AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Kamis, 28 Agustus 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-9.

"Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu 'anhu dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian. Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka."
(HR. Bukhari dan Muslim).



Penjelasan:



Bukhari dan Muslim sama-sama mengeluarkan hadits ini. Redaksi di atas terdapat dalam riwayat Muslim dalam Kitabul Fadha'il [1737]. Sebab disabdakannya hadits ini diterangkan dalam riwayat Muslim dalam Kitabul Hajj [1337] dari Abu Hurairah dia berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyampaikan khutbah kepada kami. Beliau bersabda: "Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji atas kalian. Maka berhajilah." Seorang lelaki berkata: "Setiap tahunkah wahai Rasulullah.?" Beliau diam, dan lelaki itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seandainya aku mengatakan Ya, niscaya akan wajib (setiap tahun) dan pasti kalian tidak mampu." Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:



"Diamkanlah apa yang aku diamkan kalian. Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka banyak bertanya dan menyelisihi nabi mereka. Maka jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu, lakukanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah."



Dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Apa yang aku larang hendaklah kalian menghindarinya, dan apa yang aku perintahkan maka hendaklah kalian laksanakan semampu kalian." Mengikuti perintah dibatasi dengan kemampuan, namun tidak dengan larangan. Sebab sebuah larangan merupakan sesuatu yang ditinggalkan, dan meninggalkan sesuatu adalah satu hal yang mampu dilakukan. Karena seseorang mampu untuk tidak melakukan. Sedangkan perintah diikat dengan kemampuan, sebab sebuah perintah membebani untuk dilakukan, dan seseorang bisa melakukannya dan bisa pula tidak mampu melakukannya. Sehingga seseorang melakukan apa yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan kemampuannya. Misalnya ketika minuman keras dilarang, orang yang dilarang mampu untuk tidak meminumnya. Shalat diperintahkan untuk dilakukan, seseorang melakukannya sesuai kemampuannya. Yaitu dengan cara berdiri, jika dia tidak mampu maka dia boleh duduk, jika tidak mampu duduk maka boleh sambil berbaring. Satu contoh konkrit yang bisa memperjelas hal ini adalah jika dikatakan kepada seseorang: "Jangan engkau masuk melalui pintu ini!" maka dengan mudah dia tidak memasukinya, karena meninggalkan. Tapi jika dikatakan kepadanya: "Angkatlah batu besar ini!" Bisa jadi dia mampu dan bisa pula tidak mampu, karena hal tersebut melakukan.



Meninggalkan larangan berlaku berdasarkan keumumannya tanpa pengecualian, terkecuali dalam keadaan darurat. Seperti memakan bangkai untuk melangsungkan hidup atau mendorong sesuatu yang menyumbat pada kerongkongan dengan meneguk sedikit minuman keras (tanpa ada air minum sedikitpun ditempat hidupnya).



Larangan yang wajib dijauhi adalah larangan yang bersifat haram. Adapun larangan yang bersifat makruh bisa dilakukan, meskipun meninggalkannya lebih utama dari pada melakukannya.



Sebuah perintah dilaksanakan oleh seorang mukallaf sebatas kemampuannya. Sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang diluar batas kemampuannya. Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu dengan sempurna, maka dia boleh melakukannya kurang dari sempurna. Seperti jika seseorang tidak mampu shalat dengan berdiri, maka dia boleh shalat sambil duduk. Jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu yang wajib dengan sempurna, maka dia boleh melakukannya sebatas kemampuannya. Seperti jika seseorang tidak memiliki air yang cukup untuk berwudhu (tidak ada lagi air disekitarnya), maka dia bisa wudhu dengan air sedikit yang dimilikinya itu, adapun sisanya dia bertayammum. Jika seseorang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah satu sha' dan hanya mampu mengeluarkan separuhnya, maka dia boleh mengeluarkan yang hanya separuhnya itu.



Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wasallam: "Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan penentangan mereka terhadap nabi-nabi mereka." Pertanyaan yang dilarang dalam hadits ini adalah hal-hal yang jika ditanyakan pada zamannya akan menyebabkan turun hukum haram disebabkan oleh pertanyaannya. Atau turun hukum mewajibkan sesuatu yang sangat memberatkan dan bisa jadi tidak mampu untuk dilakukan, seperti haji setiap tahun. Adapun pertanyaan yang dilarang setelah beliau meninggal adalah pertanyaan yang mengada-ada, berlebihan dan menyibukkan dari hal yang lebih penting.



Ibnu Rajab berkata dalam Jami'ul 'Ulum Wal Hikam [I/248-249]: "Dalam hal ini manusia terbagi menjadi beberapa bagian: Diantara pengikut Ahli Hadits ada yang menutup pintu pertanyaan sehingga pemahaman dan ilmunya sedikit tentang batasan-batasan dari apa yang diturunkan oleh Allah atas Rasul-Nya, sehingga dia menjadi pembawa ilmu yang tidak alim.



Diantara para fuqaha' Ahli Ra'yi ada yang terlalu luas memperlebar masalah sebelum terjadinya, ada yang biasa terjadi dan ada pula yang tidak biasa terjadi. Mereka sibuk dengan bergelut mencari jawabannya, banyak terjadi perseteruan dan perdebatan karenanya. Hingga timbul perseteruan bathin tanpa henti disebabkan oleh hawa nafsu, permusuhan dan kebencian. Sering ditambah pula dengan niat untuk menang, mencari popularitas dan meraih simpati. Inilah diantara hal yang dicela oleh para ulama rabbani. As-Sunnah telah memberikan petunjuk tentang apa-apa keburukannya dan apa-apa keharamannya.



Adapun para fuqaha Ahli Hadits yang mengamalkan hadits, ambisi utama mereka adalah membahas makna Kitabullah dan tafsirnya dari hadits-hadits yang shahih serta ucapan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan. Mereka membahas pula tentang sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan mengetahui mana yang kuat dan mana yang lemah. Kemudian dipelajari, difahami dan diamalkan. Kemudian mempelajari ucapan para shahabat dan tabi'in dalam berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, hadits, masalah halal dan haram, pokok-pokok sunnah, zuhud, raqa'iq (pelembut hati) dan lainnya. Inilah dia jalan yang ditempuh oleh Imam Ahmad beserta orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan ulama hadits rabbani. Mempelajari semua ini akan mengesampingkan kesibukan yang rasio yang dibuat-buat yang tidak bisa diambil manfa'atnya dan tidak terjadi. Membicarakannya hanya akan menyisakan perseteruan, perdebatan dan banyaknya ucapan tidak karuan, yang tidak jelas asal-usul dan kebenarannya. Imam Ahmad sering jika ditanya tentang suatu masalah yang dibuat-buat tanpa pernah terjadi, dia berkata: "Tidak usah tanya kami masalah-masalah muhdats seperti ini."



Selanjutnya dia berkata: "Barangsiapa yang menempuh jalan penuntut ilmu seperti yang kami sebutkan, maka pada umumnya dia akan mampu menjawab peristiwa-peristiwa yang tengah terjadi. Sebab sudah ada dasarnya pada ushul (pokok) yang telah disebutkan tadi. Menjalani jalan ini harus mengikuti para Imam yang dikenal sebagai ahlinya dan disepakati kelurusan dan keilmuan mereka. Seperti Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid beserta orang-orang yang meniti jalan mereka. Sesungguhnya barangsiapa yang mengaku meniti jalan ini tanpa melalui jalan mereka, maka dia akan jatuh kedalam jurang kebinasaan. Dia akan mengambil apa yang tidak boleh diambil dan meninggalkan apa yang wajib diamalkan. Kesimpulannya adalah meniatkan semua itu karena Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya, dengan mempelajari apa yang diturunkan-Nya kepada Rasul-Nya, meniti jalannya, mengamalkannya dan mendakwahkannya. Barangsiapa yang demikian keadaannya, maka Allah akan memberinya taufik, kekuatan, ilham dan ilmu terhadap apa yang sebelumnya tidak dia ketahui. Dan dia termasuk dalam deretan ulama yang dipuji dalam Kitabullah, pada firman Allah Ta'ala:



"Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara  hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama."
(QS. Fathir: 28).



Dan dia akan termasuk deretan ulama yang mendalam ilmunya."



Selanjutnya dia berkata: "Kesimpulannya, barangsiapa yang mengikuti perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits ini, meninggalkan apa yang beliau larang dan menyibukkan diri dengannya tanpa yang lainnya, niscaya dia akan mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat. Dan barangsiapa yang menyelisihi hal ini dan sibuk dengan pikiran serta hal-hal yang dianggap baik oleh rasionya, maka dia telah terjerumus dalam perkara yang telah diperingatkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Yaitu bagaimana Ahli Kitab binasa karena banyak bertanya tentang yang tidak berguna, menyelisihi para nabi mereka dan tidak taat kepada mereka."



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Wajib meninggalkan segala hal yang diharamkan oleh Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.



2. Wajib melakukan segala apa yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wasallam.



3. Peringatan terhadap keterjerumusan ke dalam apa yang Ahli Kitab terjerumus kedalamnya dan menjadi sebab kebinasaan mereka.



4. Seseorang tidak diwajibkan lebih dari batas kemampuannya.



5. Barangsiapa yang tidak mampu melakukan sebagian perintah maka cukup baginya untuk melakukan apa yang ia mampu darinya.



6. Mencukupkan diri dengan masalah yang dibutuhkan, tidak mengada-ada ataupun berlebihan dalam bertanya.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar