Syarah Hadits Arba'in
an-Nawawi
Hadits ke-2:
“Dari Umar radhiyallahu 'anhu juga dia berkata: “Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki
yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak
padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam lalu menempelkan kedua lututnya dan meletakkan kedua tangannya pada
kedua pahanya seraya berkata: ''Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam.”
Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan
pergi haji jika mampu.” Kemudian
laki-laki tersebut berkata, “anda benar.” Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian
laki-laki tersebut bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang Iman.” Lalu beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan
engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian laki-laki tersebut berkata, “Anda
benar.” Kemudian laki-laki tersebut berkata lagi, “Beritahukan aku tentang
Ihsan.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ihsan adalah engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak
melihatnya maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” Kemudian laki-laki tersebut
berkata, “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya).” Beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya.” Dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Beliau
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan
tuannya. Dan jika engkau melihat seorang yang bertelanjang kaki dan dada,
miskin dan penggembala domba berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Kemudian
laki-laki tersebut berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau Shallallahu
'alaihi wasallam bertanya, “Tahukah engkau siapa laki-laki tadi yang bertanya?”
Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, “Dia adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajari
kalian agama kalian.”
(HR. Muslim).
Penjelasan:
Hadits Jibril ini adalah riwayat dari Umar Radhiyallahu
'anhu, dikeluarkan oleh Muslim saja dari Bukhari. Namun keduanya juga sama-sama
mengeluarkannya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Imam An-Nawawi
Rahimahullah memulai hadits-hadits arba'in nya dengan hadits Umar (Innamal
'amalu binniyyati) dan merupakan hadits pertama dalam Shahih Bukhari. Kemudian dia lanjutkan dengan hadits Umar tentang
kisah kedatangan Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, yang
merupakan hadits pertama dalam Shahih
Muslim. Sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan oleh Imam Al-Baghawi
dalam dua kitabnya Syarhus Sunnah dan
Mashabihus Sunnah. Kedua kitabnya ini
diawali dengan dua hadits tersebut.
Hadits ini adalah hadits pertama dalam Kitabul Iman dalam Shahih
Muslim. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya. Periwayatan
hadits ini memiliki kisah tersendiri yang disebutkan oleh Muslim di awal hadits
ini dengan sanadnya dari Yahya bin Ya'mar. Dia berkata, “Orang pertama yang
menyuarakan Qadariyah di Bashrah adalah Ma'bad al-Juhani. Kemudian aku dan
Hamid Ibnu Abdirrahman al-Himyari pergi berhaji atau umrah. Kamipun berkata, “Jika
kita bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam, kita akan tanya dia tentang ucapan orang-orang tersebut mengenai
takdir.” Akhirnya kami mendapat taufik
untuk bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khaththab yang kala itu tengah
memasuki masjid. Kami segera mengapitnya, dari kanan dan kiri. Aku mengira
temanku menyerahkan pembicaraan kepadaku, akupun berkata, “Wahai Abu
Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan mempelajari
ilmu.” Dia sebutkan bahwa diantara perkara mereka adalah mereka menganggap
tidak ada takdir, segala perkara terjadi begitu saja. Diapun berkata, “Jika
engkau bertemu mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka
dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang dengan-Nya Abdullah bin Umar
bersumpah! Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung
Uhud kemudian dia menginfakkannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya darinya
hingga dia beriman kepada takdir.” Kemudian dia berkata, “Ayahku Umar bin Khaththab
telah menyampaikan hadits padaku.” Kemudian dia menyebutkan hadits ini sebagai
dalil atas iman kepada takdir.
Kandungan kisah ini adalah bahwasanya bid'ah Qadariyah
muncul di zaman para shahabat, dan Ibnu Umar masih hidup, dia meninggal tahun
73 H semoga Allah meridhainya. Kemudian para Tabi'in merujuk kepada para
shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengetahui urusan agama.
Inilah yang wajib dilakukan, yaitu kembali kepada para ulama disetiap waktu.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43).
Kandungan lain dari kisah ini bahwasanya bid'ah Qadariyah
merupakan salah satu bid'ah paling buruk. Karena komentar Ibnu Umar sangat
keras tentangnya.
Kandungan lainnya dari kisah ini bahwa seorang mufti
(pemberi fatwa) ketika menyebutkan satu hukum dia menyebutkannya bersama
dalilnya.
Hadits Jibril ini mengandung dalil bahwa para malaikat
terkadang mendatangi manusia dalam bentuk manusia. Contohnya apa yang
disebutkan dalam Al-Qur'an tentang kedatangan Jibril kepada Maryam dalam bentuk
manusia. Demikian pula kedatangan malaikat kepada Ibrahim dan Luth dalam bentuk
manusia. Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala mereka berubah wujud dari
wujud asli mereka ke dalam wujud manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
berfirman tentang penciptaan malaikat:
“Segala puji bagi
Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan
(untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada
yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya.”
(QS. Fathir: 1).
Dalam Shahih Bukhari
[4858] dan Shahih Muslim [280] disebutkan
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melihat Jibril memiliki enam ratus
sayap.
Kisah kedatangan Jibril ini kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam lalu duduk di hadapannya memuat beberapa adab penuntut ilmu
dihadapan gurunya. Faedah lainnya bahwa seorang yang bertanya tidak mesti hanya
menanyakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya, namun selayaknya dia
menanyakan hal lain yang telah dia ketahui hukumnya agar para hadirin
mendengarkan jawabannya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
di akhir hadits menyebut Jibril sebagai pengajar. Beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam berkata, “Sesungguhnya dia
adalah Jibril. Dia mendatangi kalian untuk mengajari kalian agama kalian.”
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lah yang mengajar, sebab beliau yang
secara langsung menyampaikan. Namun beliau sandarkan kepada Jibril karena
dialah yang menjadi sebab.
Ucapannya: “Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam.”
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak
diibadahi melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah jika
engkau mampu.” Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab pertanyaan Jibril
tentang Islam dengan perkara-perkara lahiriyah. Dan ketika ditanya tentang
Iman, beliau menjawabnya dengan perkara-perkara bathin. Lafazh Islam dan Iman
termasuk lafazh yang jika disebut secara bersamaan maka masing-masing memiliki
makna yang berbeda. Disini, keduanya disebut bersamaan maka Islam ditafsirkan
dengan perkara-perkara lahiriyah. Inilah yang sesuai dengan makna Islam, yaitu
berserah diri dan tunduk kepada Allah Ta'ala.
Sedangkan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin, dan ini sesuai dengan
makna iman, yaitu membenarkan dan mengakui. Namun jika kedua lafazh ini disebut
secara terpisah, maka maknanya sama: mencakup perkara lahiriyah dan bathin. Di
antara contoh penyebutan Islam secara tersendiri adalah firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
“Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS. Ali Imran: 85).
Adapun contoh disebutkannya iman secara tersendiri adalah
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Barangsiapa yang
kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah
amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. Al Ma'idah: 5).
Sama dengan ini kata fakir dan miskin, birr dan takwa dan lainnya.
Perkara pertama yang menjadi tafsir Islam adalah Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Syahadat Muhammad Rasulullah. Kedua Syahadat ini
saling berkaitan. Keduanya dituntut dari setiap manusia dan jin semenjak diutusnya
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sampai hari kiamat. Barangsiapa yang
tidak mengimani beliau maka dia termasuk penghuni neraka. Berdasarkan sabda
beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:
“Demi Allah yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini baik seorang
Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentangku, lalu dia mati tanpa beriman
dengan risalah yang aku bawa, melainkan dia termasuk penghuni neraka.” (HR.
Muslim [240]).
Makna Syahadat Laa
ilaaha illallaah adalah tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah.
Kalimat ikhlas ini mengandung dua rukun: Peniadaan yang bersifat umum
diawalnya, dan penetapan yang bersifat khusus di akhirnya. Awalnya mengandung
peniadaan ibadah dari segala sesuatu selain Allah Ta'ala, kemudian akhirnya
mengandung penetapan ibadah hanya kepada Allah Ta'ala tanpa ada sekutu
bagi-Nya. Khabar Laa (nafiyah lil jins) takdirnya adalah Haq. Tidak sesuai jika ditakdirkan dengan Maujuud (Ada). Sebab sesembahan-sesembahan batil
ada dan banyak. Sehingga yang dinafikan adalah sifat ketuhanan yang haq. Inilah
yang dinafikan dari segala sesuatu selain Allah, dan ditetapkan bagi Allah
semata.
Makna Syahadat Muhammad
Rasulullah adalah mencintai beliau melebihi makhluk lainnya, mentaati
beliau dalam setiap perintahnya, meninggalkan segala apa yang beliau larang,
membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik yang telah berlalu, yang
akan datang maupun yang sedang berlangsung, dan ini tidak disaksikan dan tidak
dilihat langsung. Dan beribadah kepada Allah sesuai dengan kebenaran dan
petunjuk yang beliau ajarkan.
Mengikhlaskan amal kepada Allah dan mengikuti apa yang
dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam merupakan konsekuensi dari
Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Muhammad Rasulullah. Semua amal yang
digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah harus ikhlas kepada Allah dan
sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Jika ikhlas tidak
ada maka amal tidak diterima. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan Kami hadapi
segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu
yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqan: 23).
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman dalam hadits qudsi:
“Aku paling tidak
membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan sebuah amal, dia menyekutukan
Aku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan dia bersama syiriknya.”
(HR. Muslim [2985]).
Dan jika ittiba'
(kesesuaian dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) tidak ada, maka
amal itu juga tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam:
“Barangsiapa yang
membuat-buat dalam dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya, maka
hal tersebut tertolak.”
(HR. Bukhari [2697] dan Muslim [1718]).
Dalam salah satu lafazh riwayat Muslim:
“Barangsiapa yang
mengerjakan sebuah amal yang tidak didasari oleh perintah kami maka ia
tertolak.”
Hadits ini lebih umum daripada hadits pertama. Sebab
mencakup orang yang melakukan sebuah bid'ah yang ia buat sendiri dan orang yang
melakukan bid'ah karena mengikuti orang lain.
Ucapannya; Dia
berkata, “Anda benar.” Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang
membenarkan. Keheranannya ini disebabkan karena biasanya orang yang
bertanya tidak mengetahui jawabannya, sehingga dia bertanya agar mengetahui
jawabannya. Orang seperti ini tidak akan berkata kepada orang yang ditanyanya
ketika mendapat jawaban, “Engkau benar.” Sebab jika si penanya membenarkan
orang yang ditanya, ini menunjukkan bahwa si penanya sudah mengetahui
jawabannya sejak awal. Karena itulah para shahabat heran dengan si penanya yang
aneh tersebut yang membenarkan jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Ucapannya; Dia bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang Iman.” Lalu beliau bersabda, “Engkau beriman
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari
akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.”
Jawaban ini mencakup enam rukun Iman. Rukun pertama adalah beriman kepada
Allah. Yang merupakan asas iman terhadap semua yang wajib diimani. Karena
itulah di-idhafah-kan kepada-Nya para
malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul. Barangsiapa yang tidak beriman kepada
Allah maka dia tidak mengimani rukun lainnya. Iman kepada Allah mencakup iman
kepada Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya, nama-nama dan
sifat-sifat-Nya. Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala disifati dengan
segala sifat sempurna yang layak dengan-Nya, suci dari segala sifat kekurangan.
Maka wajib mengesakan Allah dengan Rububiyah-Nya,
Uluhiyah-Nya serta Asma' was shifat-Nya.
Mentauhidkan Allah dengan Rububiyah-Nya yaitu berikrar bahwa Dia Maha Esa dalam perbuatannya,
tanpa ada sekutu bagi-Nya. Seperti menciptakan, memberi rizki, menghidupkan,
mematikan, mengatur segala urusan, mengatur semesta alam dan lain-lainnya yang
berkaitan dengan Rububiyah-Nya.
Tauhid Uluhiyah
adalah mentauhidkan-Nya dalam perbuatan para hamba. Seperti do'a, rasa takut,
rasa harap, tawakkal, memohon pertolongan, memohon perlindungan, istighatsah, menyembelih, bernadzar dan
jenis-jenis ibadah lainnya yang wajib diserahkan hanya kepada Allah. Tidak
boleh diserahkan kepada selain-Nya sedikitpun. Meskipun kepada malaikat yang
dekat dengan-Nya ataupun nabi yang diutus, apalagi yang lainnya.
Adapun Tauhid Asma'
Was Shifat adalah menetapkan segala apa yang ditetapkan oleh Allah bagi
diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam berupa
nama-nama dan sifat-sifat yang layak dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya,
tanpa takyif atau tamtsil, ataupun tahrif, ta'wil dan ta'thil. Serta mensucikan-Nya dari
segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
“Tidak ada sesuatupun
yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”
(QS. Asy-Syuura: 11).
Di dalam ayat ini terkumpul antara penetapan dan pensucian.
Penetapan terkandung dalam firman-Nya: “Dan
Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” Dan pensucian terkandung dalam
firman-Nya: “Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia.” Maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki
pendengaran yang tidak sama dengan pendengaran-pendengaran lain. Dia memiliki
penglihatan yang tidak sama dengan penglihatan-penglihatan lain. Demikian
seterusnya dikatakan dalam setiap nama dan sifat yang tetap bagi Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Iman kepada malaikat adalah beriman bahwasanya mereka
termasuk makhluk yang diciptakan Allah. Mereka diciptakan dari cahaya,
sebagaimana disebutkan dalam Shahih
Muslim [2996] bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Malaikat diciptakan
dari cahaya. Jin diciptakan dari Nyala api. Dan Adam diciptakan dari apa yang telah
disifatkan kepada kalian.”
Mereka memiliki sayap sebagaimana disebut dalam ayat pertama
surat Fathir. Jibril saja memiliki 600 sayap, sebagaimana disebutkan dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di muka. Jumlah mereka sangat banyak,
tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Dalilnya adalah bahwasanya Baitul Ma'mur
yang berada dilangit ketujuh dimasuki oleh 70.000 malaikat setiap harinya tanpa
pernah kembali lagi ke dalamnya. Diriwayatkan oleh Bukhari [3207] dan Muslim
[259]. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya
[2842] dari Abdullah bin Ma'ud Radhiyallahu 'anhu dia berkata, “Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Pada hari itu akan
didatangkan Neraka Jahannam dengan 70.000 tali pengekang, setiap kekang ditarik
oleh 70.000 malaikat.”
Diantara malaikat ada yang ditugaskan untuk menyampaikan
wahyu. Ada pula yang ditugaskan menurunkan hujan. Ada yang ditugaskan untuk
mematikan. Ada yang ditugaskan didalam rahim. Ada yang ditugaskan di surga. Ada
yang ditugaskan di neraka. Dan lain-lainnya. Semuanya tunduk dan taat kepada
perintah Allah. Mereka tidaklah menentang perintah-Nya, mereka melakukan apa
yang diperintahkan kepada mereka. Diantara malaikat ada yang disebut namanya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Malik, Munkar dan
Nakir. Wajib mengimani malaikat yang telah disebut namanya ataupun yang belum
disebut namanya. Wajib pula mengimani dan membenarkan semua berita tentang
malaikat yang disebutkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.
Iman kepada kitab-kitab-Nya adalah membenarkan dan mengakui
semua kitab yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada salah seorang
Rasul-Nya. Serta meyakini bahwa semua haq, diturunkan (dari sisi Allah) dan
bukan makhluk. Semuanya mengandung kebahagiaan bagi umat tempat diturunkannya.
Barangsiapa yang mengambilnya maka dia akan selamat dan beruntung. Dan
barangsiapa yang berpaling darinya maka dia telah merugi. Diantara kitab-kitab
ini ada yang disebut namanya dan ada yang tidak. Diantara yang disebut dalam
Al-Qur'an adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim dan Musa. Penyebutan
Shuhuf Ibrahim dan Musa tercantum pada dua tempat di dalam Al-Qur'an; pada
surat An-Najm dan Al-A'la. Zabur Daud disebut dua kali dalam Al-Qur'an, yaitu
dalam surat An-Nisa' dan Al-Isra'. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman pada
kedua surat tersebut:
“Dan Kami berikan
Zabur kepada Daud.”
(QS. An-Nisa': 163 dan Al-Isra': 55).
Adapun Taurat dan Injil banyak disebutkan dalam Al-Qur'an,
namun yang terbanyak adalah penyebutan Taurat. Tidak pernah seorang rasul
disebut dalam Al-Qur'an seperti Musa. Dan tidak pernah satu kitab disebut di
dalam Al-Qur'an seperti Kitab Musa. Namanya disebut dengan At-Taurat, Al-Kitab,
Al-Furqan, Adh-Dhiya' dan Adz-Dzikr.
Salah satu keistimewaan Al-Qur'an dibanding kitab-kitab
sebelumnya adalah Al-Qur'an menjadi mukjizat abadi. Allah menjamin
keterpeliharaannya, selamat dari perubahan dan diturunkan tidak sekaligus.
Iman kepada rasul-rasul adalah membenarkan dan mengakui
bahwa Allah memilih dari kalangan manusia para rasul dan nabi yang menuntun
manusia menuju kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Allah memilih
utusan-utusan-(Nya) dari Malaikat dan dari manusia.”
(QS. Al-Hajj: 75).
Adapun jin, tidak ada rasul di kalangan mereka, yang ada
hanyalah para pemberi peringatan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala
firmankan:
“Dan (ingatlah) ketika
Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur'an, Maka
tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: ''Diamlah kamu
(untuk mendengarkannya).” ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami,
sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan
sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada
kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang
yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan
mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih. Dan orang
yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak
akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya
pelindung selain Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Al-Ahqaf: 29-32).
Mereka tidak menyebut rasul dari kalangan mereka dan tidak
pula kitab-kitab diturunkan kepada mereka. Mereka hanya menyebut dua kitab yang
diturunkan kepada Musa dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidak
disebutkan Injil yang datang setelah Taurat. Hal itu karena banyak dari
hukum-hukum Injil telah ada didalam Taurat. Ibnu Katsir berkata ketika
menafsirkan ayat-ayat ini, ''Mereka tidak menyebut Isa karena Isa 'alaihissalaam
diturunkan kepadanya Injil. Di dalamnya banyak terdapat wejangan dan nasihat
yang bertujuan untuk melembutkan hati, serta sedikit menyebutkan halal dan haram.
Maka Injil hakikatnya seperti penyempurna syari'at Taurat, sebab sandarannya
adalah Taurat.” Karena itulah mereka berkata: “Yang telah diturunkan sesudah Musa.”
Rasul adalah orang yang dibebankan untuk menyampaikan
syari'at yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
“Sesungguhnya Kami
telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan).”
(QS. Al-Hadid: 25).
Alkitab adalah isim jins
yang berarti kitab-kitab.
Sedang nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya untuk
menyampaikan syari'at sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Sesungguhnya Kami
telah menurunkan kitab Taurat yang didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab
Allah.”
(QS. Al-Ma'idah: 44).
Para rasul dan nabi telah menyampaikan apa yang
diperintahkan kepada mereka dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala:
“Mereka tidak ada
kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(QS. An-Nahl: 35).
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
“Orang-orang kafir
dibawa ke neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai
ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka
penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-rasul diantaramu
yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan
dengan hari ini?” mereka menjawab: “Benar (telah datang).” tetapi telah pasti
berlaku ketetapan adzab terhadap orang-orang yang kafir.”
(QS. Az-Zumar: 71).
Az-Zuhri berkata, “Dari Allah Subhanahu wa Ta'ala berasal Risalah, kewajiban Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk
menerima.” Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya
pada Kitabut Tauhid, bab firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
“Hai rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya.”
(QS. Al-Ma'idah: 67). [XIII/503 bersama Al-Fath].
Diantara para rasul ada yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an,
ada pula yang belum dikisahkan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan (Kami telah
mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu
dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.”
(QS. An-Nisa': 164).
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan sesungguhnya
telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang
Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami
ceritakan kepadamu.”
(QS. Ghafir: 78).
Rasul-rasul yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an ada dua puluh
lima rasul. Delapan belas diantaranya disebutkan dalam surat Al-An'am, yaitu firman
Allah Ta'ala:
“Dan itulah hujjah
Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan
siapa yang kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana
lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya.
Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum
itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya
(Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas
semuanya termasuk orang-orang yang shalih. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth
masing-masing Kami lebihkan derajatnya diatas umat (di masanya).”
(QS. Al-An'am: 83-86).
Tujuh orang sisanya adalah Adam, Idris, Hud, Shalih,
Syu'aib, Dzulkifli dan Muhammad Shalawatullaah
wa salaamuhu wa barakaatuhu 'alaihim ajma'in.
Iman kepada hari akhir adalah membenarkan dan mengakui
segala apa yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang peristiwa
setelah mati. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan kehidupan ini dua
kampung: Kampung dunia dan kampung akhirat. Pembatas antara kedua kehidupan ini
adalah kematian, tiupan sangkakala yang mematikan semua orang yang masih hidup
di akhir zaman. Semua orang yang telah mati telah tiba kiamatnya, berpindah
dari kampung amal menuju kampung balasan. Kehidupan setelah mati ada dua:
kehidupan barzakh, yaitu setelah mati hingga hari kebangkitan. Dan kehidupan
setelah mati. Kehidupan barzakh tidak ada yang mengetahui halilatnya kecuali
Allah. Kehidupan ini mengikuti kehidupan setelah mati. Sebab di kedua kehidupan
ini diberikan balasan amal. Orang-orang yang berbahagia mendapatkan nikmat
surga dalam kubur mereka. Sedang orang-orang yang sengsara mendapatkan adzab
neraka didalam kubur mereka.
Termasuk iman kepada hari akhir adalah iman kepada hari
pembangkitan, pengumpulan, syafa'at,
telaga, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal), shirat (jembatan), surga, neraka dan
lainnya yang telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Iman kepada takdir adalah beriman bahwa Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat. Ini
memiliki empat fase:
1. Allah sejak awal mengetahui segala apa yang terjadi.
2. Allah menulis semua takdir lima puluh ribu tahun sebelum
menciptakan langit dan bumi.
3. Allah berkehendak atas semua yang ditakdirkan.
4. Allah menciptakan dan mengadakan semua apa yang
ditakdirkan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya, catatan-Nya dan kehendak-Nya.
Maka bagi kita wajib beriman dengan ke-empat fase ini. Dan
meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti ada, dan segala
sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka tidak mungkin ada. Inilah dia
makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:
“Dan ketahuilah bahwa
apa yang menimpamu tidak mungkin meleset darimu. Dan apa yang tidak mengenaimu
tidak mungkin menimpamu.”
Ucapannya, “Beritahukan
aku tentang ihsan.” Lalu beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihatmu.” Ihsan
merupakan derajat paling tinggi. Di bawahnya adalah derajat iman kemudian
Islam. Setiap mukmin adalah muslim, dan setiap muhsin adalah mukmin dan muslim.
Dan tidak setiap muslim seorang mukmin dan muhsin. Karena itu disebutkan dalam
surat Al-Hujurat:
“Orang-orang Arab
Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi
katakanlah, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke
dalam hatimu.”
(QS. Al-Hujurat: 14).
Di dalam hadits ini diterangkan ketinggian derajat ihsan,
yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.”
Artinya engkau beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau berdiri dihadapan-Nya,
melihat-Nya. Barangsiapa yang seperti ini keadaannya, maka sesungguhnya dia
telah melaksanakan ibadah dengan sempurna. Jika tidak demikian, maka dia harus
meresapi dan menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melihatnya dan tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya. Sehingga dia berhati-hati jangan sampai
Allah melihatnya melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Karenanya dia beramal
agar dilihat-Nya, bukan karena dilihat seseorang, sesuai dengan perintah-Nya.
Ucapannya: Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya).” Beliau
bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Allah
mengkhususkan diri-Nya dengan ilmu ghaib, maka tidak ada yang mengetahui kapan
terjadi kiamat melainkan Dia.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah,
hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang
menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun
yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan
tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Luqman: 34).
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan pada sisi
Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali
Dia sendiri.”
(QS. Al-An'am: 59).
Diantaranya adalah ilmu tentang hari kiamat. Di dalam Shahih Bukhari [4778] dari Abdullah bin
Umar dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Kunci-kunci ilmu
ghaib ada lima.” Kemudian beliau membaca: “Sesungguhnya Allah, hanya pada
sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat.”
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Mereka menanyakan
kepadamu tentang kiamat: “Kapankah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya
pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang
dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru
haranya bagi makhluk) yang dilangit dan di bumi, kiamat itu tidak akan datang
kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu
benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari
kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. Al-A'raf: 187).
Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kiamat akan terjadi
pada hari Jum'at. Namun masalah tahun berapa, bulan apa dan Jum'at yang mana
terjadinya, tidak ada yang mengetahui hal tersebut melainkan Allah. Di dalam Sunan Abi Daud [1046] dari Abu Hurairah
dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Hari terbaik yang
terbit padanya matahari adalah hari Jum'at. Di hari Jum'at Adam diciptakan, di
hari Jum'at dia diturunkan (ke bumi), di hari Jum'at dia diampuni dan di hari
Jum'at dia meninggal. Dan di hari Jum'at terjadi kiamat. Tidak ada satu makhluk
melatapun melainkan berubah bentuk pada hari Jum'at dari waktu subuh hingga
terbit matahari; karena takut terjadi kiamat, kecuali jin dan manusia.”
(Al-Hadits. Hadits ini shahih, para rawinya adalah para rawi Kutubus Sittah, kecuali Al-Qana'i, Ibnu
Majah tidak mengeluarkan riwayatnya).
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang
bertanya.” Artinya bahwa makhluk tidak tahu kapan terjadinya. Dan
bahwasanya penanya manapun dan orang manapun yang ditanya sama-sama tidak
mengetahuinya.
Ucapannya: Dia berkata, “Beritahukan
aku tentang tanda-tandanya.” Beliau bersabda: “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya. Dan jika engkau melihat
seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, berlomba-lomba
meninggikan bangunan.” (amaaroh) artinya tanda-tanda. Tanda-tanda hari
kiamat terbagi menjadi dua; (pertama) tanda-tanda kedekatan waktunya, seperti
terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya Dajjal, keluarnya Ya'juj
dan Ma'juj, turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalaam dari langit dan
lain-lainnya. Dan (kedua) tanda-tanda sebelum itu, diantaranya tanda-tanda yang
disebutkan pada hadits ini.
Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, “Jika seorang budak wanita melahirkan
tuannya'' ditafsirkan bahwa ini merupakan isyarat akan banyaknya terjadi
penaklukan dan akan banyaknya tawanan. Diantara wanita tawanan ada yang digauli
oleh tuannya dan melahirkan seorang anak lelaki untuknya. Sehingga wanita
tersebut menjadi Ummu Walad (istilah
bagi seorang budak wanita yang melahirkan anak dari hasil hubungan dengan
tuannya). Ditafsirkan juga bahwa akan terjadi perubahan keadaan dan perbuatan
durhaka dari anak-anak terhadap ayah dan ibu mereka hingga anak-anak seolah
menjadi tuan bagi ayah dan ibu mereka.
Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, “Dan jika engkau melihat seorang
bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba
meninggikan bangunan.” Bahwa orang-orang fakir yang menggembala kambing dan
tidak memiliki pakaian, keadaan mereka berubah. Mereka berpindah menuju
penduduk kota dan mereka berlomba meninggikan bangunan disana. Kedua tanda ini
telah terjadi.
Ucapannya: “Kemudian
orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau bertanya: “Tahukah
engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian
(bermaksud) mengajarkan agama kalian.” Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
telah memberitahu para shahabatnya bahwa orang yang bertanya tersebut adalah
Jibril, setelah dia pergi. Terdapat keterangan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi
wasallam memberitahu Umar tiga hari setelahnya. Hal ini tidaklah bertentangan.
Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahu hadirin dan Umar
radhiyallahu 'anhu tidak ada, sebab dia telah meninggalkan majelis. Tiga hari
kemudian baru dia berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.
Diantara kandungan
hadits ini adalah:
1. Seorang penanya, selain bertanya untuk belajar dia juga
kadang bertanya untuk memberikan ilmu. Seorang yang mengetahui suatu ilmu
bertanya agar para hadirin mendengar jawabannya.
2. Para malaikat terkadang berubah dari bentuk aslinya ke
dalam bentuk manusia. Namun ini bukanlah dalil bolehnya sandiwara atau drama
yang banyak dilakukan di zaman ini. Sebab sandiwara atau drama adalah salah
satu bentuk dusta. Adapun apa yang terjadi pada Jibril, itu merupakan atas izin
dan kuasa Allah.
3. Penjelasan tentang adab seorang murid bersama gurunya.
4. Ketika Islam disebut bergandengan dengan Iman maka Islam
ditafsirkan dengan perkara-perkara zahir dan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara
bathin.
5. Memulai dengan yang terpenting. Sebab beliau Shallallahu
'alaihi wasallam memulai tafsir Islam dengan Syahadatain dan tafsir iman dengan
iman kepada Allah.
6. Rukun Islam ada lima dan pokok Iman ada enam.
7. Penjelasan perbedaan tingkatan Islam, Iman dan Ihsan.
8. Penjelasan ketinggian derajat Iman.
9. Ilmu tentang hari kiamat merupakan salah satu perkara
yang dikhususkan oleh Allah untuk diri-Nya.
10. Penjelasan tentang beberapa tanda kiamat.
11. Seorang yang tidak tahu mengucapkan: Allahu a'lam.
Sumber:
Kitab "Fathul
Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni
Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh
'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan
Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul
Ilmi", Cileungsi-Bogor.