AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Rabu, 17 Desember 2014

KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang Diperbolehkan

KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang Diperbolehkan.


Bismillaahir Rahmaanir Rahiim..
Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..


Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah


Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da


Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.


Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa


Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod faaza fauzaa 'adzhiima.


Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar.


Berikut, Pembahasan Singkat KITAB RIYADHUS SHALIHIN


256. Bab Ghibah yang Diperbolehkan.


Perlu diketahui, ghibah hanya diperbolehkan dalam tujuan yang dibenarkan secara syar'i, dimana tujuan tersebut tidak bisa dicapai tanpa ghibah. Ada enam sebab yang membolehkan ghibah secara syar'i:


Pertama:


Mengadukan perlakuan zalim. Orang teraniaya boleh mengadukan perlakuan zalim kepada sultan, hakim, atau pihak lain yang punya  kekuasaan atau kemampuan untuk bertindak adil pada pihak yang berbuat zalim, misalkan dengan mengatakan, "Si fulan menzalimi saya dengan tindakan ini dan itu."


Kedua:


Ghibah digunakan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan ahli maksiat kepada jalan yang benar, misalkan berkata kepada pihak yang kekuasaannya diharapkan bisa menghilangkan kemungkaran, "Si fulan berbuat begini dan begitu, tolong cegahlah dia," atau semisalnya dengan tujuan untuk menghilangkan kemungkaran. Jika tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kemungkaran maka hukumnya haram.


Ketiga:


Bertanya, misalkan bertanya kepada mufti, "Ayah, saudara saya, suami saya, atau si fulan menzalimi saya dengan tindakan ini dan itu. Bolehkah dia melakukan hal itu? Bagaimana caranya agar saya bisa terlepas dari dia, agar saya mendapatkan hak saya kembali, dan menangkal kezalimannya?" atau, kata-kata yang serupa lainnya. Ghibah semacam ini diperbolehkan karena diperlukan. Namun begitu, lebih hati-hati dan lebih baiknya mengatakan demikian, "Bagaimana pendapat Anda terkait seseorang atau seorang suami yang begini dan begitu?" Dengan cara ini maksudnya tercapai tanpa menyebut orang tertentu. Meski demikian, menyebut orang secara tertentu hukumnya boleh, seperti yang akan disebutkan dalam hadits Hindun, in syaa Alloh.


Keempat:


Mengingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan atau menasehati mereka melalui beberapa sisi;


Mengkritik para perawi atau saksi yang harus dikritik. Ini boleh berdasarkan ijmak kaum muslimin, bahkan wajib jika diperlukan.


Bermusyawarah untuk menikahkan seseorang, melibatkan seseorang untuk suatu urusan, menitipkan sesuatu atau bermuamalah dengan seseorang. Orang yang dimintai pendapat tidak boleh menutup-nutupi kondisi orang yang dimaksud, bahkan harus menyebutkan segala keburukannya dengan niat memberikan nasihat.


Ketika seseorang melihat seorang murid sering menemui ahli bid'ah atau berguru pada orang fasik, dan ia khawatir jika si murid terkena bahayanya, ia harus menasihati si murid dan menjelaskan kondisi gurunya, dengan syarat berniat memberikan nasihat. Dan sisi inilah yang kadang disalahgunakan. Kadang orang menyampaikan hal tersebut karena dorongan dengki. Ditambah lagi setan membuat samar hal itu padanya, dan membuatnya terbayang seakan-akan yang ia sampaikan adalah nasihat. Hal semacam ini perlu diperhatikan dengan baik.


Seseorang yang memiliki kekuasaan namun tidak ia jalankan secara semestinya, mungkin karena tidak layak menjabat kekuasaan tersebut, atau mungkin pula yang bersangkutan fasik atau lalai. Kondisi ini harus disampaikan kepada pemimpin tertinggi untuk mencopot orang tersebut, dan menunjuk orang yang layak, atau seseorang mengetahui kondisi si pemimpin yang tidak layak atau fasik tersebut, agar pemimpin tertinggi memperlakukannya sesuai kondisinya, tidak terpedaya, dan berusaha untuk mendorongnya berlaku istiqomah, atau meminta agar diganti dengan yang lain.


Kelima:


Seseorang menampakkan kefasikan atau bid'ah, seperti meminum khamar secara terang-terangan, merampas harta milik orang lain, memungut pajak, memungut harta orang lain secara semena-mena, dan membawahi urusan-urusan bathil. Kefasikan orang seperti ini boleh diberitahukan kepada khalayak, namun haram hukumnya menyebutkan aib-aib lainnya selain kefasikan yang ia perlihatkan secara terang-terangan (jelas), kecuali jika ada faktor lain yang membolehkan untuk menyebut aib-aib lainnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya.


Keenam:


Untuk memperkenalkan. Jika seseorang dikenal dengan suatu julukan, seperti Al-A'masy (orang yang kabur penglihatannya), Al-A'raj (pincang), Al-Asham (tuli), Al-Ahwal (juling), dan lainnya, mereka boleh diperkenalkan dengan julukan-julukan tersebut. Namun tidak boleh menyebut julukan-julukan ini dengan maksud menghina. Ada baiknya jika pengenalan dilakukan dengan julukan lain.


Demikian enam sebab yang disebutkan ulama, dan sebagian besar di antaranya disepakati. Dalil-dalilnya adalah hadits-hadits shahih dan masyhur. Sebagian ulama menyatukan sebab-sebab ini dalam bait syair berikut:


Celaan bukanlah ghibah dalam enam (hal); Mengadukan kezaliman, memperkenalkan, mengingatkan. Orang yang menampakkan kefasikan dengan jelas, orang yang bertanya, dan orang yang meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.


Diantara hadits-hadits tersebut:


1/1531.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, seseorang meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu beliau berkata, "Izinkan dia masuk, dia adalah seburuk-buruk anggota kabilah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6054), dan Muslim (2591)].


Penjelasan:


Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Bukhari terkait bolehnya menggunjing orang-orang yang berbuat kerusakan dan mencurigakan. Ada yang mengatakan bahwa orang dalam riwayat ini adalah Uyainah bin Hishn. Yang lain menyebut Makhramah bin Naufal.


2/1532.
Dari ('Aisyah), ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Aku yakin si fulan dan fulan sama sekali tidak mengetahui agama kita sedikitpun'."
(HR. Al-Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari, 6067].


Penjelasan:


Al-Bukhari berkata, "Laits bin Sa'ad, salah satu perawi hadits ini, berkata, 'Kedua orang tersebut termasuk golongan orang-orang munafik'."


Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan hal itu untuk menjelaskan kemunafikan yang disembunyikan oleh kedua orang tersebut, agar penampilan luar keduanya tidak mengelabuhi orang yang tidak mengetahui urusan mereka berdua.


3/1533.
Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu'anha, ia berkata, "Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu aku berkata, 'Abu Jahm dan Mu'awiyah meminangku.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda, 'Adapun Mu'awiyah, dia miskin, tidak punya harta, sementara Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Muslim (1480), Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits ini].


Penjelasan:


Riwayat Muslim menyebutkan; "Adapun Abu Jahm, ia suka memukul wanita." Ini menafsirkan riwayat, "Dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya." Pendapat lain mengatakan, artinya ia sering bepergian.
Pensyarah mengatakan, makna pertama lebih tepat, karena riwayat-riwayat saling menafsirkan satu sama lain, meski tidak menutup kemungkinan untuk disatukan.


4/1534.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan saat orang-orang tertimpa kesulitan, lalu Abdullah bin Ubai berkata, 'Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)' Ia juga berkata, 'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari perang Bani Musthalik), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.' Aku kemudian menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu kepada beliau. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian menemui Abdullah bin Ubay, lalu ia bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa ia tidak mengatakan seperti itu. Mereka kemudian berkata, 'Zaid telah berdusta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam'. Karena kata-kata mereka ini, sesuatu yang berat menimpa diri saya, hingga Allah menurunkan kepada Nabi-Nya pembenaran kata-kata saya; Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad)' Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam memanggil mereka untuk memintakan ampunan bagi mereka, mereka lantas membuang muka'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (3900), Muslim (2772)].


Penjelasan:


Perkataan Zaid, "Lalu ia bersumpah dengan sungguh-sungguh," yaitu ia bersumpah dan menegaskan sumpahnya dengan mengulang-ulangnya.


5/1535.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, 'Abu Sufyan itu orang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (5359), Muslim (1714)].


Penjelasan:


Dalam hadits ini, Asy-Syuhh artinya kikir disertai tamak.
Hadits ini menunjukkan, boleh menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak ia sukai dengan maksud untuk meminta fatwa, mengadu, dan semacamnya. Dan boleh mendengar kata-kata wanita asing (bukan mahram) di hadapan hukum dan fatwa.
Hadits ini menunjukkan, wajib menafkahi istri. Nafkah istri di ukur berdasarkan kecukupan.
Juga menunjukkan, hal-hal yang tidak ditentukkan dalam syari'at mengacu pada kebiasaan.


Allahu a’lam..
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaah wa barakaatuh..


Sumber:
KITAB RIYADHUSH SHALIHIN
Imam An-Nawawi
Syarah: Syaikh Faishal bin Abdul Aziz Alu Mubarak
Takhrij: Syaikh Nashiruddin Al-Albani
Alih Bahasa: Tim Penterjemah Ummul Qura
Penerbit: UMMUL QURA – Jkt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar