AHLAN WA SAHLAN YA IKHWAH...
Sedikit kata untuk kita renungkan bersama...

Kamis, 02 Oktober 2014

SYARAH HADITS ARBA'IN AN NAWAWI, Hadits Ke-1

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu dia berkata, ''Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihiwasallam bersabda: ''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima atau tidaknya) disebabkan oleh niat. Dan sesungguhnya setiap orang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannnya. Maka barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka (balasan dan pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya karena duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya maka (balasan) hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.''
(Diriwayatkan oleh dua imam para ahli hadits: Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari dan Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi di dalam kedua kitab Shahih mereka yang merupakan kitab paling shahih yang pernah disusun).



Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Ashabus Sunan dan lainnya. Hadits ini diriwayatkan dari Umar oleh Alqamah bin Waqqash al-Laitsi seorang. Kemudian diriwayatkan darinya oleh Muhammad bin Ibrahim at-Taimi seorang. Kemudian diriwayatkan darinya oleh Yahya bin Sa'id al-Anshari seorang. Kemudian diriwayatkan darinya oleh banyak rawi. Sehingga hadits ini merupakan salah satu hadits Gharib (Hadits Gharib adalah salah satu jenis hadits Ahad, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang rawi dalam setiap tingkatan rawinya) dalam shahih Bukhari, dan merupakan hadits pembuka. Semisalnya hadits yang menjadi penutup kitabnya, yaitu hadits Abu Hurairah:



''Dua kata yang dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih.....''
(Al-Hadits).



Juga merupakan salah satu hadits Gharib dalam Shahih Bukhari.



An-Nawawi membuka Hadits-hadits Arba'innya dengan hadits ini. Sejumlah para ulama selainnya pun mengawali kitab-kitab mereka dengan hadits ini. Diantaranya Imam Bukhari dimana dia mengawali kitabnya dengan hadits ini. Abdul Ghani al-Maqdisi mengawali kitabnya Umdatul Ahkam dengan hadits ini. Al-Baghawi mengawali kitabnya Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah dengan hadits ini. As-Suyuthi mengawali kitabnya Al-Jami' Ash-Shaghir dengan hadits ini. An-Nawawi di awal kitabnya Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab meletakkan satu fasal dimana dia berkata [I/35], ''Pasal tentang ikhlas dan menghadirkan niat dalam setiap amal yang zhahir maupun batin.'' Lalu dia menyebutkan tiga ayat Al-Qur'an kemudian hadits ini (innamal 'amaalu binniyyaati). Lalu berkata, ''Hadits shahih yang disepakati keshahihannya serta disepakati keagungan kedudukannya. Hadits ini merupakan salah satu kaidah iman, pondasi pertamanya dan rukun yang paling urgen.



Asy-Syafi'i rahimahullahu berkata, ''Hadits ini masuk pada tujuh puluh bab dalam ilmu fiqh.'' Beliau juga berkata, ''Hadits ini sepertiga ilmu.'' Hal yang sama juga diucapkan oleh ulama lainnya. Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah keseluruhannya. Ada yang berpendapat tiga hadits. Ada yang berpendapat empat hadits. Ada yang berpendapat dua hadits. Dan ada yang berpendapat satu hadits saja. Aku telah mengumpulkan semuanya dalam Al-Arba'in dan mencapai empat puluh hadits. Seorang yang taat beragama harus mengetahuinya. Karena semuanya shahih dan mengumpulkan kaidah Islam, dalam masalah furu', zuhud, adab, akhlaq mulia dan lainnya. Sesungguhnya aku memulai dengan hadits ini demi meneladani para imam kita yang telah mendahului kita dari kalangan ulama, semoga Allah meridhai mereka.



Sesungguhnya hadits ini dijadikan pembuka oleh Imam Ahli Hadits Abu Abdillah al-Bukhari dalam shahihnya tanpa ada yang menentang. Telah dinukil pula dari sejumlah Salaf bahwa mereka menyukai untuk mengawali setiap kitab dengan hadits ini. Sebagai pengingat bagi penuntut ilmu agar memperbaiki niat dan keinginannya hanya untuk mengharap Wajah Allah Ta'ala dalam setiap amalnya, yang tampak maupun yang sembunyi. Telah diriwayatkan kepada kami dari Imam Abu Sa'id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullahu bahwa dia berkata, ''Jika aku menyusun sebuah kitab, aku mengawali setiap babnya dengan hadits ini.'' Telah diriwayatkan pula kepada kami darinya, bahwa dia berkata, ''Barangsiapa yang ingin menulis sebuah kitab, maka hendaklah dia memulai dengan hadits ini.'' Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Khaththab al-Khaththabi asy-Syafi'i al-Imam rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Ma'alim, ''Para ulama terdahulu kami menyukai untuk meletakkan hadits (innamal 'amaalu binniyyaati) diawal setiap perkara yang dimulai dari perkara-perkara agama ini. Karena umumnya kebutuhan kepada hadits ini dalam segala jenis perkara agama.''



Ibnu Rajab berkata dalam Jami'ul Ulum Wal Hikam [I/61], ''Para ulama sepakat atas keabsahan dan keharusan untuk menerimanya. Hadits ini dijadikan oleh Bukhari sebagai pembuka kitabnya Ash-Shahih. Dia posisikan hadits ini layaknya khutbah bagi kitabnya. Sebagai isyarat bahwa setiap amal yang tidak diniatkan karena Allah adalah batil, tidak memiliki manfa'at di dunia maupun di akhirat.''



Ibnu Rajab berkata, ''Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros agama ini. Diriwayatkan dari Asy-Syafi'i bahwa dia berkata, ''Hadits ini sepertiga ilmu. Masuk pada tujuh puluh bab dalam ilmu fiqh.'' Diriwayatkan pula dari Imam Ahmad bahwa dia berkata: ''Pokok Islam terdapat pada tiga hadits:



Hadits Umar radhiyallahu'anhu:



''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima da tidaknya) disebabkan oleh niat.''



Hadits Aisyah radhiyallahu'anha:



''Barangsiapa yang membuat-buat dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya maka hal tersebut tertolak.''



Dan hadits An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu:



''Perkara halal itu jelas dan perkara haram itu jelas.''



Dia juga berkata [I/71] meluruskan ucapan Imam Ahmad, ''Sesungguhnya semua perkara agama kembali kepada: menjalankan perintah, meninggalkan larangan dan tidak mendekati perkara yang samar (syubhat)”. Semua ini dikandung oleh hadits An-Nu'man bin Basyir. Kemudian hal ini hanyalah akan sempurna dengan dua perkara:



Pertama: Amal tersebut secara zhahir harus menepati sunnah. Inilah yang dikandung oleh hadits Aisyah: ''Barangsiapa yang membuat-buat dalam urusan kami sesuatu yang tidak berasal darinya maka hal tersebut tertolak.''



Kedua: Amal tersebut secara batin harus ditujukan untuk Allah 'Aza Wa Jalla, sebagaimana dikandung oleh hadits Umar, ''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima dan tidaknya) disebabkan oleh niat.''



Ibnu Rajab [I/61-63] menyebutkan beberapa penukilan dari sebagian ulama tentang hadits-hadits yang berkisar padanya perkara-perkara Islam. Bahwa diantara mereka ada yang berpendapat dua hadits. Ada yang berpendapat empat hadits. Ada yang berpendapat lima hadits. Hadits-hadits yang disebutkan selain dari tiga hadits diatas adalah:



''Sesungguhnya salah seorang diantara kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya....''



''Diantara bentuk kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna baginya.''



''Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik.''



''Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.''



''Tidak boleh melakukan perbuatan (mudharat) yang mencelakakan diri sendiri dan orang lain.''



''Jika aku memerintahkan kalian dengan sebuah perkara maka lakukanlah semampu kalian.''



''Zuhudlah di dunia niscaya Allah akan mencintaimu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia akan mencintaimu.''



''Agama ini adalah nasihat.''



Sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wasallam:



''Sesungguhnya setiap amal itu (diterima dan tidaknya) disebabkan oleh niat.''



''(Innamaa) merupakan kata yang digunakan untuk membatasi sesuatu. Alif Lam pada kata (l'amaalu) ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah amal-amal yang khusus bersifat ibadah. Ada juga yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah amal secara umum. Sehingga jika termasuk ibadah maka pelakunya akan mendapatkan pahala. Dan jika termasuk kebiasaan (bukan ibadah) seperti makan, minum dan tidur maka pelakunya akan mendapat pahala jika dia meniatkannya untuk memperoleh kekuatan ketika beribadah. Alif dan Lam pada kata (Nniyyaati) merupakan Badal dari Dhamir (kata ganti) Ha. Sehingga redaksinya menjadi:



''A'amaalu biniyyaatiha.''



''Bahwasanya setiap amal itu (diterima tidaknya) disebabkan oleh niatnya.''



Niat secara bahasa berarti maksud. Niat berfungsi untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan yang lainnya. Seperti membedakan ibadah fardhu yang satu dengan ibadah fardhu yang lainnya. Atau membedakan antara ibadah yang fardhu dengan ibadah yang sunnah. Niat juga membedakan antara mandi junub dengan mandi untuk tujuan kesegaran dan kebersihan.



Sabda Beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Dan sesungguhnya setiap orang itu hanya mendapatkan apa yang diniatkannya.'' Ibnu Rajab [I/65] berkata, ''Ini memberitahukan bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang diniatkannya. Jika dia meniatkan kebaikan maka dia mendapatkan kebaikan. Jika dia meniatkan keburukan maka dia mendapatkan keburukan. Kalimat ini bukanlah pengulangan murni bagi kalimat yang pertama. Sebab kalimat pertama menunjukan bahwa sebuah amal akan menjadi benar atau rusak tergantung pada niat yang mendorong amal tersebut dilakukan. Sedang kalimat kedua menunjukan bahwa pahala seseorang atas amal perbuatannya bergantung pada niatnya yang benar. Demikian pula dosa yang ia dapat sesuai dengan niatnya yang rusak. Bisa jadi niatnya sesuatu yang mubah (seseorang tidak mendapatkan pahala ketika mengerjakannya dan tidak mendapatkan dosa ketika meninggalkannya) sehingga amalnya merupakan sesuatu yang mubah. Dia tidak mendapatkan pahala ataupun dosa karenanya. Maka amal itu sendiri: baiknya, rusaknya dan mubahnya sesuai dengan niat yang menjadi faktor pendorong dilakukannya amal tersebut. Kemudian pahalanya, dosanya dan keabsahannya sesuai dengan niat yang menyebabkan amal tersebut baik, rusak atau mubah.''



Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Maka barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka (balasan dan pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya karena duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya maka (balasan) hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.''



Hijrah artinya meninggalkan. Hijrah bisa berupa meninggalkan tempat yang tidak aman menuju tempat yang aman. Seperti hijrah dari Makkah ke Habasyah (Ethiopia). Hijrah bisa pula berupa meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam. Seperti hijrah dari Makkah ke Madinah, namun hijrah ke Madinah telah ditutup oleh peristiwa Fathu Makkah. Adapun hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam tetap berlaku sampai hari kiamat.



Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Maka barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya maka (balasan dan pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.'' Di sini syarat dan balasannya memiliki redaksi yang sama, yang seharusnya beda. Sesungguhnya maknanya adalah: Barangsiapa yang niat dan tujuan hijrahnya adalah menuju Allah dan Rasul-Nya, maka pahala dan balasan hijrahnya kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, syarat dan balasan (jika terpenuhinya syarat tersebut) redaksinya berbeda. Ibnu Rajab [I/72] berkata, ''Ketika beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam menyebutkan bahwa semua amal tergantung niat, dan bahwasanya bagian yang didapat oleh seseorang dari amalnya adalah niatnya yang baik atau yang buruk. Kedua kalimat ini merupakan kalimat yang universal serta menjadi kaidah umum, tidak ada sesuatu yang keluar dari ruang lingkupnya. Setelah itu beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam menyebutkan satu contoh amal yang bentuknya satu, namun berbeda dari segi keshalihan dan kerusakan, mengikuti perbedaan niat. Seolah beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda, ''Semua amal berdasarkan contoh ini.''



Ibnu Rajab juga berkata [I/73], ''Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam memberitahukan bahwa hijrah ini tidaklah sama, sesuai dengan perbedaan niat dan tujuannya. Barangsiapa yang hijrahnya menuju negeri Islam karena cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya serta berkeinginan untuk mempelajari agama Islam dan menampakkan agamanya yang tidak bisa dia lakukan di negeri syirik, maka orang ini telah hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya secara hakiki. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebanggaan ketika dia mendapatkan apa yang dia niatkan, yaitu hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah jawaban syarat pada hadits ini diungkapkan hanya dengan mengulangi redaksi syaratnya. Karena teraihnya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya merupakan puncak dari apa yang dicari, baik di dunia maupun di akhirat.



Barangsiapa yang hijrah dari negeri syirik menuju negeri Islam demi materi duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya di negeri Islam, maka hijrahnya menuju apa yang dia jadikan tujuan. Orang pertama merupakan saudagar sedang orang kedua adalah seorang pelamar wanita, bukan seorang yang hijrah.



Sabda beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Maka hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.'' mengandung celaan dan hinaan terhadap tujuannya yang berupa perkara duniawi, sebab redaksinya tidak disebut secara gamblang. Selain itu sesungguhnya hijrah menuju Allah dan Rasul-Nya adalah satu, tidak berbilang. Karena itu jawaban syarat diulangi dengan lafazh yang sama dengan syaratnya. Sedangkan hijrah karena perkara duniawi tidaklah terbatas. Terkadang seseorang hijrah untuk tujuan duniawi yang mubah dan bisa juga haram. Hal-hal duniawi yang menjadi tujuan hijrah tidaklah terbatas, karena itulah beliau Shallallahu 'Alaihi wasallam bersabda: ''Maka (balasan) hijrahnya sesuai dengan tujuan hijrahnya.'' Yakni apapun itu.



Ibnu Rajab [I/74-75] berkata, ''Telah populer cerita tentang Muhajir Ummi Qais (lelaki yang hijrah karena ingin menikahi wanita bernama Ummu Qais). Dialah yang menjadi sebab sabda Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam, ''Dan barangsiapa yang (niat dan tujuan) hijrahnya karena duniawi yang akan didapatnya atau karena wanita yang akan dinikahinya.'' Ini disebutkan oleh banyak ulama dari generasi belakangan dalam kitab-kitab mereka. Kami tidak mendapati hal tersebut memiliki dalil dengan sanad yang shahih. Wallahu 'alam.''



Niat tempatnya didalam hati, melafalkannya adalah bid'ah. Tidak boleh melafalkan niat dalam ibadah apapun, kecuali dalam haji dan umrah. Dia boleh menyebut dalam talbiyahnya apakah dia meniatkan qiran atau ifrad atau tamattu'. Di sana dia berkata, ''Labbaika 'umratan wa hajjan, atau Labbaika hajjan atau Labbaika 'umratan'' karena terdapat sunnah yang kuat khusus dalam masalah ini tanpa yang lainnya.



Diantara kandungan hadits ini adalah:



1. Sebuah amal tidaklah terwujud melainkan dengan niat.



2. Setiap amal ditimbang dengan niatnya.



3. Balasan seseorang atas amalnya sesuai dengan niatnya.



4. Seorang alim membuat contoh untuk memberi penjelasan.



5. Keutamaan hijrah, karena Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam menjadikannya sebagai contoh. Telah disebutkan dalam Shahih Muslim [192] dari Amru bin Ash radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'Alaihi wasallam, beliau bersabda:



''Tahukah engkau bahwa Islam menghapus apa yang sebelumnya? Hijrah menghapus apa yang sebelumnya? Dan haji menghapus apa yang sebelumnya?''



6. Seorang insan akan mendapat pahala atau dosa dan atau terhalang dari sesuatu sesuai dengan niatnya.



7. Setiap amal dihukumi mengikuti tujuannya. Bisa jadi sesuatu yang hukum asalnya mubah menjadi ibadah ketika diniatkan oleh seseorang untuk kebaikan. Seperti makan dan minum jika diniatkan agar kuat dalam beribadah.



8. Sebuah amal yang sama bisa membuat seseorang mendapat pahala dan bisa pula menyebabkannya terhalang dari kebaikan.



Sumber:

Kitab "Fathul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba'in wa Tatimmatil Khamsin Lin Nawawi wa Ibni Rajab Rahimahumallah."
Ditulis Oleh: Syaikh 'Abdul Muhsin bin Hamd al-'Abbad al-Badr.
Diterjemahkan oleh:
Abu Habiib Sofyan Saladin.
Dalam Judul Versi Indonesia: "Syarah Hadits Arba'in an-Nawawi" (Plus 8 Hadits Ibnu Rajab).
Penerbit: "Darul Ilmi", Cileungsi-Bogor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar