AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Minggu, 07 Desember 2014

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Larangan Ghibah, dan Perintah Menjaga Lisan.

KITAB RIYADHUS SHALIHIN, Penjelasan Tentang Larangan Ghibah, dan Perintah Menjaga Lisan.
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..




254. Bab Larangan Ghibah dan Perintah Menjaga Lisan


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang."
(QS. Al-Hujurat: 12)


Ayat ini melarang ghibah, yaitu menyebut-nyebut seorang muslim dengan sesuatu yang tidak ia suka, meskipun hal itu benar.


Ibnu Katsir menjelaskan, ghibah haram berdasarkan ijmak, tidak ada pengecualiannya selain untuk maslahat yang kuat, seperti jarh-ta'dil, dan nasihat. Seperti perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam saat ada orang keji meminta izin untuk menemui beliau, "Izinkan dia masuk, dia adalah seburuk-seburuk anggota kabilah." Juga kata-kata beliau terhadap Fathimah binti Qais Radhiyallahu 'anha, saat itu ia dipinang Mu'awiyah dan Abu Jahm, "Adapun Mu'awiyah, dia miskin, sementara Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya." Dan untuk hal-hal lain yang termasuk nasihat. Selain itu, ghibah tetap sebagai sebuah larangan keras. Terdapat nash yang secara tegas melarang ghibah. Untuk itu, Allah menyamakan perbuatan yang satu ini dengan memakan bangkai manusia, seperti yang Allah Ta'ala sampaikan dalam firman-Nya:


"Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik."
(QS. Al-Hujurat:12).


Yaitu, seperti hal nya kita secara tabi'at merasa jijik memakan bangkai manusia, maka kita harus membenci perbuatan ghibah, karena hukumannya jauh lebih berat.


Peringatan ini senada dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam terkait orang yang menarik kembali hibah yang telah ia berikan, "Laksana anjing muntah, kemudian ia menjilati kembali muntahnya." Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kami tidak memiliki perumpamaan buruk."


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung jawabannya."
(QS. Al-Isra: 36).


Ibnu Abbas menafsirkan, "Janganlah kamu mengatakan (sesuatu yang tidak kamu ketahui)."


Qatadah menafsirkan, "Janganlah kamu berkata, 'Aku melihat,' padahal tidak melihat apa pun, 'Aku mendengar,' padahal tidak mendengar apapun, 'Aku tahu,' padahal tidak tahu, karena Allah Ta'ala akan menanyakan semua itu padamu."


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (mencatat)."
(QS. Qaf: 18).


Yaitu, tidaklah seseorang mengatakan sesuatu, melainkan akan dicatat perkataannya itu oleh malaikat yang bertugas mencatat amal perbuatan manusia.


Ibnu Abbas menafsirkan, "Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sekitarnya malaikat pengawas yg selalu hadir (mencatat)," malaikat mencatat segala kebaikan ataupun keburukan yang diucapkan manusia, bahkan malaikat mencatat kata-kata manusia, "Aku makan, minum, aku pergi, aku datang, aku melihat," hingga saat hari Kamis tiba, segala amal perbuatan dan perkataannya diperlihatkan kepada Allah, Allah menetapkan kebaikan dan keburukan yang dicatat, lalu membuang selain itu. Itulah maksud firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)."
(QS. Ar-Ra'd: 39).


Hasan Al-Bashri berkata seraya membaca ayat ini:


"(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang stu duduk disebelah kanan dan yang lain disebelah kiri."
(QS. Qaf: 17).


"Wahai anak Adam! Lembaran amal dibentangkan untukmu, dua malaikat mulia ditugaskan untukmu, salah satunya berada di sebelah kananmu, satunya lagi di sebelah kirimu. Yang berada di sebelah kananmu mencatat kebaikan-kebaikanmu, sementara yang di sebelah kirimu mencatat keburukan-keburukanmu. Maka berbuatlah semamumu, entah sedikit ataupun banyak. Setelah kau mati, lembaran amalmu dilipat dan diletakkan di lehermu saat kau berada di kuburmu, hingga kau muncul pada hari kiamat. Saat itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, 'Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya, dan pada hari Kiamat kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. 'Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu'."
(QS. Al-Isra': 13-14).
Setelah itu Hasan Al-Bashri berkata, "Demi Allah, Dzat yang membuatmu sebagai penghitung atas dirimu sendiri, telah berlaku adil."


Perlu diketahui, setiap mukallaf harus menjaga lisan dari seluruh tutur kata, selain kata-kata yang tampak jelas maslahatnya. Ketika dari sisi maslahat sama saja antara berbicara atau diam, maka sunnahnya adalah menahan diri untuk berbicara, karena kata-kata mubah bisa berkembang menjadi kata-kata haram atau makruh. Kata-kata seperti ini biasanya banyak. Keselamatan tidak setara dengan apa pun juga.


Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Di antara baiknya (tanda) ke-Islaman seseorang adalah meninggalkan apa pun yang tidak berguna."


1/1511.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diamlah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47)].


Penjelasan:


Hadits ini secara tegas menunjukkan, tidak sepatutnya berbicara selain kata-kata yang baik. Inilah kata-kata yang jelas terlihat maslahatnya. Ketika diragukan adanya maslahat, jangan berbicara (diamlah).


Artinya, siapa yang beriman secara sempurna, iman yang menyelamatkan dari siksa Allah dan menghantar menuju ridha Allah, berkatalah yang baik atau diamlah, karena orang yang beriman kepada Allah dengan sebenarnya takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha sekuat tenaga melakukan apa yang Ia perintahkan dan menjauhi larangan-Nya.


2/1512.
Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah muslim yang paling baik?' Beliau menjawab, 'Orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (11) dan Muslim (42)].


Penjelasan:


Hadits ini menunjukkan, siapa yang kaum muslimin terhindar gangguannya, berarti dia muslimin terbaik. Lisan dan tangan secara khusus disebut, karena umumnya segala hal berasal dari kedua bagian tubuh ini, karena kata-kata diucapkan dengan lisan, dan perbuatan dilakukan dengan tangan.


3/1513.
Dari Sahal bin Sa'ad, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Barang siapa menjamin (menjaga) apa yang ada di antara dua jenggotnya (lisan) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (kemaluan) untukku, aku menjamin surga untuknya'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6474) dan At-Tirmidzi (2408). Saya (Syaikh Al-Albani) tidak mendapatkan hadits ini dalam (riwayat) Muslim. Begitu pula ulama yang mentakhrij buku Riyadhush Shalihin].


Penjelasan:


Hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang menjaga lisan dan kemaluan dari segala yang diharamkan, ia akan masuk syurga.


4/1514.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata tanpa ia pikirkan (baik atau buruk) nya, dan ia pun tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari (jarak) antara timur dan barat."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6477); Muslim (2988); dan At-Tirmidzi (2315)].


Penjelasan:


Makna 'yatabayyanu' adalah memikirkan apakah kata-katanya baik atau buruk.


Hadits ini menunjukkan, tidak sepatutnya banyak berbicara, jangan berbicara selain dalam hal-hal yang berguna, dan harus menjaga ucapan saat marah, karena bisa jadi saat marah seseorang mengucapkan kata-kata yang membahayakan dirinya sendiri dalam hal agama dan dunia.


Disebutkan dalam hadits Abu Dzar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits yang beliau riwayatkan dari lembaran-lembaran Ibrahim 'alaihissalaam, "Orang berakal harus mengetahui zamannya, menata urusannya, dan menjaga lisannya. Siapa yang meyakini tutur kata termasuk bagian dari amal, ia akan sedikit berbicara, kecuali untuk hal-hal yang berguna."


5/1515.
Dari (Abu Hurairah), dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata-kata dari (kata-kata) yang diridhai Allah Ta'ala tanpa ia pedulikan, dan Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba mengucapkan suatu kata dari (kata-kata) yang dimurkai Allah Ta'ala tanpa ia pedulikan, dan karena itu ia pun jatuh ke dalam neraka Jahanam."
[Shahih: Al-Bukhari (6478)].


6/1516.
Dari Abu Abdurrahman, Bilal bin Harits Al-Muzanni radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata dari keridhaan Allah Ta'ala, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian rupa, dan karenanya Allah mencatat ridha-Nya untuknya hingga hari ia bertemu dengan-Nya. Dan sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata dari murka Allah Ta'ala, ia tidak mengira (kata-katanya) sampai sedemikian rupa, dan karenanya Allah mencatat murka-Nya untuknya hingga hari ia bertemu dengan-Nya."
(HR. Malik dalam Al-Muwaththa', dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih.").
[Shahih: Imam Malik (2/985); Ahmad (3/469); At-Tirmidzi (2319); dan Ibnu Majah (3969), Lihat 'Shahih Ibn Majah (3205)].


Penjelasan:


Ibnu Abdilbarr berkata, "Aku tidak mengetahui perbedaan pendapat terkait sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits ini, 'Sungguh, seseorang mengucapkan suatu kata-kata di hadapan sultan zalim, dengan kata-kata itu seseorang membuat si sultan tersebut senang, sehingga ia membuat Allah Ta'ala murka, ia hiasi kebathilan yang hendak dilakukan sultan, seperti menumpahkan darah, mendzalimi muslim, atau semacamnya yang diinginkan si sultan, sehingga ia menjauh dari Allah dan meraih murka-Nya. Demikian hal nya kata-kata yang disukai Allah Ta'ala, yang diucapkan di hadapan sultan untuk mengalihkan sultan dari keinginannya dan mencegah kemaksiatan yang ia inginkan. Kata-kata ini juga menggapai keridhaan Allah yang tidak ia sangka-sangka.


7/1517.
Dari Sufyan bin Abdullah radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, sampaikan suatu hal kepadaku untuk kujadikan pegangan.' Beliau bersabda, 'Katakan, 'Rabbku Allah,' kemudian ber-istiqamahlah.' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apa yang paling engkau khawatirkan padaku?' Beliau memegang lisannya sendiri lalu menjawab, 'Ini'."
(HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih.").
[Shahih: At-Tirmidzi (2410). Lihat 'Shahih At-Tirmidzi' (1964)].


Penjelasan:


Istiqamah adalah menjalankan segala perintah dan menjauhi semua larangan. Hadits ini bersumber dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :


"Sesungguhnya orang-orang yang berkata, 'Rabb kami adalah Allah,' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), 'Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) syurga yang telah dijanjikan kepadamu'."
(QS. Fushshilat: 30).


Hadits tersebut diatas menunjukkan, hal terbesar yang membinasakan manusia adalah lisan.


Al-Aquli berkata, "Kekhawatiran dikaitkan dengan lisan karena lisan adalah kendali manusia."


8/1518.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Janganlah kalian memperbanyak perkataan selain dzikir kepada Allah, karena banyaknya perkataan selain dzikir kepada Allah Ta'ala mengeraskan hati, dan manusia yang paling jauh dari Allah Ta'ala adalah yang berhati keras'."
(HR. At-Tirmidzi).


Penjelasan:


Dzikir adalah pujian untuk Allah dan berdo'a kepada-Nya, dan dzikir yang paling mulia adalah Al-Qur'an.
Kerasnya hati adalah hati tidak tersentuh oleh nasihat, tidak menjalankan kebaikan dan tidak berhenti melakukan keburukan.


9/1519.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Siapa yang dijaga Allah dari keburukan apa yang ada di antara dua jenggotnya (lisan) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluan), ia masuk syurga'."
(HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan shahih.").
[Shahih: At-Tirmidzi (2409), Lihat Shahih Al-Jami', (6593)].


Penjelasan:


Yaitu, siapa yang menjaga lisan dari keburukan dan ia gunakan lisan dalam kebaikan, dan ia jaga kemaulannya dari hal-hal yang diharamkan, ia masuk syurga.


10/1520.
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?' Beliau menjawab, 'Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu menjadi lapang bagimu (lakukan hal-hal yang membuatmu betah di rumah), dan tangisilah kesalahanmu'."
(HR. At-Tirmidzi. Ia berkata, "Hadits ini hasan.").
[Shahih: Ahmad (4/48) dan At-Tirmidzi (2406); Shahih At-Tirmidzi, 1961].


Penjelasan:


Ada yang menyatakan, jawaban ini termasuk kata-kata orang bijak, karena yang ditanyakan adalah tentang hakikat keselamatan, namun jawaban yang diberikan adalah sebab-sebab selamat, karena itu yang lebih penting.


11/1521.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, 'Apabila anak Adam memasuki pagi hari, seluruh bagian tubuh tunduk di hadapan lisan, mereka berkata, 'Bertakwalah kepada Allah dalam (menjaga hak-hak) kami, karena kami ini akan dihukum (karena apa yang kau ucapkan) Jika kau lurus, kami lurus, dan jika kau bengkok, kami bengkok pula'."
(HR. At-Tirmidzi).
[Hasan: At-Tirmidzi (2407). Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami' (351)].


Dalam hadits ini, tukaffirul lisan artinya tunduk di hadapan lisan. 'Fa innama nahnu bika' artinya kami dihukum karena apa yang kau ucapkan.


Penjelasan:


Ath-Thaibi berkata, "Sinkronisasi antara hadits ini dengan hadits, 'Sungguh, di dalam tubuh ada segumpal darah,' lisan adalah pengganti dan penerjemah hati, dan manusia itu berupa hati dan lisan. Manusia itu ditentukan oleh salah satu di antara dua organnya yang paling kecil."


12/1522.
Dari Mu'adz radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Aku berkata, 'Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang memasukkanku ke syurga dan menjauhkanku dari neraka?' Beliau bersabda, 'Kau menanyakan tentang sesuatu yang besar. Sungguh, itu mudah bagi yang diberi kemudahan Allah; engkau beribadah kepada Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke Baitullah.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan kepadamu? Puasa itu perisai, sedekah itu memadamkan kesalahan, seperti air memadamkan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam.' Setelah itu beliau membaca, 'Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.' (As-Sajdah: 16-17) Setelah itu beliau bertanya, 'Maukah aku beritahukan padamu asas, tiang, dan puncak urusan (agama)?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Asas urusan (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.' Setelah itu beliau bersabda, 'Maukah aku beritahukan padamu tiang semua itu?' Aku menjawab, 'Tentu, wahai Rasulullah.' Beliau kemudian memegang lisan dan bersabda, Tahanlah (lisan) mu!' Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah kita dihukum karena apa yang kita bicarakan?' Beliau menjawab, 'Semoga ibumu kehilanganmu! (secara tekstual berarti do'a kematian, namun ini bukan yang dimaksud. Yang dimaksud adalah untuk mengingatkan dari kelalaian dan membesarkan suatu hal), manusia ditelungkupkan di neraka di atas wajah-wajah mereka tidak lain disebabkan oleh hasil dari lisan mereka'."
(HR. At-Tirmidzi dan berkata, "Hadits ini hasan shahih.").


Penjelasan:


1. Amal perbuatan adalah sebab masuk syurga.
2. Seluruh pertolongan berada di tangan Allah 'Aza wa Jalla. Setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan bahwa menjalankan kewajiban-kewajiban Islam berujung pada masuk syurga, selanjutnya beliau menunjukkan pintu-pintu kebaikan di antara amalan-amalan nafilah.
3. Jihad adalah amalan terbaik setelah amalan-amalan fardhu, dan menahan lisan selain untuk mengatakan yang baik-baik adalah asas kebaikan.


13/1523.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tahukah kalian apa ghibah itu?' Mereka (para shahabat) menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda, 'Engkau menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia tidak suka.' Beliau ditanya, 'Bagaimana jika saudaraku itu memang seperti yang kukatakan?' Beliau menjawab, 'Jika kata-katamu terkait saudaramu benar, maka kau telah meng-ghibah-nya, dan jika kata-katamu terkait saudaramu tidak benar, maka kau telah berdusta terhadapnya'."
(HR. Muslim).


Penjelasan:


Hadits ini menunjukkan, hakikat ghibah adalah menyebut-nyebut seseorang dengan yang tidak ia sukai. Yaitu apabila perkataan itu benar itulah ghibah, dan jika perkataan itu tidak benar maka itulah fitnah (dusta).


14/1524.
Dari Abu Bakrah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda dalam khutbah hari Nahr di Mina saat haji Wada', "Sungguh, darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian, haram bagi kalian seperti haramnya hari kalian ini, dibulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Ingat, aku sudah menyampaikan ini!"
(Muttafaq 'alaih).


Penjelasan:


Hadits ini mengharamkan mengusik darah, harta benda, dan kehormatan seorang muslim dengan tindakan apa pun yang tidak diizinkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.


15/1525.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Aku berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, 'Shafiyah itu begini dan begitu.' Sebagian perawi mengatakan, 'Maksud 'Aisyah; Shafiyah itu pendek.' Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda, 'Sungguh, kau telah mengucapkan kata-kata yang andai dicampurkan dengan air lautan, tentu akan mengotorinya!' 'Aisyah berkata, 'Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang di hadapan beliau, lalu bliau bersabda, 'Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang meskipun aku diberi ini dan itu'."
(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini hasan shahih").
[Shahih: Ahmad (6/189); Abu Dawud (4875); dan At-Tirmidzi (2502). Lihat Shahih At-Tirmidzi (2024)].


Penjelasan:


Hadits ini merupakan larangan keras menggunjing orang lain.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


"Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)."
(QS. An-Najm: 3-4).


Kata-kata 'Aisyah, "Aku meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang dihadapan beliau," maksudnya 'Aisyah meniru gerakan seseorang yang tidak ia suka.


Al-Aquli menjelaskan, sabda beliau, "Aku tidak suka meniru (perbuatan atau ucapan) seseorang," maksudnya aku tidak ingin meniru seperti tindakannya. Dalam bahasa Arab, meniru tindakan dan ucapan seseorang disebut  'hakahu'. Kata ini umumnya digunakan untuk hal buruk. Dalam ghibah, perbuatan ini haram, misalnya menirukan cara berjalan orang pincang, membungkuk, atau kondisi-kondisi lain yang ditiru.


16/1526.
Dari Anas radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Saat aku di-mi'rija-kan (dibawa naik ke langit) aku melintasi suatu kaum. Mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar wajah dan dada mereka. Aku kemudian bertanya, 'Siapa mereka itu, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang memakan daging orang, dan membicarakan harga diri orang lain!"
(HR. Abu Dawud).
[Shahih: Ahmad (3/224) dan Abu Dawud (4878). Lihat Ash-Shahihah (553) dan Shahih Al-Jami' 5213)].


Penjelasan:


Imam Ahmad meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ditanya, "Wahai Rasulullah, si fulanah dan fulanah berpuasa, keduanya sudah tidak kuat.' Beliau berkata, 'Panggil keduanya!' Beliau kemudian berkata kepada salah satunya, 'Muntahlah!' Ia kemudian memuntahkan daging, darah segar, dan nanah.' Yang satunya lagi juga seperti itu. Setelah itu beliau bersabda, 'Keduanya menahan diri dari apa yang Allah halalkan, namun keduanya tidak bisa menjaga diri dari apa yang Allah haramkan. Salah satunya mendatangi yang lain, lalu keduanya terus memakan daging orang hingga perut mereka berdua penuh dengan nanah'."


17/1527.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Setiap Muslim bagi muslim lainnya adalah haram darah, kehormatan dan hartanya."
(HR. Muslim).
[Shahih: Muslim (2564)].


Penjelasan:


Hadits ini menegaskan haramnya darah, harga diri, dan harta benda seorang muslim.


Allahu a’lam bishowab..
Barakallaahu fiikum..
Semoga bermanfa’at..
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


Sumber:
‘KITAB RIYADHUS SHALIHIN’, Imam An-Nawawi.
Syarah: Syaikh Faishal Alu Mubarak.
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
Alih bahasa: Tim Penterjemah UMMUL QURA.
Penerbit: UMMUL QURA; Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar