Bismillaahir rahmaanir rahiim
Assalamu'alaykum wa rahmatullaah wa barakaatuh.
"Innal hamdalillaah
nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa
waminsayyi aati 'amaalinaa mayyahdihillaahu falaa mudhillalah wamayyudlil falaa
hadiyalah."
"Asyhadu alaa ilaha
illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiy ya
ba'da."
"Segala puji hanya milik
Allah 'Aza wa Jalla, kita memuji-Nya, kita memohon pertolongan kepada-Nya, kita
memohon ampun kepada-Nya, dan kita berlindung kepada-Nya dari
kejelekan-kejelekan diri kita dan kejelekan amal perbuatan kita. Barangsiapa
yang diberi hidayah oleh Allah 'Aza wa Jalla maka tidak ada seorangpun yang
dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah 'Aza wa Jalla
maka tidak seorangpun yang dapat memberi hidayah kepadanya."
"Aku bersaksi bahwa tidak
ada yang patut disembah dengan haq (benar) kecuali Allah 'Aza wa Jalla saja,
dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu
'alaihi wasallam adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya. Dan tidak ada Nabi
setelahnya"
Qola Allaahu Ta'ala fii Kitabul Karim: "Yaa
ayyuhal ladziina aamanu taqullaaha haqqo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa
antum muslimun."
Allah Ta'ala berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman,
bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya, dan
janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan beragama Islam."
(QS. Ali Imran: 102).
Wa qola Allaahu Ta'ala: "Yaa ayyuhan naasuttaquu
robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa dzaujaha wa
batstsa minhuma rijaalan katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa
aluunabihi wal arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa."
Dan AllahTa'ala berfirman: "Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang
satu, daripadanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan nama-Nya) kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kalian."
(QS. An Nisaa: 1).
Wa qola Allaahu Ta'ala: "Yaa ayyuhal ladziina
aamanut taqullaah waquuluu qaulan sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir
lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasullahuu waqod faaza fauzan
'adzhiima."
Dan Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah dengan perkataan yang
benar, niscaya Allah akan memperbaiki bagi kalian amal-amal kalian dan
mengampuni bagi kalian dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa mentaati Allah dan
Rasul-Nya maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
(QS. Al Ahzab: 70-71).
Amma ba'du,
"Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin
shallallaahu 'alaihi wasallam wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa
tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla dholaalatin fiinnar."
Amma ba'du: "Sesungguhnya sebenar-benar perkataan
adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallahu 'alaihi wasallam, dan sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah
adalah sesat, dan setiap kesesatan ada di neraka."
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam dan membangkitkan para sahabat radhiyallahu
'anhum sebagai pendamping dan pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan para pengikutnya yang setia
hingga akhir masa. Amma ba'du. Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan
hidayah dan taufik-Nya kepada kita. Seringkali masyarakat dibingungkan oleh
sebuah istilah yang belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di atas
kebingungan inilah kemudian muncul berbagai persangkaan dan bahkan tuduhan
bukan-bukan kepada sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa
mengecek kebenarannya merupakan bagian dari keindahan ajaran Islam yang harus
kita jaga. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Wahai orang-orang
yang beriman jika orang fasik datang
kepada kalian membawa berita maka telitilah kebenarannya…" (QS. Al
Hujuraat: 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di dalam rubrik Tafsir Majalah
As Sunnah Edisi 01/Thn X/1427 H/2006
M, hal. 11-15).
Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah istilah
yang cukup populer namun sering
disalahpahami oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata salaf atau
salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya hakikat permasalahan ini untuk
diungkap dan dijelaskan maka kami memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala untuk
turut berpartisipasi mengurai "benang kusut" ini. Semoga Allah
menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu
waliyyut taufiiq.
Syaikh Salim Al Hilaly -salah satu murid senior Ahli Hadits
abad ini Syaikh Al Albani-hafizhahullah telah membeberkan perkara ini dengan
gamblang dalam buku beliau Limadza
Ikhtartul Manhaj Salafy yang sudah diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,Lc.
hafizhahullah dengan judul 'Mengapa Memilih Manhaj Salaf' penerbit Pustaka Imam
Bukhari, Solo. Kami sangat menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk
memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang bilang, "Tak kenal
maka tak sayang…"
Pemahaman yang Benar dan Niat Baik
Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah perkataan
berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi mengingatkan kaum muslimin sekalian agar
menjaga diri dari dua bahaya besar, yaitu kesalah pahaman dan niat yang buruk.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Pemahaman yang benar dan niat
yang baik adalah termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada
hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama
dan lebih agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini.
Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas
pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya
dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi 'alaihim) yaitu orang
yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan
jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak.
Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang
diberi nikmat (an'amta 'alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan
niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim…" ( I'laamul
Muwaqqi'iin, 1/87, dinukil dari Min
Washaaya Salaf, hal. 44).
Oleh sebab itu di sini kami katakan: Hendaknya kita semua
berusaha seoptimal mungkin untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini
sebaik-baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk mencari kebenaran
dan kemudian mengikutinya. Hal ini sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita
saksikan orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena kurang bisa
mencermati hakikat suatu permasalahan akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan,
sungguh betapa banyak orang semacam ini… Di sisi lain adapula orang-orang yang
apabila kita lihat dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang sudah
didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi parameter pemahaman) adalah termasuk
golongan orang yang 'mengerti', namun amat disayangkan ilmu yang diperolehnya
tidak melahirkan ketundukan terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita
temui adanya sebagian da'i yang lebih memilih manhaj/metode selain manhaj
salaf, padahal ia termasuk lulusan Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini
sekaligus mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang bukanlah ukuran
kebenaran). Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan predikat
cum laude di sana, namun tatkala pulang
ke Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah (kepartaian) dan larut dalam
kancah politik ala Yahudi, ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan
jari… Wallahul musta'aan. Semoga Allah mengembalikan mereka kepada kebenaran.
Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang akan
menunjukkan jalan untuk memecahkan segala macam masalah. Allah Ta'ala berfirman
yang artinya, "Wahai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul serta Ulul amri di antara
kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka
kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar
beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi
kalian dan lebih bagus hasilnya." (QS.
An Nisaa': 59)
Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud ulul amri
adalah mencakup umara' (penguasa/pemerintah) dan juga ulama (ahli ilmu agama).
Beliau juga menjelaskan bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya
(Al Qur'an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah ambillah ajaran (Sunnah)
beliau. Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam rangka ketaatan
kepada Allah bukan dalam hal maksiat. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersabda dalam hadits yang shahih, "Sesungguhnya ketaatan
itu hanya boleh dalam perkara ma'ruf (bukan kemungkaran)." (HR. Bukhari
dan Muslim). Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat tersebut maknanya adalah kembali
merujuk kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran Mujahid
dan para ulama salaf yang lain.
Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, "Ini merupakan
perintah dari Allah 'Aza wa jalla bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan
oleh manusia yang berkaitan dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun
cabang- cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal itu harus dikembalikan
kepada Al Kitab dan As Sunnah. Ini sebagaimana firman Allah Ta'ala (yang
artinya), "Dan apa saja yang kalian
perselisihkan maka keputusannya kembali kepada Allah." (QS. Asy Syuura:
10). Maka segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As Sunnah serta
dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya itulah al haq (kebenaran). Dan tidak
ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan…" (lihat Tafsir Al Qur'an Al
'Azhim, II/250).
Kata Salaf Secara
Bahasa
Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik dari
sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan. Seorang pakar bahasa Arab
Ibnu Manzhur mengatakan, "Kata salaf juga berarti orang yang mendahului
kamu, yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di atasmu dari sisi
umur dan keutamaan. Oleh karenanya maka generasi awal yang mengikuti para
sahabat disebut dengan salafush shalih (pendahulu yang baik)." (Lisanul
'Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal.
30). Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang terdapat di dalam ayat Al
Qur'an yang artinya, "Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan
mereka semuanya di laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran) dan
contoh bagi orang- orang kemudian." (QS. Az Zukhruf: 55-56). Artinya
adalah: Kami menjadikan mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka supaya orang sesudah mereka mau
mengambil pelajaran dan mengambil nasihat darinya. (lihat Al Wajiz fi 'Aqidati
Salafish Shalih, hal. 20).
Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf ini
dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam bahasa kita. Dalam kamus Islam
kata ini bukan barang baru. Akan tetapi pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal.
Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada
puterinya Fathimah radhiyallahu 'anha. Beliau bersabda, "Sesungguhnya
sebaik-baik salafmu adalah aku." (HR. Muslim). Artinya sebaik-baik
pendahulu. (lihat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7). Oleh
sebab itu secara bahasa, semua orang terdahulu adalah salaf. Baik yang jahat
seperti Fir'aun, Qarun, Abu Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para
syuhada dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll. Adapun yang akan
kita bicarakan sekarang bukanlah makna bahasanya, akan tetapi makna istilah.
Hal ini supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul komentar, "Lho
kalau begitu JIL juga salafi dong..! Mereka kan juga punya pendahulu".
Maaf, Mas… bukan itu yang kami maksudkan…
Kemudian apabila muncul pertanyaan "Kenapa harus
disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata pengertian istilahnya
menyelisihi pengertian bahasanya?". Maka kami akan menjawabnya sebagaimana
jawaban Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, "Faidahnya
adalah supaya kita mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan syari'at
dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa). Sehingga akan tampak jelas bagi
kita bahwasanya istilah-istilah syari'at tidaklah melenceng secara total dari
sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya ada keterkaitan satu sama lain.
Oleh sebab itulah anda jumpai para fuqaha' (ahli fikih atau ahli agama)
rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan sesuatu maka mereka pun
menjelaskan bahwa pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian
sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian; hal ini diperlukan
supaya tampak jelas bagimu adanya keterkaitan antara makna lughawi dengan makna
ishthilahi." (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38).
Istilah Salaf di Kalangan Para Ulama
Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-nyebut kata
salaf maka yang mereka maksud adalah salah satu di antara 3 (Tiga) kemungkinan
berikut:
Pertama: Para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua: Shahabat dan murid-murid mereka (tabi'in).
Ketiga: Shahabat, tabi'in dan juga para Imam yang telah
diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang senantiasa menghidupkan
sunnah dan berjuang membasmi bid'ah (lihat Al Wajiz, hal. 21).
Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan,
"Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah karakter yang melekat
secara mutlak pada diri para sahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun para ulama
sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena sikap dan cara beragama
mereka yang meneladani para sahabat." (Limadza,hal.30).
Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al 'Aql mengatakan,
"Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu para sahabat, tabi'in dan para
imam pembawa petunjuk pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan
(sahabat,tabi'in dan tabi'ut tabi'in, -pen). Dan setiap orang yang meneladani
dan berjalan di atas manhaj mereka di sepanjang masa disebut sebagai salafi
sebagai bentuk penisbatan terhadap mereka." (Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal
Jama'ah fil 'Aqidah, hal. 5-6).
Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul Maqalah
min Syarhir Risalah , "Adapun Salafush shalih, mereka itu adalah generasi
awal (Islam) yang mendalam ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah Ta'ala telah memilih
mereka untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun
merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di jalan Allah dengan penuh
kesungguhan. Mereka kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan
memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga mengorbankan diri demi
menggapai keridhaan Allah…" (lihat Limadza, hal. 31). Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik orang adalah di
jamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi'in) dan kemudian orang
sesudah mereka (tabi'ut tabi'in)." (HR. Bukhari dan Muslim) Sehingga Rasul
beserta para sahabatnya adalah salaf umat ini. Demikian pula setiap orang yang
menyerukan dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang yang menempuh
manhaj/metode salaf, atau biasa disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut
Salaf. Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa sahabat, tabi'in dan
tabi'ut tabi'in adalah pembatasan yang keliru. Karena pada masa itupun sudah
muncul tokoh-tokoh pelopor bid'ah dan kesesatan. Akan tetapi kriteria yang
benar adalah kesesuaian akidah, hukum dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan
As Sunnah serta pemahaman salafush shalih. Oleh karena itulah siapapun orangnya
asalkan dia sesuai dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia adalah
pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh dari periode Kenabian. Ini
artinya orang-orang yang semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak
beragama sebagaimana mereka maka bukanlah termasuk golongan mereka, meskipun
orang-orang itu sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
(lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza, hal. 33 dan Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal.
8).
Contoh-Contoh Penggunaan Kata "Salaf"
Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab
Shahihnya. Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, "Rasyid bin Sa'ad
berkata: Para salaf menyukai kuda
jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih berani." Al Hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah menafsirkan kata salaf tersebut, "Maksudnya adalah para
sahabat dan orang sesudah mereka." Syaikh Salim mengatakan, "Yang
dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat radhiyallahu'anhum. Karena Rasyid
bin Sa'ad adalah seorang tabi'in (murid sahabat), sehingga orang yang disebut
salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada keraguan padanya." Demikian
pula perkataan Imam Bukhari, "Az Zuhri mengatakan mengenai tulang bangkai
semacam gajah dan selainnya: Aku menemui sebagian para ulama salaf yang
bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya sebagai tempat minyak rambut.
Mereka memandangnya tidaklah mengapa." Syaikh Salim mengatakan, "Yang
dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat radhiyallahu'anhum, karena
Az Zuhri adalah seorang tabi'in." (lihat Limadza, hal. 31-32).
Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam kitab
Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim mengeluarkan hadits dari jalan
Muhammad bin 'Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan: Aku mendengar 'Ali bin Syaqiq
mengatakan: Aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang
banyak, "Tinggalkanlah hadits (yang
dibawakan) 'Amr bin Tsabit. Karena dia mencaci kaum salaf." Syaikh
Salim mengatakan, "Yang dimaksud adalah para sahabat radhiyallahu
'anhum." (Limadza, hal. 32).
Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di
dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah riwayat yang dibawakan oleh
Imam Al Ajurri di dalam kitabnya yang berjudul Asy Syari'ah bahwa Imam Auza'i
pernah berpesan, "Bersabarlah engkau di atas Sunnah. Bersikaplah
sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap. Katakanlah sebagaimana yang mereka
katakan. Tahanlah dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari sesuatu.
Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat mereka cukup."
Syaikh Salim mengatakan, "Yang dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi
'alaihim." (lihat Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza'i adalah
seorang tabi'in.
Kerancuan Seputar Istilah Salafiyah
Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah penyandaran
diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah makna salafiyah sebagaimana yang
disangka sebagian orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan metode
pengajaran yang kuno. Yang dengan persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah
bukan sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai sebuah sistem belajar
mengajar yang belum mengalami modernisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka
ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang berpeci hitam dan memakai
sarung kesana kemari dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana itulah
kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang menisbatkan pondoknya sebagai
pondok salafiyah, namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum salaf.
Syaikh Salim mengatakan, "Adapun salafiyah adalah penisbatan diri kepada
kaum salaf.
Ini merupakan penisbatan terpuji yang disandarkan kepada
manhaj yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab yang baru ada."
(lihat Limadza, hal. 33).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
"Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri sebagai pengikut
madzhab salaf, menyandarkan diri kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan
wajib menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan (para ulama). Karena
sesungguhnya madzhab salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri."
(Majmu' Fatawa, 4/149, lihat Limadza, hal. 33). Maka sungguh aneh apabila ada
orang zaman sekarang ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya salafiyah
adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
atau Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang 'memberontak' dari
tatanan yang sudah ada dengan berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang
membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar istilah salafiyah maka yang
tergambar di benak mereka
adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan ketentraman umat
dengan berbagai aksi penyerangan dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada
lagi yang menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi dakwah yang
dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani bersama Muhammad 'Abduh pada era
penjajahan Inggris di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka itu
sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya istilah ini.
Syaikh Salim mengatakan, "Orang yang mengeluarkan
pernyataan semacam ini atau yang turut menyebarkannya adalah orang yang tidak
mengerti sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul dan perjalanan
waktu yang hakikatnya tersambung dengan para salafush shalih. Oleh karena itu
sudah menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu untuk mensifati setiap
orang yang mengikuti pemahaman sahabat radhiyallahu 'anhum dalam hal akidah dan
manhaj sebagai seorang salafi (pengikut Salaf). Lihatlah ucapan seorang ahli
sejarah Islam Al Hafizh Al Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A'laamin
Nubalaa' (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh Ad Daruquthni, "Tidak
ada yang lebih kubenci selain menekuni ilmu kalam/filsafat." Maka Adz
Dzahabi pun mengatakan (dengan nada memuji, pen), "Orang ini (Ad
Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama sekali begitu pula tidak
menceburkan dirinya dalam dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak
ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan tetapi beliau adalah
seorang salafi." (Limadza, hal. 34-35).
Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni yang
disebut sebagai 'Salafi' oleh Imam Adz Dzahabi di atas hidup pada tahun 306-385
H. Sedangkan Ibnu Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan
sendiri siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu Taimiyah
atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab
itu lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak untuk disebut
sebagai pengikut mereka berdua. Apakah dengan penukilan semacam ini kita akan
menafsirkan bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab? Jawablah
wahai kaum yang berakal. Mungkin, anak setingkat kelas 5 SD pun (bukan
bermaksud meremehkan, pen) tahu kalau yang namanya pengikut itu adanya sesudah
keberadaan yang diikuti, bukan sebaliknya. Wallaahul musta'aan.
Penamaan Salafiyah Bukan Bid'ah
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah salafiyah
adalah istilah bid'ah karena ia tidak digunakan pada masa sahabat
radhiyallahu'anhum. Maka jawabannya ialah: Kata salafiyah memang belum digunakan
oleh Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini belum dibutuhkan. Pada
saat itu kaum muslimin generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam yang
shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan khusus seperti ini. Mereka bisa
memahami Islam dengan murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih berada di antara mereka. Hal ini
sebagaimana mereka mampu berbicara dengan bahasa Arab yang fasih tanpa perlu
mempelajari ilmu Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para ulama
yang membid'ahkan ilmu-ilmu tersebut karena semata-mata tidak ada di zaman Nabi
?! Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan penyimpangan dalam
penggunaan bahasa Arab maka muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi
meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan bahasa Arab. Maka demikian
pula dengan istilah salafiyah.
Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan
pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka sangat dibutuhkan adanya
rambu-rambu yang jelas demi mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman yang
masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas kelompok yang menyerukan pemahaman
yang menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al Qur'an dan As Sunnah.
Berdasarkan realita inilah para ulama bangkit untuk berupaya memisahkan
pemahaman yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman lainnya dengan nama
pemahaman ahli hadits dan salaf atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36).
Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot mengingkari
istilah ini maka kami akan katakan kepadanya: Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran
ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang tidak ada di zaman Nabi
seperti istilah Hanbali (pengikut fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih
Abu Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll. Kalau dia
mengatakan, "Oo, kalau ini berbeda…!" Maka kami katakan: Baiklah,
anggap istilah salafiyah berbeda dengan istilah-istilah itu, namun kami tetap
mengatakan bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai daripada istilah
Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin. Alasannya adalah karena salafiyah adalah
penisbatan kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya
dan terjaga secara umum dari bersepakat dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi
dan Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan kelompok yang tidak
terdapat dalil tegas tentang keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan
mereka secara kelompok. Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima penisbatan
kepada pribadi dan kelompok yang tidak ma'shum (terpelihara dari kesalahan) dan
justru menolak penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang ma'shum…? Laa haula
wa laa quwwata illa billaah… (lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5
hal. 66-67 karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah, silakan baca juga
fatwa para ulama tentang wajibnya berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam
Rubrik Fatwa, Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi'ul Awwal 1427 H/April 2006
M hal. 51-53. Bacalah…!).
Meninggalkan Salaf Berarti Meninggalkan Islam
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah
ditanya: Kenapa harus menamakan diri dengan salafiyah? Apakah ia sebuah dakwah
yang menyeru kepada partai, kelompok
atau madzhab tertentu. Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di
dalam Islam? Maka beliau rahimahullah menjawab, "Sesungguhnya kata Salaf
sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab. Adapun yang penting kita pahami pada
kesempatan ini adalah pengertiannya menurut pandangan syari'at. Dalam hal ini
terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala
beliau berkata kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu 'anha di saat beliau
menderita sakit menjelang kematiannya, "Bertakwalah kepada Allah dan
bersabarlah.Dan sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah aku."
Begitu pula para ulama banyak sekali memakai kata salaf. Dan ungkapan mereka
dalam hal ini terlalu banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya
kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah ungkapan yang digunakan para
ulama dalam rangka memerangi berbagai macam bid'ah. Mereka mengatakan,
"Semua kebaikan ada dalam sikap mengikuti kaum salaf… dan semua keburukan
bersumber dalam bid'ah yang diciptakan kaum khalaf (belakangan)."
Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, "Akan tetapi
ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya termasuk ahli ilmu; ia mengingkari
penisbatan ini dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di dalam
agama, sehingga ia mengatakan, "Tidak boleh bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah seorang salafi."
Seolah-olah dia ini mengatakan, "Seorang muslim tidak boleh mengatakan:
Saya adalah pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan
perilaku." Dan tidak diragukan lagi bahwasanya penolakan seperti ini
-meskipun dia tidak bermaksud demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas
diri dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para salafush shalih yang
mendahului kita yang ditokohi oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
sebagaimana disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam shahihain dan
selainnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
"Sebaik-baik manusia adalah di zamanku (sahabat), kemudian diikuti orang
sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka." Oleh sebab itu maka tidaklah
diperbolehkan bagi seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan dirinya
kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan penisbatan (salafiyah) ini,
seandainya dia berlepas diri dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang
lainnya niscaya tidak ada seorang pun di antara para ulama yang akan
menyandarkannya kepada kekafiran atau kefasikan…" (Al Manhaj As Salafi 'inda
Syaikh Al Albani, hal. 13-19, lihat
Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa Nashr
hafizhahullah).
Cinta Salaf Berarti Cinta Islam
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para sahabat
adalah generasi pilihan yang harus kita cintai. Sebagaimana kita mencintai Nabi
maka kita pun harus mencintai orang-orang pertama yang telah mengorbankan jiwa,
harta dan pikiran mereka untuk membela dakwah Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam. Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar.
Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah kaum Rafidhah/Syi'ah yang membangun
agamanya di atas kebencian kepada para sahabat Nabi. Imam Abu Ja'far Ath
Thahawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab 'Aqidahnya yang menjadi rujukan
umat Islam di sepanjang zaman, "Kami mencintai para sahabat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak melampaui batas dalam mencintai salah
satu di antara mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari seorangpun di antara
mereka. Kami membenci orang yang membenci mereka dan kami juga membenci orang
yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami tidak menceritakan mereka
kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan
ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan dan pelanggaran
batas." (Syarah 'Aqidah Thahawiyah cet. Darul 'Aqidah, hal. 488). Pernyataan beliau ini adalah kebenaran yang
dibangun di atas dalil-dalil syari'at, bukan sekedar omong kosong dan bualan
belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah kita buktikan…
Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa
mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan seseorang. Imam Bukhari
rahimahullah membuat sebuah bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan
judul 'Bab tanda keimanan ialah
mencintai kaum Anshar'. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits dari Anas,
dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Tanda keimanan
adalah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum
Anshar." (Bukhari no. 17). Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di
dalam Kitabul Iman dengan lafazh, "Tanda orang munafik adalah membenci
Anshar. Dan tanda orang beriman adalah
mencintai Anshar." (Muslim no. 74) di dalam bab Fadha'il Anshar (Keutamaan
kaum Anshar). Imam bukhari juga membawakan hadits Barra' bin 'Azib bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Kaum Anshar, tidak ada
orang yang mencintai mereka kecuali
orang beriman." Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab shahihnya
dari Abu Sa'id bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak
ada seorang pun yang beriman kepada
Allah dan hari akhir lantas membenci kaum Anshar." (Muslim no. 77). Dalam
riwayat lain dikatakan, "Tidaklah mencintai mereka kecuali orang beriman
dan tidaklah membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan
barangsiapa yang membenci mereka maka
Allah juga membencinya." (Muslim no. 75). Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan
hadits dari Abu Sa'id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda, "Mencintai
kaum Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan." (lihat
Fathul Bari, 1/80, Syarah Muslim,
2/138-139).
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian hadits
di atas mengatakan, "…Makna hadits-hadits ini adalah barangsiapa yang
mengakui kedudukan kaum Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan terhadap
agama Islam, upaya mereka dalam menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari
serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka dalam menunaikan tugas penting
dalam agama Islam yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam serta kecintaan Nabi kepada mereka, kesungguhan
mereka dalam mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau, peperangan dan
permusuhan mereka terhadap semua umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, pen)
demi menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah satu tanda kebenaran
iman dan ketulusannya dalam memeluk Islam…" (Syarah Muslim, 2/139).
Selain itu dalil-dalil dari Al Qur'an juga lebih jelas lagi
menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat adalah bagian keimanan
yang tidak bisa dipisahkan. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan,
"Para sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda Nabi 'alaihis
shalatu was salam, "Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku. Kemudian
orang-orang yang mengikuti sesudah
mereka. Dan kemudian generasi berikutnya yang sesudah mereka." Maka mereka
itu adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam bersahabat dengan Nabi
'alaihish shalatu was salam. Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan
membenci mereka adalah kemunafikan. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"…Supaya Allah membuat orang-orang kafir benci dengan adanya mereka (para
sahabat)." (QS. Al Fath: 29). Maka
kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai keseluruhan para sahabat dengan
dalil tegas dari ayat ini. Karena Allah 'Aza wa jalla sudah mencintai mereka
dan juga kecintaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka. Dan juga
karena mereka telah berjihad di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke
berbagai belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul dan beriman kepada
beliau. Mereka juga telah mengikuti cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya.
Inilah akidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah." (Syarah 'Aqidah Thahawiyah, hal.
489-490).
Catatan:
Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh
Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya, "Sebaik-baik kurun
(masa) adalah masaku dst" dengan lafazh khairul quruun…. Syaikh Salim Al
Hilaly mengatakan, "Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab dengan
lafazh khairul quruun (sebaik-baik
masa). Saya (Syaikh Salim) katakan: Lafazh ini tidak terpelihara
keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah kami sebutkan (yaitu Khairunnaas;
sebaik-baik manusia, pen)." (lihat Limadza Ikhtartul Manhaj Salafi , hal.
87).
Benci Salaf Berarti Benci Islam
Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi
berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari
karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah
sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman
itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal yang saleh di antara mereka ampunan
dan pahala yang besar." (QS. Al
Fath: 29). Di dalam ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat
yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.
Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya terhadap ayat
yang mulia ini, "Dan berdasarkan ayat inilah Imam Malik rahimahullah
menarik sebuah kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah satu riwayat
darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah (bagian dari Syi'ah) yang membenci para
sahabat radhiyallahu'anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan, "Hal itu
karena mereka (para sahabat) membuat benci dan jengkel mereka (kaum Rafidhah).
Barangsiapa yang membenci para sahabat radhiyallahu'anhum maka dia telah kafir
berdasarkan ayat ini." Dan sekelompok ulama radhiyallahu 'anhum pun ikut
menyetujui sikap beliau ini…" (lihat Tafsir Al Qur'an Al
'Azhim, 7/280).
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu Katsir
ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang terjadi antara kaum Syi'ah (yang
dulu maupun para pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus
Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan kekuasaan yang diselimuti
dengan jubah agama sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur -semoga Allah
memberinya petunjuk-, Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya dengan
JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat kepada umat Islam), "Konflik
itu (maksudnya antara Syi'ah dan Sunni,
pen) muncul akibat doktrin agama yang
dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada kita, dulu muncul
peristiwa penganiyaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan
anak cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki
pendukung fanatik. Pendukung atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî'ah.
Selanjutnya kata syî'ah ini menjadi sebutan dan identitas bagi pengikut Ali
yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis
dalam Islam. Sedangkan pihak yang
menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni. Persoalan
sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan
politik. Namun doktrin agama dibawa-bawa." (wawancara JIL dengan Gus Dur
tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi) Ini adalah kedustaan…!!! (silakan
baca tulisan Ustadz Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa'il jilid 3 Masalah 66, hal
42-72 yang membongkar kedok kaum Syi'ah
dengan menyertakan fatwa- fatwa para ulama tentang Rafidhah/Syi'ah. Baca juga
Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi'ah Semoga
Allah memberikan ganjaran yang besar kepada ustadz-ustadz kita karena jasa
mereka ini.).
Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, "…Para sahabat itu
memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu (berjasa bagi umat Islam)
dan lebih sempurna, yang tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu
menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai mereka dan aku pun ridha
kepada mereka. Allah telah menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat
tinggal mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu.
Imam Muslim mengatakan di dalam shahihnya: Yahya bin Yahya
menceritakan kepada kami, Abu Mu'awiyah menceritakan kepada kami dari Al A'masy
dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu. Beliau mengatakan:
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian
mencaci para sahabatku. Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangannya, seandainya ada salah seorang di antara
kalian yang berinfak emas sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai
(pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya juga tidak." (HR.
Muslim dalam Fadha'il Shahabah, diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al
Manaaqib no. 3673)." (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280).
Allah Meridhai Salaf dan Para Pengikutnya
Di dalam ayat yang lain Allah Ta'ala juga berfirman yang
artinya, "Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai
di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar." (QS. At Taubah: 100). Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan
manusia yaitu: kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik. Maka kita katakan bahwa Muhajirin dan Anshar itulah
generasi salafsuh shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik itulah yang disebut sebagai salafi. Al Ustadz Abdul Hakim Abdat
hafizhahullah mengatakan, "Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat
yang menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah kepada para Shahabat
radhiyallahu 'anhum. Bahwa Allah 'Aza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat
dan mereka pun ridha kepada Allah 'Aza wa jalla. Dan Allah 'Aza
wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti perjalanan
para Shahabat dari tabi'in, tabi'ut tabi'in dan seterusnya dari orang alim
sampai orang awam di timur dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya,
mereka yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi sampai
mengkafirkannya,maka mereka tidak akan mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa
Ta'ala." (Al Masaa'il jilid 3, hal. 74).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang tafsir ayat
ini, "Allah Ta'ala mengabarkan bahwa keridhaan-Nya tertuju kepada
orang-orang yang terlebih dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Sedangkan bukti
keridhaan-Nya kepada mereka adalah dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh
dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi mereka…" (Tafsir Ibnu
Katsir, 4/140). Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud dengan As
Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin dan Anshar (Ruuhul Ma'aani, Maktabah
Syamilah). Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan,
"Orang-orang yang mengikuti" di dalam ayat ini adalah orang-orang
sesudah mereka (para sahabat) hingga hari kiamat. Adapun kata-kata,
"dengan baik" merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri
mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang mengikuti para sahabat dengan
senantiasa berpegang teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun perkataan
sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa
juga disampaikan oleh Syaikh As Sa'di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul Qadir
dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah). Imam Ibnu Jarir Ath Thabari
mengatakan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan "Orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik" di dalam
ayat ini adalah: Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam dalam
rangka mencari keridhaan Allah.." (Tafsir Ath Thabari, Maktabah Syamilah).
Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, "(Ayat) Ini
merupakan dalil tegas dari Al Qur'an yang menunjukkan bahwasanya barangsiapa
mencaci mereka (para sahabat) dan membenci mereka maka dia adalah orang yang
sesat dan menentang Allah jalla wa 'ala, dimana dia telah berani membenci suatu
kaum yang telah diridhai Allah. Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada
orang yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan kepada Allah jalla
wa 'ala, tindakan congkak dan melampaui batas." (lihat Adhwaa'ul Bayaan,
Maktabah Syamilah). Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu Katsir
rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas yang akan membakar telinga ahlul
bid'ah pencela shahabat. Beliau mengatakan, "Duhai alangkah celaka orang
yang membenci atau mencela mereka (semua sahabat), sungguh celaka orang yang
membenci atau mencela sebagian mereka…" Setelah memberitakan sikap
orang-orang Rafidhah yang memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik
sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan 'Umar) Imam Ibnu Katsir mengatakan,
"Sikap ini (yaitu permusuhan, kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau
Syi'ah) menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati mereka juga sudah
terbalik. Lalu dimanakah letak keimanan mereka terhadap Al Qur'an sehingga
berani-beraninya mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh
Allah?…" (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140) Maka hanguslah telinga-telinga ahlul
bid'ah;… mereka yang membenci dan mencaci maki para shahabat; generasi terbaik
yang pernah hidup di permukaan bumi ini, radhiyallahu 'anhum wa ardhaahum
(Allah ridha kepada mereka dan
saya pun ridha kepada mereka).
Pemahaman Salaf Adalah
Jalan Keluar Perselisihan
Abu Naajih 'Irbadh bin Saariyah radhiyallahu'anhu
mengatakan, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberikan
sebuah nasihat kepada kami dengan nasihat yang membuat hati bergetar dan air
mata bercucuran. Maka kamipun mengatakan
kepada beliau, "Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat dari
orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya anda memberikan wasiat kepada
kami". Beliau pun bersabda: "Aku wasiatkan kepada kalian supaya
senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah mendengar dan taat (kepada
pemimpin). Meskipun yang memimpin kalian
adalah seorang budak. Karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku
niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka berpeganglah dengan
Sunnahku, dan Sunnah para khalifah yang
lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham.
Serta jauhilah perkara-perkara yang
diada-adakan (di dalam agama). Karena semua bid'ah (perkara yang diada-adakan dalam agama) adalah sesat."
Imam Nawawi mengatakan: (hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
Beliau (Tirmidzi) menilainya 'Hadits hasan shahih'. Pen-takhrij Ad Durrah As Salafiyah
menyebutkan bahwa derajat hadits ini: shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad
(4/126), Abu Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu Hibaan
(1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani dalam Shahihul Jaami' hadits no.
2549 (lihat Ad Durrah As Salafiyyah Syarh Al Arba'in An Nawawiyah, cet. Markaz
Fajr lith Thab'ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana Khairan, hal. 164).
Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi umat tatkala menyaksikan
sekian banyak perselisihan yang ada sesudah beliau wafat: yaitu berpegang teguh
dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa'ur Rasyidin. Imam Nawawi menerangkan
bahwa yang dimaksud Khulafa'ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat yaitu;
Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan 'Ali radhiyallahu'anhum (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 201). Imam Ibnu Daqiqil 'Ied juga menjelaskan bahwa mereka
adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan ijma' (lihat Ad Durrah As
Salafiyah, hal. 202). Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin mengatakan,
"Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita tatkala melihat
perselisihan ini (yaitu banyaknya perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits) supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari ungkapan 'alaikum
bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah dengannya (dengan Sunnah Nabi)…".
Beliau rahimahullah juga berkata, "Sedangkan makna kata Sunnah beliau
'alaihish shalaatu was salaam adalah:
jalan yang beliau tempuh, yang mencakup akidah, akhlak,
amal, ibadah dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan Sunnah
(ajaran) beliau. Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang difirmankan
Allah Ta'ala yang artinya, "Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An Nisaa': 65). Dengan demikian
Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan keselamatan
bagi orang yang dikehendaki Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan
berbagai macam kebid'ahan…" (Syarh Riyadhush Shalihin, I/603).
Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba'in Syaikh
Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin
rahimahullah mengatakan, "…Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh dengan Sunnah-nya; yaitu jalan
beliau, dan juga supaya berpegang teguh dengan jalan Khulafa'ur Rasyidin Al
Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa'ur Rasyidin) adalah para
khalifah/pengganti Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan dakwah pada umatnya, dan sebagai
pemuka mereka ialah empat orang Khalifah; yaitu Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman dan
'Ali radhiyallahu'anhum." (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 203).
Keterangan Syaikh 'Utsaimin ini serupa dengan keterangan Imam Al Mubarakfuri.
Beliau mengatakan, "Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap
khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua orang Syaikh (Abu Bakar dan
'Umar) saja. Dan telah dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari'at bahwa
seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk menetapkan suatu jalan
selain jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." (Tuhfatul
Ahwadzi, 3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu' Fatawa,
1/282), "Adapun yang dimaksud dengan Sunnah (ajaran) Khulafa'ur Rasyidin
maka sebenarnya mereka tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali berdasarkan
perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu ia termasuk bagian dari Sunnah
beliau…" (dinukil dari Limadza, hal. 73). Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50
dan 7/420) Al Mubarakfuri juga
mengatakan, "Bukanlah yang dimaksud dengan Sunnah Khulafa'ur Rasyidin
kecuali jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan hidup Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam…" (dinukil dari Limadza, hal. 73).
Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau mengatakan,
"Dengan demikian kesimpulan semua keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah
Khulafa'ur Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu 'anhum terhadap
agama, karena mereka senantiasa meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan
penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…" (Limadza,
hal. 75) Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar
bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang dapat kita saksikan dengan
mata kepala kita pada hari ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan
aliran-aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dengan mengikuti pemahaman para Shahabat radhiyallahu'anhum.
Atau dengan kalimat yang ringkas kita katakan 'Dengan mengikuti manhaj salaf'.
Inilah hakikat dari istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Barangsiapa tidak
mengikuti pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang Sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam yang agung ini.
Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama'ah
As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara istilah
As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para
sahabatnya, baik berupa keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini
Sunnah menjadi lawan dari bid'ah. Bukan sunnah dalam terminologi fikih. Karena
sunnah menurut istilah fikih adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan
berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa. Maka sunnah yang
dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah adalah seluruh ajaran Rasul dan para
sahabat, baik yang hukumnya wajib maupun sunnah!! (silakan baca Lau Kaana
Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17 baca juga Panduan Aqidah Lengkap
penerbit Pustaka Ibnu Katsir hal. 36-40). Al Jama'ah secara bahasa artinya
kumpulan orang yang bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut istilah
syar'i, al jama'ah berarti orang-orang yang bersatu di atas kebenaran yaitu
jama'ah para sahabat beserta orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang
meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan As Sunnah secara lahir
maupun batin. Oleh karena itu seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas'ud
radhiyallahu 'anhu pernah mengatakan, "Al Jama'ah adalah segala yang
sesuai dengan al haq walaupun engkau seorang diri." (lihat Al Wajiz fi
'Aqidati Salafish Shalih, hal. 29 dan 30). Ukuran seseorang berada di atas
jama'ah bukanlah jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia berpegang
teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang murni yang dipahami oleh para sahabat
radhiyallahu 'anhum. Sebagaimana hal ini
telah diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika
menceritakan akan terjadi perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di
neraka kecuali satu yaitu al jama'ah. Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa
mereka itu adalah orang-orang yang beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat.
Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut ulama ahli hadits.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan di dalam Majmu'
Fatawa (3/345), "Hadits tentang
perpecahan umat adalah hadits yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab
sunan dan musnad." (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Ath
Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al
Albani rahimahullah, baca keterangan tentang status dan faidah-faidah dari
hadits perpecahan umat di dalam buku Lau Kaana
Khairan, hal. 190-196). Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka
dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan,
demikian pula orang-orang yang konsisten di atas jalur ittiba' (mengikuti
Sunnah) dan menjauhi jalur ibtida' (mereka-reka bid'ah). Mereka senantiasa ada,
eksis dan mendapatkan pertolongan (dari Allah) hingga datangnya hari kiamat.
Oleh sebab itu maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan menyelisihi
mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang disebut dengan istilah 'salaf'
(lihat Al Wajiz fi 'Aqidati Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal.
40, baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma'alim Ushul Fiqh 'inda Ahlis
Sunnah wal Jama'ah hal. 17-18, karya Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al
Jizani hafizhahullah). Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid'ah
yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid'ah sesudah ditegakkan hujjah atas
mereka, baik bid'ah i'tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid'ah amaliyah (amalan),
tetapi kemudian mereka tetap istiqamah dengan bid'ahnya (lihat Lau Kaana
Khairan, hal. 170). Kita tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang
atau jama'ah sebagai ahli bid'ah. Syaikh Al Albani berkata, "Terjatuhnya
seorang ulama dalam bid'ah tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai
seorang ahli bid'ah…." "…Ada dua persyaratan agar seseorang dikatakan
sebagai ahli bid'ah:
1. Ia bukanlah
seorang mujtahid, namun seorang pengikut hawa nafsu.
2. Berbuat bid'ah merupakan kebiasaannya (Silsilah Huda wa
Nur, kaset no. 785)
Syaikh Abdul Muhsin Al 'Abbad (Ahli hadits Madinah saat ini)
berkata, "Tidak semua orang yang melakukan bid'ah secara otomatis menjadi
ahli bid'ah. Hanyalah dikatakan ahli bid'ah bagi orang yang telah jelas dan
dikenal dengan bid'ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam pembid'ahan
sampai-sampai mentabdi' orang yang memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang
banyak bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang yang
menyelisihinya sebagai ahli bid'ah." (dinukil dari Ringkasan buku Lerai
Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu Abdil Muhsin hafizhahullah).
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Siapakah
yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah? Beliau menjawab, "Yang
disebut sebagai Ahlus Sunnah wal jama'ah hanyalah orang-orang yang benar-benar
berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan mereka bersatu di atasnya.
Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan
keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. Oleh sebab inilah
mereka disebut dengan Ahlus Sunnah, yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya
(di atas Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid'ah niscaya anda
dapatkan mereka itu berselisih dalam hal metode akidah dan amaliah, ini
menunjukkan bahwa mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah, tergantung
dengan kadar kebid'ahan yang mereka ciptakan." (Fatawa Arkanul Islam, hal.
21).
Ahlus Sunnah wal Jama'ah memiliki sebutan lain di kalangan
para ulama yaitu: Ash-habul Hadits atau Ahlul Hadits (pengikut dan pembela
hadits), Ahlul Atsar (pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba' (Peniti Sunnah
Nabi), Al Ghurabaa' (Orang-orang yang terasing dari berbagai keburukan), Ath
Thaa'ifah Al Manshurah (Kelompok yang mendapatkan pertolongan Allah) dan Al
Firqah An Najiyah (Golongan yang selamat). Dan pada saat sekarang ini ketika
banyak kelompok dalam tubuh umat Islam yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal
Jama'ah dan pengikut Al Kitab dan As Sunnah namun ternyata praktik dan
ajarannya jauh menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka bangkitlah
para ulama untuk memberikan sebuah istilah pembeda yaitu Salafiyyan (para pengikut
Salaf) (lihat Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38, Minhaaj Al
Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah karya
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14).
Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam tentang sejarah
munculnya istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah maka kami sarankan untuk membaca
Syarah 'Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa hal. 14-17. Di sana beliau sudah
menerangkan hal ini, semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya kepada
beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin membaca keterangan yang menjelaskan
bahwa Al Firqatun Najiyah adalah Ath Tha'ifah Al Manshurah juga sama dengan
Ahlul Hadits maka silakan baca buku Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95.
Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan menyatukan mereka dalam barisan
dakwah Salafiyah dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul bid'ah,
…Aammiin.
Hanya Satu yang Selamat!
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberitakan tentang terjadinya perpecahan
umatnya sesudah beliau wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang
mulia tentang hal itu? Beliau menjawab, "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
telah memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat Abu Dawud di Kitab As
Sunnah bab Syarhu Sunnah (4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu
Hadzihihil Ummah (2642), Ibnu Majah di
Kitabul Fitan bab Iftiraqul Ummah (3991)). Hadits-hadits itu menceritakan bahwa
kaum Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan kaum Nashara
berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh
firqah ini terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah tersebut terdiri
dari orang-orang yang berpegang teguh dengan ajaran dan pemahaman agama
sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para
sahabatnya. Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An Najiyah (kelompok
yang selamat). Mereka selamat dari kebid'ahan ketika berada di dunia. Dan
mereka terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak. Inilah Ath
Thaa'ifah Al Manshuurah (kelompok yang diberi pertolongan dan dimenangkan) yang
akan tetap eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa menang dan
mendapatkan ketegaran dalam menegakkan agama Allah 'Aza wa jalla."
"Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di
atas kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan. Sebagian ulama
berusaha untuk merincinya satu persatu dan menyimpulkannya menjadi lima aliran
utama ahlul bida' (kaum pembela bid'ah). Dari setiap aliran itu mereka bagi
lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa mencapai total bilangan tersebut yang
telah disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan ulama yang
lainnya memandang bahwa dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri
untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan hanya firqah-firqah yang
sudah ada ini saja yang tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang
tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di masa sebelumnya. Begitu pula
banyak firqah baru yang muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada sekarang.
Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak akan pernah terhenti dan tidak
mungkin bisa diketahui sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman
ketika hari kiamat datang. Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita
sebutkan secara global saja bilangan yang sudah disebutkan secara global oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini akan
berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya berada di neraka kecuali satu.
Kemudian kita katakan bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk dan
pemahaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah
termasuk dalam firqah-firqah ini. Dan bisa
juga Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran sesat yang belum bisa kita
ketahui keberadaannya sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja
yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
mengisyaratkan beberapa pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung
cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih oleh sebagian ulama. Adapun
ilmu yang sebenarnya ada di sisi Allah 'Aza wa jalla." (Fatawa Arkaanul Islaam, hal. 21-22).
Firqah-Firqah yang Menyimpang
Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-satunya
jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah pemahaman Ahlus Sunnah Wal
Jama'ah; yaitu tegak di atas Al Qur'an dan As Sunnah dengan pemahaman salafush
shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang adalah mengetahui berbagai
kelompok Islam atau firqah yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal
Jama'ah. Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan Imam Ibnul Qayyim
yang sangat penting untuk kita cermati. Beliau rahimahullah mengatakan,
"Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat paling
agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba
mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah nikmat Islam
daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar
tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua
nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari terjebak
di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi 'alaihim) yaitu
orang yang memiliki niat yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari
jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya
rusak. Sehingga dengan itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang
yang diberi nikmat (an'amta 'alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman
dan niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim.." (I'laamul
Muwaqqi'iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44) Dari perkataan
beliau ini kita bisa menarik kesimpulan berharga bahwasanya sumber penyimpangan
manusia dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan buruknya niat.
Inilah dua pokok kesesatan yang ada, baik di dalam Islam maupun di luar Islam.
Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada sekarang ini
pada hakikatnya mewarisi penyimpangan- penyimpangan yang ada pada para
pendahulunya, sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang murni mengikuti
sebuah aliran masa silam tapi ada juga yang menggabung-gabungkan penyimpangan
dari berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh
kelompok mereka. Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai
nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan nama-nama yang indah dan
mempesona. Ada lagi orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-referensi
Islam dan mencoba menggali 'tambahan pelajaran' dari produk pemikiran
orang-orang Kafir. Di antara mereka ada
yang masih berada dalam lingkaran Islam. Tetapi ada juga yang sudah mental
keluar karena bosan dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang dengan
ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang seperti ini sebagai orang-orang
yang merasa memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam. Berdasarkan
persangkaan ini maka mereka pun mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide
mereka dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka bangun sekolah demi
mengkader para penerus kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi
muda dan kaum cerdik cendekia. Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang
nekat turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih sangar lagi ada yang
berani mengangkat senjata dan menumpahkan darah manusia tanpa hak.
Subhaanallaah…!
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
"Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan
Sunnah adalah mubtadi' (ahli bid'ah) seperti contohnya: Rafidhah (Syi'ah),
Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji'ah, Mu'tazilah, Karramiyah, Kullabiyah,
dan juga kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah
sesat dan kelompok-kelompok bid'ah, semoga Allah melindungi kita darinya."
(Lum'atul I'tiqad, dinukil dari Al Is'ad fi Syarhi Lum'atil I'tiqad hal 90.
Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan saya ini adalah salah
cetak, sebagaimana tampak dari syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij.
Silakan bandingkan dengan Syarah Lum'atul I'tiqad Syaikh Al 'Utsaimin, hal.
161). Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul
bid'ah. Beliau mengatakan, "Kaum Ahlul bid'ah itu memiliki beberapa ciri,
di antara cirinya adalah:
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah
sebagai akibat dari bid'ah-bid'ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut
urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan
mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun
kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama
(ulama) ( Syarah Lum'atul I'tiqad, hal. 161).
Kemudian Syaikh Al 'Utsaimin menjelaskan satu persatu
gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan
beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah:
1. Rafidhah (Syi'ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas
dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan
orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para Shahabat maupun
yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para Shahabat telah
menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ini
pun terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga
berani mempertuhankan 'Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang
lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh mereka di zaman ini
adalah Khomeini beserta begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al Furqon
Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-53).
2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut
paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah
tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah
takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia
adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan
kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah
menganut paham Murji'ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti
dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah
pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya. Wallaahul
musta'aan.
3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak
kepada khalifah 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu karena alasan pemutusan
hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada
penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi
menjadi bersekte-sekte lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca Majalah Al
Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 31-36).
4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat
menolak keberadaan takdir. Sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki
kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak
dan kekuasaan Allah. Pelopor yang menampakkan pendapat ini adalah Ma'bad Al
Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para Shahabat. Di antara mereka ada
yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa
terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah,
jadi inipun sama sesatnya.
5. Murji'ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman.
Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi
pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna.
Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun.
Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.
6. Mu'tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin 'Atha'
yang beri'tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia
menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai
orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir
tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga
akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin
'Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma' wa Shifat adalah menolak
(ta'thil) sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka ini
menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka
menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir
ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah
menganut paham Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.
Inilah anehnya bid'ah, dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa bertemu
dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii'an wa
quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu bersatu padu akan tetapi sebenarnya
hati mereka tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr: 14).
7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram
yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk)
dan mengikuti pendapat Murji'ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.
8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa'id
bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh
Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asya'irah (yang
mengaku mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy'ari) pada masa ini pun mengikuti jejak
langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al
Asy'ari pada awalnya menganut paham Mu'tazilah sampai usia sekitar 40 tahun.
Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab
Mu'tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah beliau
sempat memiliki keyakinan semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat Allah
kecuali tujuh saja yaitu: hidup, mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak,
mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya beliau bertaubat secara total dan
berpegang teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga Allah merahmati beliau.
(lihat Syarh Lum'atul I'tiqad, hal. 161-163).
Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza'iri hafizhahullah mengatakan,
"Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah
disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat
lainnya adalah: Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya, Kaum Syi'ah dengan
sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan
juga kelompok-kelompok yang gemar ber-tahazzub (bergolong-golongan) pada masa
kini dengan berbagai macam alirannya, seperti contohnya: Jama'ah Hijrah wa
Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak negatif ulah mereka telah
menyebar kemana-mana (yaitu dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan kepada
penguasa, pen), Jama'ah Tabligh dari India yang menganut aliran Sufi,
Jama'ah-jama'ah Jihad yang mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen,
kelompok Al Jaz'arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al Muslimun baik di
tingkat internasional maupun di kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat dan Kerancuan Ikhwanul
Muslimin karya Ustadz Andy Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah). Sebagian di
antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga yang tumbuh berkembang menjadi
beberapa Jama'ah Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan kelompok-kelompok
sesat selain mereka masih banyak lagi." (lihat Al Is'aad fii Syarhi Lum'atul
I'tiqaad, hal. 91-92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang hakikat dan
bahaya di balik jama'ah-jama'ah yang ada silakan membaca buku Jama'ah-Jama'ah
Islam karya Syaikh Salim bin 'Ied Al Hilali hafizhahullah).
Haram Berpecah Belah Menjadi Berbagai Jama'ah dan Partai
Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam keras
tindakan mendirikan berbagai jama'ah dan mengkotak-kotakkan umat Islam dalam
sekat-sekat partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan fatwa Kerajaan
Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah pernah
ditanya, "Apakah hukum berbilangnya jama'ah dan hizb/partai di dalam
Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya ?" Komite tersebut
menjawab: "Tidak diperbolehkan kaum muslimin terpecah belah dalam agama
mereka menjadi berbagai kelompok dan golongan. Karena sesungguhnya perpecahan
ini tergolong perkara yang dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang
menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang mencetuskannya. Dan Allah
telah mengancam pelakunya dengan siksaan yang sangat besar. Allah Ta'ala
berfirman yang artinya, "Berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan
janganlah berpecah belah.." (QS. Ali 'Imran : 103) sampai firman Allah
Ta'ala,
"Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan senantiasa berselisih
sesudah datang berbagai macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka itulah
siksaan yang sangat besar." (QS.
Ali 'Imran: 105). Allah Ta'ala juga berfirman, "Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agama mereka sehingga mereka pun menjadi bergolong-golongan
tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka." (QS. Al An'am :
159).
Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin (Pemerintah,
pen) yang melakukan upaya pengaturan terhadap mereka serta memilah-milah mereka
dalam berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk memecah belah, pen)
maka tindakan semacam ini disyari'atkan." (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H, lihat Silsilah Abhats
Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53).
Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin
Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan, "Tidak terdapat dalil
baik di dalam Al Kitab maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan munculnya
berbagai macam jama'ah dan hizb/partai. Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab
dan As Sunnah justru mencela hal itu. Allah Ta'ala berfirman yang artinya,
"Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka
terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada sisi mereka
(masing-masing)." (QS. Al
Mu'minuun: 53). Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb ini
bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga bertolak belakang dengan
anjuran yang disinggung di dalam firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya (agama
Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang
satu dan
Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku." (QS. Al
Anbiyaa': 92)" (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 54).
Syaikh Abdul 'Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya pernah membolehkan orang
untuk khuruj (keluar daerah untuk
berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu tertentu) bersama Jama'ah Tabligh
pun dalam fatwa terakhirnya mengatakan, "Jama'ah Tabligh tidak memiliki
bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai permasalahan akidah, sehingga tidak
diperbolehkan untuk khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang sudah
mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman yang dalam) dalam hal akidah lurus
yang dipegang oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah supaya dia bisa mengarahkan dan
menasihati mereka." (Majalah Ad Da'wah, Riyadh No. 1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam
Majmu' Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit perubahan dari Silsilah
Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 55-56). Dalam permasalahan ini para ulama
lainnya juga memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai jama'ah dan
hizb semacam ini, di antara mereka adalah Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota
Lembaga Ulama Besar kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr Abu Zaid dan
ulama-ulama yang lainnya dari negeri Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain,
semoga Allah menjaga mereka semua.
Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita sungguh
dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian kelompok umat Islam yang menyerukan
persatuan dan mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara sesama muslim
namun di saat yang sama mereka justru asyik mendengung-dengungkan kehebatan
partainya sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya, mengenakan kaos dan
beraneka atribut partai, merentangkan spanduk kebanggaannya serta memobilisasi
massa untuk mencoblos partai mereka dan tidak memilih partai Islam yang
lainnya. Inilah salah satu keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21
yang berusaha 'menegakkan benang basah' dan rela untuk merengek-rengek kepada
Demokrasi demi mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta'aan. Adakah orang yang
mau merenungkan?
Penutup
Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa Salaf
artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan
baik. Salaf bukanlah kelompok atau partai atau organisasi atau yayasan atau
perkumpulan, jangan salah paham. Nabi shallallahu 'alahi wa sallam telah
bersabda mensifati sebuah golongan yang selamat dari perpecahan di dunia dan
siksa di akhirat, yang biasa disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah
(golongan yang selamat) atau Ath Thaa'ifah Al Manshuurah (kelompok yang
mendapat pertolongan) atau Al Jama'ah atau Al Ghurabaa' (orang-orang yang asing), beliau bersabda,
"Mereka adalah orang-orang yang
beragama sebagaimana caraku dan
cara para sahabatku pada hari ini."
(HR. Ahmad, dinukil dari Kitab Tauhid Syaikh Shalih Fauzan hal. 11).
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan pertama
kali kepada diri-diri kita sekarang adalah; apakah akidah kita, ibadah kita,
dakwah kita, garis perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallm dan para sahabat ataukah belum? Pikirkanlah
baik-baik dengan hati dan pikiran yang tenang: Benarkah apa yang selama ini
kita peroleh dari para ustadz dan Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan
pemahaman sahabat ataukah belum? Kalau iya mana buktinya? Marilah kita ikuti
jejak dakwah Rasul serta para sahabat dan juga para ulama Salaf dari zaman ke
zaman. Ukurlah keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf. Ingat, jangan
ta'ashshub (fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang benar, baru
saudara akan bisa menilai apakah manhaj dan dakwah saudara-saudara sudah
cocok dengan pemahaman sahabat ataukah
belum cocok tapi dipaksa-paksa biar
kelihatan cocok?! Orang yang bijak mengatakan: 'Kenalilah kebenaran maka engkau
akan mengenal siapa yang benar!' Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh, beberapa individu,
sebuah partai, atau yayasan, atau organisasi, atau pergerakan, atau
perhimpunan, atau kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu semua
menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat? Pikirkanlah ini baik-baik sebelum
anda bertindak, berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah kita semua
telah mendapatkan larangan dari Allah Ta'ala dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya, "Dan
janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, karena
sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban." (QS. Al
Israa' : 36). Peganglah akidah ini kuat-kuat!
Allah Taala berfirman yang artinya, "Katakanlah: 'Inilah
jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada
Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik'."
(QS. Yusuf: 108)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa'di rahimahullah berkata,
"Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam:
[katakanlah] kepada manusia [inilah jalanku] artinya: jalan yang kutempuh dan
kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu suatu jalan yang akan mengantarkan menuju
Allah dan negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu terhadap
kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung tinggi kebenaran serta mengikhlashkan
ketaatan beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. [aku mengajak
kamu kepada Allah] artinya: aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-hamba agar
menempuh jalan menuju Tuhan mereka. Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu,
dan aku memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat menjauhkan dari jalan itu.
Bersama itu akupun memiliki [hujjah yang nyata] dari ajaran agamaku, (dakwahku)
tegak di atas landasan ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan dan
ketidakpastian. [dan] begitu pula [orang-orang yang mengikutiku], mereka
mengajakmu kepada Allah sebagaimana ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata
dari agama-Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang disandarkan
kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi kemuliaan-Nya atau mengurangi
kesempurnaan-Nya. [dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam segala
urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan mengikhlashkan agama
untuk-Nya." (Taisir Karimir Rahman, hal. 406).
Kita memohon ampun kepada Allah 'Aza wa Jalla. Semoga Allah
Ta'ala menerima amal- amal kita. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah
kepada teladan kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para
sahabat dan seluruh pengikut mereka yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb
seru sekalian alam.
Wa Allahu Ta'ala a'lam.
Wassalamu'alaykum
Sumber:
Muslim.or.id
http://muslim.or.id/430-mari-mengenal-manhaj-salaf.html
Muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar