salah satu rukun dalam rukun Islam, seperti sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:

Dari Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu menempelkan kedua lututnya dan meletakkan kedua tangannya pada kedua pahanya seraya berkata: ‘Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam.’ Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: ‘Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu’….”


Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhuma dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Islam dibangun diatas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan’."
[HR. Tirmidzi dan Muslim].


Dan Menjadi Kewajiban Setiap Mukmin, Seperti Dalam Firman Alloh ‘Aza wa Jalla:


“Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.”
[QS. Al-Baqarah : 183].

Tujuan puasa tidak lain agar kita bertaqwa sesuai ayat tersebut diatas.


Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Alloh ‘Aza wa Jalla berfirman, ‘Setiap perbuatan anak Adam untuk dirinya, kecuali puasa; ia (puasa itu) untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya’.”


Balasan Puasa Ramadhan


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, (bahwasanya) beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu"
[Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759. Makna "Penuh iman dan Ihtisab' yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya].


Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (bahwa beliau) bersabda:


“Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terkahir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya”
[Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]


Bagaimana Orang Yang Berpuasa Namun Tidak Meninggalkan Ghibahnya dan Kata-kata Dustanya?


Dijelaskan dalam hadits riwayat Bukhari, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


“Barangsiapa yang tidak meninggalkan dusta dan berbuat dengannya, maka Allah tidak berkepentingan dengan amalan puasanya dalam meninggalkan makan dan minum.”
[HR. Al Bukhari dalam Shahihnya (hadits ke 1903)].


Hadits ini adalah peringatan dari perkataan dusta dan hal-hal lain yang disebut dalam hadits ini. Alloh ‘Aza wa Jalla tidak menerima puasa orang yang melakukan hal-hal tersebut.

“Jika seseorang berpuasa maka janganlah berkata kotor, jangan berteriak-teriak (membentak), dan jangan berbuat bodoh. Jika seorang mencelanya, atau mengajaknya bertengkar, hendaklah dia berkata, ‘Saya sedang berpuasa’.”
[HR. Ahmad, Muslim dan lainnya].


"Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang."
[QS. Al-Hujurat: 12].


Ayat ini melarang ghibah, yaitu menyebut-nyebut seorang muslim dengan sesuatu yang tidak ia suka, meskipun hal itu benar.


Ibnu Katsir menjelaskan, ghibah haram berdasarkan ijmak, tidak ada pengecualiannya selain untuk maslahat yang kuat, seperti jarh-ta'dil, dan nasihat. Seperti perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam saat ada orang keji meminta izin untuk menemui beliau, "Izinkan dia masuk, dia adalah seburuk-seburuk anggota kabilah." Juga kata-kata beliau Shallallahu 'alaihi wasallam terhadap Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha, saat itu ia dipinang Mu'awiyah dan Abu Jahm, "Adapun Mu'awiyah, dia miskin, sementara Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya." Dan untuk hal-hal lain yang termasuk nasihat. Selain itu, ghibah tetap sebagai sebuah larangan keras. Terdapat nash yang secara tegas melarang ghibah. Untuk itu, Alloh menyamakan perbuatan yang satu ini dengan memakan bangkai manusia, seperti yang Alloh ‘Aza wa Jalla sampaikan dalam firman-Nya:


"Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik."
[QS. Al-Hujurat:12].


Yaitu, seperti hal nya kita secara tabi'at merasa jijik memakan bangkai manusia, maka kita harus membenci perbuatan ghibah, karena hukumannya jauh lebih berat.


Peringatan ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terkait orang yang menarik kembali hibah yang telah ia berikan, "Laksana anjing muntah, kemudian ia menjilati kembali muntahnya." Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kami tidak memiliki perumpamaan buruk."


Alloh ‘Aza wa Jalla berfirman:


"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya."
[QS. Al-Isra: 36].


Ibnu Abbas menafsirkan, "Janganlah kamu mengatakan (sesuatu yang tidak kamu ketahui)."


Qatadah menafsirkan, "Janganlah kamu berkata, 'Aku melihat,' padahal tidak melihat apa pun, 'Aku mendengar,' padahal tidak mendengar apapun, 'Aku tahu,' padahal tidak tahu, karena Alloh ‘Aza wa Jalla akan menanyakan semua itu padamu."


Alloh ‘Aza wa Jalla berfirman:


"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (mencatat)."
[QS. Qaf: 18].


Yaitu, tidaklah seseorang mengatakan sesuatu, melainkan akan dicatat perkataannya itu oleh malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia.


Ibnu Abbas menafsirkan, "Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sekitarnya malaikat pengawas yg selalu hadir (mencatat)," malaikat mencatat segala kebaikan ataupun keburukan yang diucapkan manusia, bahkan malaikat mencatat kata-kata manusia, "Aku makan, minum, aku pergi, aku datang, aku melihat," hingga saat hari Kamis tiba, segala amal perbuatan dan perkataannya diperlihatkan kepada Alloh, Alloh menetapkan kebaikan dan keburukan yang dicatat, lalu membuang selain itu. Itulah maksud firman Alloh ‘Aza wa Jalla, "Alloh menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)."
[QS. Ar-Ra'd: 39].


Hasan Al-Bashri berkata seraya membaca ayat ini:


"(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk disebelah kanan dan yang lain disebelah kiri."
[QS. Qaf: 17].


"Wahai anak Adam! Lembaran amal dibentangkan untukmu, dua malaikat mulia ditugaskan untukmu, salah satunya berada di sebelah kananmu, satunya lagi di sebelah kirimu. Yang berada di sebelah kananmu mencatat kebaikan-kebaikanmu, sementara yang di sebelah kirimu mencatat keburukan-keburukanmu. Maka berbuatlah semamumu, entah sedikit ataupun banyak. Setelah kau mati, lembaran amalmu dilipat dan diletakkan di lehermu saat kau berada di kuburmu, hingga kau muncul pada hari kiamat. Saat itulah Alloh ‘Aza wa Jalla berfirman, 'Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya, dan pada hari Kiamat kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. 'Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu'."
[QS. Al-Isra': 13-14].
Setelah itu Hasan Al-Bashri berkata, "Demi Allah, Dzat yang membuatmu sebagai penghitung atas dirimu sendiri, telah berlaku adil."


Perlu diketahui, setiap mukallaf harus menjaga lisan dari seluruh tutur kata, selain kata-kata yang tampak jelas maslahatnya. Ketika dari sisi maslahat sama saja antara berbicara atau diam, maka sunnahnya adalah menahan diri untuk berbicara, karena kata-kata mubah bisa berkembang menjadi kata-kata haram atau makruh. Kata-kata seperti ini biasanya banyak. Keselamatan tidak setara dengan apa pun juga.


Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Di antara baiknya (tanda) ke-Islaman seseorang adalah meninggalkan apa pun yang tidak berguna."


Apakah Ghibah Itu?


Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan tentang makna ghibah dalam sabdanya:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Tahukah kalian apa ghibah itu?' Mereka (para shahabat) menjawab, 'Alloh dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda, 'Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia tidak suka.' Beliau ditanya, 'Bagaimana jika saudaraku itu memang seperti yang kukatakan?' Beliau menjawab, 'Jika kata-katamu terkait saudaramu benar, maka kau telah meng-ghibah-nya, dan jika kata-katamu terkait saudaramu tidak benar, maka kau telah berdusta terhadapnya.'
[HR. Muslim].


Hadits ini menunjukkan, hakikat ghibah adalah menyebut-nyebut seseorang dengan yang tidak ia sukai. Yaitu apabila perkataan itu benar itulah ghibah, dan jika perkataan itu tidak benar maka itulah fitnah (dusta).


Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Alloh dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diamlah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47)].


Hadits ini secara tegas menunjukkan, tidak sepatutnya berbicara selain kata-kata yang baik. Inilah kata-kata yang jelas terlihat maslahatnya. Ketika diragukan adanya maslahat, jangan berbicara (diamlah).


Artinya, siapa yang beriman secara sempurna, iman yang menyelamatkan dari siksa Alloh ‘Aza wa Jalla dan menghantar menuju ridha Alloh ‘Aza wa Jalla, berkatalah yang baik atau diamlah, karena orang yang beriman kepada Alloh dengan sebenarnya takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha sekuat tenaga melakukan apa yang Ia perintahkan dan menjauhi larangan-Nya.


Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah muslim yang paling baik?' Beliau menjawab, 'Orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (11) dan Muslim (42)].


Hadits ini menunjukkan, siapa yang kaum muslimin terhindar gangguannya, berarti dia muslimin terbaik. Lisan dan tangan secara khusus disebut, karena umumnya segala hal berasal dari kedua bagian tubuh ini, karena kata-kata diucapkan dengan lisan, dan perbuatan dilakukan dengan tangan.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata tanpa ia pikirkan (baik atau buruk) nya, dan ia pun tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari (jarak) antara timur dan barat."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6477); Muslim (2988); dan At-Tirmidzi (2315)].
Makna 'yatabayyanu' adalah memikirkan apakah kata-katanya baik atau buruk.


Hadits ini menunjukkan, tidak sepatutnya banyak berbicara, jangan berbicara selain dalam hal-hal yang berguna, dan harus menjaga ucapan saat marah, karena bisa jadi saat marah seseorang mengucapkan kata-kata yang membahayakan dirinya sendiri dalam hal agama dan dunia.


Disebutkan dalam hadits Abu Dzar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang beliau riwayatkan dari lembaran-lembaran Ibrahim 'alaihissalaam, "Orang berakal harus mengetahui zamannya, menata urusannya, dan menjaga lisannya. Siapa yang meyakini tutur kata termasuk bagian dari amal, ia akan sedikit berbicara, kecuali untuk hal-hal yang berguna."


Dari (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu), dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata dari (kata-kata) yang diridhai Alloh‘Aza wa Jalla tanpa ia pedulikan, dan Alloh mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata dari (kata-kata) yang dimurkai Alloh ‘Aza wa Jalla tanpa ia pedulikan, dan karena itu ia pun jatuh ke dalam neraka Jahanam."
[Shahih: Al-Bukhari (6478)].


Dari Abu Abdurrahman, Bilal bin Harits Al-Muzanni radhiyallahu'anhuma, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata dari keridhaan Alloh ‘Aza wa Jalla, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian rupa, dan karenanya Alloh mencatat ridha-Nya untuknya hingga hari ia bertemu dengan-Nya. Dan sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata dari murka Alloh ‘Aza wa Jalla, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian rupa, dan karenanya Alloh mencatat murka-Nya untuknya hingga hari ia bertemu dengan-Nya."
[HR. Malik dalam Al-Muwaththa', dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih."].
[Shahih: Imam Malik (2/985); Ahmad (3/469); At-Tirmidzi (2319); dan Ibnu Majah (3969), Lihat 'Shahih Ibn Majah (3205)].


Ibnu Abdilbarr berkata, "Aku tidak mengetahui perbedaan pendapat terkait sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits ini, 'Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata di hadapan sultan zalim, dengan kata-kata itu seseorang membuat si sultan tersebut senang, sehingga ia membuat Alloh ‘Aza wa Jalla murka, ia hiasi kebathilan yang hendak dilakukan sultan, seperti menumpahkan darah, mendzalimi muslim, atau semacamnya yang diinginkan si sultan, sehingga ia menjauh dari Alloh dan meraih murka-Nya. Demikian hal nya kata-kata yang disukai Alloh ‘Aza wa Jalla, yang diucapkan di hadapan sultan untuk mengalihkan sultan dari keinginannya dan mencegah kemaksiatan yang ia inginkan. Kata-kata ini juga menggapai keridhaan Alloh ‘Aza wa Jalla yang tidak ia sangka-sangka.


Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallahu'anhuma, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sampaikan suatu hal kepadaku untuk kujadikan pegangan.' Beliau bersabda, 'Katakan, 'Rabbku Alloh,' kemudian ber-istiqamahlah.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan padaku?' Beliau memegang lisannya sendiri lalu menjawab, 'Ini'."
[HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih."].
[Shahih: At-Tirmidzi (2410). Lihat 'Shahih At-Tirmidzi' (1964)].


Istiqamah adalah menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan. Hadits ini bersumber dari firman Alloh ‘Aza wa Jalla :


"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Rabb kami adalah Alloh,' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan kepadamu'."
[QS. Fushshilat: 30].
Hadits tersebut diatas menunjukkan, hal terbesar yang membinasakan manusia adalah lisan.
Al-Aquli berkata, "Kekhawatiran dikaitkan dengan lisan karena lisan adalah kendali manusia."


Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Janganlah kalian memperbanyak perkataan selain dzikir kepada Alloh, karena banyaknya perkataan selain dzikir kepada Alloh ‘Aza wa Jalla mengeraskan hati, dan manusia yang paling jauh dari Alloh ‘Aza wa Jalla adalah yang berhati keras'."
[HR. At-Tirmidzi].


Dzikir adalah pujian untuk Alloh ‘Aza wa Jalla dan berdo'a kepada-Nya, dan dzikir yang paling mulia adalah Al-Qur'an.
Kerasnya hati adalah hati tidak tersentuh oleh nasihat, tidak menjalankan kebaikan dan tidak berhenti melakukan keburukan.


Dari Mu'adz radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang memasukkanku ke syurga dan menjauhkanku dari neraka?' Beliau bersabda, 'Kau menanyakan tentang sesuatu yang besar. Sungguh, itu mudah bagi yang diberi kemudahan Alloh; engkau beribadah kepada Alloh tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan kepadamu? Puasa itu perisai, sedekah itu memadamkan kesalahan, seperti air memadamkan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam.' Setelah itu beliau membaca, 'Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.' (QS. As-Sajdah: 16-17) Setelah itu beliau bertanya, 'Maukah aku beritahukan padamu asas, tiang, dan puncak urusan (agama)?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Asas urusan (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku beritahukan padamu tiang semua itu?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau kemudian memegang lisan dan bersabda, ‘Tahanlah (lisan) mu!' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kita dihukum karena apa yang kita bicarakan?' Beliau menjawab, 'Semoga ibumu kehilanganmu!’ (secara tekstual berarti do'a kematian, namun ini bukan yang dimaksud. Yang dimaksud adalah untuk mengingatkan dari kelalaian dan membesarkan suatu hal), manusia ditelungkupkan di neraka di atas wajah-wajah mereka tidak lain disebabkan oleh hasil dari lisan mereka'."
[HR. At-Tirmidzi dan berkata, "Hadits ini hasan shahih."].


1. Amal perbuatan adalah sebab masuk syurga.
2. Seluruh pertolongan berada di tangan Alloh 'Aza wa Jalla. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan bahwa menjalankan kewajiban-kewajiban Islam berujung pada masuk syurga, selanjutnya beliau menunjukkan pintu-pintu kebaikan di antara amalan-amalan nafilah.
3. Jihad adalah amalan terbaik setelah amalan-amalan fardhu, dan menahan lisan selain untuk mengatakan yang baik-baik adalah asas kebaikan.


Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Aku berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, 'Shafiyah itu begini dan begitu.' Sebagian perawi mengatakan, 'Maksud 'Aisyah; Shafiyah itu pendek.' Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda, 'Sungguh, kau telah mengucapkan kata-kata yang andai dicampurkan dengan air lautan, tentu akan mengotorinya!' Aisyah berkata, 'Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang di hadapan beliau, lalu beliau bersabda, 'Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang meskipun aku diberi ini dan itu'."
[HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih"].
[Shahih: Ahmad (6/189); Abu Dawud (4875); dan At-Tirmidzi (2502). Lihat Shahih At-Tirmidzi (2024)].
Hadits ini merupakan larangan keras menggunjing orang lain.


Alloh ‘Aza wa Jalla berfirman:


"Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."
[QS. An-Najm: 3-4].


Kata-kata 'Aisyah, "Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang dihadapan beliau," maksudnya 'Aisyah meniru gerakan seseorang yang tidak ia suka.


Al-Aquli menjelaskan, sabda beliau, "Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang," maksudnya aku tidak ingin meniru seperti tindakannya. Dalam bahasa Arab, meniru tindakan dan ucapan seseorang disebut  'hakahu'. Kata ini umumnya digunakan untuk hal buruk. Dalam ghibah, perbuatan ini haram, misalnya menirukan cara berjalan orang pincang, membungkuk, atau kondisi-kondisi lain yang ditiru.


Dari Anas radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Saat aku di-mi'rija-kan (dibawa naik ke langit) aku melintasi suatu kaum. Mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar wajah dan dada mereka. Aku kemudian bertanya, 'Siapa mereka itu, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang memakan daging orang, dan membicarakan harga diri orang lain!’
[HR. Abu Dawud].
[Shahih: Ahmad (3/224) dan Abu Dawud (4878). Lihat Ash-Shahihah (553) dan Shahih Al-Jami' 5213)].


Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditanya, "Wahai Rasulullah, si fulan dan fulanah berpuasa, keduanya sudah tidak kuat.' Beliau berkata, 'Panggil keduanya!' Beliau kemudian berkata kepada salah satunya, 'Muntahlah!' Ia kemudian memuntahkan daging, darah segar, dan nanah.' Yang satunya lagi juga seperti itu. Setelah itu beliau bersabda, 'Keduanya menahan diri dari apa yang Allah halalkan, namun keduanya tidak bisa menjaga diri dari apa yang Allah haramkan. Salah satunya mendatangi yang lain, lalu keduanya terus memakan daging orang hingga perut mereka berdua penuh dengan nanah'."


Wallohu Ta’ala A’alam
Semoga kita terhindar dari perkataan yang bisa menhilangkan pahala amalan shaum ramadhan dan sesudahnya.
Barakallahu fiik.
Semoga bermanfa’at
Wassalamu’alaykum wa Rahmatulloh wa Barakatuh.

Kamis, 09 Juli 2015

PEMBAHASAN SINGKAT TERKAIT HUTANG PIUTANG



Assalamu’alaykum wa Rahmatullah wa Barakatuh


Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah


Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da


Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.


Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa


Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod faaza fauzan 'adzhiima.


Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar.


Berikut ini Pembahasan Singkat Terkait Hutang Piutang:


Islam mengatur mu’amalah (intraksi) manusia dengan peraturan terbaik. Agama Islam mengajarkan adab dan mu’amalah yang baik dalam semua transaksi yang dibenarkan dan disyari’atkan dalam Islam, misalnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa, gadai termasuk dalam transaksi pinjam meminjam atau hutang piutang


Yang wajib diingat oleh setiap Muslim dan Muslimah bahwa hutang wajib dibayar dan kalau tidak dibayar akan dituntut sampai hari kiamat. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam tidak mau menshalatkan jenazah seorang Muslim yang masih memiliki tanggungan hutang dua dinar sampai hutang itu dilunasi,


Hutang piutang adalah mu’amalah yang dibenarkan syari’at Islam. Mu’amalah ini wajib dilaksanakan sesuai syari’at Islam, tidak boleh menipu, tidak boleh ada unsur riba, tidak boleh ada kebohongan dan kedustaan, dan wajib diperhatikan bahwa utang wajib dibayar.


Orang yang berhutang, biasanya memiliki akad/perjanjian, dan perjanjian itu wajib dipenuhi sebagaimana firman Allah 'Aza wa Jalla:


"Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."
[QS. Al-Isra: 34].


Yakni penuhilah janji yang saling kalian janjikan kepada orang lain dan akad yang kalian lakukan. Karena pembuat janji maupun akad, masing-masing akan dimintai pertanggung jawabannya, apakah ia telah memenuhinya ataukah belum.


Dan manakala ia berjanji dengan atas nama Allah, Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji."
[QS. An-Nahl: 91].


Allah 'Aza wa Jalla memerintahkan untuk memenuhi janji dan menjaga sumpah yang sudah diteguhkan. Karena inilah Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah (mu) itu, sesudah meneguhkannya."
[QS. An-Nahl: 91].


"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu."
[QS.Al-Ma'idah: 1].


Ibnu Abbas berkata, "Yang dimaksud dengan perjanjian-perjanjian disini adalah segala yang Allah halalkan dan Allah haramkan, dan yang Allah tentukan di dalam Al-Qur'an, maka semua itu jangan kalian langgar."


Zaid bin Aslam berkata, "ia (perjanjian) ada enam: perjanjian dengan Allah, akad sumpah (half), akad syirkah, akad jual beli, akad nikah, dan akad sumpah (yamin).


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu tunaikan? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan."
[QS. Ash-Shaff: 2-3].


'Al-Maqt' disini adalah kebencian yang besar.
Demikianlah di dalam ayat-ayat tersebut diatas terdapat ancaman keras bagi orang yang menyelisihi janji dan melanggar sumpah.


Terkait Jiwa Seorang Yang Berhutang:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Jiwa seorang Mukmin tergantung dengan hutangnya, sampai hutangnya tersebut dilunasi."
[HR. At-Tirmidzi, dan ia mengatakan, "Hadits hasan"].
[Shahih: Ahmad (2/440); At-Tirmidzi (1078). Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih At-Tirmidzi (860,861)]
Hadits tersebut adalah anjuran untuk mempercepat pelunasan hutang si mayit.


Mati Dalam Keadaan Masih Membawa Hutang, Kebaikannya Sebagai Ganti:


Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”
[HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih].
Ibnu Majah juga membawakan hadits ini pada Bab Peringatan keras mengenai hutang.


Orang yang Berniat Tidak Mau Melunasi Hutang Akan Dihukumi Sebagai Pencuri:


Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.”
[HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih]
Al Munawi mengatakan, Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.”
[Faidul Qodir, 3/181]
Ibnu Majah membawakan hadits di atas pada Bab “Barangsiapa berhutang dan berniat tidak ingin melunasinya.”
Ibnu Majah juga membawakan riwayat lainnya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.”
[HR. Bukhari no. 18 dan Ibnu Majah no. 2411].
Di antara maksud hadits ini adalah barangsiapa yang mengambil harta manusia melalui jalan hutang, lalu dia berniat tidak ingin mengembalikan hutang tersebut, maka Allah pun akan menghancurkannya.


Keluarga Dari si Mayit Wajib Melunasi Hutangnya:


Seorang yang meninggal dunia maka yang pertama kali diurus adalah membayarkan utang-utangnya meskipun itu menghabiskan seluruh hartanya dan tidak meninggalkan warisan. Allâh ‘Aza wa Jalla berfirman:


“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya…”
[QS. An-Nisa’: 11].


“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allâh…”
[QS. An-Nisa': 12].


Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi:


"Jika Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki kebaikan bagi sebuah keluarga, ia akan memasukkan kelembutan. Jika kelembutan menjadi makhluk, maka dia adalah makhluk yang paling bagus. Sedangkan kekerasan jika menjadi makhluk, maka dia adalah makhluk yang paling buruk."


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya."
[QS. An-Nisa': 58].


Sebagian besar kalangan mufassir menyebutkan, "Ayat ini turun berkenaan dengan Utsman bin Thalhah ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menerima kunci Ka'bah darinya saat penaklukan Mekah. Ayat ini berlaku umum untuk seluruh amanah, karena yang menjadi acuan adalah kata-kata umum, bukan khususnya sebab."


Allah 'Aza wa Jalla berfirman:


"Tetapi, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)."
[QS. Al-Baqarah: 283].


Yaitu, jika sebagian di antara kalian memercayai sebagian yang lain tanpa jaminan dan tanpa saksi, hendaklah orang yang dipercayai menunaikan amanatnya. Perintah untuk menunaikan amanat adalah hukum umum, termasuk amanat yang disebutkan disini dan juga amanat lainnya, seperti barang-barang titipan dan lainnya.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, menunda-nunda pembayaran hutang (yang dilakukan) orang kaya adalah suatu kedzaliman, dan apabila seseorang di antara kalian dialihkan (pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, hendaklah menerima (pengalihan hutang tersebut)."
[Muttafaq 'alaih].
[Shahih: Al-Bukhari (2287) dan Muslim (1564)].


Dalam hadits tersebut, kata 'Utbi'a' berarti 'Dialihkan' dan 'Mali'' berarti Orang kaya.
Dalam hadits ini Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, "Kaitan rangkaian kalimat ini dengan sebelumnya adalah, setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan sikap menunda-nunda hutang yang dilakukan orang kaya adalah suatu kedzaliman, beliau melanjutkan agar sepatutnya pengalihan hutang pada orang kaya diterima, karena penerimaan pengalihan hutang ini menghilangkan kedzaliman yang dilakukan pihak yang menunda-nunda pembayaran hutang, karena penagihan hutang terhadap pihak yang hutang dialihkan kepadanya mungkin mudah bagi pihak yang menagih. Hadits ini dijadikan dalil acuan kerelaan pihak yang mengalihkan hutang (muhil) dan pihak yang hutang dialihkan kepadanya (muhtal), tanpa mengacu pada kerelaan si pemilik hutang yang hutangnya dialihkan pada pihak lain (muhal 'alaih)."


Orang Yang Masih Memiliki Hutang Enggan Disholati:


Dari Jabir radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Ada seorang laki-laki di antara kami meninggal dunia, lalu kami mandikan, lubang-lubang tubuhnya kami tutup dengan kapas, dan kami bungkus dengan kain kafan. Kemudian kami bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, lalu kami berkata: "Engkau hendak menshalatinya?" Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengayunkan kaki beberapa langkah seraya bertanya: "Apakah dia memiliki hutang?" Kami menjawab: "Dua dinar". Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam pergi. Akhirnya Abu Qathadah menanggungnya sehingga kami datang lagi kepada beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Qathadah berkata: "Dua dinar itu saya tanggung". Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jelaslah kamu yang menjadi orang yang berhutang dan mayit ini bebas dari beban dua dinar?" Ia menjawab: "Ya". Setelah itu baru beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mau menshalatinya."
[Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Al-Hakim].


Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
Kami duduk di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”. Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam menyolati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meningalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.
[HR. Bukhari no. 2289].


Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam selalu berdo’a agar telindung dari utang. Dari ‘Aisyah radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wasallam berdo’a dalam shalatnya:


“Ya Allâh sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab kubur, aku berlindung kepadamu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan fitnah mati. Ya Allâh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.”


Ya Allah, lindungilah kami dari banyak berhutang dan enggan untuk melunasinya.


Wallahu Ta’ala ‘Alam.


Wassalamu’alaykum..
Semoga bermanfa’at.


Sumber:

Al-Qur’an.

Kitab Riyadhus Shalihin.

Kitab Bulughul Marom.


http://almanhaj.or.id/content/3350/slash/0/ruh-seorang-mukmin-terkatung-katung-tertahan-pada-hutangnya-hingga-dilunasi/