HARI-HARI REFORMASI sekarang ini,
rakyat Indonesia sedang menyaksikan kemungkar-an kolektif yang diperagakan
secara sistematis, melalui budaya, seni, politik dan hukum. Seolah-olah kita
kembali menyaksikan episode sejarah yang menayangkan peristiwa jahiliyah pada
permulaan dakwah Islam. Ketika itu, kehidupan manusia mengalami zaman
kegelapan, dimana prilaku manusia menebarkan ketakutan, kedzaliman, kebejatan
moral dan kebiadaban. Hidup seakan tanpa harapan.
Tragisnya, berbagai bentuk
kemungkaran itu, seperti korupsi, dekadensi moral, budaya mungkarat, penistaan
agama, aliran sesat, moral bejat dll, atas nama demokrasi dan hak asasi
manusia, dianggap sebagai hal yang wajar. Sikap demikian itu, digambarkan dalam
Al-Qur’an:
“Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika
setan menampakkan perbuatan sesat orang-orang kafir sebagai hal yang
menyenangkan bagi mereka…” (Qs.
Al-Anfal, 8:48).
Kemungkaran dianggap sebagai
kebebasan berekspresi, dan penolakan terhadap syari’ah serta penistaan agama
dianggap kebebasan berpendapat. Sehingga eksistensi kaum mukmin yang hendak
memberantas kemungkaran, malah dituding sebagai orang yang memperalat agama
untuk tujuan tertentu, bahkan dinilai sebagai orang-orang yang tertipu oleh
agamanya.
Begitulah Al-Qur’an al-Karim menginformasikan kepada kita,
dalam firman-Nya:
“Wahai kaum mukmin, ingatlah ketika
orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya penuh kedengkian kepada kalian
berkata: “Orang-orang mukmin itu tertipu oleh agamanya”. Sungguh siapa saja yang
selalu bertawakal kepada Allah, Allah tidak akan jadikan dia hina. Allah
Mahaperkasa untuk membantu kaum mukmin, dan Mahabijaksana dalam memberi
kemenangan kepada kaum mukmin.”
(Qs. Al-Anfal, 8: 49)
Visualisasi setan ini memunculkan
manusia setan yang menganggap penolakan terhadap syari’at Islam di lembaga
negara sebagai hal yang benar, demokratis dan modern. Bahkan ada manusia
munafiq, yang kemudian diidentikkan dengan kaum liberal, yang menggemari
lesbian, gay, melakukan tindak korupsi, narkoba, tanpa melepas baju Islam.
Mereka merusak citra Islam dan mendistorsi ajarannya, tapi tidak merasa
bersalah.
Gelombang liberalisme dan Islam,
kini sedang bertarung dalam ranah ideologi, politik, ekonomi dan prilaku sosial
kemasyarakatan. Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam sedang dihadapkan
pada realitas yang memprihatinkan, memosisikan umat Islam sebagai obyek
penderita melalui opini global dan stigma radikal. Bahkan identitas Islami,
seperti jenggot, jilbab, celana komprang, jidad berbekas, dianggap sebagai ciri
radikalisme. Istilah syari’at Islam, jihad fi sabilillah, juga dilabeli dengan
terminologi terorisme. Umat Islam digiring ke arah kubangan demokrasi dan
setanisasi liberalisme.
Akibatnya, tidak sedikit umat Islam
yang terpenjara oleh stigma global itu. Sehingga muncullah fakta yang
memprihatinkan. Ada orang Islam yang menista ajaran Islam. Mengaku beragama
Islam, tapi meragukan kemampuan Islam menyelesaikan problem kehidupannya? Atas
nama liberal (kebebasan) ajaran Islam dianggap diskriminatif terhadap
perempuan, dan dianggap penyebab KDRT akibat tidak adanya kesetaraan gender.
Bahkan sejumlah ayat Qur’an dipetakan menjadi ayat-ayat liberal, moderat dan
radikal.
Atau seperti fakta yang amat
memprihatinkan, tentang data surve pilkada cagub dan cawagub DKI belum lama
berselang. Menurut data surve, jumlah umat Islam di DKI 88,5%. Dari jumlah
tersebut, yang tahu bahwa Islam mengharamkan umat Islam mengangkat pemimpin
dari golongan kafir hanya 44%, yang setuju dengan pemimpin kafir 50%, dan yang
tidak tahu 6%. Apabila diperluas lagi, di seluruh Indonesia berapa persenkah
umat Islam yang mengerti kewajiban melaksanakan syariat Islam secara kaffa? Dan
berapa persen yang tidak mengerti atau tidak peduli?
Kenyataan ini menunjukkan kegagalan
dakwah serta amar makruf nahyu mungkar. Lalu dakwah seperti apa yang
disampaikan oleh para da’i, ulama, kyai, sehingga pemahaman umat Islam begitu
lemah dan mengambang tentang Islam, bahkan banyak diantara umat Islam yang
menganggap mengikut sertakan Islam dalam perbaikan Indonesia sebagai perbuatan
SARA?
Definis Liberalisme
Liberalisme atau liberal adalah sebuah paham yang
didasarkan pada kebebasan dan persamaan hak, yang bermimpi akan
lahirnya suatu masyarakat yang bebas, baik dalam cara berpikir ataupun
bertindak bagi setiap individu. Oleh karena itu, liberalisme menolak
adanya pembatasan dalam segala hal, terutama oleh negara dan agama.
Di Barat yang mula-mula muncul
adalah liberalisme intelektual yang mencoba untuk bebas dari agama dan dari
Tuhan, namun dari situ lahir dan tumbuh liberalisme pemikiran keagamaan yang
disebut juga theological liberalism.
Secara ideologis, liberalisme adalah
suatu paham yang membebaskan diri dari ajaran agama. Mereka mengakui adanya
tuhan tapi tidak mau terikat dengan ajaran Tuhan (agama). Atau beragama tapi
tidak mau tunduk pada ajaran Nabi. Bertuhan tanpa agama dan beragama tanpa
syari’at.
Sedangkan secara politis liberalisme
adalah ideologi politik yang memberikan superioritas individu, dianggap sebagai
memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak
berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi
(Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy).
Dalam konteks sosial, liberalisme
diartikan sebagai etika sosial yang membela kebebasan (liberty) dan
persamaan (equality) secara umum (Coady, C. A. J. Distributive
Justice). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor Sejarah di Universitas
Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada
kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity)
(Brinkley, Alan. Liberalism and Its Discontents).
Ciri Pemikiran Liberal
Dalam masyarakat modern, liberalisme
akan dapat tumbuh subur di bawah naungan sistem demokrasi. Karena keduanya
sama-sama mendasarkan pada kebebasan mayoritas, kebebasan berpikir,
kesetaraan gender, emansipasi.
Nicholas F. Gier, dari University of
Idaho, Moscow, Idaho menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh liberal
Amerika Serikat adalah sbb:
Pertama, percaya pada Tuhan, tapi tidak mau terikat dengan
ajaran Tuhan (agama). Mereka tidak mau terikat oleh apapun selain untuk
kepentingan hawa nafsunya. Dalam liberalisme, konsep Tuhan (teologi) dan
doktrin agama, merupakan persoalan yang dianggap mengganggu kebebasan. Karena
itu, sebagaimana kaum atheis, kaum liberal juga mengejek dengan mengatakan
‘tuhan telah mati’. Manusia yang tidak terikat ajaran agama (Islam) bagai
binatang liar, susah dikendalikan, sesat dan menyesatkan.
“Wahai Muhammad, apa pendapatmu
tentang orang yang mempertuhankan hawa nafsunya? Allah menyesatkan orang
yang mempertuhankan hawa nafsunya. Allah memateri pendengaran mereka, hati
mereka, dan memasang tabir di depan penglihatan mereka. Karena itu, siapakah
yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka selain Allah? Mengapa orang-orang
kafir itu tidak mau berpikir?” (Qs.
Al-Jatsiyah, 45: 23).
Kedua, memisahkan antara ajaran agama dan moral. Mereka
berkesimpulan bahwa orang yang tidak beragama sekalipun dapat menjadi
moralis.
Oleh karena itu, kaum liberal
seperti Irshad Manji yang menulis buku berjudul Allah, Cinta dan Kebebasan,
dianggap seorang moralis karena sikapnya pada sesama manusia bersifat humanis,
sekalipun pemikiran dan prilakunya menghina Allah dan menista Nabi Muhammad
Saw. Dalam bukunya, ia mempropagandakan bahwa di dalam AlQuran terdapat
‘ayat-ayat setan’ yang menyerukan penyembahan terhadap berhala, dan kemudian
dihapus oleh Muhammad, sehingga Al-Qur’an tidak steril dari kesalahan.
Gagasan liberalisme berangkat dari
olah akal sesat dan bejat. Agenda liberalisme dilakukan melalui gaya hidup yang
hedonistik. Gaya hidup hedonis yang mengusung kebebasan berperilaku
seperti free sex sebagai propagandis zionisme yang hendak
merusak masyarakat.
Irshad Manji, tokoh liberalis
penyeru homoseksual dan lesbian terang-terangan memperjuangkan kaum gay dan
menghujat Islam. Propaganda kaum liberal semakin gencar di negeri-negeri kaum
muslim, terutama di Indonesia. Oleh karena itu, mereka yang berpaham dan
berprilaku bebas seperti itu haram jenazahnya dishalatkan, sebagaimana firman
Allah:
“Wahai Muhammad, janganlah kamu
menshalati jenazah seorang pun dari kaum munafik untuk selama-lamanya.
Janganlah kamu berdiri di kubur orang munafik untuk mendo’akannya. Mereka itu
kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam kekafiran.” (Qs. At-Taubah, 9: 84)
Ketiga, ingkar sunnah, tidak percaya pada ajaran Nabi
(sunnah). Segala hal harus dikritisi, bukan menerima secara dogmatis.”Ketika
berpandangan bahwa wujud Tuhan tidak dapat dibuktikan, maka keharusan adanya
nabi untuk memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia tidak dapat
diterima,” kata para dedengkot liberal.
Misalnya, kasus shalat campur ala
Amina Wadud. Pada Jumat, 18 Maret 2005, sekitar 100 orang laki-laki dan
perempuan menyelenggarakan ritual agama di sebuah gereja Anglikan,
The Synod house of The Cathedral of St. John TheDivine, di kota New
York, Amerika serikat. Bertindak selaku imam sekaligus khatib shalat Jum’at itu
adalah Dr. Amina Wadud, seorang profesor dari Virginia Commonweath University,
Amerika. Motif utama pelaksanaan ibadah sesat ini adalah upaya
mempropaganda ide kesetaraan gender
Munculnya bid’ah yang menyesatkan
yang diperankan oleh Aminah Wadud, menuntut supaya: 1) wanita dibolehkan
mengumandangkan adzan shalat. 2) wanita boleh menjadi khatib dan imam pada shalat
Juma’at. 3) Wanita boleh menjadi imam shalat bagi perempuan dan laki-laki. 4)
Berdirinya kaum laki-laki dan perempuan di belakang imam dalam keadaan
bersandingan dan bercampur baur. 5) Shalatnya kaum wanita dengan membuka
kepalanya 6) Jika wanita masuk masjid tidak harus dari pintu belakang atau
samping, tapi boleh dari pintu mana saja yang dibolehkan bagi lelaki.
Firman Allah Swt:
“Ada manusia yang menjadikan cerita
fiktif untuk menyesatkan manusia dari Islam. Orang itu
menjadikan Islam sebagai bahan ejekan. Orang-orang yang melakukan
perbuatan semacam itu mendapatkan adzab yang hina di akhirat.” (Qs. Luqman, 31: 6)
Keempat, menolak agama dalam urusan negara/publik. Kaum
liberal sesungguhnya kaum anti agama. Sekalipun mereka mengaku beragama Islam,
tapi tidak mau terikat dengan syari’at Islam dalam segala urusannya.
Seorang pegiat liberal, Deny JA
mengatakan: “Ajaran agama, bila diwujudkan dalam hukum positif akan menjadi
pemaksaan, karena konsep hukum bersifat memaksa. Siapa pun yang tidak
melaksanakan hukum, dia dihukum. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam akan
cenderung bertentangan dengan hak azasi manusia dan hak-hak sipil. Dalam kasus
jilbab, misalnya bukan melarang atau memaksa orang memakai jilbab, tapi lebih
baik, jilbab itu dipakai atas dasar keyakinan pilihan pribadi. Pilihan bebas
yang tidak dipaksakan oleh hukum positif (formal), tapi didasarkan pada
kesadaran. Demikian pula nilai-nilai normatif lainnya dari agama, tidak bisa
dilegal-formalkan. Karena itu, Perda-perda syariat berpotensi besar melanggar
HAM, terutama hak-hak sipil.”
Strategi liberalisasi untuk
mengacak-acak negeri kaum muslim dilakukan melalui berbagai cara. Di Indonesia,
strategi dilancarkan melalui pengajuan RUU KKG (Keadilan dan Kesetaraan Gender)
yang justru semakin menghinakan kaum perempuan.
Sejumlah Pasal-Pasal dalam Rancangan
Undang-Undang (RUU) Kesetaraan dan Keadilan Gender, sama sekali tak ada nilai
agama. Jika dilihat dari kata-kata, maupun kalimat per kalimat, semua
berasaskan kebebasan. Misalnya, Bab III ps 12 tentang Hak dan Kewajiban dalam
rumah tangga, setiap orang berhak:
- memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami atau istri secara bebas.
- memiliki relasi yang setara antara suami dan istri.
- sebagai orangtua, memiliki peran setara dalam urusan kaitannya dengan anak.
- menentukan secara bebas dan bertanggungjawab jumlah anak dan jarak kelahiran.
- atas perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak; dan
- atas pemilikan, perolehan, pengelolaan, pemanfaatan, pemindahtanganan beserta pengadministrasian harta benda.
RUU ini mendorong mereka yang ingin
kawin campur bebas dilakukan, tanpa landasan agama, termasuk perkawinan sejenis
(homoseks) bebas dilakukan. Karena pasangan sesama jenis juga bisa mengaku
sebagai suami atau istri.
Selain itu, tak ada lagi pembagian
tugas dan tanggungjawab dari seorang suami dan seorang istri. Semua dilakukan
dengan bebas tanpa nilai-nilai yang sebetulnya sudah diatur dalam agama. Sebab
itu, menurut RUU ini seorang istri berhak bekerja dan boleh saja tidak
menyusui. Sementara suami boleh saja berlaku sebagai istri untuk menyusui anak
mereka, karena sudah banyak susu instan.
“Wahai Muhammad, katakanlah:”Apakah
Kami belum menjelaskan kepada kalian tentang orang-orang yang paling rugi
usahanya?” Orang-orang yang paling rugi usahanya adalah orang-orang yang selama
hidup di dunia melakukan perbuatan sesat, tetapi mereka mengira bahwa yang dia
lakukan itu perbuatan benar. Mereka itu adalah orang-orang yang kafir
kepada ayat-ayat Tuhan mereka, dan tidak meyakini hari pertemuan mereka dengan
Tuhannya. Oleh karena itu, sia-sialah semua amal mereka, dan pada hari kiamat
kelak Kami tidak akan menyelamatkan mereka dari adzab.” (Qs. Al-Kahfi, 18:103-105).
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi beragama.
Kebebasan beragama sepenuhnya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama,
tapi juga bebas untuk tidak beragama, dan bebas dari segala ikatan agama.
Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan yang
baru langsung membuat ‘gebrakan.’ Yang berbahaya. Setelah resmi dilantik oleh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam jumpa pers yang digelar di Ruang
Leimena kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (14/6/2012), Menkes mengusulkan
agar remaja dipermudah aksesnya untuk mendapat kondom.
”Kita berharap bisa
meningkatkan kesadaran mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja. Dalam
Undang-Undang, yang belum menikah tidak boleh diberi kontrasepsi. Namun kami
menganlisis data dan itu ternyata berbahaya jika tidak melihat kenyataan.
Sebanyak 2,3 juta remaja melakukan aborsi setiap tahunnya menurut data dari
BKKBN,” kata Menkes.
Galau terhadap kian maraknya seks
bebas, bukannya melarang penyebabnya, malah memfasilitasi dengan kondom dengan
alasan menghindari penyakit kelamin. Inilah yang disebut memberantas penyakit
maksiat dengan cara maksiat, yang pasti menimbulkan kerusakan yang lebih
besar.
Penutup
Segala kerusakan yang terjadi di
negeri ini, disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut:
- Sistem pemerintahan yang rusak dan pemimpin yang jahat:
“Jika
Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri, Kami jadikan orang-orang yang
suka berbuat sesat di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat
rusak di negerinya. Akibat perbuatan rusak pemimpin mereka, turunlah adzab
kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-Isra’, 17: 16).
Karena itu
harus ada keberanian kaum Muslim untuk berobah (sunnatut taghyir), siap
diuji/berkorban (sunnatul ibtila’), siap membela Islam (sunnatut
tadafu’) Baca Qs. Ali Imran, 3: 195.
- Kesalahan ijtihad politik para politisi Muslim. Mereka ingin melaksanakan ajaran Islam secara kaffah dalam kehidupan bernegara di negara yang menolak syari’at Islam memang dilematis. Inilah resiko menjadi warga di negara yang tidak jelas kelamin ideologisnya. Seperti pernyataan mantan Presiden RI Soeharto, bahwa “Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler.” Artinya, negara tanpa jenis kelamin alias negara bukan-bukan; maka gampang diseret ke komunis, liberalis, atau paganis.
- Mayoritas umat Islam memahami Al-Qur’an melalui terjemahan. Ternyata Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag RI terdapat banyak ayat yang salah terjemah, sehingga banyak orang salah paham terhadap Islam karena membaca terjemah Al-Qur’an yang salah. Dan umat Islam menjadi korbannya.
Wallahu a’lam bish shawab!
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Sumber : http://www.arrahmah.com/read/2012/10/09/23819-liberalisme-bertuhan-tanpa-agama-beragama-tanpa-nabi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar