AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Jumat, 25 Juli 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-4.

Hadits Ke-4:



"Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi darah yang menggumpal selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari. Kemudian diutus kepadanya malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan dia diperintahkan untuk menetapkan empat perkara: menetapkan rizkinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada ilah selain-Nya, sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli syurga hingga jarak antara dirinya dan syurga tinggal sehasta, akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka, maka masuklah dia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya diantara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli syurga, maka masuklah dia kedalam syurga."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Penjelasan:



Ucapannya: "Orang yang benar akan dibenarkan." Maknanya adalah benar dalam ucapannya dan dibenarkan dalam wahyu yang dibawanya. Ibnu Mas'ud mengucapkan hal ini karena hadits ini berkenaan dengan perkara-perkara ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali melalui wahyu.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya." Dikatakan bahwa maksudnya adalah mani lelaki dikumpulkan dengan mani perempuan di dalam rahim, kemudian darinya diciptakan manusia. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



"Dia diciptakan dari air yang dipancarkan."
(QS. Ath-Thariq: 6).



Dan firman-Nya:



"Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina? Kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kokoh (rahim)."
(QS. Al- Mursalat: 20-21).



Yang dimaksud dengan Penciptaannya adalah asal diciptakannya manusia. Terdapat sebuah hadits dalam Shahih Muslim [1438]:



"Tidak setiap mani menjadi anak."



Di dalam hadits ini disebutkan fase penciptaan manusia. Yaitu: Pertama Nuthfah, yang artinya air yang berjumlah sedikit. Kedua 'Alaqah, yang artinya darah yang menggumpal. Ketiga Mudhghah, yang artinya segumpal daging seukuran kunyahan manusia. Allah telah menyebutkan ketiga fase ini dalam firman-Nya:



"Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna."
(QS. Al-Hajj: 5).



Makna: "Yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna;" Berbentuk dan tidak berbentuk. Penjelasan paling lengkap tentang fase penciptaan manusia adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Surat Al-Mukminun:



"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik."
(QS. Al-Mukminun: 12-14).



Dalam hadits ini disebutkan bahwa setelah berlalu ketiga fase ini-yaitu setelah seratus dua puluh hari- ditiupkan padanya ruh, sehingga seorang insan menjadi hidup, sedang sebelum itu dia mati. Telah disebutkan di dalam Al-Qur'anul Karim bahwa seorang insan memiliki dua kehidupan dan dua kematian. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan tentang orang-orang kafir:



"Mereka menjawab: "Ya Tuhan kami, Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula)."
(QS. Ghafir: 11).



Kematian pertama adalah sebelum ditiupkannya ruh. Kemudian kehidupan pertama adalah semenjak ditiupkannya ruh hingga ajal tiba. Kemudian kematian kedua adalah setelah mati hingga hari berbangkit, kematian ini tidaklah menafikan kehidupan alam barzakh yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kemudian kehidupan kedua adalah setelah berbangkit dari kubur, yang merupakan kehidupan abadi tanpa batas. Keempat keadaan manusia ini Allah terangkan dalam firman-Nya:



"Dan Dia-lah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat."
(QS. Al-Hajj: 66).



"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?"
(QS. Al-Baqarah: 28).



Jika janin gugur setelah ditiupkannya ruh maka diberlakukan atasnya hukum-hukum seperti dimandikan, dishalati, masa 'iddah (ibu janin tersebut) habis (jika dia diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya ketika mengandung), jika ibunya budak maka dia disebut Ummu Walad dan nifas. Jika gugur sebelum itu maka hukum-hukum ini tidak berlaku.



Setelah malaikat menetapkan rizkinya, ajalnya, kelaminnya dan dia akan bahagia atau sengsara, maka mengetahui jenis kelamin janin bukanlah termasuk ilmu ghaib yang Allah Ta'ala khususkan bagi diri-Nya, sebab malaikat telah mengetahu hal tersebut. Maka mengetahui jenis kelamin janin menjadi satu hal yang mungkin.



Sesungguhnya takdir ketetapan Allah telah mendahului segala sesuatu yang ada. Dan sesungguhnya ukuran kebahagian dan kesengsaraan seseorang adalah keadaannya ketika akan meninggal.



Keadaan manusia berdasarkan permulaan dan akhir hayatnya ada empat:



Pertama: Ada yang permulaannya baik dan akhir hayatnya pun baik.



Kedua: Ada yang permulaannya buruk dan akhir hayatnya pun buruk.



Ketiga: Ada yang permulaannya baik dan akhir hayatnya buruk. Seperti orang yang tumbuh diatas ketaatan kepada Allah. Kemudian sebelum meninggal dia murtad dari Islam dan mati dalam keadaan murtad.



Keempat: Ada yang permulaannya buruk dan akhir hayatnya baik. Seperti para penyihir Fir'aun yang beriman kepada Rabb Musa dan Harun. Seperti lelaki yahudi yang melayani Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dan Nabi jenguk dalam sakitnya. Lalu beliau menawarinya Islam dan diapun masuk Islam.
Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Segala puji bagi Allah yang menyelamatkannya dari neraka."
(Hadits ini terdapat dalam Shahih Bukhari [1356])



Dua keadaan terakhir ini diisyaratkan oleh hadits ini.



Hadits ini menunjukkan bahwa seorang insan melakukan amal yang mengandung kebahagiaan atau kesengsaraan dengan kehendak dan keinginannya sendiri. Meski demikian dia tidaklah keluar dari kehendak Allah. Dia adalah seorang yang Mukhayyar karena dia beramal dengan pilihan dan ikhtiyarnya sendiri. Dan dia juga musayyar, artinya dia tidak akan melakukan sesuatu kecuali dengan kehendak Allah. Kedua perkara ini diisyaratkan oleh hadits ini bahwa sebelum meninggal seseorang didahului oleh ketetapan takdirnya, sehingga dia melakukan amalan penduduk syurga atau amalan penduduk neraka.



Sesungguhnya seorang insan wajib berada antara takut dan harap. Sebab diantara manusia terdapat orang yang melakukan kebaikan dalam hidupnya namun dia menutup hidupnya dengan akhir yang buruk. Tidak selayaknya pula seseorang putus harapan. Karena bisa jadi seseorang lama melakukan maksiat, lalu Allah menganugerahinya hidayah sehingga dia mendapatkan hidayah di akhir hayatnya.



An-Nawawi berkata ketika menjelaskan hadits ini: "Jika ada yang berkata: Allah Ta'ala berfirman:



"Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal shalih, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan (nya) dengan yang baik."
(QS. Al-Kahfi: 30).



Zahir ayat ini menunjukkan bahwa amal shalih yang dilakukan seorang yang ikhlas diterima (oleh Allah). Jika diterima sesuai dengan janji Allah ini maka dia akan aman dari su'ul khatimah. Hal ini bisa dijawab dari dua sisi:



Pertama: Hal tersebut bergantung pada syarat diterimanya amal dan husnul khatimah. Bisa diartikan bahwa orang yang beriman dan ikhlas dalam beramal tidaklah menutup kehidupannya kecuali dengan kebaikan.



Kedua: Su'ul khatimah hanya terjadi kepada orang yang buruk amalnya atau mencampurkan amal yang buruk dengan amal shalih yang telah bercampur pula dengan riya' dan sum'ah. Hal ini diisyaratkan oleh hadits yang lain:



"Sesungguhnya salah seorang dari kalian benar-benar akan mengamalkan amalan penduduk syurga dalam apa yang tampak bagi manusia."



Artinya apa yang tampak bagi manusia dari kebaikan lahiriyahnya padahal dia menyembunyikan keburukan dan kerusakan.




Wallahu Ta'ala a'lam.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Keterangan tentang fase penciptaan manusia di dalam perut ibunya.



2. Peniupan ruh dilakukan setelah seratus dua puluh hari. Dengan itu dia telah menjadi manusia.



3. Diantara malaikat ada yang ditugaskan didalam rahim.



4. Iman kepada perkara ghaib.



5. Iman kepada takdir, bahwasanya takdir mendahului segala yang ada.



6. Bersumpah tanpa diminta dengan tujuan untuk menguatkan ucapan.



7. Setiap amal bergantung pada penutupnya.



8. Menyatukan antara takut dan harap. Orang yang melakukan kebaikan takut terhadap su'ul khatimah dan orang yang melakukan keburukan tidak boleh putus asa dari rahmat Allah.



9. Amal merupakan sebab untuk masuk syurga atau neraka.



10. Orang yang ditakdirkan sengsara tidak bisa diketahui keadaannya di dunia, demikian pula sebaliknya.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Jumat, 18 Juli 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-3.

Syarah Hadits Arba'in an Nawawi



Hadits Ke-3:



"Dari Abu Abdurrahman, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Islam dibangun diatas lima perkara: Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan."
(HR. Tirmidzi dan Muslim).



Penjelasan:



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Islam dibangun di atas lima perkara." Menerangkan tentang keagungan lima perkara ini, bahwa Islam terbangun diatasnya. Ini merupakan penyerupaan secara maknawi dengan bangunan yang bersifat konkrit. Sebagaimana bangunan tidak bisa tegak kecuali di atas tiang-tiangnya, maka demikian pula Islam hanya tegak diatas lima perkara ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam hanya menyebut lima perkara ini karena semuanya merupakan asas bagi perkara lainnya. Adapun perkara lainnya mengikuti lima perkara ini.



An-Nawawi menyebutkan hadits ini setelah hadits Jibril yang juga mencakup lima perkara ini, sebab hadits ini menerangkan pentingnya kelima perkara ini. Bahwa kelima perkara ini merupakan asas yang dibangun di atasnya Islam. Sehingga dalam hadits ini terdapat makna tambahan bagi hadits Jibril.




Kelima rukun yang menjadi pondasi Islam ini, yang pertama adalah dua kalimat syahadat yang merupakan asas yang paling dasar. Rukun lainnya dan perkara-perkara lainnya mengikuti rukun ini. Rukun-rukun ini dan amal-amal lainnya tidaklah bermanfa'at jika tidak didasari oleh kedua syahadat ini. Kedua kalimat ini saling berkaitan. Syahadat Laa ilaaha illallaah harus diikuti oleh syahadat Muhammad Rasulullah. Konseksuensi syahadat Laa ilaaha illallaah adalah beribadah hanya kepada Allah. Dan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah beribadah harus mengikuti ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Kedua asas ini harus ada dalam setiap amal yang dikerjakan oleh seorang insan. Maka harus memurnikan keikhlasan kepada Allah semata dan memurnikan ittiba' kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.



Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath (I/50): "Jika ada yang bertanya kenapa tidak disebutkan iman kepada nabi, malaikat dan lainnya yang dicakup oleh pertanyaan Jibril 'alaihissalaam? Jawabannya adalah makna syahadat adalah membenarkan Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam dalam setiap apa yang dibawanya, sehingga mencakup semua apa yang beliau sebutkan berupa keyakinan. Al-Isma'ili berkata yang kesimpulannya: Ini termasuk menyebut sesuatu dengan hanya menyebut sebagiannya. Sebagaimana engkau mengatakan: "Aku membaca Al-Hamd" maksudmu adalah Al-Fatihah secara keseluruhan. Demikian pula engkau berkata misalnya: "Aku mempersaksikan kerasulan Muhammad." Maksudmu semua apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wasallam sebutkan. Wallahu a'lam.



Rukun Islam yang paling penting setelah dua kalimat syahadat adalah shalat. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam telah mensifatinya sebagai tiang Islam. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wasiat beliau Shallallahu 'alaihi wasallam kepada Mu'adz bin Jabal yang merupakan hadits kedua puluh sembilan dari Hadits Arba'in ini. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam juga memberitakan bahwa shalat merupakan perkara agama pertama yang akan hilang. Dan perkara pertama yang akan dihitung dari seorang hamba pada hari kiamat. Silahkan lihat As-Silsilah ash-Shahihah karya Al-Albani (1739, 1358 dan 1748). Dengan shalat bisa dibedakan antara seorang muslim dan kafir (Diriwayatkan oleh Muslim: 134).



Mendirikan shalat ada dua keadaan; Pertama: wajib, yaitu menunaikannya minimal sesuai dengan tata-cara yang diwajibkan sehingga dia dianggap telah menjalankan kewajiban. Kedua: mustahab, yaitu menyempurnakannya dengan melakukan segala hal yang dimustahabkan di dalamnya.



Zakat adalah gandengan shalat di dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



"Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan."
(QS. At-Taubah: 5).



Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui."
(QS. At-Taubah: 11).



Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus."
(QS. Al-Bayyinah: 5).



Zakat adalah ibadah yang bersifat materi yang manfa'atnya menyebar (tidak terbatas untuk pelakunya saja). Allah telah mewajibkan zakat pada harta orang-orang kaya dengan sifat yang menolong orang miskin namun tidak merugikan orang kaya. Sebab zakat hanyalah sejumlah kecil dari harta yang banyak.



Puasa Ramadhan adalah ibadah fisik. Puasa merupakan rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya, tidak ada yang melihatnya melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab diantara manusia ada yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan namun orang lain menyangkanya puasa. Bisa jadi pula seseorang melakukan puasa sunnah dan orang lain mengira dia tidak puasa. Karena itulah datang dalam sebuah hadits shahih bahwa seorang insan akan diberikan balasan aras amalnya, satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya hingga tujuh ratus kali lipat. Lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



"Kecuali puasa. Sesungguhnya puasa adalah milik-Ku. Aku yang akan membalasnya."
(HR. Bukhari [1894] dan Muslim [164]). Artinya (balasannya) tanpa batas.



Semua amal adalah untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana firman-Nya:



"Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)."
(QS. Al-An'am: 162-163).



Namun dikhususkan puasa di dalam hadits ini sebagai milik Allah karena tersembunyinya ibadah ini, tidak ada yang melihatnya melainkan Allah.



Haji ke Baitullah adalah ibadah materi dan fisik. Allah mewajibkannya sekali seumur hidup. Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah menjelaskan keutamaannya dalam sabdanya:



"Barangsiapa yang berhaji menuju Baitullah ini, dia tidak melakukan rafats (jima' dan hal-hal yang mengarah padanya) dan tidak berbuat fasik maka dia pulang seperti baru dilahirkan dari perut ibunya."
(HR. Bukhari [1820] dan Muslim [1350]).



Demikian pula sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:



"Umrah yang satu ke umrah yang lainnya merupakan kafarah (penghapus) bagi dosa yang ada diantara keduanya. Dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali syurga."
(HR. Muslim [1349]).



Hadits ini dalam redaksinya mendahulukan haji sebelum puasa. Hadits dengan redaksi seperti ini disebutkan oleh Bukhari di awal Kitabul Iman dalam Shahihnya. Hadits ini dijadikan sebagai dasar bagi susunan kitabnya Al-Jami' ash-Shahih. Sehingga beliau mendahulukan Kitabul Hajj (pembahasan tentang haji) sebelum Kitabus Shiyam (pembahasan tentang puasa).



Telah datang dalam Shahih Muslim [19] hadits yang mendahulukan puasa sebelum haji dan haji sebelum puasa. Di jalur periwayatan yang pertama terdapat penegasan dari Ibnu Umar bahwa yang dia dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah penyebutan puasa terlebih dahulu sebelum haji. Berdasarkan hal ini didahulukannya penyebutan haji sebelum puasa di sebagian riwayat termasuk kategori perubahan yang dilakukan oleh sebagian rawi atau periwayatan secara makna (tidak kontekstual). Redaksinya pada Shahih Muslim dari Ibnu Umar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda:



"Islam dibangun di atas lima perkara: Di atas tauhid (meng-esakan) Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji."



Seorang lelaki berkata (Kepada Ibnu Umar): "Haji dan puasa Ramadhan?" Beliau berkata, "Tidak, puasa Ramadhan dan haji. Demikianlah aku mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam."



Kelima rukun ini disebutkan secara berurutan sesuai dengan urgensinya masing-masing. Dimulai dengan dua kalimat syahadat yang merupakan asas bagi setiap amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kemudian shalat yang dilakukan berulang-ulang sebanyak lima kali sehari semalam. Sehingga shalat merupakan hubungan kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya. Kemudian zakat yang wajib dikeluarkan dari harta jika telah berlalu satu tahun, sebab manfa'atnya bisa menyebar. Kemudian puasa yang wajib dalam satu bulan dalam satu tahun, merupakan ibadah fisik yang manfa'atnya hanya bersifat pribadi. Kemudian haji yang wajib sekali seumur hidup.



Di dalam Shahih Muslim terdapat riwayat bahwa Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu menyampaikan hadits ini ketika beliau ditanya seorang lelaki, dia berkata padanya: "Tidakkah engkau berperang?" kemudian beliau menyebutkan hadits ini. Di dalamnya terdapat isyarat bahwa jihad bukan termasuk rukun Islam. Sebab lima perkara ini lazim dan kontinyu bagi setiap mukallaf. Berbeda dengan jihad, yang merupakan fardhu kifayah dan tidak setiap waktu.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Penjelasan urgensi kelima perkara ini karena menjadi pondasi bangunan Islam.



2. Menyerupakan sesuatu yang abstrak dengan sesuatu yang konnkrit agar lebih mengena dalam fikiran.



3. Memulai dengan yang paling penting.



4. Dua kalimat syahadat merupakan asas pada dua kalimat itu sendiri dan merupakan asas bagi yang lainnya. Sehingga sebuah amal tidak diterima kecuali dibangun di atas keduanya.



5. Mendahulukan shalat atas amal lainnya, karena merupakan penghubung yang kuat antara seorang hamba dengan Rabbnya.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Kamis, 10 Juli 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-2.

Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi



Hadits ke-2:



“Dari Umar radhiyallahu 'anhu juga dia berkata: “Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu menempelkan kedua lututnya dan meletakkan kedua tangannya pada kedua pahanya seraya berkata: ''Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam.” Maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu.” Kemudian laki-laki tersebut berkata, “anda benar.” Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang Iman.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Kemudian laki-laki tersebut berkata, “Anda benar.” Kemudian laki-laki tersebut berkata lagi, “Beritahukan aku tentang Ihsan.” Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka sesungguhnya Dia melihat engkau.” Kemudian laki-laki tersebut berkata, “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya).” Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya. Dan jika engkau melihat seorang yang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Kemudian laki-laki tersebut berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, “Tahukah engkau siapa laki-laki tadi yang bertanya?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Dia adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajari kalian agama kalian.”
(HR. Muslim).



Penjelasan:



Hadits Jibril ini adalah riwayat dari Umar Radhiyallahu 'anhu, dikeluarkan oleh Muslim saja dari Bukhari. Namun keduanya juga sama-sama mengeluarkannya dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Imam An-Nawawi Rahimahullah memulai hadits-hadits arba'in nya dengan hadits Umar (Innamal 'amalu binniyyati) dan merupakan hadits pertama dalam Shahih Bukhari. Kemudian dia lanjutkan dengan hadits Umar tentang kisah kedatangan Jibril kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, yang merupakan hadits pertama dalam Shahih Muslim. Sebelumnya, hal yang sama telah dilakukan oleh Imam Al-Baghawi dalam dua kitabnya Syarhus Sunnah dan Mashabihus Sunnah. Kedua kitabnya ini diawali dengan dua hadits tersebut.



Hadits ini adalah hadits pertama dalam Kitabul Iman dalam Shahih Muslim. Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari ayahnya. Periwayatan hadits ini memiliki kisah tersendiri yang disebutkan oleh Muslim di awal hadits ini dengan sanadnya dari Yahya bin Ya'mar. Dia berkata, “Orang pertama yang menyuarakan Qadariyah di Bashrah adalah Ma'bad al-Juhani. Kemudian aku dan Hamid Ibnu Abdirrahman al-Himyari pergi berhaji atau umrah. Kamipun berkata, “Jika kita bertemu dengan salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, kita akan tanya dia tentang ucapan orang-orang tersebut mengenai takdir.” Akhirnya kami mendapat taufik untuk bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khaththab yang kala itu tengah memasuki masjid. Kami segera mengapitnya, dari kanan dan kiri. Aku mengira temanku menyerahkan pembicaraan kepadaku, akupun berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan mempelajari ilmu.” Dia sebutkan bahwa diantara perkara mereka adalah mereka menganggap tidak ada takdir, segala perkara terjadi begitu saja. Diapun berkata, “Jika engkau bertemu mereka, beritahukan mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang dengan-Nya Abdullah bin Umar bersumpah! Seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian dia menginfakkannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya darinya hingga dia beriman kepada takdir.” Kemudian dia berkata, “Ayahku Umar bin Khaththab telah menyampaikan hadits padaku.” Kemudian dia menyebutkan hadits ini sebagai dalil atas iman kepada takdir.



Kandungan kisah ini adalah bahwasanya bid'ah Qadariyah muncul di zaman para shahabat, dan Ibnu Umar masih hidup, dia meninggal tahun 73 H semoga Allah meridhainya. Kemudian para Tabi'in merujuk kepada para shahabat Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengetahui urusan agama. Inilah yang wajib dilakukan, yaitu kembali kepada para ulama disetiap waktu. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
(QS. An-Nahl: 43).



Kandungan lain dari kisah ini bahwasanya bid'ah Qadariyah merupakan salah satu bid'ah paling buruk. Karena komentar Ibnu Umar sangat keras tentangnya.



Kandungan lainnya dari kisah ini bahwa seorang mufti (pemberi fatwa) ketika menyebutkan satu hukum dia menyebutkannya bersama dalilnya.



Hadits Jibril ini mengandung dalil bahwa para malaikat terkadang mendatangi manusia dalam bentuk manusia. Contohnya apa yang disebutkan dalam Al-Qur'an tentang kedatangan Jibril kepada Maryam dalam bentuk manusia. Demikian pula kedatangan malaikat kepada Ibrahim dan Luth dalam bentuk manusia. Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala mereka berubah wujud dari wujud asli mereka ke dalam wujud manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman tentang penciptaan malaikat:



“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan Malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.”
(QS. Fathir: 1).



Dalam Shahih Bukhari [4858] dan Shahih Muslim [280] disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melihat Jibril memiliki enam ratus sayap.



Kisah kedatangan Jibril ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam lalu duduk di hadapannya memuat beberapa adab penuntut ilmu dihadapan gurunya. Faedah lainnya bahwa seorang yang bertanya tidak mesti hanya menanyakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya, namun selayaknya dia menanyakan hal lain yang telah dia ketahui hukumnya agar para hadirin mendengarkan jawabannya. Karena itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di akhir hadits menyebut Jibril sebagai pengajar. Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia mendatangi kalian untuk mengajari kalian agama kalian.” Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lah yang mengajar, sebab beliau yang secara langsung menyampaikan. Namun beliau sandarkan kepada Jibril karena dialah yang menjadi sebab.



Ucapannya: “Wahai Muhammad, beritahukan aku tentang Islam.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Islam adalah engkau bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah jika engkau mampu.” Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam dengan perkara-perkara lahiriyah. Dan ketika ditanya tentang Iman, beliau menjawabnya dengan perkara-perkara bathin. Lafazh Islam dan Iman termasuk lafazh yang jika disebut secara bersamaan maka masing-masing memiliki makna yang berbeda. Disini, keduanya disebut bersamaan maka Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara lahiriyah. Inilah yang sesuai dengan makna Islam, yaitu berserah diri dan tunduk kepada Allah Ta'ala. Sedangkan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin, dan ini sesuai dengan makna iman, yaitu membenarkan dan mengakui. Namun jika kedua lafazh ini disebut secara terpisah, maka maknanya sama: mencakup perkara lahiriyah dan bathin. Di antara contoh penyebutan Islam secara tersendiri adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(QS. Ali Imran: 85).



Adapun contoh disebutkannya iman secara tersendiri adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”
(QS. Al Ma'idah: 5).



Sama dengan ini kata fakir dan miskin, birr dan takwa dan lainnya.



Perkara pertama yang menjadi tafsir Islam adalah Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Syahadat Muhammad Rasulullah. Kedua Syahadat ini saling berkaitan. Keduanya dituntut dari setiap manusia dan jin semenjak diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam sampai hari kiamat. Barangsiapa yang tidak mengimani beliau maka dia termasuk penghuni neraka. Berdasarkan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam:



“Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorangpun dari umat ini baik seorang Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentangku, lalu dia mati tanpa beriman dengan risalah yang aku bawa, melainkan dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim [240]).



Makna Syahadat Laa ilaaha illallaah adalah tidak ada sesembahan yang haq melainkan Allah. Kalimat ikhlas ini mengandung dua rukun: Peniadaan yang bersifat umum diawalnya, dan penetapan yang bersifat khusus di akhirnya. Awalnya mengandung peniadaan ibadah dari segala sesuatu selain Allah Ta'ala, kemudian akhirnya mengandung penetapan ibadah hanya kepada Allah Ta'ala tanpa ada sekutu bagi-Nya. Khabar Laa (nafiyah lil jins) takdirnya adalah Haq. Tidak sesuai jika ditakdirkan dengan Maujuud (Ada). Sebab sesembahan-sesembahan batil ada dan banyak. Sehingga yang dinafikan adalah sifat ketuhanan yang haq. Inilah yang dinafikan dari segala sesuatu selain Allah, dan ditetapkan bagi Allah semata.



Makna Syahadat Muhammad Rasulullah adalah mencintai beliau melebihi makhluk lainnya, mentaati beliau dalam setiap perintahnya, meninggalkan segala apa yang beliau larang, membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, baik yang telah berlalu, yang akan datang maupun yang sedang berlangsung, dan ini tidak disaksikan dan tidak dilihat langsung. Dan beribadah kepada Allah sesuai dengan kebenaran dan petunjuk yang beliau ajarkan.



Mengikhlaskan amal kepada Allah dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam merupakan konsekuensi dari Syahadat Laa ilaaha illallaah dan Muhammad Rasulullah. Semua amal yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah harus ikhlas kepada Allah dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Jika ikhlas tidak ada maka amal tidak diterima. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqan: 23).



Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman dalam hadits qudsi:



“Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang mengerjakan sebuah amal, dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku di dalamnya, maka Aku tinggalkan dia bersama syiriknya.”
(HR. Muslim [2985]).



Dan jika ittiba' (kesesuaian dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam) tidak ada, maka amal itu juga tertolak. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:



“Barangsiapa yang membuat-buat dalam dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal tersebut tertolak.”
(HR. Bukhari [2697] dan Muslim [1718]).



Dalam salah satu lafazh riwayat Muslim:



“Barangsiapa yang mengerjakan sebuah amal yang tidak didasari oleh perintah kami maka ia tertolak.”



Hadits ini lebih umum daripada hadits pertama. Sebab mencakup orang yang melakukan sebuah bid'ah yang ia buat sendiri dan orang yang melakukan bid'ah karena mengikuti orang lain.



Ucapannya; Dia berkata, “Anda benar.” Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Keheranannya ini disebabkan karena biasanya orang yang bertanya tidak mengetahui jawabannya, sehingga dia bertanya agar mengetahui jawabannya. Orang seperti ini tidak akan berkata kepada orang yang ditanyanya ketika mendapat jawaban, “Engkau benar.” Sebab jika si penanya membenarkan orang yang ditanya, ini menunjukkan bahwa si penanya sudah mengetahui jawabannya sejak awal. Karena itulah para shahabat heran dengan si penanya yang aneh tersebut yang membenarkan jawaban Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.



Ucapannya; Dia bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang Iman.” Lalu beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir, dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” Jawaban ini mencakup enam rukun Iman. Rukun pertama adalah beriman kepada Allah. Yang merupakan asas iman terhadap semua yang wajib diimani. Karena itulah di-idhafah-kan kepada-Nya para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul. Barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah maka dia tidak mengimani rukun lainnya. Iman kepada Allah mencakup iman kepada Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta'ala disifati dengan segala sifat sempurna yang layak dengan-Nya, suci dari segala sifat kekurangan. Maka wajib mengesakan Allah dengan Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya serta Asma' was shifat-Nya.



Mentauhidkan Allah dengan Rububiyah-Nya yaitu berikrar bahwa Dia Maha Esa dalam perbuatannya, tanpa ada sekutu bagi-Nya. Seperti menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur segala urusan, mengatur semesta alam dan lain-lainnya yang berkaitan dengan Rububiyah-Nya.



Tauhid Uluhiyah adalah mentauhidkan-Nya dalam perbuatan para hamba. Seperti do'a, rasa takut, rasa harap, tawakkal, memohon pertolongan, memohon perlindungan, istighatsah, menyembelih, bernadzar dan jenis-jenis ibadah lainnya yang wajib diserahkan hanya kepada Allah. Tidak boleh diserahkan kepada selain-Nya sedikitpun. Meskipun kepada malaikat yang dekat dengan-Nya ataupun nabi yang diutus, apalagi yang lainnya.



Adapun Tauhid Asma' Was Shifat adalah menetapkan segala apa yang ditetapkan oleh Allah bagi diri-Nya dan ditetapkan oleh Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam berupa nama-nama dan sifat-sifat yang layak dengan kesempurnaan dan keagungan-Nya, tanpa takyif atau tamtsil, ataupun tahrif, ta'wil dan ta'thil. Serta mensucikan-Nya dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :



“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.”
(QS. Asy-Syuura: 11).



Di dalam ayat ini terkumpul antara penetapan dan pensucian. Penetapan terkandung dalam firman-Nya: “Dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” Dan pensucian terkandung dalam firman-Nya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” Maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memiliki pendengaran yang tidak sama dengan pendengaran-pendengaran lain. Dia memiliki penglihatan yang tidak sama dengan penglihatan-penglihatan lain. Demikian seterusnya dikatakan dalam setiap nama dan sifat yang tetap bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala.



Iman kepada malaikat adalah beriman bahwasanya mereka termasuk makhluk yang diciptakan Allah. Mereka diciptakan dari cahaya, sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim [2996] bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



“Malaikat diciptakan dari cahaya. Jin diciptakan dari Nyala api. Dan Adam diciptakan dari apa yang telah disifatkan kepada kalian.”



Mereka memiliki sayap sebagaimana disebut dalam ayat pertama surat Fathir. Jibril saja memiliki 600 sayap, sebagaimana disebutkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam di muka. Jumlah mereka sangat banyak, tidak ada yang mengetahui jumlah pastinya melainkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dalilnya adalah bahwasanya Baitul Ma'mur yang berada dilangit ketujuh dimasuki oleh 70.000 malaikat setiap harinya tanpa pernah kembali lagi ke dalamnya. Diriwayatkan oleh Bukhari [3207] dan Muslim [259]. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya [2842] dari Abdullah bin Ma'ud Radhiyallahu 'anhu dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



“Pada hari itu akan didatangkan Neraka Jahannam dengan 70.000 tali pengekang, setiap kekang ditarik oleh 70.000 malaikat.”



Diantara malaikat ada yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu. Ada pula yang ditugaskan menurunkan hujan. Ada yang ditugaskan untuk mematikan. Ada yang ditugaskan didalam rahim. Ada yang ditugaskan di surga. Ada yang ditugaskan di neraka. Dan lain-lainnya. Semuanya tunduk dan taat kepada perintah Allah. Mereka tidaklah menentang perintah-Nya, mereka melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka. Diantara malaikat ada yang disebut namanya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yaitu Jibril, Mikail, Israfil, Malik, Munkar dan Nakir. Wajib mengimani malaikat yang telah disebut namanya ataupun yang belum disebut namanya. Wajib pula mengimani dan membenarkan semua berita tentang malaikat yang disebutkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih.



Iman kepada kitab-kitab-Nya adalah membenarkan dan mengakui semua kitab yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada salah seorang Rasul-Nya. Serta meyakini bahwa semua haq, diturunkan (dari sisi Allah) dan bukan makhluk. Semuanya mengandung kebahagiaan bagi umat tempat diturunkannya. Barangsiapa yang mengambilnya maka dia akan selamat dan beruntung. Dan barangsiapa yang berpaling darinya maka dia telah merugi. Diantara kitab-kitab ini ada yang disebut namanya dan ada yang tidak. Diantara yang disebut dalam Al-Qur'an adalah Taurat, Injil, Zabur dan Shuhuf Ibrahim dan Musa. Penyebutan Shuhuf Ibrahim dan Musa tercantum pada dua tempat di dalam Al-Qur'an; pada surat An-Najm dan Al-A'la. Zabur Daud disebut dua kali dalam Al-Qur'an, yaitu dalam surat An-Nisa' dan Al-Isra'. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman pada kedua surat tersebut:



“Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.”
(QS. An-Nisa': 163 dan Al-Isra': 55).



Adapun Taurat dan Injil banyak disebutkan dalam Al-Qur'an, namun yang terbanyak adalah penyebutan Taurat. Tidak pernah seorang rasul disebut dalam Al-Qur'an seperti Musa. Dan tidak pernah satu kitab disebut di dalam Al-Qur'an seperti Kitab Musa. Namanya disebut dengan At-Taurat, Al-Kitab, Al-Furqan, Adh-Dhiya' dan Adz-Dzikr.



Salah satu keistimewaan Al-Qur'an dibanding kitab-kitab sebelumnya adalah Al-Qur'an menjadi mukjizat abadi. Allah menjamin keterpeliharaannya, selamat dari perubahan dan diturunkan tidak sekaligus.



Iman kepada rasul-rasul adalah membenarkan dan mengakui bahwa Allah memilih dari kalangan manusia para rasul dan nabi yang menuntun manusia menuju kebenaran dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari Malaikat dan dari manusia.”
(QS. Al-Hajj: 75).



Adapun jin, tidak ada rasul di kalangan mereka, yang ada hanyalah para pemberi peringatan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala firmankan:



“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur'an, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: ''Diamlah kamu (untuk mendengarkannya).” ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari adzab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Al-Ahqaf: 29-32).



Mereka tidak menyebut rasul dari kalangan mereka dan tidak pula kitab-kitab diturunkan kepada mereka. Mereka hanya menyebut dua kitab yang diturunkan kepada Musa dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Dan tidak disebutkan Injil yang datang setelah Taurat. Hal itu karena banyak dari hukum-hukum Injil telah ada didalam Taurat. Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat-ayat ini, ''Mereka tidak menyebut Isa karena Isa 'alaihissalaam diturunkan kepadanya Injil. Di dalamnya banyak terdapat wejangan dan nasihat yang bertujuan untuk melembutkan hati, serta sedikit menyebutkan halal dan haram. Maka Injil hakikatnya seperti penyempurna syari'at Taurat, sebab sandarannya adalah Taurat.” Karena itulah mereka berkata: “Yang telah diturunkan sesudah Musa.”



Rasul adalah orang yang dibebankan untuk menyampaikan syari'at yang diturunkan kepadanya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan).”
(QS. Al-Hadid: 25).



Alkitab adalah isim jins yang berarti kitab-kitab.
Sedang nabi adalah orang yang diwahyukan kepadanya untuk menyampaikan syari'at sebelumnya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat yang didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-kitab Allah.”
(QS. Al-Ma'idah: 44).



Para rasul dan nabi telah menyampaikan apa yang diperintahkan kepada mereka dengan sempurna. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Mereka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”
(QS. An-Nahl: 35).



Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:



“Orang-orang kafir dibawa ke neraka jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: “Apakah belum pernah datang kepadamu Rasul-rasul diantaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?” mereka menjawab: “Benar (telah datang).” tetapi telah pasti berlaku ketetapan adzab terhadap orang-orang yang kafir.”
(QS. Az-Zumar: 71).



Az-Zuhri berkata, “Dari Allah Subhanahu wa Ta'ala berasal Risalah, kewajiban Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyampaikan dan kewajiban kita untuk menerima.” Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya pada Kitabut Tauhid, bab firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”
(QS. Al-Ma'idah: 67). [XIII/503 bersama Al-Fath].



Diantara para rasul ada yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an, ada pula yang belum dikisahkan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:



“Dan (Kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.”
(QS. An-Nisa': 164).



Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, diantara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan diantara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”
(QS. Ghafir: 78).



Rasul-rasul yang dikisahkan di dalam Al-Qur'an ada dua puluh lima rasul. Delapan belas diantaranya disebutkan dalam surat Al-An'am, yaitu firman Allah Ta'ala:



“Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yaqub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Nuh) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas semuanya termasuk orang-orang yang shalih. Dan Ismail, Alyasa', Yunus dan Luth masing-masing Kami lebihkan derajatnya diatas umat (di masanya).”
(QS. Al-An'am: 83-86).



Tujuh orang sisanya adalah Adam, Idris, Hud, Shalih, Syu'aib, Dzulkifli dan Muhammad Shalawatullaah wa salaamuhu wa barakaatuhu 'alaihim ajma'in.



Iman kepada hari akhir adalah membenarkan dan mengakui segala apa yang disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang peristiwa setelah mati. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan kehidupan ini dua kampung: Kampung dunia dan kampung akhirat. Pembatas antara kedua kehidupan ini adalah kematian, tiupan sangkakala yang mematikan semua orang yang masih hidup di akhir zaman. Semua orang yang telah mati telah tiba kiamatnya, berpindah dari kampung amal menuju kampung balasan. Kehidupan setelah mati ada dua: kehidupan barzakh, yaitu setelah mati hingga hari kebangkitan. Dan kehidupan setelah mati. Kehidupan barzakh tidak ada yang mengetahui halilatnya kecuali Allah. Kehidupan ini mengikuti kehidupan setelah mati. Sebab di kedua kehidupan ini diberikan balasan amal. Orang-orang yang berbahagia mendapatkan nikmat surga dalam kubur mereka. Sedang orang-orang yang sengsara mendapatkan adzab neraka didalam kubur mereka.



Termasuk iman kepada hari akhir adalah iman kepada hari pembangkitan, pengumpulan, syafa'at, telaga, hisab (perhitungan amal), mizan (timbangan amal), shirat (jembatan), surga, neraka dan lainnya yang telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.



Iman kepada takdir adalah beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat. Ini memiliki empat fase:



1. Allah sejak awal mengetahui segala apa yang terjadi.
2. Allah menulis semua takdir lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.
3. Allah berkehendak atas semua yang ditakdirkan.
4. Allah menciptakan dan mengadakan semua apa yang ditakdirkan-Nya sesuai dengan ilmu-Nya, catatan-Nya dan kehendak-Nya.



Maka bagi kita wajib beriman dengan ke-empat fase ini. Dan meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki oleh Allah pasti ada, dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah, maka tidak mungkin ada. Inilah dia makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam:



“Dan ketahuilah bahwa apa yang menimpamu tidak mungkin meleset darimu. Dan apa yang tidak mengenaimu tidak mungkin menimpamu.”



Ucapannya, “Beritahukan aku tentang ihsan.” Lalu beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihatmu.” Ihsan merupakan derajat paling tinggi. Di bawahnya adalah derajat iman kemudian Islam. Setiap mukmin adalah muslim, dan setiap muhsin adalah mukmin dan muslim. Dan tidak setiap muslim seorang mukmin dan muhsin. Karena itu disebutkan dalam surat Al-Hujurat:



“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.”
(QS. Al-Hujurat: 14).



Di dalam hadits ini diterangkan ketinggian derajat ihsan, yaitu sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” Artinya engkau beribadah kepada-Nya seolah-olah engkau berdiri dihadapan-Nya, melihat-Nya. Barangsiapa yang seperti ini keadaannya, maka sesungguhnya dia telah melaksanakan ibadah dengan sempurna. Jika tidak demikian, maka dia harus meresapi dan menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala melihatnya dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dari-Nya. Sehingga dia berhati-hati jangan sampai Allah melihatnya melakukan apa yang telah dilarang-Nya. Karenanya dia beramal agar dilihat-Nya, bukan karena dilihat seseorang, sesuai dengan perintah-Nya.



Ucapannya: Kemudian dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya).” Beliau bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Allah mengkhususkan diri-Nya dengan ilmu ghaib, maka tidak ada yang mengetahui kapan terjadi kiamat melainkan Dia.



Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. Luqman: 34).



Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.”
(QS. Al-An'am: 59).



Diantaranya adalah ilmu tentang hari kiamat. Di dalam Shahih Bukhari [4778] dari Abdullah bin Umar dia berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



“Kunci-kunci ilmu ghaib ada lima.” Kemudian beliau membaca: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat.”



Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:



“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Kapankah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang dilangit dan di bumi, kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(QS. Al-A'raf: 187).



Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa kiamat akan terjadi pada hari Jum'at. Namun masalah tahun berapa, bulan apa dan Jum'at yang mana terjadinya, tidak ada yang mengetahui hal tersebut melainkan Allah. Di dalam Sunan Abi Daud [1046] dari Abu Hurairah dia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



“Hari terbaik yang terbit padanya matahari adalah hari Jum'at. Di hari Jum'at Adam diciptakan, di hari Jum'at dia diturunkan (ke bumi), di hari Jum'at dia diampuni dan di hari Jum'at dia meninggal. Dan di hari Jum'at terjadi kiamat. Tidak ada satu makhluk melatapun melainkan berubah bentuk pada hari Jum'at dari waktu subuh hingga terbit matahari; karena takut terjadi kiamat, kecuali jin dan manusia.” (Al-Hadits. Hadits ini shahih, para rawinya adalah para rawi Kutubus Sittah, kecuali Al-Qana'i, Ibnu Majah tidak mengeluarkan riwayatnya).



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Artinya bahwa makhluk tidak tahu kapan terjadinya. Dan bahwasanya penanya manapun dan orang manapun yang ditanya sama-sama tidak mengetahuinya.



Ucapannya: Dia berkata, “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Beliau bersabda: “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya. Dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, berlomba-lomba meninggikan bangunan.” (amaaroh) artinya tanda-tanda. Tanda-tanda hari kiamat terbagi menjadi dua; (pertama) tanda-tanda kedekatan waktunya, seperti terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya Dajjal, keluarnya Ya'juj dan Ma'juj, turunnya Isa bin Maryam 'alaihissalaam dari langit dan lain-lainnya. Dan (kedua) tanda-tanda sebelum itu, diantaranya tanda-tanda yang disebutkan pada hadits ini.



Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, “Jika seorang budak wanita melahirkan tuannya'' ditafsirkan bahwa ini merupakan isyarat akan banyaknya terjadi penaklukan dan akan banyaknya tawanan. Diantara wanita tawanan ada yang digauli oleh tuannya dan melahirkan seorang anak lelaki untuknya. Sehingga wanita tersebut menjadi Ummu Walad (istilah bagi seorang budak wanita yang melahirkan anak dari hasil hubungan dengan tuannya). Ditafsirkan juga bahwa akan terjadi perubahan keadaan dan perbuatan durhaka dari anak-anak terhadap ayah dan ibu mereka hingga anak-anak seolah menjadi tuan bagi ayah dan ibu mereka.



Makna sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam, “Dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Bahwa orang-orang fakir yang menggembala kambing dan tidak memiliki pakaian, keadaan mereka berubah. Mereka berpindah menuju penduduk kota dan mereka berlomba meninggikan bangunan disana. Kedua tanda ini telah terjadi.



Ucapannya: “Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian.” Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahu para shahabatnya bahwa orang yang bertanya tersebut adalah Jibril, setelah dia pergi. Terdapat keterangan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahu Umar tiga hari setelahnya. Hal ini tidaklah bertentangan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memberitahu hadirin dan Umar radhiyallahu 'anhu tidak ada, sebab dia telah meninggalkan majelis. Tiga hari kemudian baru dia berjumpa dengan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Seorang penanya, selain bertanya untuk belajar dia juga kadang bertanya untuk memberikan ilmu. Seorang yang mengetahui suatu ilmu bertanya agar para hadirin mendengar jawabannya.



2. Para malaikat terkadang berubah dari bentuk aslinya ke dalam bentuk manusia. Namun ini bukanlah dalil bolehnya sandiwara atau drama yang banyak dilakukan di zaman ini. Sebab sandiwara atau drama adalah salah satu bentuk dusta. Adapun apa yang terjadi pada Jibril, itu merupakan atas izin dan kuasa Allah.



3. Penjelasan tentang adab seorang murid bersama gurunya.



4. Ketika Islam disebut bergandengan dengan Iman maka Islam ditafsirkan dengan perkara-perkara zahir dan Iman ditafsirkan dengan perkara-perkara bathin.



5. Memulai dengan yang terpenting. Sebab beliau Shallallahu 'alaihi wasallam memulai tafsir Islam dengan Syahadatain dan tafsir iman dengan iman kepada Allah.



6. Rukun Islam ada lima dan pokok Iman ada enam.



7. Penjelasan perbedaan tingkatan Islam, Iman dan Ihsan.



8. Penjelasan ketinggian derajat Iman.



9. Ilmu tentang hari kiamat merupakan salah satu perkara yang dikhususkan oleh Allah untuk diri-Nya.



10. Penjelasan tentang beberapa tanda kiamat.



11. Seorang yang tidak tahu mengucapkan: Allahu a'lam.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.